LOGINAku terdiam memandang baterai handphoneku, jadi dia menyembunyikan di sela-sela antara kepala tempat tidur dan tempat tidur.
“Hei. Kemarikan benda sialan itu,” ujarnya.
“Aku tidak bisa tidak bermain handphone, please. Biarkan aku memegang handphone-ku, aku tidak akan menelpon Theo di depanmu.”
Ia menggeleng.
“Aku saja tidak pernah bermain handphone di depanmu,” ujarnya.
“Wanita dan laki-laki itu berbeda, hampir 78% wanita itu tak bisa tidak bermain handphone,” ujarku, sambil memasang wajah memelas.
Tapi, wajahnya tetap dingin, seakan tidak peduli, seakan tidak mau terjebak dengan wajahku yang memelas.
“Maka jadilah 22% wanita yang tidak bermain handphone.”
Ia mendekatiku.
“Ada game favoritku di handphoneku, please.”
Ia tetap menggeleng dengan tegas.
“Berikan atau sekarang aku menidurimu lagi di tempat tidur itu.”
Aku menatapnya, lalu menaruh baterai handphoneku di tangannya.
“Bagus,” ujarnya. Seakan puas aku menuruti kemauannya.
Ia kembali duduk di meja dengan baterai handphoneku di tangannya. Aku melanjutkan memasang pillow case baru pada bantal di tempat tidur.
Setelah selesai, aku berlutut di lantai, dan melihat ke bawah tempat tidur. Astaga. Banyak sekali sampah di bawah tempat tidurnya, dan tak ada tanda-tanda celana dalamku di bawah tempat tidurnya.
Sialan. Kemana dia membawa celana dalamku?
Setelah sarapan tadi, tiba-tiba saja ia menarikku ke kamar. Kami melakukan hal yang tidak pernah kami lakukan. Hubungan suami-istri. Tidak bisa.
Itu sangat aneh bagiku. Bahkan saat ini, kami terasa lebih canggung lagi daripada sebelumnya.
Aku kembali berdiri lalu memandang Darren.
“Kemana aku bisa membawa benda itu?”
Aku melirik sheet kotornya.
“Berikan saja pada Mom, siapa tau dia senang.”
Ia tertawa kecil. Alis kananku melengkung. Dia tertawa? Ekspresinya kembali datar begitu ia sadar aku tengah menatapnya.
Aku tau, dia suka mengerjaiku. Dia suka mempermalukanku. Dia suka melihatku kesal padanya.
“Taruh saja di kamar mandi, aku akan membuangnya nanti.”
Aku mengangguk, lalu membawanya ke kamar mandi. Saat aku keluar, ia melempar sesuatu ke arahku.
“Aku tidak suka gadis jorok, jadi jangan mencari celana dalammu, gunakan itu,” aku menatap celana dalam berwarna merah yang ia lempar, lalu menatapnya.
“Ini milik siapa?” tanyaku. Memastikan.
Tidak mungkin aku menggunakan celana dalam bekas yang mungkin milih wanita yang pernah ia bawa kemari. Sangat tidak bersih. Menjijikan.
“Mantan kekasihku, itu tertinggal, tapi itu baru.”
Aku melebarkan mataku. Dia memberiku celana dalam mantan kekasihnya?.
“Aku bercanda. Pelayan baru saja membelikannya, aku menyuruhnya membeli, dan ini pakaian baru,” ia melempar pakaian itu ke arahku.
“Terima kasih.”
“Aku menunggumu di bawah, makan malam sudah siap.”
“Kau tidak mandi?” tanyaku.
“Untuk apa? kau pikir ini sudah selesai?,” tanyanya.
Ia memutar bola matanya, lalu keluar. aku terdiam beberapa saat. Jadi ini belum selesai? Dia akan meniduriku lagi? Ini maksud perkataannya jika aku sia-sia mengganti sheet tempat tidurnya?
Aku menggelengkan kepalaku dan segera memakai celana dalam yang ia berikan. Aku menatap diriku di cermin lalu merapikan rambutku, ada bekas merah di belakang telingaku yang terlanjur Darren buat sebelum aku mencegahnya.
Aku segera menggunakan rambutku untuk menutupinya. Aku membenarkan pakaianku yang sedikit berantakan, setelah terlihat tidak akan mencurigakan.
Aku segera keluar dari kamar. Aku duduk di samping Darren, ada Jeremy disini. Dia sudah pulang bekerja.
Jeremy adalah Ayah Justin. Dia sangat tampan, walau umurnya sudah menyentuh kepala 4. Ia sangat berwibawa, dengan aura billionere.
“Kau lama sekali, senang membuat orang menunggu, ya?” ujar Darren.
“Maaf,” ujarku.
Kami mulai makan malam.
Meja makan sangat hening, begini rasanya jadi Darren, jika menjadi anak satu-satunya. Berbeda dengan Theo yang banyak saudara, meja makan terasa begitu kacau dan menyenangkan.
“Aku dengar, ulang tahunmu semakin dekat ya, Leora?” aku menatap Jeremy, lalu mengangguk.
“Kenapa tidak memberitahuku?” Darren berucap, aku menatapnya.
“Untuk apa memberitahumu?” Darren memutar bola matanya, lalu mengacuhkan pertanyaanku.
“Ulang tahun yang ke-21 ingin kau rayakan bersama kami atau dengan keluargamu, Leora?” tanya Jeremy.
Keluargaku, pasti. Tapi ini sudah menjadi keluargaku, dan jika aku bilang aku ingin dengan keluargaku, Jeremy pasti merasa jika aku tidak menyukainya dan keluarganya.
Aku menggigit bibirku.
“Bersama kalian,” dustaku.
Aku tersenyum. Biasanya saat aku ulang tahun, Theo selalu memberikan kejutan dan merencanakan itu dengan keluarganya.
Sedangkan keluargaku, mereka tak pernah setuju hubunganku dengan Theo jadi Theo menyiapkannya dengan keluarganya dan teman-temanku.
“Jika sudah selesai makan, bawa sampah di kamar keluar, lalu buatkan aku susu,” ujar Darren.
“Darren, kau bisa meminta pelayan,” ujar Pattie.
“Aku tidak suka pelayan masuk ke kamarku, lagipula apa gunanya Leora, jika ia tak mau membersihkan kamar suaminya, ya kan?” aku mengangguk ke arah Darren.
“Apalagi ada sesuatu di kamar mandiku, Leora pasti tak mau seseorang
masuk kamar mandiku, ya kan?” aku menatap Darren.
“Aku bisa membersihkan kamar Darren, Mom. Sampahnya hanya sedikit,” ujarku.
“Memangnya ada apa di kamar mandimu?” tanya Jeremy. Aku melotot.
Darren menatapku, saat ia ingin membuka mulutnya. Aku segera memegang lengannya.
“Banyak sampah, Dad. Bahkan celana dalam kotornya ada disana, jadi tak enak jika ada pelayan yang melihatnya, aku bisa membersihkannya.”
“Celana dalam ya?” tanyanya dengan suara rendah.
Aku menatapnya dengan memelas. Dia tidak bisa memberitahukan kepada orang tuanya tentang hal pribadi kami, itu rahasia pribadi, antara aku dan dia. Darren kembali makan.
Baguslah dia tidak bertingkah iseng lagi.
“Leora.”Aku menatap Ibuku dan James yang berlari menuruni anak tangga. Aku memutar bola mataku, lalu menarik Darren.Aku memeluk tubuh Ibuku sebentar, lalu berjalan ke kamar.“Leora, aku tau kau marah padaku, aku minta maaf.”James berucap di belakangku. Aku mengabaikannya, lalu masuk ke dalam kamar. Darren menutup pintu dan menguncinya.“Apa dia sudah mengerti kenapa aku membenci kekasihnya?”“Mungkin, setelah kau menamparku.”Darren melepas pakaiannya dan memasukannya ke keranjang kotor.“Maaf, aku tidak sengaja.”“Aku tau.”Darren menutup lemari. ia menarik nafas, lalu berbaring di atas tempat tidur.“Aku sangat lelah.”“Lelah? Padaku?”“Hanya lelah, tidak tahu akan apa.”Aku menatap Darren. Lalu memeluk lehernya, Darren memeluk punggungku dengan lembut. aku menc
Aku masih terperangkap dalam pelukan Darren. ia masih tertidur, dan tangannya dengan erat memeluk tubuhku.Aku tau aku melukainya, aku sangat melukainya dalam waktu 2 bulan terakhir ini.“Hei, selamat pagi.”Darren mencium keningku dengan lembut. Aku tersenyum tipis.“Selamat pagi.”“Apa kau ingin sesuatu pagi ini?”Aku menggeleng. Aku tidak menginginkan apapun, sekalipus aku harusmenahannya jika aku butuh sesuatu. Aku tidak peduli jika aku harus mual sepanjang hari, anak ini, dia membuatku menjadi orang jahat, jahat pada suamiku sendiri.“Bagaimana jika kita mengunjungi Dokter France?”“Terserah padamu,” ujarku dengan pelan.“Hei, bersemangatlah. Kau terlihat pucat dan sedih.”Darren melepaskan pelukannya, lalu menyangga kepalaku dengan lengannya.“Aku baik-baik saja,” Darren hanya mengangguk tanpa ber
***James menjauhiku hari ini setelah pagi tadi aku melukai Lucyana.Jika kami ada dalam satu tempat yang sama, dia akan memutuskan untuk pergi dan tidak mau menegurku. Andai dia tau jika kekasihnya itu mantan suamiku dan pernah mengirim pesan menggoda ke suamiku, dia pasti tak akan semarah ini.Aku duduk di sofa sambil meminum teh-ku dan membaca majalah. Aku sudah sangat lelah tiduran di tempat tidur.Aku memandang layar handphoneku yang menyala.Saat aku ingin mengambilnya, seseorang terlebih dahulu mengambilnya.“Alice mengirim pesan, katanya dia ingin hang out, besok,” ujar Darren.Ia memeriksa handphoneku dan duduk di sofa single. Ia mengangkat kakinya layaknya boss. Ups, aku lupa, dia kan memang boss.“Lalu Zayn mengirim pesan, katanya bajumu sudah bisa di ambil, dan harus besok, karena dia akan ke New York untuk New York Fashion week.”“Darren
Aku mendengus secara tidak sengaja begitu melihat Lucyana di meja makan pagi ini.Darren menatapku, tapi aku tetap terpaku menatap meja makan. Menjengkelkan. Kenapa dia harus disini? andai aku bisa mengatakan pada mereka jika aku tidak suka dengan Lucyana.“Selamat pagi,” ujar Darren.Aku duduk di kursiku dan Darren di sampingku. Zeke menyenggol siku-ku.“Kenapa kau cemberut?” aku menggidikan bahuku.“Jadi, kalian sudah berpacaran cukup lama selama di Jerman?” tanya ayahku pada James dan Lucyana.“Ya, kami berpacaran tidak lama, kami baru memulainya, baru selama 1 tahun,” jawab Lucyana dengan senyum sok manis dan tak berdosanya.James tersenyum, ia mengusap punggung tangan Lucyana. Andai aku boleh berjalan ke arah mereka, lalu menancapkan pisau garpu di punggung tangan gadis sialan itu.“Jadi, disini kau tinggal dengan siapa Lucyana?” tanya Ibuku.
***Aku menggunakan Jumpsuit berwarna kuning.Kami sudah bersiap untuk makan malam, walaupun cukup melelahkan setelah perang yang kami lakukan tadi dan baru ber-akhir setengah jam yang lalu.Darren memelukku dan membiarkan aku duduk di atas pangkuannya.“Aku sangat melukaimu tadi, Mommy.”“Tidak, aku sangat menikmatinya, Daddy. percayalah. Itu sangat liar, dan aku suka.”Aku tersenyum. Darren menurunkan lengan pakaianku, menatap dadaku yang terbungkus bra. Ia menatap bekas luka disana, gigitan yang meninggalkan bekas merah, dan kissmark. Tapi sungguh, ini adalah keinginanku.Ia mengecup kulitku dengan lembut. lalu ia membenarkan pakaianku.“Jangan berbohong padaku.”“Oh sayang, aku tidak berbohong. Kita bahkan menghabiskan semangkuk cream, dan rasanya aku kenyang sekarang.”Darren mengusap pipiku.“Terima kasih hadiahnya.&rd
Aku keluar dari rumah sakit.Darren merangkul bahuku dengan lemmbut, melapisi tubuhku dengan Jacket kulitnya.Paparazzi mendekat, tapi Darren mengabaikannya dan merangkulku lebih erat lagi.Ia membuka pintu, lalu membiarkan aku masuk dan dia menyusulnya di pintu lain.Darren menggerakan mobilnya dengan hati-hati, lalu melaju cepat begitu jauh dari keramaian. Darren meremas tanganku dengan lembut. lalu menariknya dan mencium punggung tanganku.“Aku cinta padamu, leora.”“Aku cinta padamu, sayang,” balasku.Kami sampai. Mobilnya berhenti di beranda rumah, dia membiarkan kuncinya tergantung di lubang kunci, agar satpam bisa memarkirkan mobilnya di garasi.Kami keluar dari mobil, Darren merangkulku lagi dengan lembut.Saat kami ingin membuka pintu. pintu terbuka lebih dahulu, Jeremy muncul dan ia meraih kerah baju Darren, hingga Darren terdorong ke belakang.“Dad,” uja







