LOGIN“Untuk apa kau menatapku?” ia berucap.
“Aku tidak menatapmu, aku menatap pemandangan yang ada di sampingmu.”
“Oh. Jadi, kau masih haus?”
“Tidak.”
“Kalau begitu aku saja yang membeli minum.”
Ia masuk ke dalam Drive Thru Mc. Donalds.
Aku memalingkan wajahku. Walau Theo kadang menjengkelkan, tapi hanya Darren yang benar-benar menjengkelkan.
“Kau yakin tidak mau?” tanya nya.
“Tidak,” ketusku.
“Aku ingin Mc. Flurry Oreo dua, Pepsi dua, dan French Fries yang besar satu,” aku meliriknya.
Rakus juga dia. Tapi walau dia makan banyak, bentuk tubuhnya aku akui cukup atletis. Darren menjalankan mobilnya, ia membayar dan kami menunggu lagi.
Darren memajukan mobilnya setelah mobil di depan kami pergi.
“Pegang.”
Ia memberikan aku dua Mc Flurry, lalu pepsi dan kentang gorengnya. Ia menutup kaca mobil dan menggerakan mobilnya.
Ia mengambil satu Mc. Flurry dan memasukan sesendok ice cream ke mulutnya sambil menyupir.
“Kau hanya menyuruhku memegang makanan mu ini?” tanyaku.
“Kau kan tak mau membeli tadi. Jika tak bawa uang bilang saja, aku bisa traktir.”
Aku menatap makanannya yang ada di pangkuanku. Mobilnya bergerak lebih lambat dari tadi, ia terlihat menikmati ice creamnya dan mengabaikanku.
“Aku menyesal pergi denganmu.”
Aku meletakan makanannya di belakang. Ini memang kedua kalinya bagiku satu kendaraan dengannya. Dulu saat pernikahan dan ini yang ke dua.
“Kau bisa memakan ice cream itu sebelum meleleh, jika meleleh, rasanya akan jelek dan aku tidak suka,” Ujarnya.
“Aku tidak mau,” ujarku.
“Aku hanya menawarimu,” ujarnya, ketus.
Ia mengangkat kedua bahunya, dan kembali memasukan ice cream ke mulutnya.
Aku mendengus beberapa kali dan kembali berkutat dengan handphoneku. Beruntung Theo mau menemaniku.
“Dasar perempuan,” ujarnya, sambil fokus menyupir.
Aku menoleh ke arahnya.
“Apa kau bilang?” tanyaku.
Ia menggidikan bahunya. Aku mengembungkan pipiku.
“Ambilkan kentang gorengku, sejujurnya ini masih lagi dua jam. Jika kau benar-benar tak mau ice cream itu, kau akan menyesal.”
Astaga. Aku harus berada bersamanya 2 jam lagi.
Aku melirik jam tanganku. Kenapa dia memilih sarapan di rumah orang tuanya jika tau perjalanan akan sejauh ini. Aku mengambil kentang gorengnya dan memilih memakan ice cream yang ia beli.
“Akhirnya kau mau.”
“Itu karena perjalanan masih 2 jam. Kasian juga dengan ice cream ini,” ujarku sambil memandang ice cream yang sudah hampir meleleh.
Ia terlihat memutar mulutnya. Satu tangannya mengambil kentang, dan yang satunya sibuk menyupir. Menyesal aku tidak memakan ice cream ini sejak tadi.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, Theo lagi.
“Bisakah kau minta dia untuk tidak menelpon? Kau bahkan baru berbicara dengannya 45 menit yang lalu,”
Aku menatap Darren dan mengangguk.
“Maaf, aku akan memberitahunya.”
“Dasar murahan, sudah tau jika dia sudah menikah.”
Darren bersuara dengan rendah. Darren mungkin berpikir aku tidak mendengarnya, tapi aku sangat mendengar cibirannya itu dengan jelas.
