Pattie memberikan aku rok, jadi aku bisa menggunakan baju kaos Darren dengan rok sebagai bawahan. Aku mengikat baju kaosnya, menjadi terlihat pendek.
Beruntung Pattie bisa mengerti keadaanku, jika aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jadi dia lebih aktif mengajakku berbicara di bandingkan harus aku yang membuka topik.
Rumah Pattie memiliki taman yang lebih luas dari rumah Darren. Aku berjalan kaki tanpa alas kaki di taman rumahnya. Suasana disini juga cukup sejuk, matahari tidak terlalu panas menembus kulitku.
Berbeda dengan rumah Darren, aku hanya bisa menikmati taman rumah Darren setiap pagi dan Sore. Itu juga aku harus memastikan agar matahari tidak terlalu panas.
Aku duduk di bangku taman dan menikmati angin yang berhembus ke arahku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah orang tua Theo, Ibunya pasti mengajakku memasak untuk makan malam, atau membuat cemilan favorit Theo.
Dan saudara-saudara Theo pasti mengajakku untuk bermain, ntah itu PS, menonton film terbaru dari CD bajakan atau hal lainnya. Sehingga aku tidak bosan, dan benar-benar akrab dengan keluarga Theo, sangat akrab dan seperti di rumah sendiri.
Aku memeluk tubuhku sendiri. Aku benar-benar merindukan Theo hingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya, aku merindukannya. Aku ingin bisa menyentuhnya dan memeluknya.
“Leora.”
“Mom,” Pattie duduk di sampingku.
“Menyenangkan berada disini, bukan? aku juga suka tempat ini.”
Aku mengangguk. Pattie tersenyum, matanya menatapku. Kuharap dia tak merasakan kecanggungan yang sedang aku rasakan.
“Bagaimana hubunganmu dengan Darren? aku harap kalian semakin dekat.”
“Hubungan kami baik-baik saja, Mom. Justin menerima bulan madu, tapi katanya ia sedang mencari waktu yang tepat, aku akan terus mendesaknya,” aku tersenyum.
Pattie mengangguk. kecanggungan itu kembali terasa, Pattie hanya diam dan menatap pergerakan pohon yang bergerak karena angin. Angin mulai berhembus lebih kencang.
“Leora, kembali ke kamar,” ujar Darren.
“Ada apa?”, aku menatap Darren.
Ia tiba-tiba muncul hanya dengan celana pendek dan tanpa baju. Ia melirik Pattie sesaat, lalu kembali menatapku. Aku meninggalkan Darren yang tertidur tadi, sekitar setengah jam yang lalu.
“Kembali saja ke kamar, jangan banyak bertanya,” aku mengangguk.
“Mom aku ke kamar dulu”, Pattie mengangguk.
Saat aku melewati Darren, Darren terdengar mendesah dengan keras. Aku meninggalkan mereka dan masuk ke dalam.
Saat aku berbalik, aku melihat Darren tengah berbicara dengan Pattie, dia menyuruhku ke kamar bukan karena ada kepentingan denganku, tapi dengan Ibunya.
Aku segera menuju kamar, lalu menutup pintu. Aku merasa seperti orang tolol jika seperti ini, handphoneku sudah Darren sembunyikan secara terpisah dengan isinya.
Aku bingung ingin melakukan apa karena semua yang ada disini di kerjakan oleh pelayan. TV hanya ada di Ruang tengah, di setiap kamar tidak ada.
Lalu apa yang bisa aku lakukan?
Membersihkan kolam renang?
Aku mendekati deretan buku yang ada di rak buku. Kebanyakan Novel, tapi beberapa ada buku tentang pengetahuan secara umum. Aku tidak suka membaca, aku bukan orang yang pintar.
Justru Theo yang pintar. Shit. Semakin aku mengingatnya, aku semakin ingin lari dari rumah ini dan bertemu Theo, sungguh.
Ini masih jam 3 sore. Waktuku terlalu banyak jika aku harus tidur lagi. Pintu tiba-tiba terbuka, Theo muncul dan ia segera menutup pintu. Tangannya membawa pepsi yang kami beli pagi tadi dan sisa kentang tadi.
“Kau mau?” aku mengangguk.
Karena aku sungguh sedang ingin minum pepsi, bukan kentang gorengnya. Ia memberikan aku semua yang ada di tangannya, lalu ia naik ke atas tempat tidur dan membuka laptop yang sudah terbaring di atas selimut sejak aku masuk ke kamar ini.
“Matikan lampu kamarnya,” aku mengangguk.
aku mematikan lampu kamar Darren, kamar ini terlihat gelap dan hanya ada cahaya dari laptop yang sedang menyala. Aku mendekatinya dan duduk di atas tempat tidur.
“Ini laptop temanku, menurutmu film apa yang bagus? Porno?” aku membelalakan mataku ketika ia menatapku.
Ia menggigit lagi bagian dalam mulutnya, lalu kembali menatap laptop. Aku meminum pepsinya dan memperhatikannya yang sedang berkutat dengan laptop. Satu hal yang aku tahu, Darren adalah tipikal orang yang sangat fokus dan teliti, apa yang ia lakukan, selalu ia lakukan dengan serius.
“Minumku,” aku menyodorkan pepsinya.
Astaga. Aku pikir dia sudah memberikan seutuhnya padaku, hingga pipetnya aku gigit. Ia memandang pipetnya beberapa saat, lalu memasukannya ke dalam mulutnya. Bersyukur dia tidak berkomentar.
Ia menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tidur. Aku semakin mendekat, aku ingin tahu apa yang ia tonton. Ternyata film The Legend Of Hercules.
“Boleh aku ikut menonton?”
“tidak,” ketusnya.
“Tentu boleh, kau pikir untuk apa aku menyuruhmu kesini?” aku tersenyum kecil.
Lalu mendekatinya, aku duduk di sampingnya dengan jarak 2 jengkal tanganku yang kecil. Aku memangku bantal dan duduk bersila.
Aku menganga melihat seorang istri Raja yang bercinta dengan Dewa, tapi Dewa itu tidak berwujud, dan wanita itu terlihat tengah bercinta dengan Angin. Angin berhembus di sekelilingnya selimut yang ia pakai mengembang dan terlihat seperti ada seseorang di dalamnya, padahal tidak ada.
Darren mempercepat filmnya. Aku hanya meliriknya tanpa berkomentar, ia juga melewati pertarungan Hercules saat Hercules menjadi budak. Aku tidak tahu apa yang ia cari di film ini.
“Dia memiliki tubuh yang bagus,” ujarku.
Hercules terlihat semakin panas saat ia berada di air terjun. Darren terlihat mendengus, dan ia mempercepat sedikit lagi film itu. jika seperti ini, sia-sia aku menonton.
“Tubuh wanita ini baru bagus”, ia memuji gadis yang di sukai Hercules.
“Memang, jika tidak bagus, tidak mungkin dia bermain film di film ini,” ujarku.
Aku menggigit bibirku ketika adegan mulai panas. Apakaha Zaman dulu memang gila? Bercinta di hutan? Kadanga ku berpikir, dimana Hercules mendapatkan kapas untuk alas tidur mereka.
Sungguh. Film ini membuat orang berfantasi liar secara tidak masuk akal.
“Leora, kau tau, jika kau memiliki kecantikan seperti gadis itu, aku bisa menciummu setiap hari.”
“Oh ya? jika aku memiliki kecantikan seperti gadis itu, aku tidak akan mau di cium olehmu,” aku tertawa kecil.
Darren tiba-tiba merengkuh leherku.
“Apa kau bilang?”
“Akukan bercanda”, aku mengkerutkan bibirku.
Darren melepaskan tangannya di leherku, lalu ia kembali menyedot pepsinya. Lalu ia menaruh pepsinya di atas bantal yang aku pangku.
Aku meminum pepsinya. Ia melirikku dari sudut matanya, tapi tidak berkomentar.
“Film ini tidak seru, lebih baik nonton film porno,” aku membelalakan mataku lagi.
Theo juga sering seperti Darren, tapi dia tidak mengajakku nonton film porno. Dia biasa nonton sendiri, kadang menonton sambil menelponku. Aku tau, laki-laki tak akan bisa jauh dari aktivitas seperti ini. Darren memegang tanganku saat aku ingin menjauh.
“Temani aku.”
“Bukankah menonton sendiri lebih menyenangkan?”
“Jika menyenangkan menonton sendiri, aku tidak akan menyuruhmu menemaniku. Lagipula kau bosankan? Kau memilih menemaniku atau menguras kolam renang?”
Aku menunduk dan memilih menurut. Ia segera memilih-milih film di laptop itu dan tetap mencengkram pergelangan tanganku.
Aku tidak akan pergi jika dia tidak mengizinkanku, bukankah aku selalu menurut atas apa yang ia inginkan?
“Theo.” ujarku, sambil sedikit berbisik.“Hei. Leora. Akhirnya kau menghubungiku, setelah dua hari handpphonenmu tidak aktif,” aku tersenyum.“Maaf, tapi aku menghubungimu karena aku kesepian. Justin sudah berangkat kerja 2 jam yang lalu, dan—.”“Aku mengerti. Aku bisa Leora, apa kau mau aku menjemputmu?" aku tersenyum lebar.“Aku akan mengirim alamat rumah Darren, aku akan mengganti pakaianku.”“Baiklah, aku juga akan bersiap.”“Bye.”Aku mematikan sambungan telepon, lalu aku segera mengganti bajuku dengan baju kaos dan celana pendek. Aku mencari-cari tas yang cocok, hingga aku memilih warna lime, warna yang sangat terang.Aku memasukan dompet dan handphoneku ke tas.Aku menatap diriku dalam pantulan cermin, aku mengikat rambutku dengan rapi. Lalu menambah pita berwarna kuning di rambutku. Aku mengaplikasikan lipstick berwarna peach, dan parfum.Mataku memilih high heels lalu aku mengambil heels berwarna lime seperti tas-ku.Aku segera keluar dari kamar. Theo akan sampai dengan cepat
Saat makan malam berakhir. Aku segera ke kamar untuk mengeluarkan sampah yang ada di kamar Darren. Saat aku ingin keluar dari kamar, Darren yang masuk ke kamar. Ia menatapku.“Kau ingin susu coklat atau putih?” tanyaku.Ia menggigit bibirnya. Aku memandangnya, mencoba mencerna alasan kenapa ia menggigit bibirnya. Aku membahas susu yang akan ia minum, bukan susu yang lain.“Coklat,” jawabnya, setelah berpikir.Aku mengangguk. Aku segera keluar dari kamarnya dengan sampah dan piring serta gelas kotor. Pelayan membantuku membawa semua sampah ini.Lalu aku segera membuatkan susu untuk Darren, sebelum dia mengomel dan mengataiku dengan kalimat yang menyakitkan.Aku membawa segelas susu ke kamar, lalu aku menutup pintu dan memandang Darren yang tengah tiduran sambil menatap langit-langit kamar. Sayangnya, disini tidak ada TV.“Ini susumu,” ujarku.Aku meletakan susu-nya di meja di sampingnya. Aku berjalan ke kamar mandi, aku perlu mandi, aku tidak sempat membersihkan diri tadi.“Kau mau kem
Aku terdiam memandang baterai handphoneku, jadi dia menyembunyikan di sela-sela antara kepala tempat tidur dan tempat tidur.“Hei. Kemarikan benda sialan itu,” ujarnya.“Aku tidak bisa tidak bermain handphone, please. Biarkan aku memegang handphone-ku, aku tidak akan menelpon Theo di depanmu.”Ia menggeleng.“Aku saja tidak pernah bermain handphone di depanmu,” ujarnya.“Wanita dan laki-laki itu berbeda, hampir 78% wanita itu tak bisa tidak bermain handphone,” ujarku, sambil memasang wajah memelas.Tapi, wajahnya tetap dingin, seakan tidak peduli, seakan tidak mau terjebak dengan wajahku yang memelas.“Maka jadilah 22% wanita yang tidak bermain handphone.”Ia mendekatiku.“Ada game favoritku di handphoneku, please.”Ia tetap menggeleng dengan tegas.“Berikan atau sekarang aku menidurimu lagi di tempat tidur itu.”Aku menatapnya, lalu menaruh baterai handphoneku di tangannya.“Bagus,” ujarnya. Seakan puas aku menuruti kemauannya. Ia kembali duduk di meja dengan baterai handphoneku di
Pattie memberikan aku rok, jadi aku bisa menggunakan baju kaos Darren dengan rok sebagai bawahan. Aku mengikat baju kaosnya, menjadi terlihat pendek.Beruntung Pattie bisa mengerti keadaanku, jika aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jadi dia lebih aktif mengajakku berbicara di bandingkan harus aku yang membuka topik.Rumah Pattie memiliki taman yang lebih luas dari rumah Darren. Aku berjalan kaki tanpa alas kaki di taman rumahnya. Suasana disini juga cukup sejuk, matahari tidak terlalu panas menembus kulitku.Berbeda dengan rumah Darren, aku hanya bisa menikmati taman rumah Darren setiap pagi dan Sore. Itu juga aku harus memastikan agar matahari tidak terlalu panas.Aku duduk di bangku taman dan menikmati angin yang berhembus ke arahku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah orang tua Theo, Ibunya pasti mengajakku memasak untuk makan malam, atau membuat cemilan favorit Theo.Dan saudara-saudara Theo pasti mengajakku untuk bermain, ntah itu PS, menonton film terbaru
Aku duduk di samping Darren. Darren mengabaikanku, dan dia memasukan makanan ke dalam mulutnya.“Leora, akhirnya kau datang,” ujar Pattie, masih dengan senyum lembutnya.“Maaf, mom. Aku ke kamar mandi sebentar tadi.”“Aku bertanya pada Darren tentang bulan madu, kalian bersungguh-sungguh tidak ingin bulan madu?” aku melirik Darren.“Tidak, mom. Aku sibuk, Leora juga sibuk dengan temannya.” ujar Darren.“Aktivitas kalian bisa di hentikan, kalian harus bulan madu, setidaknya jika kalian tak mau bulan madu. Berikan kami harapan jika kalian bisa memberikan seorang penerus keluarga ini.”Darren tersedak. Aku menggeser minumannya lebih dekat ke arahnya.“Bulan madu bahkan tak akan membuat hal itu terjadi. Aku sudah katakan, aku belum siap menikah, jadi kalian harus menerima resiko atas pernikahan yang tak aku inginkan,” Darren menatapku.Lalu ia bangkit dan meninggalkan meja makan. Aku menunduk dan mulai memakan sarapanku. Pattie hanya diam.“Mom,” aku berucap pelan.Ia menatapku dengan sen
“Untuk apa kau menatapku?” ia berucap.“Aku tidak menatapmu, aku menatap pemandangan yang ada di sampingmu.”“Oh. Jadi, kau masih haus?”“Tidak.”“Kalau begitu aku saja yang membeli minum.”Ia masuk ke dalam Drive Thru Mc. Donalds.Aku memalingkan wajahku. Walau Theo kadang menjengkelkan, tapi hanya Darren yang benar-benar menjengkelkan.“Kau yakin tidak mau?” tanya nya.“Tidak,” ketusku.“Aku ingin Mc. Flurry Oreo dua, Pepsi dua, dan French Fries yang besar satu,” aku meliriknya.Rakus juga dia. Tapi walau dia makan banyak, bentuk tubuhnya aku akui cukup atletis. Darren menjalankan mobilnya, ia membayar dan kami menunggu lagi.Darren memajukan mobilnya setelah mobil di depan kami pergi.“Pegang.”Ia memberikan aku dua Mc Flurry, lalu pepsi dan kentang gorengnya. Ia menutup kaca mobil dan menggerakan mobilnya.Ia mengambil satu Mc. Flurry dan memasukan sesendok ice cream ke mulutnya sambil menyupir.“Kau hanya menyuruhku memegang makanan mu ini?” tanyaku.“Kau kan tak mau membeli tadi