“Sialan! Sampai kapan dia akan membuat kacau rumahku!” seru Ramdan sambil mengepalkan tangan. Setelahnya, dia berlalu meninggalkan rumah dengan memendam amarah. Saat di perjalanan, ponsel pria itu berdering. Ramdan bergegas menepikan motor dan menjawab panggilan begitu melihat nama Edrik yang terpampang di layar.“Ada apa, Ed?”“Orang yang menyekap Anda sudah ada di basement, Tuan Muda.”“Oke, aku ke sana sekarang.”Telepon terputus. Ramdan kembali melajukan motor menuju rumahnya. Dia bahkan menarik gas kuat agar cepat sampai. Setibanya di rumah, Ramdan bergegas masuk, kemudian berjalan terus hingga melewati halaman belakang dan sampai pada sebuah pintu yang tertanam di tanah. Dia bergegas membuka pintu itu dan masuk. Satu per satu anak tangga dia turuni dengan sedikit tergesa. Lalu, sampailah dia pada pintu besi berwarna hitam. Dengan perlahan, dia membuka pintu dan masuk. Pria itu menyeringai melihat enam orang yang saling terikat di sudut ruangan gelap.Ramdan membuka seraga
Ramdan meraup wajah kasar sambil menghela napas panjang, kemudian beranjak ke ranjang dan mengempaskan tubuhnya. Dia memijat pelan pangkal hidungnya sambil memejamkan mata sejenak. Namun, dia segera menoleh saat mendengar pintu digedor dari luar diiringi suara teriakan Elea.“Ramdan, buka! Aku mau bahas tentang perjanjian kita!”Ramdan menghela napas panjang sebelum merebah. Dia abaikan teriakan Elea dan gedoran pintu. Lalu, memejamkan mata sambil menutup telinga dengan bantal.“Dasar wanita aneh! Teriak saja sampai suaramu habis! Aku enggak peduli!”Tak lama, terdengar dengkur halus yang keluar dari mulut. Sementara, Elea yang masih di depan pintu mendengkus kesal sebelum menendang pintu dan kembali ke kamar.Menjelang malam, Ramdan terjaga dan beringsut duduk. Dia mengedarkan pandangan dan hanya gelap yang tertangkap mata. Perlahan, dia bangkit dan menyalakan lampu sebelum membuka pintu. Lalu, keluar kamar dan berlalu ke dapur. Dia membuka lemari pendingin dan mengambil air din
Ramdan mendengkus kesal sebelum beranjak ke pintu. Dia menatap sekilas Elea sebelum menutup pintu. Lalu, kembali ke ranjang dan hendak merebah, tetapi suara gedoran di pintu membuatnya urung. Dia mendengkus kesal sebelum kembali ke pintu dan membukanya.“Beraninya kamu menutup pintu di depan mukaku, Ramdan!”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Terus mau Mbak apa? Haruskah saya membiarkan orang lain menikmati tubuh saya saat ganti baju?”“Siapa bilang aku menikmatinya? Aku cuma ... aku cuma enggak sengaja lewat dan kebetulan aja lihat kamu ganti baju!”Ramdan terkekeh dalam hati kala melihat rona merah tergambar di kedua pipi Elea. Dia menyeringai dan sengaja meregangkan tangan ke belakang agar terlihat lekuk dadanya. Dia kembali menyeringai ketika melihat wanita di depannya menelan ludah dengan susah payah. Ramdan menunduk dan mendekatkan wajah, berusaha menggoda sang istri.“Apakah Evan sudah tidak menggoda lagi sekarang? Apakah lebih menggoda suami Mbak ini?”Ramda
“Mau ke mana dia?” tanya Harsa bermonolog. Lalu, menghela napas sebelum menyuruh Ramdan untuk mengikuti.Ramdan perlahan mengikuti mobil Evan yang berbelok ke sebuah restoran. Dia berhenti tepat di samping mobil pria itu dan segera keluar, membukakan pintu untuk Harsa. Ramdan melirik dan melihat sang istri keluar dari mobil Evan sambil mengulas senyum sebelum mendekati Evan dan menggelayut manja di lengannya.“Pa, kebetulan ketemu di sini. Ada perlu di sini juga?” tanya Elea sambil melirik Ramdan sekilas sebelum kembali menatap Evan.“Papa ke sini mau jemput kamu pulang, El.”Harsa menarik pergelangan tangan Elea sambil menatapnya tajam. Namun, wanita itu segera melepaskan kasar tangan sang ayah. “Apa! Elea enggak salah denger, kan, Pa? Papa nyuruh Elea pulang sama Papa, enggak salah?”“Enggak, El! Papa berkata benar. Kamu pulang sama Papa sekarang juga! Ingat, kamu itu sudah me—“Elea mengacungkan telapak tangannya, bermaksud menyela ucapan Harsa. Lalu, menatap tajam sang aya
