"Om, nikah yuk!" . Satu kalimat yang aku ucap kan berhasil membuat om Arga terkejut. Tapi itu hanya seper sekian detik. karena sesaat kemudian pria itu berlalu dari sana. Mungkin dia berpikir aku sedang bercanda. itu lah sebab nya dia pergi dan tidak menganggap serius ucapan ku. Sementara Rania yang berada di samping ku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak? aku yang seumuran dengan nya justru ingin menjadi ibu sambung nya. "Lo sakit ya, Bell. Masa iya lo ngajak nikah bokap gue. Ogah gue punya mama tiri kayak lo," "kok gitu sih, Ran. Harus nya lo dukung gue buat nikah sama orang yang gue cintai," "iya sih, tapi nggak harus bokap gue juga kali. umur kalian itu beda jauh," "umur hanyalah angka," "sok bijak lo," Akankah perbedaan usia kedua nya akan membuat cinta Arabella bertepuk sebelah tangan? Dan apakah yang harus Bella lakukan saat mantan istri Arga kembali hadir di tengah-tengah mereka? Haruskah ia bertahan atau memilih pergi?
View MorePov Arabella
Allahuakbar Allahuakbar "Subhanallah, suara calon imam ku sungguh menggetarkan hati," Aku buru-buru mengambil wudhu lalu memakai mukenah. Suara lantunan adzan yang sangat merdu itu, membuat aku mengenali siapa pemilik suara itu. "Tumben mau ke mesjid?" tanya papa, ketika aku tiba di lantai bawah. Bersamaan dengan dia yang juga ingin ke mesjid. Aku hanya cengengesan mendengar pertanyaan papa. Karena biasanya, jangan kan ke mesjid. Aku bahkan sering bolong shalat di rumah. Padahal papa sering kali mengingatkan aku, jika meninggalkan shalat adalah dausa besar. Di iringi dengan berbagai ceramah nya, dia terus menasehati aku. Tapi, memang dasar nya aku yang bandel dan tidak ingin di atur, mengabaikan semua nasehat yang papa katakan. Ibarat katanya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. "Alhamdulillah, pa. Sekarang aku lagi di kelilingi sama malaikat. Maka nya, begitu mendengar suara azan langsung gas ke mesjid," jawabku. "Jadi biasa nya di kelilingi apa?" tanya papa menatap bingung. "Biasa nya di kelilingi setan, pa," jawabku. "Kamu yang udah kayak setan," "Sstt, nggak baik pa ngomong anak sendiri kayak setan. Kata-kata orang tua adalah doa. Nanti kalau aku jadi setan beneran, gimana?" "Yang papa bilang itu kelakuan kamu," "Udah lah. Papa mau ke mesjid dulu," ucap papaku kemudian. Sebelum aku kembali bicara. Karena dia tau, jika terus meladeni ku, maka kami akan terlambat ke mesjid. Aku menatap punggung papa yang berjalan di depanku. Terkadang aku kasian melihat nya. Di usia tua nya, harusnya papa bahagia dengan di dampingi seseorang yang papa cintai. Tapi sejak mama pergi, papa menolak untuk menikah lagi. Padahal aku tidak pernah melarang nya, asalkan papa bahagia. Tapi dia tetap menolak. Entah dia trauma untuk menikah lagi, atau karena masih mencintai mama. Papaku bernama Baskara, dia adalah laki-laki yang baik dan pekerjaan keras. Dia selalu melakukan apapun yang terbaik untukku. Meski terkadang aku membangkang, tapi dia tidak pernah memarahi ku. Justru dia menasehati ku dengan cara yang lembut. Jika mama, jangan tanyakan tentang wanita itu! Aku bahkan tidak ingin menceritakan nya. Bukan karena aku membencinya. Karena walau bagaimana pun, dia adalah ibuku. Wanita yang telah melahirkan ku. Hanya saja aku berusaha melupakan nya. Agar hatiku tidak sedih dan sakit setiap kali mengingat apa yang dia lakukan pada kami. Kecewa, tentu saja. Aku kecewa dan marah pada ibuku. Tapi, tidak bisa di pungkiri, di sisi lain. Aku juga merindukan ibuku. "Eh, Bel. Tumben ni anak udah taubat. Kerasukan apa lo?" seru Rania tiba-tiba menghampiri ku. Pletak! Aku seketika menjitak kening nya. Kesal mendengar kata-kata yang keluar dari mulut nya. Seolah selama ini aku adalah seorang pendausa besar. "Kata-kata lo, kayak lo udah benar aja selama ini," ucapku "Iya, juga sih, hehehe," Kami berdua segera ke mesjid, kebetulan rumah kami menang dekat dengan mesjid. Oya, Rania ini adalah sahabat aku. Rumah kami juga berdekatan, kami tetangga. Dan satu lagi... Aku sebenarnya sedikit malu mengatakan nya, hehe. Sebenarnya suara lantunan adzan yang sangat merdu tadi adalah milik bapaknya, Rania. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku naksir sama papanya. Mengetahui dia yang mengumandangkan azan, aku buru-buru ke mesjid. Karena aku yakin, pasti nanti dia juga yang akan menjadi imam. Aku tidak boleh melewatkan kesempatan di imami om Arga. Sambil nunggu nanti di imami di rumah kalau udah nikah. "Astagfirullah! Istighfar Bella. Sepertinya mimpiku terlalu ketinggian," batinku. Aku buru-buru menyadarkan diriku dari pikiran konyol yang aku pikirkan. Memangnya om Arga mau sama aku. Secara kan usia ku seumuran sama putrinya, si Rania. Hiks hiks, kenapa sih aku nggak tua aja. Supaya bisa nikah sama om Arga. Ish, kalian jangan menertawakan aku yang suka sama om-om ya! Karena meskipun usia nya sudah memasuki angka 35. Tapi dia masih terlihat seperti di bawah 30. Masih tampan dan mempesona. Membuat aku jatuh dalam pesonanya. Dan aku yakin, jika kalian melihat nya, pasti kalian juga langsung naksir. Om Arga itu keturunan blasteran. "Udah ambil wudhu, belum Bel?" tanya Rania begitu kami tiba di mesjid. "Udah tadi di rumah," jawabku. "Ya udah, ayo masuk," Rania segera menarik tangan ku. Apalagi sudah terdengar iqamah. Allahuakbar! Bismillahirrahmanirrahim Nah kan, benar kataku. Pasti om Arga yang jadi imam. Jika om Arga yang mengumandangkan azan, pasti nanti dia juga di suruh jadi imam, oleh bapak-bapak di sini. Karena suara nya yang MasyaAllah. Meski sebenarnya dia bukanlah seorang ustadz. Tapi suaranya benar-benar sangat merdu dan menyentuh hati. Jika setiap hari di imami om Arga, mungkin aku nggak akan bolong sholat. Karena aku selalu semangat ke mesjid. "Astagfirullah! Maafkan hamba ya Allah. Yang menjadikan manusia sebagai alasan taat beribadah kepadamu," Aku mulai kusyuk shalat, dan menghilangkan pikiran-pikiran tentang dunia. Agar shalat ku di terima. Assalamu'alaikum warahmatullah! Assalamu'alaikum warahmatullahi! Aku mulai mengusap wajahku begitu selesai shalat. Dan mengangkat kedua tanganku untuk berdoa. Sepertinya aku harus menggunakan jalur langit, supaya bisa nikah sama om Arga. "Ya Allah, maafkan aku yang berdosa karena sempat memikirkan laki-laki yang bukan mahram untukku. Ya Allah jadikan om Arga jodohku, supaya aku tidak terus-terusan berdausa. Aku tidak masalah meskipun om Arga duda. Aku tetap mau menikah dengan nya. Amiin," doaku dalam hati. "Berdoa apa sih, panjang amat doa nya," tanya Rania yang ternyata menatap ke arahku sedari tadi. "Do'ain bapak lo," "Eh! Do'ain apa lo untuk bokap gue. Jangan do'ain yang macem-macem lo ya," ucap Rania galak. "Nggak kok, justru gue do'ain yang baik-baik," balas ku. "Contohnya?" tanya nya lagi. Seperti nya dia penasaran dengan yang aku katakan tadi. "Sst, jangan berisik. Imam lagi baca doa amin," ucapan ku berhasil membungkam Rania. Keluar dari mesjid, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir ke tempat Rania sebentar. Lagipula papa juga tidak masalah saat aku meminta izin tadi. Toh, rumah kami juga bertetangga. Jika pulang ke rumah, aku pasti suntuk. Karena hanya tinggal berdua dengan papa. Pun dengan Rania yang juga tidak ada teman. Jika di pikir-pikir, nasib kami berdua hampir sama, cuma tinggal berdua dengan bokap. Aku yang asyik menonton TV dengan Rania. Seketika mengalihkan pandangan, begitu mendengar ucapan salam dari luar. "Wa'alaikumussalam salam," jawabku. MasyaAllah! Berasa kayak nunggu suami pulang aja. "Hallo, om. Udah makan?" Eh! Saking terbawa suasana, aku justru nanyak begitu. Kayak seorang istri lagi perhatian sama suaminya. Dan lagi... Kayak aku tuan rumah aja. Aku tamu di sini, tapi malah kesan nya kayak om Arga tamunya. Dan aku mau nawarin dia makan. Hadeuh! Benar-benar ya, penyakit cinta membuat aku salah tingkah. "Nanya apa sih, lo Bel. Udah kayak istri takut suami nya belum makan?" ucap Rania, mendengar pertanyaan ku tadi. "Ini namanya, ciri-ciri menjadi calon istri yang baik," balas ku. "Calon istri apaan? Sekolah dulu yang benar, jangan masih kecil udah kebelet nikah," "Ellah, kayak lo udah gede aja," balas ku tak mau kalah. "Gue sadar masih kecil, masih di bawah umur. Makanya nggak pernah mikirin nikah, bukan kayak lo," "17 tahun itu udah gede. 10 tahun, baru bisa di bilang di bawah umur," "Serah lo, deh," tuh kan, dia pasti nggak mau berdebat sama aku. Karena tau ujung-ujungnya pasti kalah juga. Saat menolah ke tempat om Arga berdiri tadi. Ternyata dia sudah pergi. Seperti nya dia tidak ingin mendengar perdebatan kami. Makanya segera memasuki kamarnya. "Mau kemana?" tanya Rania melihat aku mengambil mukena yang tadi sempat aku letakkan di pinggiran sofa. "Pulang," "Bentar lagi pulangnya, gue nggak ada teman ini," "Kalau gue pulang kemalaman, trus di culik. Mau tanggung jawab lo?" "Kayak rumah lo jauh aja, Bel. Pakek acara nyulik segala. Yang ada penculik langsung lari begitu melihat, lo," ucap Rania. "Kenapa?" tanyaku bingung. "Muka lo udah kayak mbak kunti," "Lo yang kayak sunder bolong," setelah mengatakan itu, aku segera beranjak dari sana. Kesel! Enak aja Rania ngatain orang kayak mbak kunti. Masa secantik bidadari ini di bilang mirip hantu. Udah rabun kali si Rania. "Bercanda, Bella. Masa gitu aja udah ngambek. Jangan ngambek-ngambek, nanti cepet tua loh, Bel," teriak Rania yang masih bisa ku dengar. Tapi aku tidak peduli. Lagipula aku tidak benar-benar marah padanya. Aku buru-buru pulang karena teringat papa yang sendirian di rumah. Deg! Begitu memasuki rumah, aku terkejut melihat apa yang sedang papa lakukan. "Papa," . . 𝙃𝙖𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙖𝙣-𝙩𝙚𝙢𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖, 𝙞𝙣𝙞 𝙣𝙤𝙫𝙚𝙡 𝙥𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖 𝙨𝙖𝙮𝙖. 𝙎𝙚𝙢𝙤𝙜𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙝𝙞𝙗𝙪𝙧. 𝙅𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙡𝙪𝙥𝙖 𝙫𝙤𝙩𝙚 𝙖𝙣𝙙 𝙘𝙤𝙢𝙚𝙣𝙩😊😘POV Arabella"Mas, ini benar rumah nya?" Tanya ku pada mas Arga begitu dia menghentikan mobil nya. Yang di balas anggukan kepala oleh nya.Aku menatap iri pada rumah bercat putih yang ada di depan ku. Bukan karena rumah nya yang begitu besar. Tapi pada sebuah keluarga yang hidup bahagia di dalam sana.Keluarga yang aku rindukan. Tapi tidak pernah terwujud, karena salah satu tiang dari bahagia itu telah pergi. Dan dia memilih tempat lain untuk dia jadikan rumah yang kokoh."Ayo kita turun," ucapan mas Arga menyadarkan aku dari lamunan yang hanya ada di mimpi ku.Aku segera turun dengan mas Arga yang berjalan di sisiku. Begitu tiba di depan pintu, terlihat mama yang menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia."Akhirnya kalian tiba juga, mama pikir kalian tidak jadi datang," ucap mama merangkul ku ke dalam. Aku hanya diam tanpa menolak rangkuman nya.Aku ingin berdamai dengan masa lalu yang terasa menyakitkan itu. Setelah banyak nya nasehat yang mas Arga berikan padaku.Mencoba mem
"Gimana penampilan aku, mas,"Tanya Bella begitu aku keluar dari ruang ganti. Untuk sesaat, aku terpaku melihat penampilan Bella yang terlihat saat manis dan anggun di balik gaun berwarna crem yang dia kenakan, juga pasmina nya yang berwarna senada. "Kok bengong sih, mas! Gaun ini terlihat tidak cocok, ya? Padahal ini pilihan kamu sendiri," Ucapan Bella yang bernada sedih, menyadarkan aku dari kekaguman ku. "Cantik!' balas ku singkat. "Bella apa gaun nya ini yang cantik?" Tanya wanita itu lagi. "Gaun nya memang terlihat cantik, tapi akan terlihat lebih cantik ketika kau yang mengenakan nya. Kau terlihat sangat cantik dengan gaun yang kau kenakan ini. Terlihat manis dan anggun," "Udah?" Tanya Bella membuat aku mengernyit bingung. "Apa nya yang sudah?" Balas ku balik bertanya. "Gombalan nya," ucap Bella membuat aku tersenyum. "Sebenarnya Belum. Masih banyak stok yang tersimpan di otak ku," balas ku membuat Bella tercengang. "Ada-ada saja kamu, mas! Aneh tau, nggak? D
"Tuan, ini berkas nya," ucap sekretaris ku menyerah kan berkas yang sebelum nya aku minta."Terimakasih. Kau bisa keluar sekarang," balas ku setelah mengambil berkas yang di berikan sekretaris ku."Baik, tuan. Saya permisi," balas nya lagi segera berlalu dari sana.Aku mulai membuka berkas itu dan membaca nya dengan seksama. Sebelum aku menandatangani nya.Dret... Dret... DretFokus ku tiba-tiba teralihkan saat terdengar nada dering dari ponsel milikku. Aku segera meraih ponselku yang tergeletak di atas meja, dan membaca nama penelpon. Aku tersenyum saat tebakan ku ternyata benar."My little wife," gumam ku membaca nama kontak Bella yang aku simpan di ponselku."Assalamualaikum, mas," ucap salam suara lembut dari seberang sana."Waalaikum salam,""Mas Arga masih di kantor, ya?" "Iya, mungkin sebentar lagi aku pulang. Ada apa, Bella?""Ini, Bella mau nanya, mas. Tadi ada kiriman paket buat Bella, katanya dari mas Arga. Emang nya benar ya, mas?" Tanya Bella dari seberang sana.Karena s
