Share

3. Malam Pertama

Elea mendorong kasar Ramdan hingga terhuyung sebelum kembali mendekat dan melayangkan tatapan tajam.

“Sopir sepertimu patutnya tidur di sofa, bukan ranjang mewah milikku!”

Ramdan tersenyum tipis sebelum melabuhkan tubuhnya di sofa yang terletak di sudut kamar. Dia menatap tajam sang istri yang nyaman berbaring di ranjang sambil mendekap erat selimutnya. Sementara, Elea balik menatap lekat dengan kesal yang menggerogoti dada.

“Jangan pernah berpikir kamu akan mendapatkan jatah malam ini! Kamu hanya suami di atas kertas, enggak lebih! Aku lakukan ini hanya agar tidak dicoret dari keluarga Hadiwilaga!”

Ramdan kembali tersenyum tipis sambil menatap lekat Elea. “Deal. Mulai detik ini, kita jalani urusan masing-masing. Tapi ingat, besok kita pulang ke rumah saya.”

Ramdan menyambar jas dan dasi sebelum berlalu meninggalkan kamar Elea. Amarah yang membuncah membuatnya memilih pindah kamar demi menjaga kewarasan. Dia takut akan menyakiti Elea sebelum misinya berhasil dijalankan. Saat melewati dapur, tatapan curiga diiringi ucapan tak mengenakkan mengiringi langkah pria itu hingga tiba di kamar. Namun, dia sudah tidak peduli dengan semua cemoohan itu. Dia lebih peduli mengistirahatkan raganya yang letih sejak tadi.

Ramdan mengempaskan tubuhnya di kasur busa. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri memikirkan rangkaian kejadian yang menimpanya sejak kemarin malam. Dia memijat pelan pangkal hidungnya sebelum perlahan memejamkan mata.

Keesokan harinya, Ramdan terjaga setelah mendengar alarm berbunyi. Dia bergegas bangkit dan membersihkan diri sebelum melangkah menuju kamar Elea. Namun, beberapa meter sebelum sampai di kamar, dia melihat seorang pria berbadan tegap sedang berbicara dengan istrinya. Dia segera bersembunyi untuk melihat apa yang dilakukan keduanya. Dia makin terkejut saat melihat Elea mengangsurkan amplop cokelat kepada pria itu.

Ramdan segera keluar dari tempat persembunyiannya, tetapi secepat itu pula Elea segera mengusir pria tadi. Lalu, menahan Ramdan yang hendak masuk ke kamarnya.

“Mau apa kamu ke sini?”

“Kita pulang ke rumah saya sekarang.”

Elea mencebik sebelum kembali menutup pintu. Lalu, dua puluh menit kemudian dia keluar sambil menyeret koper. Melihat itu, Ramdan tersenyum tipis sebelum mengambil alih koper di tangan sang istri dan mengikutinya ke mobil.

“Bisakah Mbak pindah duduk di depan? Saya ini ....”

“Kamu cuma suami di atas kertas! Karena sampai kapan pun kamu itu tetaplah seorang sopir! Enggak usah ngatur-ngatur aku mau duduk di mana!”

Ramdan menggeleng lemah sebelum melajukan mobil menuju rumahnya. Selama perjalanan hanya hening yang meningkahi keduanya. Elea lebih banyak menatap keluar jendela atau layar ponselnya, sedangkan Ramdan fokus menatap jalanan dan sesekali melirik sang istri lewat center mirror.

Tak lama berselang, mereka sampai di kediaman Ramdan. Elea bergeming sejenak melihat bangunan di depannya. Meskipun tak sebesar rumah Harsa, tetapi cukup nyaman ditempati karena bersih dan terawat. Namun, wanita itu berdecih lirih sebelum menatap Ramdan.

“Ini yang kamu sebut rumah? Ini lebih cocok disebut gubuk!”

Ramdan bungkam dan memilih menyeret koper ke dalam. Setelah membuka pintu, dia kembali menyeret koper menuju salah satu kamar.

“Ini kamar Mbak. Saya bisa ....”

“Ini lebih kecil dari pada kamar mandiku.” Elea menerobos masuk dan mengedarkan pandangan sambil bersedekap. “Ada kamar lainnya?”

“Ada, tapi itu kamar saya.”

Elea tak mengindahkan ucapan Ramdan. Dia kembali keluar dan menuju satu kamar lainnya, kemudian membukanya dan mengedarkan pandangan. Dia manggut-manggut sekilas sebelum mengempaskan tubuh di ranjang.

“Aku mau kamar ini, kamu pindah aja ke sana.”

“Tapi ....”

“Enggak ada tapi, cepet pindahin barang-barang kamu!”

Ramdan mendengkus kesal sebelum memindahkan barang-barangnya ke kamar sebelah. Sementara, Elea menatap acuh tak acuh sambil menatap kuku-kukunya yang cantik. Lalu, tersenyum mendengar suara pintu kamar dibanting.

Di kamar sebelah, Ramdan mengacak-acak rambutnya. Frustasi dengan kelakuan sang istri yang berani mengabaikannya. Dia meraup wajahnya kasar sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang.

“Sabar, Akhtar. Kamu harus jadi pria penyabar sekarang, jika saatnya tiba kamu bebas menjadi singa lapar yang mengoyak semua musuhmu.”

Ramdan menghela napas panjang sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Lalu, bangkit dari ranjang dan berlalu keluar kamar. Meskipun tinggal terpisah, tetapi kewajibannya untuk mengantar Harsa ke mana pun pergi tak boleh dilupakan.

Ramdan hendak membuka pintu depan ketika mendengar Elea memanggilnya. Dia menoleh dan bertanya sambil mengerutkan dahi.

“Ada apa lagi, Mbak?”

“Kamu lupa belum ngasih aku duit buat makan hari ini.”

“Di kulkas sudah ada bahan mentah, tinggal diolah saja.”

“Kamu lupa kalau aku enggak pernah masak selama ini.”

Ramdan mendengkus kesal melihat istrinya mengikis jarak sambil menadahkan tangannya. Dia mengeluarkan dompet dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah kepada Elea. Namun, dia terkejut kala wanita itu justru menyambar dompetnya.

“Meskipun kita terikat perjanjian untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, tapi aku sekarang tanggung jawab kamu. Uang kamu adalah uang aku juga, soalnya Papa udah ambil semua fasilitas aku, jadi aku bergantung ke kamu sekarang.”

Ramdan terkejut kala melihat Elea mengambil semua uang di dompetnya dan hanya menyisakan beberapa lembar uang sepuluh ribu dan dua ribuan. Dia menggeram kesal ketika melihat wanita itu melenggang pergi setelah melempar dompet ke dadanya lalu terjatuh ke lantai.

Melihat Ramdan bergeming, Elea yang hendak menutup pintu kamar berkata. “Ngapain bengong, cepetan pergi! Cari duit yang banyak, soalnya aku enggak bisa hidup miskin!”

Ramdan menghela napas panjang sebelum memungut dompetnya, kemudian meninggalkan rumah. Dia melajukan mobil perlahan menuju kediaman Harsa. Sesekali pria itu berdecih lirih sambil menggeleng lemah mengingat sikap Elea.

“Dasar wanita tak tahu malu!”

Tak lama berselang, Ramdan sampai di kediaman Harsa. Dia bergeming sesaat di mobil ketika melihat Harsa keluar rumah sambil menelepon. Setelahnya, pria itu keluar mobil untuk membukakan pintu bagi Harsa. Lalu, kembali duduk di balik kemudi dan melajukan mobil perlahan meninggalkan rumah. Selama perjalanan, pria itu melirik sang majikan dari center mirror dan menulikan telinga seperti biasa.

Ketika sampai di lampu merah, Harsa menyudahi percakapannya lewat telepon. Dia beralih mengutak-atik layar ponsel sambil melempar tanya.

“Gimana Elea? Apakah dia masih berulah setelah aku ambil semua fasilitasnya?”

“Begitulah, Pak.”

Harsa terkekeh sebelum menatap Ramdan sekilas, lantas kembali menatap layar ponselnya. “Ada bagusnya juga dia aku nikahkan denganmu. Sedikit berkurang bebanku mendidiknya selama ini.”

Ramdan hanya bergeming. Dia mendengkus lirih sebelum kembali melajukan mobil saat lampu berubah hijau. Sementara, Harsa mengernyit heran ketika mendapat panggilan dari seseorang. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan. Ramdan yang awalnya memilih abai, mendadak menajamkan telinga begitu mendengar nama yang diucapkan Harsa. Nama seseorang yang telah menikamkan sembilu tepat di dadanya tiga tahun yang lalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status