Jika dia bersikap dingin. Aku juga bisa bersikap dingin. Dia itu tidak menarik bagiku sama sekali. Wajah yang dingin dan bahkan lebih dingin dari Es. Tersenyum saja tidak pernah, aku sih tidak berharap ia memberiku senyuman.
Tapi, uhh... aku kesal melihat wajahnya yang tanpa ekspresi setiap pagi. Aku tidak ingin pernikahan ini. Pernikahan yang kami lakukan dua minggu lalu adalah atas keinginan kedua orang tua kami.
Bisa di bilang ini kategori dari pernikahan perusahaan, karena ini bukan atas dasar cinta atau apapun. Ini untuk menguntungkan perusahaan baik perusahaan ayahku atau orang tua orang yang aku nikahi ini.
“Hari ini, kita berkunjung ke rumah orang tuaku,” ujar Darren.
Aku menatapnya dan mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat dia sedikit tersenyum. Bagaimana bisa aku senang tinggal dengan orang sedingin es seperti dia.
“Aku akan bersiap-siap,” ujarku.
Aku segera membuka lemari dan mencari pakaian yang sopan. Darren masih tetap dalam ekspresinya yang dingin. Aku juga tidak suka dengan pernikahan ini, tapi ekspresi wajahnya seakan marah dan menyalahkanku atas pernikahan ini.
Akukan juga tidak mau, tapi bagaimana bisa aku menolak, Darren yang anak laki-laki saja tidak bisa menolak.
“Kita sarapan di rumah orang tuaku,” ujarnya.
Aku mengangguk. Ia meraih kunci mobil yang ada di atas meja, lalu keluar dari kamar. Aku menatap diriku dalam pantulan cermin, lalu aku mengambil tas-ku dan menyimpan dompet serta handphoneku di dalam tas.
Aku segera keluar, dan menyusul Darren. Sebelum ekspresinya semakin dingin. Mengerikan.
Darren menjalankan mobilnya begitu aku masuk. Bahkan aku belum mengenakan sabuk pengaman. Aku mendengus, lalu memalingkan wajahku.
Aku akan mengalami tingkat kesepian tertinggi berada dalam ruang sempit ini dengan manusia es seperti dia. Aku mengambil handphoneku, lalu memasang earphone ke telingaku.
Sejujurnya, aku ingin menyalakan radio. Tapi ini mobil milik Darren, aku tidak mau membuat masalah, bisa-bisa karena wajahnya melewati dinginnya es, dia menjadi beku.
“Leora,” Darren menarik earphone di telingaku saat aku tengah bernyanyi dengan suara rendah.
“Ya?” jawabku.
“Jangan bernyanyi, aku tidak suka mendengarnya.”
“Baiklah.”
Aku mendesah. Lalu kembali memasang earphoneku, kali ini aku menutup rapat mulutku. Dan menyenderkan punggungku pada kursi.
Darren terlihat fokus menyetir. Wajahnya masih kaku seperti saat pertama kami bertemu. Ia juga memakai earphone tapi hanya di telinga kirinya, yang di kanan tidak ia gunakan.
Jari-jarinya mengetuk stir mobil, tapi mata karamelnya lekat menatap apa yang ada di hadapannya. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Darren menoleh dan menatap tasku.
“Maaf,” ujarku.
Aku menatap layar handphone-ku. Theo menelponku. Mantan kekasihku.
Walau kami sudah putus karena pernikahan sialan ini, sepertinya tak ada salahnya jika aku masih berhubungan sebagai teman. Mantan bukan berarti musuh. Lagipula putusnya hubungan kami, dilakukan dengan terpaksa.
“Theo!”
“Wo-ho. Kau sangat semangat,” Ujarnya.
“Yeah. Aku sedang kesepian,” Theo terdengar tertawa kecil. Aku ikut tersenyum.
Dia adalah orang konyol yang selalu berhasil menghiburku. Sangat bertolak belakang dengan Darren. Itu sebabnya aku tidak menyukai Darren. Dia bukan tipeku, sama sekali bukan.
“Jika kau kesepian, kau bisa menghubungiku, kapanpun, Leora Lawson.”
“Theo, Aku takut menganggumu. Aku yakin, kau sudah memiliki gadis baru, ini sudah 3 minggu semenjak kita putus.”
Aku mengkerutkan bibirku. Jika Theo di sampingku, dia pasti menarik pipiku jika aku membicarakn gadis lain, lalu menarikku ke pelukannya dan mencium puncak kepalaku sambil menyupir.
Theo itu manis. Walau penampilannya liar.
“Kau tidak pernah mengangguku. Aku belum ingin mencari gadis lain, masih dirimu, Leora.”
“Benarkah? kalau begitu, jika aku sendirian di rumah mungkin kita bisa hangout, aku dengar dari Annabeth jika ada cafe baru dan tempatnya keren, aku harap ada ice cream disana.”
Aku menggigit bibirku agar senyumku tidak lebar. Maksudku, bibirku sangat pegal karena tersenyum sejak tadi. Jadi aku sedikit mengontrol senyumku.
“Aku sudah kesana dengan Annabeth dan yang lain, tempatanya lumayan, kau bisa menghubungiku kapanpun, aku free.”
“Theo, kau memang yang terbaik.”
Darren berdeham. Aku menoleh ke arahnya.“Aku akan menghubungimu lagi nanti, aku sedang dalam perjalanan dengan Darren ke rumah orang tuanya, aku tidak sabar untuk pertemuan kita lagi, Theo.”
“Apa dia masih menjadi Ice Man?” aku tertawa.
Aku pernah membicarakan tentang wajah Darren pada Theo.
“Ya, dan itu yang membuat aku kesepian. Kita sms saja ya?”
“Oke, bye.”
“Bye, Theo,” aku mematikan sambungan telpon itu, lalu melepas earphoneku.
Sejak kami putus aku tidak berani menghubungi Theo, karena dia terlihat marah saat aku ingin putus, dia pasti kecewa, kesal, dan apapun itu. Aku merasa bersalah, dan itu sebabnya tidak berani menghubunginya, takut dia kembali merasa emosi.
Aku membalas pesan Theo yang berhasil membuat perutku sakit karena tertawa. Ia berhasil membuat lelucon menyangkut Darren, dia memintaku membayangkan bagaimana wajah Darren saat aku menginjak kaki Darren.
Apa Darren masih bisa tetap berwajah dingin? Itu masih rahasia. Dan aku ingin benar-benar menginjak kaki Darren.
“Apa perjalanan masih jauh?” Darren menggeleng.
“Apa kita bisa mampir untuk membeli minum?”
“Kita akan sampai satu jam lagi.”
“Itu masih jauh,” Pantatku sudah panas duduk di kursi ini. Aku harap dia mau berhenti dan membiarkan aku berdiri sebentar.
“Tidur saja, nanti akan aku bangunkan jika sudah sampai.”
“Aku haus bukan mengantuk.”
“Jangan manja padaku. Suruh saja mantanmu membawakan minuman,” Aku menatap ke arahnya.
Ekspresinya masih dingin dan kaku. Walau ekspresinya seperti itu, ternyata dia menyimak percakapanku dengan Theo. Jika dia tidak kaku, aku pasti lebih memilih berbicara dengannya, setidaknya kami harus saling mengenal.
Pernikahan ini bukan main-main.
“Kenapa kau harus menyangkutkan rasa hausku dengan mantan kekasihku? Turunkan aku disini, aku bisa beli minum sendiri.”
Ia benar-benar menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
“Keluar,” Ujarnya.
Ia menatapku. Kali ini ia menyeramkan, sungguh.
“Kau—.“
“Kau yang ingin keluar-kan? Aku bisa bilang pada Orang Tuaku jika kau sedang sakit dan tak ingin ikut, mudahkan?”
“Kau benar-benar—.“
Ia menjalankan mobilnya saat aku ingin membuka pintu.
Aku memutar wajahku dan menatapnya. Ia terlihat menggigit bagian dalam mulutnya. Jari-jarinya meremas stir. Menyebalkan.
Dia meminta aku keluar dari mobilnya. Saat aku ingin keluar, ia justru menjalankan mobilnya. Jika aku keluar dari mobil dan mobilnya berjalan, Bukankah itu berbahaya?
“Theo.” ujarku, sambil sedikit berbisik.“Hei. Leora. Akhirnya kau menghubungiku, setelah dua hari handpphonenmu tidak aktif,” aku tersenyum.“Maaf, tapi aku menghubungimu karena aku kesepian. Justin sudah berangkat kerja 2 jam yang lalu, dan—.”“Aku mengerti. Aku bisa Leora, apa kau mau aku menjemputmu?" aku tersenyum lebar.“Aku akan mengirim alamat rumah Darren, aku akan mengganti pakaianku.”“Baiklah, aku juga akan bersiap.”“Bye.”Aku mematikan sambungan telepon, lalu aku segera mengganti bajuku dengan baju kaos dan celana pendek. Aku mencari-cari tas yang cocok, hingga aku memilih warna lime, warna yang sangat terang.Aku memasukan dompet dan handphoneku ke tas.Aku menatap diriku dalam pantulan cermin, aku mengikat rambutku dengan rapi. Lalu menambah pita berwarna kuning di rambutku. Aku mengaplikasikan lipstick berwarna peach, dan parfum.Mataku memilih high heels lalu aku mengambil heels berwarna lime seperti tas-ku.Aku segera keluar dari kamar. Theo akan sampai dengan cepat
Saat makan malam berakhir. Aku segera ke kamar untuk mengeluarkan sampah yang ada di kamar Darren. Saat aku ingin keluar dari kamar, Darren yang masuk ke kamar. Ia menatapku.“Kau ingin susu coklat atau putih?” tanyaku.Ia menggigit bibirnya. Aku memandangnya, mencoba mencerna alasan kenapa ia menggigit bibirnya. Aku membahas susu yang akan ia minum, bukan susu yang lain.“Coklat,” jawabnya, setelah berpikir.Aku mengangguk. Aku segera keluar dari kamarnya dengan sampah dan piring serta gelas kotor. Pelayan membantuku membawa semua sampah ini.Lalu aku segera membuatkan susu untuk Darren, sebelum dia mengomel dan mengataiku dengan kalimat yang menyakitkan.Aku membawa segelas susu ke kamar, lalu aku menutup pintu dan memandang Darren yang tengah tiduran sambil menatap langit-langit kamar. Sayangnya, disini tidak ada TV.“Ini susumu,” ujarku.Aku meletakan susu-nya di meja di sampingnya. Aku berjalan ke kamar mandi, aku perlu mandi, aku tidak sempat membersihkan diri tadi.“Kau mau kem
Aku terdiam memandang baterai handphoneku, jadi dia menyembunyikan di sela-sela antara kepala tempat tidur dan tempat tidur.“Hei. Kemarikan benda sialan itu,” ujarnya.“Aku tidak bisa tidak bermain handphone, please. Biarkan aku memegang handphone-ku, aku tidak akan menelpon Theo di depanmu.”Ia menggeleng.“Aku saja tidak pernah bermain handphone di depanmu,” ujarnya.“Wanita dan laki-laki itu berbeda, hampir 78% wanita itu tak bisa tidak bermain handphone,” ujarku, sambil memasang wajah memelas.Tapi, wajahnya tetap dingin, seakan tidak peduli, seakan tidak mau terjebak dengan wajahku yang memelas.“Maka jadilah 22% wanita yang tidak bermain handphone.”Ia mendekatiku.“Ada game favoritku di handphoneku, please.”Ia tetap menggeleng dengan tegas.“Berikan atau sekarang aku menidurimu lagi di tempat tidur itu.”Aku menatapnya, lalu menaruh baterai handphoneku di tangannya.“Bagus,” ujarnya. Seakan puas aku menuruti kemauannya. Ia kembali duduk di meja dengan baterai handphoneku di
