Jessy bukan benci atau tak suka dengan Pak Yo. Ia hanya sedikit tidak terima dengan keputusan Devi. Selama ini nyaris semua hal dilakukan dengan Devi. Berangkat dan pulang sekolah selalu dengan Devi, kini tiba-tiba hadir Pak Yo secara spontan. Tanpa bicara apa lagi diskusi dengan Jessy. Pria paruh baya itu kini mengantikan peran Devi. Bagi Jessy hal itu sungguh menyebalkan. Bocah itu sulit sekali mengerti mengapa orang dewasa seperti Devi, kadang bertingkah semaunya. Tanpa peduli perasaan orang lain. Dalam diam, Jessy berhasil menyembunyikan kejengkelan yang ia rasa. Ia tetap biasa saja dengan Devi, ia tak bisa marah dengan orang yang telah melahirkan dirinya. Tapi Jessy limpahkan kemarahan kepada Pak Yo. Dengan diam, enggan memasang wajah manis selama nyaris satu bulan. Dan selama itu ia tidak pernah bicara dengan Pak Yo. Justru ia berharap dengan sikap itu, Pak Yo tidak tahan lalu berhenti bekerja. Sayangnya hidup tidak sederhana di senetron yang pernah dilihat Jessy. Pak Yo tidak
Jessy bangun tidur dengan kondisi tubuh sangat segar, badan terasa ringan. Beban di pundaknya terasa jauh lebih ringan setelah ujian nasional berlalu. Kini saatnya ia mulai bersantai setelah melewati tiga tahun di sekolah menengah pertama. Setidaknya sekarang ia memiliki waktu untuk santai sejenak. Melepas buku pelajaran dan materi yang membuat penat di kepala. Dan melakukan beberapa hal yang ia sukai. Entah pergi ke perpustakan sepuasnya atau membeli koleksi ikan. Dan yang paling penting ia harus mempersiapkan semua hal yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan setingkat SMA. Akan tetapi hal itu mudah saja, ia sudah menentukan kemana ia akan melanjutkan sekolah. Jauh-jauh hari sebelum ujian nasional berlangsung. Ia akan melanjutkan ke sebuah sekolah dengan sistem belajar biasa-biasa saja. Artinya ia tidak akan masuk sekolah dengan sistem full day. Enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama. Dengan sistem belajar yang begitu padat. Dipaksa setiap siswa harus
“Ingat, kemana pun pergi selalu kabari Mama.” Devi mencium kening Jessy. “Oh ya, selalu dengan Pak Yo. Jangan pergi dengan taxi online atau sejenisnya.” “Iya Ma,” ucap Jessy dengan nada malas. “Kalau ada waktu mampir ke salon ya.” Devi tersenyum sambil membuka pintu mobil. “Iya Ma.” “Iya. Iya terus. Beneran kabari mama kalau ada sesuatu.” “Iya Ma.” Jessy menarik napas panjang. Devi tak lagi berkata-kata, lalu tancap gas pergi meninggalkan pekarangan rumah. Begitu pula dengan Jessy ia langsung masuk mobil yang di dalamnya Pak Yo sudah siap melaju. Sejak obrolan berat tadi pagi suasana hati Jessy semakin tidak menentu. Ia merasa jika ibunya semakin berlebihan dan tingkat bawelnya semakin meningkat. Kini ia mulai menyadari jika apa yang ia sukai, selalu kebalikan dengan Devi. Dan perbedaan itu benar-benar tidak nyaman untuk Jessy. Bukan hanya bulutangkis dan kulit yang sedikit terbakar matahari tapi Devi semakin ke sini sering komentar dengan baju yang dikenakan Jessy. Jessy meras
Jauh beberapa kilo dari tempat Jesy berada, Devi menatap ponsel dengan perasaan jengkel luar biasa. Satu baris chat Jessy, berhasil membuat ia tak nyaman untuk melanjutkan pekerjaan. Kini ia meletakan ponsel di laci, diam. Melamun. Sebuah bingkai foto ukuran kecil bergambar dirinya dengan Jessy saling berpelukan, ia tatap sejenak lalu Devi lalu terpejam.Devi bertanya pada dirinya sendiri mengapa Jessy sekarang sedikit berubah. Sedikit keras kepala dan sulit di atur. Pertanyaan itu berputar-putar terus menerus tanpa titik terang hingga kurang lebih sepuluh menit.Terdengar dari luar suara ketukan pintu di ikuti seseorang membuka pintu. “Ganggu ngak?” tanya Iqbal.“Ngak.”“Ada masalah?” tanya Iqbal, melangkah lalu duduk di kursi depan Devi.Kedua alis Devi mengkerut. “Tidak.” Pandangan mata ke arah lantai sengaja menghindari kontak mata dengan Iqbal.“Yakin?”Devi tersenyum sinis Iqbal. “Mengapa kamu bertanya demikian.”“Kelihatan resah begitu.” Iqbal tersenyum lebar. Pria yang sudah b