Elea bergeming, tetapi akhirnya mengangguk lemah. Ramdan segera duduk di tepi ranjang dan perlahan membersihkan luka yang ada di sudut bibir Elea sebelum mengoleskan salep luka. Untuk sesaat, Elea menatap lekat wajah Ramdan yang begitu dekat dengannya. “Jika diperhatikan, Ramdan bukan seperti sopir kebanyakan. Dia punya aura berbeda. Bahkan tubuhnya terlalu wangi untuk seharian berada di luar ruangan. Jika tak salah tebak, ini seperti bau parfum mahal keluaran rumah mode terkenal,” batin Elea sambil memejamkan mata.Ramdan mengulum senyum sebelum bangkit dari duduk. “Sudah selesai, Mbak. Saya permisi dulu.”Elea gelagapan dan segera membuka mata. Dia mengangguk sekilas sebelum menatap punggung Ramdan yang perlahan menjauh.Usai menutup pintu di belakangnya, Ramdan menyeringai. Lalu, menunduk dalam sebelum tersenyum tipis. Setelahnya, dia berjalan menuju kamar untuk merebah.Keesokan harinya, Ramdan terjaga saat mencium bau gosong. Dia segera melompat dari ranjang dan membuka pin
Ramdan bergeming ketika mendengar ucapan Elea. Namun, saat wanita itu mencengkeram erat lengannya, dia tergagap. Dia menatap Elea yang masih memegangi perut dengan wajah memucat.“Cepetan, Ramdan! Aku udah enggak tahan lagi!”“I-iya, Mbak. Saya pergi sekarang.”Ramdan bergegas keluar kamar diiringi banyak pertanyaan yang bercokol di kepala. Namun, bayangan tentang wajah pucat yang merintih kesakitan Elea, dia segera menaiki motor dan pergi menuju mini market. Setibanya di sana, dia celingukan sambil menggaruk kepala di depan etalase yang memajang banyak sekali pembalut wanita.“Beli yang mana, ya? Gila! Baru kali ini pemimpin perusahaan Ramlays Grup disuruh beli roti jepang. Kalau ketahuan karyawan bisa diketawain seumur hidup,” batin Ramdan sambil menggaruk kepala.Tanpa pikir panjang dia ambil semua pembalut dengan berbagai merek, kemudian berlari ke kasir. Dia lebih banyak menunduk dengan mata yang bergerak liar memperhatikan sekitar. Lalu, membayar sambil menyambar kantong pl
Ramdan mendengkus kesal sebelum memasukkan kembali ponsel ke saku celananya. Dia menghela napas panjang dan mengempaskan tubuhnya ke sudut ruangan khusus untuk sopir.“Kenapa juga aku harus khawatir ke dia? Toh, selama ini aku tak pernah dianggap ada.”Ramdan meregangkan otot sejenak sebelum merebah beralaskan koran. Dia menatap langit-langit ruangan sebelum perlahan tunduk pada kantuk. Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun saat merasakan seseorang menepuk bahunya. Dia segera duduk dan mengucek mata sebelum menatap siapa yang sudah membangunkannya. Melihat OB yang biasanya membawakan minuman untuk Harsa, Ramdan segara bangkit.“Ada apa, Mas?” tanya Ramdan sambil menatap lekat pria di depannya.“Dicariin Bapak, Mas.”Ramdan segera berlalu usai mengucapkan terima kasih. Lalu, saat melihat Harsa sudah berdiri di dekat mobil, dia segera menghampiri.“Iya, Pak?”“Antar aku ke restoran biasanya, Ramdan. Setelah itu jemput Dina di bandara dan Elea, lalu bawa ke sana!”“Siap, Pak
Ramdan mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh lengan Elea, tetapi segera ditarik kembali. Namun, melihat Elea makin kesakitan, dia segera membopongnya ke mobil. Lalu, memutari mobil dan duduk di balik kemudi sebelum melajukan mobil. Sesekali dia melirik dan melihat wajah Elea makin memucat dengan keringat yang membanjiri dahinya.“Kita ke rumah sakit, Mbak?”“Bawa aku pulang, Ramdan! Aku tak mau ke rumah sakit!”Ramdan sedikit menambah kecepatan agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia kembali membopong Elea ke kamar dan membaringkannya. Lalu, berlari ke dapur dan kembali sambil membawa air hangat dalam gelas.“Minum dulu, Mbak.”Elea segera meraih gelas itu dan mengambil obat pereda nyeri sebelum menenggaknya. Setelahnya, dia meringkuk di balik selimut dengan posisi membelakangi Ramdan.Ramdan menghela napas panjang sebelum berlalu ke dapur sambil membawa botol kaca yang tadi digunakan sebagai kompres. Dia buang airnya, kemudian mengisinya kembali sebelum membaw