Pattie memberikan aku rok, jadi aku bisa menggunakan baju kaos Darren dengan rok sebagai bawahan. Aku mengikat baju kaosnya, menjadi terlihat pendek.Beruntung Pattie bisa mengerti keadaanku, jika aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jadi dia lebih aktif mengajakku berbicara di bandingkan harus aku yang membuka topik.Rumah Pattie memiliki taman yang lebih luas dari rumah Darren. Aku berjalan kaki tanpa alas kaki di taman rumahnya. Suasana disini juga cukup sejuk, matahari tidak terlalu panas menembus kulitku.Berbeda dengan rumah Darren, aku hanya bisa menikmati taman rumah Darren setiap pagi dan Sore. Itu juga aku harus memastikan agar matahari tidak terlalu panas.Aku duduk di bangku taman dan menikmati angin yang berhembus ke arahku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah orang tua Theo, Ibunya pasti mengajakku memasak untuk makan malam, atau membuat cemilan favorit Theo.Dan saudara-saudara Theo pasti mengajakku untuk bermain, ntah itu PS, menonton film terbaru
Aku duduk di samping Darren. Darren mengabaikanku, dan dia memasukan makanan ke dalam mulutnya.“Leora, akhirnya kau datang,” ujar Pattie, masih dengan senyum lembutnya.“Maaf, mom. Aku ke kamar mandi sebentar tadi.”“Aku bertanya pada Darren tentang bulan madu, kalian bersungguh-sungguh tidak ingin bulan madu?” aku melirik Darren.“Tidak, mom. Aku sibuk, Leora juga sibuk dengan temannya.” ujar Darren.“Aktivitas kalian bisa di hentikan, kalian harus bulan madu, setidaknya jika kalian tak mau bulan madu. Berikan kami harapan jika kalian bisa memberikan seorang penerus keluarga ini.”Darren tersedak. Aku menggeser minumannya lebih dekat ke arahnya.“Bulan madu bahkan tak akan membuat hal itu terjadi. Aku sudah katakan, aku belum siap menikah, jadi kalian harus menerima resiko atas pernikahan yang tak aku inginkan,” Darren menatapku.Lalu ia bangkit dan meninggalkan meja makan. Aku menunduk dan mulai memakan sarapanku. Pattie hanya diam.“Mom,” aku berucap pelan.Ia menatapku dengan sen
“Untuk apa kau menatapku?” ia berucap.“Aku tidak menatapmu, aku menatap pemandangan yang ada di sampingmu.”“Oh. Jadi, kau masih haus?”“Tidak.”“Kalau begitu aku saja yang membeli minum.”Ia masuk ke dalam Drive Thru Mc. Donalds.Aku memalingkan wajahku. Walau Theo kadang menjengkelkan, tapi hanya Darren yang benar-benar menjengkelkan.“Kau yakin tidak mau?” tanya nya.“Tidak,” ketusku.“Aku ingin Mc. Flurry Oreo dua, Pepsi dua, dan French Fries yang besar satu,” aku meliriknya.Rakus juga dia. Tapi walau dia makan banyak, bentuk tubuhnya aku akui cukup atletis. Darren menjalankan mobilnya, ia membayar dan kami menunggu lagi.Darren memajukan mobilnya setelah mobil di depan kami pergi.“Pegang.”Ia memberikan aku dua Mc Flurry, lalu pepsi dan kentang gorengnya. Ia menutup kaca mobil dan menggerakan mobilnya.Ia mengambil satu Mc. Flurry dan memasukan sesendok ice cream ke mulutnya sambil menyupir.“Kau hanya menyuruhku memegang makanan mu ini?” tanyaku.“Kau kan tak mau membeli tadi