Home / Rumah Tangga / Pesona Tuan Argantara / Bab 2 : Spek suami idaman

Share

Bab 2 : Spek suami idaman

Author: Fitry Pit
last update Last Updated: 2024-05-25 21:47:15

Mendengar suaraku, papa buru-buru menyembunyikan bingkai foto yang di tatap nya tadi. Raut terkejut tidak bisa di sembunyikan nya, begitu dia mengetahui kehadiran ku.

Tangan nya terangkat ke wajah, seperti menghapus air mata. Setelah itu barulah papa berbalik menatap ke arahku.

"Sudah pulang, nak? Papa pikir kamu masih lama di rumah Rania," ucap papa tersenyum ke arahku. Aku tau, itu hanyalah alasan nya. Agar aku tidak menanyakan apa yang di lakukan nya tadi. Juga tidak ingin membuatku bersedih.

Meskipun tanpa di katakan apapun. Akutau, Papa pasti sedang merindukan mama. Setiap kali rindu itu datang. Dia pasti akan menatap lama foto mama, sambil menitikkan air mata nya.

Entah sebesar apa rasa cinta yang di miliki papa. Hingga dia masih setia menunggu mama kembali. Masih setia mencintai wanita itu, meskipun dia sudah menorehkan luka padanya.

Aku sendiri bahkan tidak pernah mengharapkan nya lagi. Dia yang memilih pergi, bahkan tanpa menoleh sedikitpun pada kami. Lalu, kenapa aku harus mengharapkan dia kembali?

"Tadi niatnya sih begitu. Tapi tiba-tiba teringat papa yang sendirian di rumah. Jadi nya tidak tega ninggalin papa lama-lama. Papa pasti kesepian sendiri," balasku.

Aku melangkahkan kaki mendekati papa. Lalu menjatuhkan diriku di sampingnya, aku sandarkan kepalaku di bahunya.

Meyakinkan papa, bahwa saat ini papa tidak sendirian. Ada aku di sini yang tidak akan pernah ninggalin papa.

"Bella sayang papa," ucapku memeluk tubuh tua nya dengan erat.

"Papa tau. Papa juga sayang putri papa yang bandel ini. Yang selalu membuat papa pusing," ucap papa terkekeh, sambil mengusap puncak kepalaku. Membuat aku juga terkekeh.

"Ish, papa. Yang di ingat kok cuma di bagian itu sih," ucapku pura-pura kesal.

"Emang iya kan? Terkadang di suruh shalat subuh, susah banget di bangunin. Di nasehati bukan nya dengar, malah buru-buru pergi,"

"Itu karena aku ada urusan, pa,"

"Alasan. Padahal selalu begitu," balas papa tersenyum.

"Ya udah, lain kali aku akan dengarin kalau papa lagi nasehati. Kalau perlu aku rekam, biar nggak lupa," papa menggelengkan kepala mendengar jawabanku. Tidak habis pikir dengan aku yang selalu bisa menjawab nya.

Sesaat kemudian, wajah murungnya tidak lagi aku lihat. Sekarang berganti dengan wajah ceria, bahkan terkadang tertawa dengan tingkah absurd ku.

Ya, memang inilah yang aku inginkan. Aku ingin papa terus tersenyum dan bahagia. Aku bahkan terkadang bersikap konyol, juga terus mengajak nya bicara. Juga membuat nya kesal, agar papa tidak terus larut dalam kesedihan nya.

"Papa udah minum ubat?" tanyaku kemudian. Karena papaku miliki riwayat tekanan darah tinggi.

"Udah,"

"Kapan?" tanyaku lagi.

"Tadi," aku menatap penuh silidik ke arah papa.

"Papa nggak bohong kan?" bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Karena papa sering mengabaikan kesehatan nya sendiri. Bahkan terkadang dia sengaja tidak meminum obatnya.

"Ya Allah, masa kamu nggak percaya sih sama papa sendiri," ucap papaku terlihat kesal.

"Ya udah, aku percaya. Aku cuma tidak ingin penyakit papa kambuh. Aku tidak ingin terjadi sesuatu sama papa," ucapku lirih di akhir kalimat.

"Iya, nak. Papa tau itu. Sebaik nya sekarang kamu istirahat, besok sekolah, kan," ucap papa lembut. Aku hanya mengangguk kan kepala. Menuruti apa yang papa katakan.

**

**

Selesai sarapan, aku bergegas ke rumah Rania, yang hanya berjarak beberapa meter saja.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam. Masuk Bel," ucap Rania duduk di atas sofa.

Aku segera menghampiri nya. Ya, karena memang biasanya aku berangkat ke sekolah bareng Rania. Kami satu sekolah, juga satu kelas.

"Ellah! Masih duduk santai ini tuan putri. Nggak sekolah?" tanyaku menghampiri nya.

"Sekolah lah. Emang nggak liat, ini udah pakai seragam?"

"Ya udah kalau gitu, ayok," ajakku. Takut terlambat, karena hari ini senin.

"Bentar, nunggu bokap dulu," ucap Rania.

"Berangkat bareng om Arga?"

"Iya, mobil gue lagi di servis di bengkel. Emang lo nggak liat tadi, mobil gue nggak ada di garasi," ucap Rania.

"Bukan nggak liat, tapi nggak merhatiin," balas ku.

"Sama aja,"

Sesaat kemudian, om Arga keluar menghampiri kami.

Aku terpaku melihat penampilan nya. Meskipun menggunakan pakaian formal seperti biasanya. Entah kenapa di mataku, semakin hari dia semakin tampan saja.

Memang ya! Pesona duda tidak terbantahkan. Di tambah dengan usia nya yang sudah dewasa.

"Awas, air liur lo netes," aku buru-buru menghapus nya, tapi tidak ada. Ternyata Rania ngerjain aku. Membuat ku menatap kesal ke arah nya.

"Lo sih, masa natap bokap gue sampai sebegitu nya,"ucapnya menertawakan aku.

"Habisnya bokap lo. Makin hari makin tambah ganteng aja. Gimana nggak meleleh aku" ucapku secara terang-terangan, tanpa rasa malu sedikit pun. Ya, jika menyangkut om Arga seperti nya rasa malu ku sudah hilang.

"Sama dong, kayak anaknya," ucap Rania mengibas rambutnya, bertingkah sok cantik. Karena tadi aku mengatakan bapak nya ganteng.

"Nggak usah bertingkah sok cantik. Lo dan monyet sama jeleknya," ejek kan ku membuat Rania kesal. Baru saja dia ingin membalas nya, tiba-tiba saja om Arga berdehem.

"Udah siap?" tanya om Arga pada kami, seperti nya dia ingin segera berangkat.

"Udah, pa,"

"Belum, om," ucap ku bersamaan dengan Rania.

"Apanya yang belum siap?" tanya om Arga menaikkan sebelas alis nya.

"Belum siap natap om Arga. Baru juga satu menit. Masih pengen natap lebih lama lagi," ucapku berani.

Membuat mata Rania mendelik ke arahku. Dia pasti tidak percaya aku berani mengatakan itu pada papa nya. Apalagi dia tau betapa dingin nya om Arga. Membuat siapa pun segan padanya. Tapi tidak denganku.

Bahkan terkadang aku berani mengatakan secara terang-terangan, jika aku suka pada nya. Tapi om Arga mana peduli ucapan anak kecil seperti ku. Ya, dia pasti menganggap aku anak kecil.

"Kalau mau natap lama-lama, harus nunggu halal dulu,"

Hah?

Aku tidak percaya ini, om Arga membalas ucapanku. Biasanya dia hanya diam, atau memilih pergi dari pada mendengar ocehan ku yang tidak berfaedah.

"Kalau nunggu halal, lama om," balas ku kemudian.

"Makanya, sekolah yang benar. Harus jadi anak baik, biar nggak lama," ucap om Arga.

Aku ingin bertanya lagi, apa maksud nya? tapi tiba-tiba om Arga segera beranjak keluar. Membuat aku mengurungkan niat untuk bertanya.

Sekolah kami dan kantor om Arga searah. Sehingga dia tidak perlu putar balik lagi setelah mengantarkan kami.

Aku memilih duduk di kursi belakangnya. Begitu pun dengan Rania, tadi nya aku pikir dia akan duduk di depan bersama om Arga.

"Kenapa duduk di belakang? Mending lo duduk di depan dah, nemenin om Arga,"

"Serah gue lah mau duduk di mana," balas nya yang membuatku kesal.

"Gue serius Rania, kasian bokap lo di depan sendirian. Entar dia mikir kita nganggap dia supir lagi," balas ku.

"Udah lah, ngak usah suudzon. Papa nggak ada pikiran kayak gitu, mending lo diam dan duduk manis aja, ya,"

Aku memilih diam, tidak ingin berdebat pagi-pagi. Apalagi om Arga sudah mulai menjalankan mobil nya. Jangan sampai nanti dia marah dan menurunkan aku di tengah jalan.

Kan nggak lucu, gadis secantik aku di tinggalin di tengah jalan. Dan harus jalan kaki ke sekolah. Sebagai seorang yang menumpang, aku harus bersikap baik. Biar besok di kasih tumpangan lagi. Kan enak, bisa hemat, nggak perlu ngeluarin duit. Alias gratis, hehehe.

Akhirnya setelah beberapa saat mobil berhenti di depan gerbang sekolah.

Aku  yang ingin turun, mengurungkan niat saat melihat Rania mengulurkan tangan ke arah om Arga. Aku pikir dia mau salim, tapi aku salah. Ternyata...

"Pa, minta uang jajan," ucapan nya membuat aku tercengang. Benar-benar ini anak ya!

Setelah itu barulah aku melihat dia mulai mencium punggung tangan om Arga. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Ini," aku terkejut begitu om Arga menyodorkan beberapa lembar uang merah padaku.

"Buat jajan kamu," ucap om Arga.

"Nggak usah, om. Aku udah di kasih jajan sama papa tadi. Tapi... Kalau om maksa nggak papa deh," ucap ku mengambil uang yang di sodorkan om Arga tadi.

"Rejeki, nggak bisa di tolak," ucapku cengengesan.

"Makasih ya om. Om Arga baik banget deh! Udah ganteng, kaya, paham agama lagi. Membuat aku tambah cinta. Benar-benar spek suami idaman," ucapku berusaha tersenyum semanis mungkin. Barangkali nanti om Arga terpikat dengan senyumanku.

Ngarap!

"Lo ya Bel. Nggak takut lo ngomong ke gitu terus ke papa. Udah tau papa dingin amat. Masih aja mancing-mancing dia, kalau sampai papa marah, habis lo," ucap Rania begitu turun dari mobil.

"Emang nya aku mancing apa? Aku cuma bilang cinta. Emang salah?"

"Tau ah," balasnya.

"Bella, tunggu," panggilan itu menghentikan langkah ku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Tuan Argantara   Bab 50 : Bertemu keluarga baru mama

    POV Arabella"Mas, ini benar rumah nya?" Tanya ku pada mas Arga begitu dia menghentikan mobil nya. Yang di balas anggukan kepala oleh nya.Aku menatap iri pada rumah bercat putih yang ada di depan ku. Bukan karena rumah nya yang begitu besar. Tapi pada sebuah keluarga yang hidup bahagia di dalam sana.Keluarga yang aku rindukan. Tapi tidak pernah terwujud, karena salah satu tiang dari bahagia itu telah pergi. Dan dia memilih tempat lain untuk dia jadikan rumah yang kokoh."Ayo kita turun," ucapan mas Arga menyadarkan aku dari lamunan yang hanya ada di mimpi ku.Aku segera turun dengan mas Arga yang berjalan di sisiku. Begitu tiba di depan pintu, terlihat mama yang menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia."Akhirnya kalian tiba juga, mama pikir kalian tidak jadi datang," ucap mama merangkul ku ke dalam. Aku hanya diam tanpa menolak rangkuman nya.Aku ingin berdamai dengan masa lalu yang terasa menyakitkan itu. Setelah banyak nya nasehat yang mas Arga berikan padaku.Mencoba mem

  • Pesona Tuan Argantara   Bab 49 : Mas, ini benar rumah nya?

    "Gimana penampilan aku, mas,"Tanya Bella begitu aku keluar dari ruang ganti. Untuk sesaat, aku terpaku melihat penampilan Bella yang terlihat saat manis dan anggun di balik gaun berwarna crem yang dia kenakan, juga pasmina nya yang berwarna senada. "Kok bengong sih, mas! Gaun ini terlihat tidak cocok, ya? Padahal ini pilihan kamu sendiri," Ucapan Bella yang bernada sedih, menyadarkan aku dari kekaguman ku. "Cantik!' balas ku singkat. "Bella apa gaun nya ini yang cantik?" Tanya wanita itu lagi. "Gaun nya memang terlihat cantik, tapi akan terlihat lebih cantik ketika kau yang mengenakan nya. Kau terlihat sangat cantik dengan gaun yang kau kenakan ini. Terlihat manis dan anggun," "Udah?" Tanya Bella membuat aku mengernyit bingung. "Apa nya yang sudah?" Balas ku balik bertanya. "Gombalan nya," ucap Bella membuat aku tersenyum. "Sebenarnya Belum. Masih banyak stok yang tersimpan di otak ku," balas ku membuat Bella tercengang. "Ada-ada saja kamu, mas! Aneh tau, nggak? D

  • Pesona Tuan Argantara   Bab 48: my little wife

    "Tuan, ini berkas nya," ucap sekretaris ku menyerah kan berkas yang sebelum nya aku minta."Terimakasih. Kau bisa keluar sekarang," balas ku setelah mengambil berkas yang di berikan sekretaris ku."Baik, tuan. Saya permisi," balas nya lagi segera berlalu dari sana.Aku mulai membuka berkas itu dan membaca nya dengan seksama. Sebelum aku menandatangani nya.Dret... Dret... DretFokus ku tiba-tiba teralihkan saat terdengar nada dering dari ponsel milikku. Aku segera meraih ponselku yang tergeletak di atas meja, dan membaca nama penelpon. Aku tersenyum saat tebakan ku ternyata benar."My little wife," gumam ku membaca nama kontak Bella yang aku simpan di ponselku."Assalamualaikum, mas," ucap salam suara lembut dari seberang sana."Waalaikum salam,""Mas Arga masih di kantor, ya?" "Iya, mungkin sebentar lagi aku pulang. Ada apa, Bella?""Ini, Bella mau nanya, mas. Tadi ada kiriman paket buat Bella, katanya dari mas Arga. Emang nya benar ya, mas?" Tanya Bella dari seberang sana.Karena s

  • Pesona Tuan Argantara   Bab 47 : Undangan makan malam

    "Itu sepertinya Rania. Ada perlu apa dia memanggil," ucap Bella. Aku hanya menggeleng, karena memang tidak bisa menebak apa tujuan Rania mengetuk pintu kamar kami. "Ada apa Rania?" Tanya Bella begitu membuka pintu. "Ada seorang wanita paruh paya di bawah. Dia datang ingin bertemu dengan bunda," balas Rania. "Siapa?" Tanya ku yang menyusul dari belakang Bella. "Rania juga nggak tau, pa! Tapi katanya, dia ibu nya bunda," jawab Rania. "Emang nya benar, Bun?" Tambahnya lagi menatap ke arah Bella. Membuat yang di tatap mendadak diam. "Mungkin itu memang ibu kamu, Bella. Ayo kita temui dia," ajak ku padanya. "Tapi aku tidak mau bertemu dengan nya, mas!" Tolak Bella menatap sendu padaku. Membuat Rania juga menatap bingung ke arahku. Seolah dia menuntut jawaban 'Ada apa dengan Bunda?' Karena perjalan hidup kedua gadisku ini hampir sama. Mereka sama-sama di tinggalkan oleh wanita yang seharus nya memberikan kasih sayang pada mereka. Tapi aku yakin, di balik kepergian ibunya Bel

  • Pesona Tuan Argantara   Bab 47 :

    Dua hari sudah berlalu sejak kedatangan Dania. Sejak saat itu pula aku melihat wajah Bella sudah tidak seceria biasa nya. Dia lebih banyak murung bahkan jarang bicara padaku, kecuali yang di perlukan saja. "Ada apa denganmu?" Tanya ku menatap intens ke arah Bella. "Aku tidak apa-apa, mas. Memang nya ada yang salah dengan ku," tanya nya balik. "Ada," "Perasaan kamu aja mungkin," balas Bella mengalihkan pandangan nya ke arah lain. "Hadap sini, Bella! Jangan menatap ke arah lain," perintahkan ingin menatap kedua matanya. Ingin tau apa yang saat ini di rasakan nya. Bukankah mata tidak bisa berbohong? Apa yang di sembunyikan oleh hati biasanya akan nampak di matanya. Aku menyentuh kedua pipi Bella dengan tanganku, hingga wajah gadis itu menghadap ke arahku. Aku tatap mata nya dengan lembut, mata yang selalu menatap ku penuh cinta selama ini. "Apa yang saat ini kau rasakan?" "Aku merasa deg-degan, mas! Jangan menatap ku seperti itu!" Balas nya polos, membuat aku terkekeh pe

  • Pesona Tuan Argantara   Bab 46 :

    POV Argantara Sudah satu jam lebih aku berusaha memejamkan mataku, berharap rasa kantuk itu segera menyerang ku. Tapi aku tidak kunjung tertidur. Pikiranku masih berkelana kemana-mana. Percakapan ku dengan mantan istriku sebelumnya, Dania. Masih terus tergiang dalam ingatanku. Rasanya aku tidak percaya jika ibuku sanggup melakukan itu. Memang awalnya ibuku kurang setuju saat aku mengutarakan keinginan ku untuk menikah dengan Dania. Dia sempat menentang hubungan kami, apalagi saat itu aku masih sangat muda. Tapi, karena kesalahan fatal yang terjadi antara aku dan Dania, maka ibu tidak ada pilihan lain selain merestui hubungan kami. Setelah kami menikah, aku melihat sikap ibu sangat baik pada Dania. Dia menyayangi dan juga terlihat sangat perhatian pada Dania. Apalagi saat itu Dania sedang mengandung. Ibu bahkan tidak membiarkan Dania melakukan apapun sendiri. Dia benar-benar menyayangi Dania layaknya anak sendiri. Itulah yang aku lihat saat kami masih hidup bersama dulu. Membuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status