"Itu sepertinya Rania. Ada perlu apa dia memanggil," ucap Bella. Aku hanya menggeleng, karena memang tidak bisa menebak apa tujuan Rania mengetuk pintu kamar kami. "Ada apa Rania?" Tanya Bella begitu membuka pintu. "Ada seorang wanita paruh paya di bawah. Dia datang ingin bertemu dengan bunda," balas Rania. "Siapa?" Tanya ku yang menyusul dari belakang Bella. "Rania juga nggak tau, pa! Tapi katanya, dia ibu nya bunda," jawab Rania. "Emang nya benar, Bun?" Tambahnya lagi menatap ke arah Bella. Membuat yang di tatap mendadak diam. "Mungkin itu memang ibu kamu, Bella. Ayo kita temui dia," ajak ku padanya. "Tapi aku tidak mau bertemu dengan nya, mas!" Tolak Bella menatap sendu padaku. Membuat Rania juga menatap bingung ke arahku. Seolah dia menuntut jawaban 'Ada apa dengan Bunda?' Karena perjalan hidup kedua gadisku ini hampir sama. Mereka sama-sama di tinggalkan oleh wanita yang seharus nya memberikan kasih sayang pada mereka. Tapi aku yakin, di balik kepergian ibunya Bel
Dua hari sudah berlalu sejak kedatangan Dania. Sejak saat itu pula aku melihat wajah Bella sudah tidak seceria biasa nya. Dia lebih banyak murung bahkan jarang bicara padaku, kecuali yang di perlukan saja. "Ada apa denganmu?" Tanya ku menatap intens ke arah Bella. "Aku tidak apa-apa, mas. Memang nya ada yang salah dengan ku," tanya nya balik. "Ada," "Perasaan kamu aja mungkin," balas Bella mengalihkan pandangan nya ke arah lain. "Hadap sini, Bella! Jangan menatap ke arah lain," perintahkan ingin menatap kedua matanya. Ingin tau apa yang saat ini di rasakan nya. Bukankah mata tidak bisa berbohong? Apa yang di sembunyikan oleh hati biasanya akan nampak di matanya. Aku menyentuh kedua pipi Bella dengan tanganku, hingga wajah gadis itu menghadap ke arahku. Aku tatap mata nya dengan lembut, mata yang selalu menatap ku penuh cinta selama ini. "Apa yang saat ini kau rasakan?" "Aku merasa deg-degan, mas! Jangan menatap ku seperti itu!" Balas nya polos, membuat aku terkekeh pe
POV Argantara Sudah satu jam lebih aku berusaha memejamkan mataku, berharap rasa kantuk itu segera menyerang ku. Tapi aku tidak kunjung tertidur. Pikiranku masih berkelana kemana-mana. Percakapan ku dengan mantan istriku sebelumnya, Dania. Masih terus tergiang dalam ingatanku. Rasanya aku tidak percaya jika ibuku sanggup melakukan itu. Memang awalnya ibuku kurang setuju saat aku mengutarakan keinginan ku untuk menikah dengan Dania. Dia sempat menentang hubungan kami, apalagi saat itu aku masih sangat muda. Tapi, karena kesalahan fatal yang terjadi antara aku dan Dania, maka ibu tidak ada pilihan lain selain merestui hubungan kami. Setelah kami menikah, aku melihat sikap ibu sangat baik pada Dania. Dia menyayangi dan juga terlihat sangat perhatian pada Dania. Apalagi saat itu Dania sedang mengandung. Ibu bahkan tidak membiarkan Dania melakukan apapun sendiri. Dia benar-benar menyayangi Dania layaknya anak sendiri. Itulah yang aku lihat saat kami masih hidup bersama dulu. Membuat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments