Elea mendorong kasar Ramdan hingga terhuyung sebelum kembali mendekat dan melayangkan tatapan tajam.
“Sopir sepertimu patutnya tidur di sofa, bukan ranjang mewah milikku!”Ramdan tersenyum tipis sebelum melabuhkan tubuhnya di sofa yang terletak di sudut kamar. Dia menatap tajam sang istri yang nyaman berbaring di ranjang sambil mendekap erat selimutnya. Sementara, Elea balik menatap lekat dengan kesal yang menggerogoti dada.“Jangan pernah berpikir kamu akan mendapatkan jatah malam ini! Kamu hanya suami di atas kertas, enggak lebih! Aku lakukan ini hanya agar tidak dicoret dari keluarga Hadiwilaga!”Ramdan kembali tersenyum tipis sambil menatap lekat Elea. “Deal. Mulai detik ini, kita jalani urusan masing-masing. Tapi ingat, besok kita pulang ke rumah saya.”Ramdan menyambar jas dan dasi sebelum berlalu meninggalkan kamar Elea. Amarah yang membuncah membuatnya memilih pindah kamar demi menjaga kewarasan. Dia takut akan menyakiti Elea sebelum misinya berhasil dijalankan. Saat melewati dapur, tatapan curiga diiringi ucapan tak mengenakkan mengiringi langkah pria itu hingga tiba di kamar. Namun, dia sudah tidak peduli dengan semua cemoohan itu. Dia lebih peduli mengistirahatkan raganya yang letih sejak tadi.Ramdan mengempaskan tubuhnya di kasur busa. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri memikirkan rangkaian kejadian yang menimpanya sejak kemarin malam. Dia memijat pelan pangkal hidungnya sebelum perlahan memejamkan mata.Keesokan harinya, Ramdan terjaga setelah mendengar alarm berbunyi. Dia bergegas bangkit dan membersihkan diri sebelum melangkah menuju kamar Elea. Namun, beberapa meter sebelum sampai di kamar, dia melihat seorang pria berbadan tegap sedang berbicara dengan istrinya. Dia segera bersembunyi untuk melihat apa yang dilakukan keduanya. Dia makin terkejut saat melihat Elea mengangsurkan amplop cokelat kepada pria itu.Ramdan segera keluar dari tempat persembunyiannya, tetapi secepat itu pula Elea segera mengusir pria tadi. Lalu, menahan Ramdan yang hendak masuk ke kamarnya.“Mau apa kamu ke sini?”“Kita pulang ke rumah saya sekarang.”Elea mencebik sebelum kembali menutup pintu. Lalu, dua puluh menit kemudian dia keluar sambil menyeret koper. Melihat itu, Ramdan tersenyum tipis sebelum mengambil alih koper di tangan sang istri dan mengikutinya ke mobil.“Bisakah Mbak pindah duduk di depan? Saya ini ....”“Kamu cuma suami di atas kertas! Karena sampai kapan pun kamu itu tetaplah seorang sopir! Enggak usah ngatur-ngatur aku mau duduk di mana!”Ramdan menggeleng lemah sebelum melajukan mobil menuju rumahnya. Selama perjalanan hanya hening yang meningkahi keduanya. Elea lebih banyak menatap keluar jendela atau layar ponselnya, sedangkan Ramdan fokus menatap jalanan dan sesekali melirik sang istri lewat center mirror.Tak lama berselang, mereka sampai di kediaman Ramdan. Elea bergeming sejenak melihat bangunan di depannya. Meskipun tak sebesar rumah Harsa, tetapi cukup nyaman ditempati karena bersih dan terawat. Namun, wanita itu berdecih lirih sebelum menatap Ramdan.“Ini yang kamu sebut rumah? Ini lebih cocok disebut gubuk!”Ramdan bungkam dan memilih menyeret koper ke dalam. Setelah membuka pintu, dia kembali menyeret koper menuju salah satu kamar.“Ini kamar Mbak. Saya bisa ....”“Ini lebih kecil dari pada kamar mandiku.” Elea menerobos masuk dan mengedarkan pandangan sambil bersedekap. “Ada kamar lainnya?”“Ada, tapi itu kamar saya.”Elea tak mengindahkan ucapan Ramdan. Dia kembali keluar dan menuju satu kamar lainnya, kemudian membukanya dan mengedarkan pandangan. Dia manggut-manggut sekilas sebelum mengempaskan tubuh di ranjang.“Aku mau kamar ini, kamu pindah aja ke sana.”“Tapi ....”“Enggak ada tapi, cepet pindahin barang-barang kamu!”Ramdan mendengkus kesal sebelum memindahkan barang-barangnya ke kamar sebelah. Sementara, Elea menatap acuh tak acuh sambil menatap kuku-kukunya yang cantik. Lalu, tersenyum mendengar suara pintu kamar dibanting.Di kamar sebelah, Ramdan mengacak-acak rambutnya. Frustasi dengan kelakuan sang istri yang berani mengabaikannya. Dia meraup wajahnya kasar sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang.“Sabar, Akhtar. Kamu harus jadi pria penyabar sekarang, jika saatnya tiba kamu bebas menjadi singa lapar yang mengoyak semua musuhmu.”Ramdan menghela napas panjang sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Lalu, bangkit dari ranjang dan berlalu keluar kamar. Meskipun tinggal terpisah, tetapi kewajibannya untuk mengantar Harsa ke mana pun pergi tak boleh dilupakan.Ramdan hendak membuka pintu depan ketika mendengar Elea memanggilnya. Dia menoleh dan bertanya sambil mengerutkan dahi.“Ada apa lagi, Mbak?”“Kamu lupa belum ngasih aku duit buat makan hari ini.”“Di kulkas sudah ada bahan mentah, tinggal diolah saja.”“Kamu lupa kalau aku enggak pernah masak selama ini.”Ramdan mendengkus kesal melihat istrinya mengikis jarak sambil menadahkan tangannya. Dia mengeluarkan dompet dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah kepada Elea. Namun, dia terkejut kala wanita itu justru menyambar dompetnya.“Meskipun kita terikat perjanjian untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, tapi aku sekarang tanggung jawab kamu. Uang kamu adalah uang aku juga, soalnya Papa udah ambil semua fasilitas aku, jadi aku bergantung ke kamu sekarang.”Ramdan terkejut kala melihat Elea mengambil semua uang di dompetnya dan hanya menyisakan beberapa lembar uang sepuluh ribu dan dua ribuan. Dia menggeram kesal ketika melihat wanita itu melenggang pergi setelah melempar dompet ke dadanya lalu terjatuh ke lantai.Melihat Ramdan bergeming, Elea yang hendak menutup pintu kamar berkata. “Ngapain bengong, cepetan pergi! Cari duit yang banyak, soalnya aku enggak bisa hidup miskin!”Ramdan menghela napas panjang sebelum memungut dompetnya, kemudian meninggalkan rumah. Dia melajukan mobil perlahan menuju kediaman Harsa. Sesekali pria itu berdecih lirih sambil menggeleng lemah mengingat sikap Elea.“Dasar wanita tak tahu malu!”Tak lama berselang, Ramdan sampai di kediaman Harsa. Dia bergeming sesaat di mobil ketika melihat Harsa keluar rumah sambil menelepon. Setelahnya, pria itu keluar mobil untuk membukakan pintu bagi Harsa. Lalu, kembali duduk di balik kemudi dan melajukan mobil perlahan meninggalkan rumah. Selama perjalanan, pria itu melirik sang majikan dari center mirror dan menulikan telinga seperti biasa.Ketika sampai di lampu merah, Harsa menyudahi percakapannya lewat telepon. Dia beralih mengutak-atik layar ponsel sambil melempar tanya.“Gimana Elea? Apakah dia masih berulah setelah aku ambil semua fasilitasnya?”“Begitulah, Pak.”Harsa terkekeh sebelum menatap Ramdan sekilas, lantas kembali menatap layar ponselnya. “Ada bagusnya juga dia aku nikahkan denganmu. Sedikit berkurang bebanku mendidiknya selama ini.”Ramdan hanya bergeming. Dia mendengkus lirih sebelum kembali melajukan mobil saat lampu berubah hijau. Sementara, Harsa mengernyit heran ketika mendapat panggilan dari seseorang. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan. Ramdan yang awalnya memilih abai, mendadak menajamkan telinga begitu mendengar nama yang diucapkan Harsa. Nama seseorang yang telah menikamkan sembilu tepat di dadanya tiga tahun yang lalu.Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua