"Banyak amat lo beli baksonya. Emang habis?" tanya ku melihat Rania yang menenteng dua buah bakso di tangan nya.
"Ya nggak lah! Ini gue beli buat papa satu," jawab Rania. "Kirain," jawabku cengengesan. "Lo sih, kebiasaan. Suudzon mulu," "Kok sepi rumah lo, Ran," ucapku begitu tiba di rumah nya. "Papa belum pulang kerja. Lagi lembur katanya," jawab Rania. Tidak lama setelah Rania mengatakan itu. Mobil om Arga mulai terlihat memasuki perkarangan rumah. "Itu om Arga udah pulang!" ucapku pada Rania. Membuat dia mengalihkan pandangan nya, begitu indra pendengar nya mendengar suara deru mobil om Arga. "Darimana, sayang," tanya om Arga pada Rania, begitu dia turun dari mobil nya. "Habis beli bakso, pa. Ini aku juga beli buat papa satu," balas Rania. "Aku nggak di tanya, om. Aku kan juga kepingin di panggil sayang," ucapku sambil mengedipkan mata genit. Tapi om Arga mana peduli dengan tingkah ke kanak-kanakan ku. "Kan tadi saya udah tanya ke Rania. Lagian kalian pasti pergi ke tempat yang sama, kan," balas om Arga datar seperti biasa nya. "Iya sih, hehe," "Ya udah Bell. Masuk dulu, yuk!" aku segera mengiyakan ajakan Rania. Mumpung ada om Arga, tidak boleh melewatkan kesempatan untuk menatap calon imam. "Capek banget ya om?" tanyaku melihat om Arga bersandar di sofa. Sedangkan Rania sedang menuju dapur, mengambil minum untuk papa nya. "Hemm," jawab nya tanpa menatap ke arahku. "Mau di pijitin, nggak. Gratis loh, om," Ucapan ku seketika membuat om Arga menatap tajam ke arahku. Tidak seperti biasanya. Apa aku salah bicara? "Bercanda, om. Nggak usah tegang gitu. Tatapan om membuat Bella takut loh," ucap ku mencoba tersenyum. "Makanya, lain kali jangan ngomong sembarangan," ucap nya seolah menasehati. Dan aku hanya mengangguk kepala patuh. "Ini, pa," ucap Rania menyerahkan air putih yang baru di ambil nya ke om Arga. "Coba aja om Arga mau nikah. Pasti yang ngambil minum kayak gini itu, jadi tugas nya Bella," Uhuk... Uhuk.. Ucapan ku ternyata membuat om Arga tersendak. Padahal baru saja tadi dia mengingatkan, tapi aku kembali berulah. "Hati-hati, om. Makanya, kalau minum itu jangan sambil mikirin Bella," ucap ku penuh percaya diri. Membuat Rania seketika mengetuk kepalaku. "Kepercayaan diri lo terlalu tinggi," ucap Rania. "Sakit Rania Argantara Bimasakti," keluh ku menyebut nama panjang nya. Sementara om Arga hanya diam tanpa berkomentar apapun. Tapi bisa di pastikan, jika dia pasti kesal. Capek-capek pulang kerja, justru di sambut dengan tingkah menyebalkan aku dan Rania. Baru saja om Arga bangkit hendak menuju kamar nya. Aku kembali berbicara. "Om, nikah yuk! Saya siap jadi ibu sambung nya Rania," Satu kalimat yang aku ucapkan, berhasil membuat om Arga terkejut. Tapi itu hanya seper sekian detik. Karena sesaat kemudian pria itu berlalu dari sana. Mungkin dia berpikir aku sedang bercanda, itu lah sebab nya dia tidak menganggap serius ucapan ku. Sementara Rania yang berdiri di sampingku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak? Aku yang seumuran dengan nya. Justru ingin menjadi ibu sambung nya. "Sakit lo ya, Bell. Masak iya lo ngajak nikah bokap gue. Ogah gue punya mama tiri kayak lo," ejek Rania. "Kok gitu sih Ran. Harusnya lo dukung gue buat nikah sama orang yang gue cintai," "Iya sih. Tapi nggak harus bokap gue juga kali. Umur kalian itu beda