Karena jarak kami cukup dekat di mobil ini. Aku memutuskan menolak panggilan Theo dan mematikan handphoneku. Mungkin ini salahku, tapi aku tak mungkin menghubungi Theo jika sejak tadi dia mau berbicara denganku.
“Kenapa kau menolak panggilannya?”
Aku menggigit bibirku. Tentu saja aku menolaknya, setelah mendengarnya menyebutku ‘murahan’.
“Aku bisa menghubunginya nanti. Aku ingin menghabiskan ice cream ini.”
Darren memutar bola matanya.
“Ambilkan minumku,” perintahnya.
“Apa aku boleh minta satu?” tanyaku.
“Tidak.”
Aku mengkerutkan bibirku.
Lalu menyodorkannya pepsi yang aku ambil di jok belakang. Ia meraihnya dan langsung menyedot minuman itu tanpa memandangku.
“Ingat buang sampai ini saat kita sampai, aku tak mau mobilku kotor.”
“Tapi—.”
“Lakukan saja.”
Aku memanyunkan bibirku. Dia yang makan banyak, membeli ini semua untuk dirinya sendiri, dan hanya memberikanku segelas ice cream akan tetapi aku yang di suruh membersihkan seluruh sampahnya dia.
Sungguh menjengkelkan.
“Sampai.”
Aku membelalakan mataku ketika mobilnya masuk ke dalam halaman rumah yang megah dan luas.
“Kau bilang 2 jam lagi kita baru sampai ?!”
“Memang, dari rumah kan memang dua jam.”
Aku mengepalkan tanganku. Ia keluar begitu saja dan meninggalkanku.
Aku segera mengambil seluruh sampahnya dan memasukannya ke dalam plastik. Aku memegang pepsi dan juga kentang goreng yang masih tersisa, lalu plastik yang berisi sampah segera aku bawa keluar dan aku buang ke tempat sampah.
Dia sudah mengerjaiku beberapa kali pagi ini. Biasanya memang begitu, tapi ini secara langsung.
Biasanya dia memang mengerjaiku, membuang baju kotornya di lantai kamar mandi, memberantakan lemari pakaian kami atau apapun. Sepertinya dia memiliki sifat jorok yang tidak bisa di rubah.
“Leora, aku pikir Darren tidak mengajakmu,” ujar Pattie. Wanita paruh baya yang berwajah lembut dan cantik. Ibu Darren.
“Aku tadi membersihkan mobil Darren, dia meninggalkan banyak sampah,” ujarku.
“Itu sampahmu! Bukan punyaku.”
Darren berteriak dari dapur.
Aku mendesah. Pattie tersenyum, lalu memelukku.
Jelas-jelas dia yang memiliki sampah makanan yang ada di mobilnya. Pattie mengajakku ke ruang tamu dan kami duduk di sofa. Sepertinya Jeremy sedang tidak di rumah.
Aku meletakan makanan Darren di atas meja dan memangku tasku. Lalu Darren datang dan ia duduk di sofa single dan meraih kentang gorengnya.
“Tunjukan Leora kamarmu, dia kelelahan,” ujar Pattie.
“Dia bukan kelelahan tapi lapar, kami belum sarapan,” ujar Darren.
Aku tersenyum tipis ke arah Pattie. Darren sungguh berbicara blak-blakan.
“Aku akan ke kamar, minta saja pelayan mengantarnya nanti untuk ke kamarku,” ujar Darren.
“Darren.”
“Ayo Leora, kau menyusahkan.”
Pattie menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum ke arah Pattie lalu bangkit dari dudukku.
Aku sungguh tidak tahu harus berbicara apa. Aku gugup. Karena aku dan Pattie tidak dekat, tidak sedekat hubunganku dengan keluarga Theo.
Aku sungguh sudah akrab dengan keluarga Theo, karena kami benar-benar serius.
Aku masuk ke dalam kamar Darren. Darren menghidupkan AC di kamarnya, lalu ia membuka gorden kamarnya. Aku meletakan tas-ku di atas meja.
“Aku akan makan. Jika lapar, segera turun,” aku mengangguk.
Ia benar-benar keluar dan meninggalkan kamar. Aku segera mengaktifkan handphoneku lalu menghubungi Theo.
“Leora, kau baik-baik saja?” tanya Theo.
“Maaf, tadi aku kelelahan di jalan. Aku ketiduran.”
“kau sudah sampai?”
Aku berjalan mendekati Jendela.
“Baru saja sampai. Aku sedang di kamar Darren.”
“Laki-laki itu bersamamu?”
“Dia sedang sarapan.”
Aku mengambil nafas lalu menghembuskannya.
“Lebih baik kau juga sarapan. Aku tak mau menganggumu, habiskan saja dulu waktumu bersama Darren. jika dia mengacuhkanmu, kau bisa menghubungiku.”
“Terima kasih Theo.”
“Aku mencintaimu, Leora.”
“Aku masih mencintaimu, Theo.”
Aku tau ini salah. Tapi aku tak bisa memungkiri jika aku masih mencintai Theo.
Aku meletakan handphoneku di atas meja di samping tempat tidur, lalu keluar dari kamar. Perutku sudah meminta untuk di isi sejak tadi. Perutku hanya di isi dengan ice cream, berbeda dengan Darren, dia sudah makan kentang goreng dan pepsi. Rakus.
“Leora.”Aku menatap Ibuku dan James yang berlari menuruni anak tangga. Aku memutar bola mataku, lalu menarik Darren.Aku memeluk tubuh Ibuku sebentar, lalu berjalan ke kamar.“Leora, aku tau kau marah padaku, aku minta maaf.”James berucap di belakangku. Aku mengabaikannya, lalu masuk ke dalam kamar. Darren menutup pintu dan menguncinya.“Apa dia sudah mengerti kenapa aku membenci kekasihnya?”“Mungkin, setelah kau menamparku.”Darren melepas pakaiannya dan memasukannya ke keranjang kotor.“Maaf, aku tidak sengaja.”“Aku tau.”Darren menutup lemari. ia menarik nafas, lalu berbaring di atas tempat tidur.“Aku sangat lelah.”“Lelah? Padaku?”“Hanya lelah, tidak tahu akan apa.”Aku menatap Darren. Lalu memeluk lehernya, Darren memeluk punggungku dengan lembut. aku menc
Aku masih terperangkap dalam pelukan Darren. ia masih tertidur, dan tangannya dengan erat memeluk tubuhku.Aku tau aku melukainya, aku sangat melukainya dalam waktu 2 bulan terakhir ini.“Hei, selamat pagi.”Darren mencium keningku dengan lembut. Aku tersenyum tipis.“Selamat pagi.”“Apa kau ingin sesuatu pagi ini?”Aku menggeleng. Aku tidak menginginkan apapun, sekalipus aku harusmenahannya jika aku butuh sesuatu. Aku tidak peduli jika aku harus mual sepanjang hari, anak ini, dia membuatku menjadi orang jahat, jahat pada suamiku sendiri.“Bagaimana jika kita mengunjungi Dokter France?”“Terserah padamu,” ujarku dengan pelan.“Hei, bersemangatlah. Kau terlihat pucat dan sedih.”Darren melepaskan pelukannya, lalu menyangga kepalaku dengan lengannya.“Aku baik-baik saja,” Darren hanya mengangguk tanpa ber
***James menjauhiku hari ini setelah pagi tadi aku melukai Lucyana.Jika kami ada dalam satu tempat yang sama, dia akan memutuskan untuk pergi dan tidak mau menegurku. Andai dia tau jika kekasihnya itu mantan suamiku dan pernah mengirim pesan menggoda ke suamiku, dia pasti tak akan semarah ini.Aku duduk di sofa sambil meminum teh-ku dan membaca majalah. Aku sudah sangat lelah tiduran di tempat tidur.Aku memandang layar handphoneku yang menyala.Saat aku ingin mengambilnya, seseorang terlebih dahulu mengambilnya.“Alice mengirim pesan, katanya dia ingin hang out, besok,” ujar Darren.Ia memeriksa handphoneku dan duduk di sofa single. Ia mengangkat kakinya layaknya boss. Ups, aku lupa, dia kan memang boss.“Lalu Zayn mengirim pesan, katanya bajumu sudah bisa di ambil, dan harus besok, karena dia akan ke New York untuk New York Fashion week.”“Darren
Aku mendengus secara tidak sengaja begitu melihat Lucyana di meja makan pagi ini.Darren menatapku, tapi aku tetap terpaku menatap meja makan. Menjengkelkan. Kenapa dia harus disini? andai aku bisa mengatakan pada mereka jika aku tidak suka dengan Lucyana.“Selamat pagi,” ujar Darren.Aku duduk di kursiku dan Darren di sampingku. Zeke menyenggol siku-ku.“Kenapa kau cemberut?” aku menggidikan bahuku.“Jadi, kalian sudah berpacaran cukup lama selama di Jerman?” tanya ayahku pada James dan Lucyana.“Ya, kami berpacaran tidak lama, kami baru memulainya, baru selama 1 tahun,” jawab Lucyana dengan senyum sok manis dan tak berdosanya.James tersenyum, ia mengusap punggung tangan Lucyana. Andai aku boleh berjalan ke arah mereka, lalu menancapkan pisau garpu di punggung tangan gadis sialan itu.“Jadi, disini kau tinggal dengan siapa Lucyana?” tanya Ibuku.
***Aku menggunakan Jumpsuit berwarna kuning.Kami sudah bersiap untuk makan malam, walaupun cukup melelahkan setelah perang yang kami lakukan tadi dan baru ber-akhir setengah jam yang lalu.Darren memelukku dan membiarkan aku duduk di atas pangkuannya.“Aku sangat melukaimu tadi, Mommy.”“Tidak, aku sangat menikmatinya, Daddy. percayalah. Itu sangat liar, dan aku suka.”Aku tersenyum. Darren menurunkan lengan pakaianku, menatap dadaku yang terbungkus bra. Ia menatap bekas luka disana, gigitan yang meninggalkan bekas merah, dan kissmark. Tapi sungguh, ini adalah keinginanku.Ia mengecup kulitku dengan lembut. lalu ia membenarkan pakaianku.“Jangan berbohong padaku.”“Oh sayang, aku tidak berbohong. Kita bahkan menghabiskan semangkuk cream, dan rasanya aku kenyang sekarang.”Darren mengusap pipiku.“Terima kasih hadiahnya.&rd
Aku keluar dari rumah sakit.Darren merangkul bahuku dengan lemmbut, melapisi tubuhku dengan Jacket kulitnya.Paparazzi mendekat, tapi Darren mengabaikannya dan merangkulku lebih erat lagi.Ia membuka pintu, lalu membiarkan aku masuk dan dia menyusulnya di pintu lain.Darren menggerakan mobilnya dengan hati-hati, lalu melaju cepat begitu jauh dari keramaian. Darren meremas tanganku dengan lembut. lalu menariknya dan mencium punggung tanganku.“Aku cinta padamu, leora.”“Aku cinta padamu, sayang,” balasku.Kami sampai. Mobilnya berhenti di beranda rumah, dia membiarkan kuncinya tergantung di lubang kunci, agar satpam bisa memarkirkan mobilnya di garasi.Kami keluar dari mobil, Darren merangkulku lagi dengan lembut.Saat kami ingin membuka pintu. pintu terbuka lebih dahulu, Jeremy muncul dan ia meraih kerah baju Darren, hingga Darren terdorong ke belakang.“Dad,” uja







