Share

BAB 3

Author: SISKA JUNIA
last update Last Updated: 2025-09-03 22:18:16

Aku duduk di samping Darren. Darren mengabaikanku, dan dia memasukan makanan ke dalam mulutnya.

“Leora, akhirnya kau datang,” ujar Pattie, masih dengan senyum lembutnya.

“Maaf, mom. Aku ke kamar mandi sebentar tadi.”

“Aku bertanya pada Darren tentang bulan madu, kalian bersungguh-sungguh tidak ingin bulan madu?” aku melirik Darren.

“Tidak, mom. Aku sibuk, Leora juga sibuk dengan temannya.” ujar Darren.

“Aktivitas kalian bisa di hentikan, kalian harus bulan madu, setidaknya jika kalian tak mau bulan madu. Berikan kami harapan jika kalian bisa memberikan seorang penerus keluarga ini.”

Darren tersedak. Aku menggeser minumannya lebih dekat ke arahnya.

“Bulan madu bahkan tak akan membuat hal itu terjadi. Aku sudah katakan, aku belum siap menikah, jadi kalian harus menerima resiko atas pernikahan yang tak aku inginkan,” Darren menatapku.

Lalu ia bangkit dan meninggalkan meja makan. Aku menunduk dan mulai memakan sarapanku. Pattie hanya diam.

“Mom,” aku berucap pelan.

Ia menatapku dengan senyum tipis.

“Aku akan mencoba berbicara dengan Darren, mungkin kita tak akan bulan madu dalam waktu dekat, tapi mungkin itu terjadi, tapi aku tidak bisa berjanji.”

“Tidak apa, Leora. lebih baik kau sedikit mengalah dengan Darren dan jangan memaksa Darren, aku tidak mau dia melukaimu melalui perkataannya.”

Aku mengangguk. Aku kembali melanjutkan sarapanku, Pattie meninggalkan aku sendirian.

Dia bilang, dia harus kembali ke kamarnya. tapi aku tak yakin dia jujur, sepertinya dia menemui Darren.

Aku harus berhenti membandingkan Darren dan Theo. Kondisi keluarga ini tak sama seperti hangatnya keluarga Theo padaku. Sulit bagiku untuk tidak membandingkan Darren dan Theo , karena sungguh, otakku penuh dengan Theo.

Aku mengakhiri sarapanku, lalu kembali ke kamar.

Saat aku masuk ke kamar, Darren terlihat berbaring di atas tempat tidur dengan handphoneku di tangannya. Aku tidak berkata apapun, mungkin dia berhak mengotak-atik benda pribadiku sekarang.

Seperti kata Pattie, Darren bisa melukaiku dengan kata-katanya.

Aku menutup pintu. lalu duduk di sisi tempat tidur. Ia tidak memperdulikan kehadiranku.

“Darren, kita akan menginap disini?”

“Ya, selama dua hari. Catat di otakmu, setiap bulan kita harus berkunjung ke rumah orang tuaku,” aku mengangguk.

“Apa aku boleh meminjam pakaian? Aku hanya membawa satu dan itu pakaian yang sedang aku pakai.”

Ia melirikku dan mengangguk. Aku kembali berdiri, lalu berjalan ke lemari pakaiannya.

Aku mengambil baju kaos Darren yang berukuran panjang dan bisa terlihat seperti baju terusan. Aku berjalan ke kamar mandi, lalu mengganti pakaianku.

Aku melipat pakaianku dengan rapi, lalu keluar dari kamar mandi. aku meletakan pakaianku di lemari Darren, lalu mendekati tempat tidur.

“Darren, Apa ada yang salah dengan permintaan Mom untuk bulan madu?”

“Tentu. Untuk apa bulan madu, jika aku tidak pernah merasa kita menikah, apa kau menganggapku sebagai suamimu?”

Ia menatapku, menunggu jawabanku.

“Aku menganggapmu, kadang”, ia memutar bola matanya.

“Kata kadang itu harus kau rubah, jika kau benar-benar ingin bulan madu.”

Suasana kembali hening. Darren terlihat memencet tombol di handphoneku dengan kasar, aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Aku lebih memilih berbaring dengan jarak cukup jauh darinya.

Tiba-tiba ia membuka casing handphoneku dan melepas baterainya.

“Apa yang kau lakukan?”

“Sekarang kau sedang menganggap aku suamimu atau tidak?” tanya-nya. Sambil menatap lekat bola mataku.

“Aku menganggapmu,” ujarku.

“Aku tidak suka kau bermain handphone saat sedang bersamaku, tak ada handphone selama dua hari, dan jika kau kesepian, lebih baik kau bersihkan kolam renang.”

Aku menelan ludahku susah payah.

“Dan satu lagi, jika kau ingin menginjak kakiku untuk melihat ekspresiku, aku akan mencekikmu saat itu juga,”

Aku melebarkan mataku. Ia menyimpan handphone dan casingnya di laci, sedangkan baterainya, ia genggam, sepertinya akan ia sembunyikan di tempat yang tidak aku ketahui.

Ia membaca pesanku dan Theo yang membicarakannya.

“Aku minta maaf.”

“Aku lelah karena menyupir, biarkan aku tidur,” aku mengangguk.

Aku memiringkan posisi tidurku dan menatap dinding kamar Darren. Aku kembali kesepian. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan orang lain saat bersamanya, tapi dia membiarkan aku sendirian dan kesepian.

Aku masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Darren.

Aku ingin sekali bertanya, apakah dia menganggapku sebagai istrinya atau tidak. Jika dia menganggapku, kenapa dia tidak bisa sedikit bersikap manis atau mungkin tersenyum padaku.

Aku ingin pergi dari tempat ini dan berlari untuk menemui Theo, aku ingin memeluknya, hanya dia yang bisa membuatku merasa lebih baik.

Hubungan yang tak jelas, yang aku jalani bersama Darren. Justru membuatku merasa menjadi gadis paling menyedihkan, tolol, bodoh, konyol, dan—idiot.

“Leora. kau menangis?”

“Tidak.”

“Lihat aku!” aku menahan posisi tidurku dan meremas semakin kuat selimut yang melapisi tubuhku.

“Apa kau sering menangis saat aku pergi bekerja? Saat aku tertidur?” ia menarik pundakku dengan kasar, agar aku berbalik ke arahnya.

Aku mengusap pipiku dan menggeleng.

“Aku hanya merindukan Ibuku.”

“Sudah ku katakan pada mereka, hubungan ini akan menyakitimu. Mereka saja idiot dan egois.”

Darren mengkerutkan bibirnya.

“Kau tidak bisa bersikap cengeng di depanku, karena aku bukan Theo yang akan mengusap air matamu, kau punya dua tangan yang bisa mengusap air matamu, lakukan itu, karena aku benci dengan orang cengeng.”

“Jika orang lain yang mengusap air mataku, apa kau marah?”

Pertanyaan ini bukan untuk mengecek apa dia memiliki perasaan padaku atau tidak. Aku hanya ingin tahu, jika dia menganggap aku istrinya, dia pasti menjagaku dengan baik walau tanpa cinta.

Dan jika dia tak menganggapku, dia tak akan peduli sama sekali, dan harapan kami bisa bersama bahkan akan mustahil. Hubungan ini aku yakin, hanya akan bertahan kurang dari satu tahun.

“Kau berharap aku marah? Jangan bodoh, Leora,” aku menatapnya.

Lalu kembali membalikan tubuhku. Aku memejamkan mataku perlahan dan mencoba tertidur, walau sulit. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain tidur,

karena ini rumah Pattie.

Jika di rumah Darren, aku masih bisa berkebun dan mencoba belajar memasak. Tapi setiap aku memasak, makanan itu hanya untukku, bukan untuk Darren. karena sudah ada pelayan yang menyiapkan makanan untuk Darren.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Suami Dingin dan Posesif   BAB 7

    “Theo.” ujarku, sambil sedikit berbisik.“Hei. Leora. Akhirnya kau menghubungiku, setelah dua hari handpphonenmu tidak aktif,” aku tersenyum.“Maaf, tapi aku menghubungimu karena aku kesepian. Justin sudah berangkat kerja 2 jam yang lalu, dan—.”“Aku mengerti. Aku bisa Leora, apa kau mau aku menjemputmu?" aku tersenyum lebar.“Aku akan mengirim alamat rumah Darren, aku akan mengganti pakaianku.”“Baiklah, aku juga akan bersiap.”“Bye.”Aku mematikan sambungan telepon, lalu aku segera mengganti bajuku dengan baju kaos dan celana pendek. Aku mencari-cari tas yang cocok, hingga aku memilih warna lime, warna yang sangat terang.Aku memasukan dompet dan handphoneku ke tas.Aku menatap diriku dalam pantulan cermin, aku mengikat rambutku dengan rapi. Lalu menambah pita berwarna kuning di rambutku. Aku mengaplikasikan lipstick berwarna peach, dan parfum.Mataku memilih high heels lalu aku mengambil heels berwarna lime seperti tas-ku.Aku segera keluar dari kamar. Theo akan sampai dengan cepat

  • Pesona Suami Dingin dan Posesif   BAB 6

    Saat makan malam berakhir. Aku segera ke kamar untuk mengeluarkan sampah yang ada di kamar Darren. Saat aku ingin keluar dari kamar, Darren yang masuk ke kamar. Ia menatapku.“Kau ingin susu coklat atau putih?” tanyaku.Ia menggigit bibirnya. Aku memandangnya, mencoba mencerna alasan kenapa ia menggigit bibirnya. Aku membahas susu yang akan ia minum, bukan susu yang lain.“Coklat,” jawabnya, setelah berpikir.Aku mengangguk. Aku segera keluar dari kamarnya dengan sampah dan piring serta gelas kotor. Pelayan membantuku membawa semua sampah ini.Lalu aku segera membuatkan susu untuk Darren, sebelum dia mengomel dan mengataiku dengan kalimat yang menyakitkan.Aku membawa segelas susu ke kamar, lalu aku menutup pintu dan memandang Darren yang tengah tiduran sambil menatap langit-langit kamar. Sayangnya, disini tidak ada TV.“Ini susumu,” ujarku.Aku meletakan susu-nya di meja di sampingnya. Aku berjalan ke kamar mandi, aku perlu mandi, aku tidak sempat membersihkan diri tadi.“Kau mau kem

  • Pesona Suami Dingin dan Posesif   BAB 5

    Aku terdiam memandang baterai handphoneku, jadi dia menyembunyikan di sela-sela antara kepala tempat tidur dan tempat tidur.“Hei. Kemarikan benda sialan itu,” ujarnya.“Aku tidak bisa tidak bermain handphone, please. Biarkan aku memegang handphone-ku, aku tidak akan menelpon Theo di depanmu.”Ia menggeleng.“Aku saja tidak pernah bermain handphone di depanmu,” ujarnya.“Wanita dan laki-laki itu berbeda, hampir 78% wanita itu tak bisa tidak bermain handphone,” ujarku, sambil memasang wajah memelas.Tapi, wajahnya tetap dingin, seakan tidak peduli, seakan tidak mau terjebak dengan wajahku yang memelas.“Maka jadilah 22% wanita yang tidak bermain handphone.”Ia mendekatiku.“Ada game favoritku di handphoneku, please.”Ia tetap menggeleng dengan tegas.“Berikan atau sekarang aku menidurimu lagi di tempat tidur itu.”Aku menatapnya, lalu menaruh baterai handphoneku di tangannya.“Bagus,” ujarnya. Seakan puas aku menuruti kemauannya. Ia kembali duduk di meja dengan baterai handphoneku di