Kini Iqbal diam, kalimat yang keluar dari bibir Devi benar-benar tali yang menjerat leher. Membuat sulit sekali bernafas. Wajah pria berkulit putih kecoklatan itu kini mulai memerah. Sebaris kalimat yang terlontar dari mulut Devi seperti cambuk yang merobek kembali luka lama yang mulai berangsur sembuh. Bagi Iqbal kalimat itu sebuah penghinaan dan juga fakta sebenarnya. Penghinaan, yang sebenarnya Iqbal punya anak. Dan fakta sebenarnya, ia belum pernah sampai mendidik anak itu karena ajal memisahkan. Iqbal benar-benar terluka. Ruangan dingin ber AC tak mampu memandamkan dua dada yang sedang terbakar amarah. Beberapa detik ruangan itu hening. Susi menarik napas panjang berusaha mengusai keadaan. “Dev, begini kami hanya memberi pandangan lain. Apa kamu ngak sadar jika pemikiranmu itu semakin memperkeruh keadaan?” Susi terpaksa mengambil alih kendali sebelum Iqbal marah besar. Karena ia tahu jika kalimat yang baru saja di ucapkan Susi benar-benar melukai hati Iqbal. “Apa maksutmu?” S
Dua bola mata Iqbal menatap lekat-lekat Devi yang melangkah pergi meninggalkan meja kerjanya. Ia tak bisa marah dengan ucapan Devi, bukan karena wanita itu bosnya. Tapi Iqbal lebih mengimani ucapan Devi. Mengakui jika ia tak punya anak. Orang-orang sekitarnya sudah mengatakan jika ia memiliki anak sekaligus pasangan hanya saja beda alam. Sebuah hiburan konyol bagi Iqbal.Bicara tentang anak, cinta dan pasangan hingga saat ini menjadi cambuk sakti, sekali lempar membuat Iqbal tak berdaya. Jiwanya goyah terluka parah. Dan tidak semua orang mengerti kesakitan yang Iqbal derita selama ini.Bahkan lama tinggal di Surabaya sedikit pun ia tak berani mendekati wanita. Rasa takut kehilangan menikam setiap saat jika ia memikirkan sosok wanita. Jika siap mencintai sesuatu, maka harus siap kehilangan, begitulah prinsip rasa memiliki. Dan Iqbal belum mampu jika harus kehilangan untuk sekian kalinya.Beberapa kali orang-orang mendorongnya untuk move on. Yang artinya mencari wanita lain, tapi ia sen
Bukan tanpa sebab Jessy menginginkan ke salon. Percakapan dengan Re siang tadi masih terlanjut di chat W******p, apa saja bisa jadi tema bahan obrolan termasuk komik kesukaan Re. Dan Re menawarkan beberapa seri komik One Piece pada Jessy. Tentu itu adalah kesempatan emas untuk Jessy. Bukan komik gratisan, dan sebenarnya ia tidak menyukai kisah fantasi yang sulit dimengerti oleh akal sehat. Akan tetapi demi bertemu dengan Re untuk ke dua kalinya Jessy menginginkan komik itu. Jika komik itu sudah di tangan Jessy, itu berarti kesempatan bertemu dengan Re untuk sekian kalinya bakal terbuka lebar. Dan besok mereka sepakat untuk ketemuan di taman. Kini dalam otak Jessy untuk kencan pertama dia harus cantik. Minimal rambut lurus dan rapi, wajah bersih, badan harum. Dan itu artinya ia butuh ke salon. Sebuah garis alam yang senada. Jessy secara lapang menginginkan ke salon untuk mempersiapkan kencan besok. Dan itu artinya Devi juga akan senang akhirnya Jessy dengan senang hati pergi ke salon
Rona pancar kebahagian Jessy semakin padam. Mata berkaca-kaca menahan kecewa. “Ma ngak bisa begitu dong!”“Bisa kalo mama yang minta.”“Tapi temenku sekarang sudah di taman. Kasihan nungguin aku.” Mata Jessy sedikit berkaca-kaca, perasaan marah sulit dibendung tapi tak bisa ia luapkan di hadapan Devi.“Kamu ngelawan Mama? Kenapa sih Jes sekarang susah dibilangin?”“Bukan begitu Ma. Tapi Jessy sudah janjian dari kemarin.”“Lagian kamu ngak izin dulu sama Mama.” Suara Devi semakin tinggi.Jessy tertunduk lesu dengan air mata berlinang. “Aku kan cuma mau ambil buku.”“Ya sudah Mama antar.” Devi mulai luluh ketika ia melihat wajah sedih menyelimuti Jessy.Kencan pertama Jessy gagal total dan kegagalan itu sudah Jessy prediksi sebelumnya. Devi tidak akan membiarkan Jessy pergi sendirian tanpa dirinya atau Pak Yo. Kini ia mulai menyesali mengapa musti mengatakan apa adanya pada Devi.Seharusnya ia mengatakan akan pergi dengan teman-teman wanita bukan pria. Pastinya Devi akan mengizinkan. To