“Mau ke mana dia?” tanya Harsa bermonolog. Lalu, menghela napas sebelum menyuruh Ramdan untuk mengikuti.Ramdan perlahan mengikuti mobil Evan yang berbelok ke sebuah restoran. Dia berhenti tepat di samping mobil pria itu dan segera keluar, membukakan pintu untuk Harsa. Ramdan melirik dan melihat sang istri keluar dari mobil Evan sambil mengulas senyum sebelum mendekati Evan dan menggelayut manja di lengannya.“Pa, kebetulan ketemu di sini. Ada perlu di sini juga?” tanya Elea sambil melirik Ramdan sekilas sebelum kembali menatap Evan.“Papa ke sini mau jemput kamu pulang, El.”Harsa menarik pergelangan tangan Elea sambil menatapnya tajam. Namun, wanita itu segera melepaskan kasar tangan sang ayah. “Apa! Elea enggak salah denger, kan, Pa? Papa nyuruh Elea pulang sama Papa, enggak salah?”“Enggak, El! Papa berkata benar. Kamu pulang sama Papa sekarang juga! Ingat, kamu itu sudah me—“Elea mengacungkan telapak tangannya, bermaksud menyela ucapan Harsa. Lalu, menatap tajam sang aya
Elea bergeming, tetapi akhirnya mengangguk lemah. Ramdan segera duduk di tepi ranjang dan perlahan membersihkan luka yang ada di sudut bibir Elea sebelum mengoleskan salep luka. Untuk sesaat, Elea menatap lekat wajah Ramdan yang begitu dekat dengannya. “Jika diperhatikan, Ramdan bukan seperti sopir kebanyakan. Dia punya aura berbeda. Bahkan tubuhnya terlalu wangi untuk seharian berada di luar ruangan. Jika tak salah tebak, ini seperti bau parfum mahal keluaran rumah mode terkenal,” batin Elea sambil memejamkan mata.Ramdan mengulum senyum sebelum bangkit dari duduk. “Sudah selesai, Mbak. Saya permisi dulu.”Elea gelagapan dan segera membuka mata. Dia mengangguk sekilas sebelum menatap punggung Ramdan yang perlahan menjauh.Usai menutup pintu di belakangnya, Ramdan menyeringai. Lalu, menunduk dalam sebelum tersenyum tipis. Setelahnya, dia berjalan menuju kamar untuk merebah.Keesokan harinya, Ramdan terjaga saat mencium bau gosong. Dia segera melompat dari ranjang dan membuka pin
Ramdan bergeming ketika mendengar ucapan Elea. Namun, saat wanita itu mencengkeram erat lengannya, dia tergagap. Dia menatap Elea yang masih memegangi perut dengan wajah memucat.“Cepetan, Ramdan! Aku udah enggak tahan lagi!”“I-iya, Mbak. Saya pergi sekarang.”Ramdan bergegas keluar kamar diiringi banyak pertanyaan yang bercokol di kepala. Namun, bayangan tentang wajah pucat yang merintih kesakitan Elea, dia segera menaiki motor dan pergi menuju mini market. Setibanya di sana, dia celingukan sambil menggaruk kepala di depan etalase yang memajang banyak sekali pembalut wanita.“Beli yang mana, ya? Gila! Baru kali ini pemimpin perusahaan Ramlays Grup disuruh beli roti jepang. Kalau ketahuan karyawan bisa diketawain seumur hidup,” batin Ramdan sambil menggaruk kepala.Tanpa pikir panjang dia ambil semua pembalut dengan berbagai merek, kemudian berlari ke kasir. Dia lebih banyak menunduk dengan mata yang bergerak liar memperhatikan sekitar. Lalu, membayar sambil menyambar kantong pl
Ramdan mendengkus kesal sebelum memasukkan kembali ponsel ke saku celananya. Dia menghela napas panjang dan mengempaskan tubuhnya ke sudut ruangan khusus untuk sopir.“Kenapa juga aku harus khawatir ke dia? Toh, selama ini aku tak pernah dianggap ada.”Ramdan meregangkan otot sejenak sebelum merebah beralaskan koran. Dia menatap langit-langit ruangan sebelum perlahan tunduk pada kantuk. Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun saat merasakan seseorang menepuk bahunya. Dia segera duduk dan mengucek mata sebelum menatap siapa yang sudah membangunkannya. Melihat OB yang biasanya membawakan minuman untuk Harsa, Ramdan segara bangkit.“Ada apa, Mas?” tanya Ramdan sambil menatap lekat pria di depannya.“Dicariin Bapak, Mas.”Ramdan segera berlalu usai mengucapkan terima kasih. Lalu, saat melihat Harsa sudah berdiri di dekat mobil, dia segera menghampiri.“Iya, Pak?”“Antar aku ke restoran biasanya, Ramdan. Setelah itu jemput Dina di bandara dan Elea, lalu bawa ke sana!”“Siap, Pak