  • Pesona Suami Dingin dan Posesif   BAB 4

    Pattie memberikan aku rok, jadi aku bisa menggunakan baju kaos Darren dengan rok sebagai bawahan. Aku mengikat baju kaosnya, menjadi terlihat pendek.Beruntung Pattie bisa mengerti keadaanku, jika aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jadi dia lebih aktif mengajakku berbicara di bandingkan harus aku yang membuka topik.Rumah Pattie memiliki taman yang lebih luas dari rumah Darren. Aku berjalan kaki tanpa alas kaki di taman rumahnya. Suasana disini juga cukup sejuk, matahari tidak terlalu panas menembus kulitku.Berbeda dengan rumah Darren, aku hanya bisa menikmati taman rumah Darren setiap pagi dan Sore. Itu juga aku harus memastikan agar matahari tidak terlalu panas.Aku duduk di bangku taman dan menikmati angin yang berhembus ke arahku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah orang tua Theo, Ibunya pasti mengajakku memasak untuk makan malam, atau membuat cemilan favorit Theo.Dan saudara-saudara Theo pasti mengajakku untuk bermain, ntah itu PS, menonton film terbaru

  • Pesona Suami Dingin dan Posesif   BAB 3

    Aku duduk di samping Darren. Darren mengabaikanku, dan dia memasukan makanan ke dalam mulutnya.“Leora, akhirnya kau datang,” ujar Pattie, masih dengan senyum lembutnya.“Maaf, mom. Aku ke kamar mandi sebentar tadi.”“Aku bertanya pada Darren tentang bulan madu, kalian bersungguh-sungguh tidak ingin bulan madu?” aku melirik Darren.“Tidak, mom. Aku sibuk, Leora juga sibuk dengan temannya.” ujar Darren.“Aktivitas kalian bisa di hentikan, kalian harus bulan madu, setidaknya jika kalian tak mau bulan madu. Berikan kami harapan jika kalian bisa memberikan seorang penerus keluarga ini.”Darren tersedak. Aku menggeser minumannya lebih dekat ke arahnya.“Bulan madu bahkan tak akan membuat hal itu terjadi. Aku sudah katakan, aku belum siap menikah, jadi kalian harus menerima resiko atas pernikahan yang tak aku inginkan,” Darren menatapku.Lalu ia bangkit dan meninggalkan meja makan. Aku menunduk dan mulai memakan sarapanku. Pattie hanya diam.“Mom,” aku berucap pelan.Ia menatapku dengan sen

  • Pesona Suami Dingin dan Posesif   BAB 2

    “Untuk apa kau menatapku?” ia berucap.“Aku tidak menatapmu, aku menatap pemandangan yang ada di sampingmu.”“Oh. Jadi, kau masih haus?”“Tidak.”“Kalau begitu aku saja yang membeli minum.”Ia masuk ke dalam Drive Thru Mc. Donalds.Aku memalingkan wajahku. Walau Theo kadang menjengkelkan, tapi hanya Darren yang benar-benar menjengkelkan.“Kau yakin tidak mau?” tanya nya.“Tidak,” ketusku.“Aku ingin Mc. Flurry Oreo dua, Pepsi dua, dan French Fries yang besar satu,” aku meliriknya.Rakus juga dia. Tapi walau dia makan banyak, bentuk tubuhnya aku akui cukup atletis. Darren menjalankan mobilnya, ia membayar dan kami menunggu lagi.Darren memajukan mobilnya setelah mobil di depan kami pergi.“Pegang.”Ia memberikan aku dua Mc Flurry, lalu pepsi dan kentang gorengnya. Ia menutup kaca mobil dan menggerakan mobilnya.Ia mengambil satu Mc. Flurry dan memasukan sesendok ice cream ke mulutnya sambil menyupir.“Kau hanya menyuruhku memegang makanan mu ini?” tanyaku.“Kau kan tak mau membeli tadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status