Khanza masih kesal dengan suaminya. Namun, demi rasa sayang pada buah hati yang baru ia lahirkan, rasanya tidak tega harus merusak suasana.
Dengan sabar Khanza menggendong bayinya, mesti luka di perutnya masih terasa perih. Berulang kali pula Keenan membantunya mengangkat sang bayi dekat ke Khanza, semua untuk mempermudah Khanza.
"Anak kita haus. Disusuin dulu ya, sebelum dibawa suster ke ruangan lagi," kata Keenan lembut seraya membelai kepala bayi yang tengah menangis dalam pegangan Khanza.
"Iya, aku tahu kok, Mas," sahut Khanza masih sewot.
"Iya, maaf ya." Keenan tampak lesu.
Sebenarnya Khanza sudah iba dan tidak tega memusuhi Keenan terus, tapi kalau ingat kelakuan Keenan yang menghilang di saat tergenting dalam hidupnya, api di hatinya masih membara. Suami macam apa yang tega meninggalkan istri di saat hamil tua sampai hampir meregang nyawa di jalanan bersama janin yang masih di dalam rahim?
"Za, aku minta
Sudah seminggu setelah Khanza dan bayinya pulang dari rumah sakit. Berangsur-angsur kondisi bayi Altan membaik. Berat badannya yang semula hanya 2,5 kilogram sekarang sudah 2,9 kilogram.Kehidupan Khanza dan Keenan pun berubah seketika. Rumah mereka selalu diisi dengan suara tangisan bayi. Keenan sering pulang kerja lebih cepat demi membantu Khanza mengasuh bayi. Ada babysitter yang membantu, tapi untuk menyusui dan menidurkan tetap harus dilakukan Khanza."Diam dong, Sayang. Jangan nangis lagi ya," bujuk Khanza lembut pada bayi Altan yang tidak berhenti menangis."Altan kenapa, Za? Kok nangis terus dari tadi? Apa masih haus?" Keenan tampak khawatir dan mengambil bayi dari sang istri lalu menimangnya. "Disusuin aja lagi, Za." Keenan menyerahkan bayinya lagi pada Khanza.Khanza menggendong bayi Altan dengan hati-hati. Bayinya malah semakin melengking tangisannya. Khanza sampai kelimpungan dan sudah sangat letih."Aku ng
Hai, teman-teman. Sebelum baca kelanjutan kisah ini, mohon support-nya ya. Vote dan share. Makasih 🙏🏻Mila berjalan perlahan keluar dari toko sore itu. Luar biasa pegal seluruh tubuhnya setelah mem-packing puluhan paket pesanan barang hari itu. Bagian paha dan selangkangannya sampai keram dan berdenyut sakit. Bahkan kedua kaki Mila sudah bengkak.Usia kandungan Mila sudah memasuki delapan bulan lebih. Sudah seharusnya ia beristirahat. Namun, Mila sadar diri ia tidak memiliki siapa-siapa untuk diandalkan. Tidak ada suami ataupun keluarga yang akan menanggung kebutuhannya dan juga bayinya yang akan segera lahir. Beruntung bos tempat Mila bekerja baik. Lebih tepatnya mungkin kasihan. Minggu ini adalah minggu terakhir Mila masuk kerja. Setelah itu ia akan cuti melahirkan dan sudah diberikan gaji sebulan penuh oleh sang bos.Maksud hati dengan uang gaji itu, Mila ingin mencari tempat kos. Membayangkan dirinya
Mila berusaha untuk menuruti intruksi dokter dan perawat agar tidak berteriak, tapi tetap saja saat rasa sakit mendera, ia tidak tahan."Bu, napasnya diatur ya. Kalau teriak-teriak terus nanti lemes, lho," bujuk suster di samping Khanza yang bersiap melahirkan, kakinya sudah dibentang lebar."Sakit, Sus," rintih Mila."Iya, Bu. Memang sakit. Sabar, ya. Kalau Ibu dengar arahan kita, percaya deh, bisa lebih cepat beres. Ibu nggak sakit lagi." Dokter meyakinkan Mila.Mila akhirnya mengangguk berusaha sabar. Saat sakit kontraksi muncul lagi, ia hanya bisa meremas kuat pegangan ranjang. Air matanya mengalir deras. Sudah lemas, tapi tidak boleh menyerah. Ada bayi tidak bersalah yang berhak untuk hidup."Kepalanya sudah kelihatan, Bu. Tetap atur napas. Insya Allah nggak lama lagi dede lahir lancar," kata suster."Semangat ya, Bu Camila," kata dokter. "Apa perlu suaminya kita panggil ke dalam?"Mila t
Dibantu Hani, Mila merebahkan tubuhnya ke ranjang. Masih gemetaran dan sulit bergerak."Hati-hati, Mbak." Dengan lembut Hani membantu Mila."Makasih, Hani," ujar Mila. Sekarang ia sudah pulang ke rumah Bu Ida dan ditempatkan di kamar yang sudah dibereskan spesial untuk Mila. Ada box bayi juga di sana. Semua perkakas bayi yang dibelikan Khanza.Mila kikuk. Merasa tidak enak dan bingung harus berbuat apa. Canggung, sudah pasti. Situasi saat ini tidak nyaman."Mbak Mila tenang aja, ya. Istirahat aja. Ntar biar Hani yang jagain Dede bayinya. Pokoknya Mbak jaga kesehatan, makan yang banyak." Hani tersenyum sayang pada Mila."Hani, kamu baik banget," ujar Mila disertai air mata.Hani malah heran dan langsung menyeka air mata Mila. "Lho? Kok nangis sih, Mbak? Mbak nggak ingat apa kata dokter? Nggak boleh sedih atau stress, kasihan bayinya nanti. Mbak juga nanti sakit. Udah ya. Semangat. Jangan mikirin yang nggak-nggak.
Di tengah tangisan Altan, Khanza menangis. Matanya menatap Keenan di depannya dengan kesal."Jujur aja, Mas. Kamu masih sayang sama Mila, kan?" tanya Khanza."Aku nggak mau jawab," jawab Keenan ikutan kesal."Kenapa, Mas? Pasti karena kamu memang masih sayang kan sama dia?"Keenan malah terdiam. Sorotan matanya hanya tertuju ke Altan yang ada di gendongan Khanza.Keenan lalu tersadar dan teringat pesan ibunya. Segera dia menghampiri Khanza, mencoba memeluknya, tapi Khanza menepisnya."Aku minta maaf, Za. Please, jangan marah lagi. Lain kali aku pasti bilang kalau mau jenguk Mila. Udahlah. Aku nggak macam-macam. Cuma kamu istri aku. Cuma kamu yang aku sayang," kata Keenan.Khanza malah tertawa dingin. "Dialog basi itu, Mas. Udah kayak slogan wajib para buaya."Keenan mengerutkan kening. "Jadi kamu mau aku gimana lagi sih, Za? Apa perlu aku mati aja sekarang di depan kamu?""Hussh! Ngomong apa
Baru saja Bu Ida selesai memindahkan sayur lodeh dari kuali ke wadah, di luar sudah terdengar suara salam. Ada tamu yang datang.Mila sedang meladeni Endaru yang sedang anteng di gendongannya. Sementara Mila membantu membersihkan dapur, bekas masak memasak."Assalamualaikum," ucap suara-suara di depan. Kelihatannya lebih dari satu orang. Ada pria dan wanita."Waalaikumsalam," sahut Bu Ida dan lainnya kuat."Siapa itu, Buk?" tanya Hani penasaran."Ya nggak tahu. Coba kamu lihat sana!" perintah Bu Ida pada Hani.Hani menurut segera ke depan. Sementara Mila lanjut mengelap lemari makanan."Udah. Kamu jangan capek-capek. Tadi kan udah Ibuk bilang kamu nungguin anakmu aja. Ini sayur kamu makannya yang banyak. Bagus buat kamu," ujar Bu Ida."Iya, Bu," sahut Mila diiringi senyuman manis di wajahnya."Anakmu besok jangan lupa dibawa ke rumah sakit. Diimunisasi. Biar nanti tak
Endaru merengek terus dari malam sampai Subuh hari. Mila sudah sempoyongan kecapekan menjaga bayinya yang sedang demam. Sampai pagi demam Endaru belum juga reda."Ayo dibawa ke rumah sakit aja, Mbak." Hani buru-buru mengajak Mila.Mila ikut menangis karena anaknya menangis. "Iya, Hani. Ayo.""Hati-hati, Mila, Hani. Apa kata dokternya didengerin bener. Kalau ada perlu apa, misal ada yang kurang, secepatnya hubungi Ibuk," kata Bu Ida tampak sama khawatirnya. Kocar kacir daritadi malam sibuk mengompres Endaru sembari membacakan ayat-ayat Al Qur'an.Mereka bergegas pergi ke rumah sakit. Namun, sayang, taksi yang dipesan datangnya lama. Endaru terus saja menangis. Sementara Mila sudah kalut."Cup cup, Sayang. Sabar ya, Nak. Sakit ya, Nak." Mila tidak tahan untuk tidak menangis. "Mama sayang Dede," ucap Mila sedih sambil mendekap bayinya."Duh, kok driver-nya lama? Udah urgent begini," kata Hani panik.Eh
Keenan memasang senyuman begitu dia masuk ke kamar Khanza. Tanpa banyak berkata dia mengecup kening Khanza.Khanza yang tubuhnya kaku menatap Keenan penuh arti."Apa kata dokter, Mas?" tanya Khanza.Keenan masih tersenyum. "Kamu tenang ya, Sayang. Ada beberapa orang yang mengalami seperti kamu. Mereka sembuh dengan terapi. Aku yakin sebentar lagi kamu sembuh."Air mata Khanza meleleh tanpa bisa tertahan. "Aku sakit apa, Mas?"Keenan diam, tidak menjawab."Jawab, Mas. Aku sakit apa, Mas?" tanya Khanza agak keras.Lagi-lagi Keenan tidak menjawab. Namun, kediaman Keenan itu justru memberikan pemahaman pada Khanza."Huaaaaa! Aku nggak mau! Ya Allah, lebih baik cabut aja nyawaku!" teriak Khanza histeris.Keenan langsung memeluk Khanza erat. Semakin hancur merasakan tubuh yang ia peluk begitu kaku."Aku mau mati aja, Mas!" pekik Khanza.Suster mulai berdatangan ke r