Ramdan mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh lengan Elea, tetapi segera ditarik kembali. Namun, melihat Elea makin kesakitan, dia segera membopongnya ke mobil. Lalu, memutari mobil dan duduk di balik kemudi sebelum melajukan mobil. Sesekali dia melirik dan melihat wajah Elea makin memucat dengan keringat yang membanjiri dahinya.“Kita ke rumah sakit, Mbak?”“Bawa aku pulang, Ramdan! Aku tak mau ke rumah sakit!”Ramdan sedikit menambah kecepatan agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia kembali membopong Elea ke kamar dan membaringkannya. Lalu, berlari ke dapur dan kembali sambil membawa air hangat dalam gelas.“Minum dulu, Mbak.”Elea segera meraih gelas itu dan mengambil obat pereda nyeri sebelum menenggaknya. Setelahnya, dia meringkuk di balik selimut dengan posisi membelakangi Ramdan.Ramdan menghela napas panjang sebelum berlalu ke dapur sambil membawa botol kaca yang tadi digunakan sebagai kompres. Dia buang airnya, kemudian mengisinya kembali sebelum membaw
Ramdan menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah menatap Elea yang beranjak menuju kamar. Setelahnya, dia bergegas keluar rumah dan melajukan motornya menyusuri jalanan menuju kediamannya. Tak berselang lama, dia sampai di rumah mewahnya.Ramdan segera menaiki tangga usai memarkir motor. Lalu, melepas baju begitu masuk rumah dan melemparnya kepada Edrik yang berjalan mendekat.“Siapkan makanan untukku dan bawa ke ruang kerja, Ed!”“Siap, Tuan Muda.”Ramdan melangkah ke ruang kerja, kemudian mengempaskan tubuhnya ke kursi yang ada di balik meja kerja. Dia mengambil semua berkas yang ada di meja dan memeriksanya satu per satu sebelum membubuhkan tanda tangan. Dia mendongak sekilas saat mendengar pintu diketuk.“Masuk!” titah Ramdan. Lalu, kembali menekuri berkas di depannya saat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan lauk yang masih mengepul.“Makannya, Tuan Muda.”“Hem. Buatkan aku kopi juga, Ed! Sepertinya aku harus terjaga malam ini.”“Siap, Tuan Muda.”Edri
Ramdan mengernyit mendengar suara lirih Elea di ujung telepon. Namun, belum sempat bertanya, telepon terputus. Dia kembali mencoba menghubungi wanita itu, tetapi hanya suara operator yang terdengar. Dia bergegas keluar rumah dan melajukan mobil tanpa tujuan. Dalam perjalanan, dia kembali menghubungi Elea dan beruntungnya panggilannya dijawab. Namun, bukan suara wanita itu yang terdengar, melainkan suara seorang pria."Siapa kamu? Mana Elea?" Bukan jawaban yang diterima Ramdan, melainkan suara gelak tawa. Dia membelokkan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu, menajamkan telinga sambil mengernyit heran sebelum berkata."Siapa kamu!""Ha-ha-ha! Coba tebak! Elea sedang tak bisa menjawab panggilan kamu. Dasar sopir sialan!"Ramdan membeliak mendengar suara bernada ancaman. Dia hendak bicara, tetapi panggilannya keburu ditutup. Dia meramas kuat ponsel di tangannya sebelum memukul kemudi. Lalu, menekan kontak seseorang dan segera memberikan perintah."Cari keberadaan Evan, sekarang!"Te
"Mbak," panggil Ramdan.Elea berbalik dan terkesiap melihat Ramdan tampak berbeda setelah mengenakan jas yang diberikannya. Dia bangkit dari duduk dan mendekati pria itu. Lalu, memutari Ramdan sambil menelisiknya dari atas sampai bawah."Enggak sia-sia aku sewa jas itu buat kamu, Ramdan. Ternyata kamu bisa diandalkan."Elea makin mendekati Ramdan. Dia melingkarkan kedua tangan ke leher pria itu sambil tersenyum tipis. "Jadi, maukah kamu bermain sandiwara bersamaku, Ramdan?"Ramdan bergeming saat Elea melepaskan tangannya. Dia memaku pandangan pada wanita itu saat beranjak ke meja rias dan kembali sambil membawa parfum mahal. Lalu, menyemprotkannya ke leher dan tubuh Ramdan. Setelahnya, dia menghidu aroma parfum itu sambil memejamkan mata sebelum menatap Ramdan."Ayo, kita keluar, Ramdan! Jangan lupa tunjukkan senyum terbaikmu di hadapan semua orang."Ramdan menurut saat Elea menggamit lengannya mesra. Lalu, berjalan keluar kamar dengan memakai topeng kebahagiaan bernama senyuman. Pria