jauh," ucap Rania lagi. Seolah tidak mendukung niat baikku. Padahal aku benar-benar mencintai om Arga. Nasib-nasib jadi bocah. "Umur hanyalah angka," "Sok bijak lo," "Emang iya kok. Memang nya lo nggak pernah dengar kata pepatah kayak gitu," ucap ku. "Nggak," ucap Rania. "Gue serius loh, Ran. Masa lo tega benar sama sahabat lo sendiri. Om Arga itu cinta pertama gue. Entar kalo gue nggak jadi nikah sama tuh orang. Bisa patah hati gue," "Astagfirullahalazim! Kayak nya lo harus di ruqiyah deh, Bell. Lo pasti nggak sadar waktu ngomong kayak itu," ucap nya. Rania mulai menyentuh ubun-ubun ku, dan membaca berbagai doa. Dia juga membaca Ayat Kursi, juga surah Al-ikhlas. "Apaan sih, Ran. Lo pikir gue kerasukan," kesal ku menepis tangan nya. "Kayak nya jin dalam badan lo terlalu kuat, deh. Gue harus minta bantuan ustadz terkenal ini," "Lo kayak nya yang harus di ruqiyah, bukan gue," semakin kesal aja aku dengan tingkah anak satu ini. Kalau tidak mengingat dia anak nya om Arga. Udah aku tamplok pakek sandal. "Udah ah, gue mau pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit ku. "Wa'alaikumussalam," ** ** Aku yang sedang menyantap makanan di kantin. Terganggu dengan kebisingan yang di ciptakan oleh siswi-siswi di sana. Pun dengan Rania yang merasakan hal demikian. "Eh, liat itu dia udah datang," "Wah, ganteng nya. Pantesan dia menjadi siswa terpopuler di sekolah ini," "Iya. Udah ganteng, pintar pula. Siapa yang nggak jatuh cinta coba," "Kalau aja dia nembak gue. Pasti gue bakal cepet-cepet jawab iya," Berbagai bisikin itu masih terdengar di telingaku. Aku mengalihkan pandangan, melihat siapa yang mereka bicarakan. Yassalam! Ternyata Radit yang mereka bicarakan. Masak iya sampe sebegitu nya. Kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja. Apa kabar ya? kalau sampai mereka liat bokap nya Rania. Bisa klepek-klepek nggak tuh mereka. Pasti berasa udah kayak liat oppa-oppa Korea. Plus dengan status duda nya. Tambah mempesona deh om Arga. Istilah nya kalau orang-orang nyebut sekarang 'DUREN' duda keren. Aku berani jamin, nggak akan ada yang percaya kalau umur nya om Arga itu 35. Kalau dia nggak bilang. "Liat deh Bell. Kayak nya mata mereka udah Rabun. Masa liat orang kayak Radit aja, sampe sebegitu nya. Udah kayak liat artis terkenal," bisik Rania di telingaku. "Mungkin nggak pernah liat cowok ganteng kali," aku pun tertawa setelah mengatakan itu. "Emang lo udah pernah liat cowok yang lebih ganteng dari si Radit," tanya Rania. "Udah. Bahkan setiap hari gue liat," "Siapa?" tanya nya menaikkan sebelah alis. "Siapa lagi kalau bukan laki-laki idaman gue. Pujaan hati gue. Om Arga, bokap lo," ucapku sambil tersenyum. "Kalau itu mah, nggak di ragukan lagi. Membuat gue bangga jadi anaknya," ucap Rania sombong. Baru saja aku ingin membalas ucapan Rania. Tiba-tiba saja Radit sudah berdiri di dekat meja kami. Tanpa meminta izin, dia langsung duduk di sebelahku. Pun dengan sepupunya yang bernama Denis. Pria itu duduk di sebelah Rania. "Kok duduk di sini, sih. Mending pindah deh, tuh fans-fans lo pada liat ke sini semua," sewot Rania dengan kehadiran dua cowok ini. Sambil menunjukkan beberapa orang siswi yang menatap tidak suka ke arah kami. "Mending lo pindah aja, Dit. Nggak enak gue ngeliat tatapan mereka semua," ucapku juga. "Abaikan saja. Lagian terserah gue mau duduk di mana," ucap Radit. "Tapi tatapan cewek-cewek yang suka sama lo, kayak liat musuh ke kita," timpal Rania. Aku juga mengiyakan. Tapi si Radit mana peduli, dia justru memesan makanan. Dan tidak menggubris apapun. Padahal aku hanya tidak ingin ada musuh di sekolah ini. Hanya karena Radit yang dekat dengan kami. Aku mau beranjak pergi, tapi kasihan makanan yang aku pesan masih banyak. Belum habis setengah aku memakan nya. Kan mubazir buang-buang makanan. Apalagi jika mengingat orang di luar sana ada yang tidak bisa makan. Aku melanjutkan makan makanan yang aku pesan tadi. Tapi belum juga aku habis memakan nya, Radit sudah lebih dulu selesai. Entah bagaimana cara kerja pencernaan nya. Baru juga makan udah kandas. "Alhamdulilah," ucapnya yang masih bisa ku dengar. Dia memanggil ibu kantin dan membayar semua nya. Pun dengan punya ku dan Rania. Aku sudah menolak, tapi dia tetap maksa buat bayar. Ya udahlah, anggap aja Rejeki. "Gue duluan, ya," ucap Radit setelah membayar semua nya. Aku hanya mengangguk saja. "Ya udah, kita juga ke kelas yuk, Bell!" ajak Rania kemudian. Bruk! "Astagfirullah,"POV Arabella"Mas, ini benar rumah nya?" Tanya ku pada mas Arga begitu dia menghentikan mobil nya. Yang di balas anggukan kepala oleh nya.Aku menatap iri pada rumah bercat putih yang ada di depan ku. Bukan karena rumah nya yang begitu besar. Tapi pada sebuah keluarga yang hidup bahagia di dalam sana.Keluarga yang aku rindukan. Tapi tidak pernah terwujud, karena salah satu tiang dari bahagia itu telah pergi. Dan dia memilih tempat lain untuk dia jadikan rumah yang kokoh."Ayo kita turun," ucapan mas Arga menyadarkan aku dari lamunan yang hanya ada di mimpi ku.Aku segera turun dengan mas Arga yang berjalan di sisiku. Begitu tiba di depan pintu, terlihat mama yang menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia."Akhirnya kalian tiba juga, mama pikir kalian tidak jadi datang," ucap mama merangkul ku ke dalam. Aku hanya diam tanpa menolak rangkuman nya.Aku ingin berdamai dengan masa lalu yang terasa menyakitkan itu. Setelah banyak nya nasehat yang mas Arga berikan padaku.Mencoba mem
"Gimana penampilan aku, mas,"Tanya Bella begitu aku keluar dari ruang ganti. Untuk sesaat, aku terpaku melihat penampilan Bella yang terlihat saat manis dan anggun di balik gaun berwarna crem yang dia kenakan, juga pasmina nya yang berwarna senada. "Kok bengong sih, mas! Gaun ini terlihat tidak cocok, ya? Padahal ini pilihan kamu sendiri," Ucapan Bella yang bernada sedih, menyadarkan aku dari kekaguman ku. "Cantik!' balas ku singkat. "Bella apa gaun nya ini yang cantik?" Tanya wanita itu lagi. "Gaun nya memang terlihat cantik, tapi akan terlihat lebih cantik ketika kau yang mengenakan nya. Kau terlihat sangat cantik dengan gaun yang kau kenakan ini. Terlihat manis dan anggun," "Udah?" Tanya Bella membuat aku mengernyit bingung. "Apa nya yang sudah?" Balas ku balik bertanya. "Gombalan nya," ucap Bella membuat aku tersenyum. "Sebenarnya Belum. Masih banyak stok yang tersimpan di otak ku," balas ku membuat Bella tercengang. "Ada-ada saja kamu, mas! Aneh tau, nggak? D
"Tuan, ini berkas nya," ucap sekretaris ku menyerah kan berkas yang sebelum nya aku minta."Terimakasih. Kau bisa keluar sekarang," balas ku setelah mengambil berkas yang di berikan sekretaris ku."Baik, tuan. Saya permisi," balas nya lagi segera berlalu dari sana.Aku mulai membuka berkas itu dan membaca nya dengan seksama. Sebelum aku menandatangani nya.Dret... Dret... DretFokus ku tiba-tiba teralihkan saat terdengar nada dering dari ponsel milikku. Aku segera meraih ponselku yang tergeletak di atas meja, dan membaca nama penelpon. Aku tersenyum saat tebakan ku ternyata benar."My little wife," gumam ku membaca nama kontak Bella yang aku simpan di ponselku."Assalamualaikum, mas," ucap salam suara lembut dari seberang sana."Waalaikum salam,""Mas Arga masih di kantor, ya?" "Iya, mungkin sebentar lagi aku pulang. Ada apa, Bella?""Ini, Bella mau nanya, mas. Tadi ada kiriman paket buat Bella, katanya dari mas Arga. Emang nya benar ya, mas?" Tanya Bella dari seberang sana.Karena s
"Itu sepertinya Rania. Ada perlu apa dia memanggil," ucap Bella. Aku hanya menggeleng, karena memang tidak bisa menebak apa tujuan Rania mengetuk pintu kamar kami. "Ada apa Rania?" Tanya Bella begitu membuka pintu. "Ada seorang wanita paruh paya di bawah. Dia datang ingin bertemu dengan bunda," balas Rania. "Siapa?" Tanya ku yang menyusul dari belakang Bella. "Rania juga nggak tau, pa! Tapi katanya, dia ibu nya bunda," jawab Rania. "Emang nya benar, Bun?" Tambahnya lagi menatap ke arah Bella. Membuat yang di tatap mendadak diam. "Mungkin itu memang ibu kamu, Bella. Ayo kita temui dia," ajak ku padanya. "Tapi aku tidak mau bertemu dengan nya, mas!" Tolak Bella menatap sendu padaku. Membuat Rania juga menatap bingung ke arahku. Seolah dia menuntut jawaban 'Ada apa dengan Bunda?' Karena perjalan hidup kedua gadisku ini hampir sama. Mereka sama-sama di tinggalkan oleh wanita yang seharus nya memberikan kasih sayang pada mereka. Tapi aku yakin, di balik kepergian ibunya Bel
Dua hari sudah berlalu sejak kedatangan Dania. Sejak saat itu pula aku melihat wajah Bella sudah tidak seceria biasa nya. Dia lebih banyak murung bahkan jarang bicara padaku, kecuali yang di perlukan saja. "Ada apa denganmu?" Tanya ku menatap intens ke arah Bella. "Aku tidak apa-apa, mas. Memang nya ada yang salah dengan ku," tanya nya balik. "Ada," "Perasaan kamu aja mungkin," balas Bella mengalihkan pandangan nya ke arah lain. "Hadap sini, Bella! Jangan menatap ke arah lain," perintahkan ingin menatap kedua matanya. Ingin tau apa yang saat ini di rasakan nya. Bukankah mata tidak bisa berbohong? Apa yang di sembunyikan oleh hati biasanya akan nampak di matanya. Aku menyentuh kedua pipi Bella dengan tanganku, hingga wajah gadis itu menghadap ke arahku. Aku tatap mata nya dengan lembut, mata yang selalu menatap ku penuh cinta selama ini. "Apa yang saat ini kau rasakan?" "Aku merasa deg-degan, mas! Jangan menatap ku seperti itu!" Balas nya polos, membuat aku terkekeh pe
POV Argantara Sudah satu jam lebih aku berusaha memejamkan mataku, berharap rasa kantuk itu segera menyerang ku. Tapi aku tidak kunjung tertidur. Pikiranku masih berkelana kemana-mana. Percakapan ku dengan mantan istriku sebelumnya, Dania. Masih terus tergiang dalam ingatanku. Rasanya aku tidak percaya jika ibuku sanggup melakukan itu. Memang awalnya ibuku kurang setuju saat aku mengutarakan keinginan ku untuk menikah dengan Dania. Dia sempat menentang hubungan kami, apalagi saat itu aku masih sangat muda. Tapi, karena kesalahan fatal yang terjadi antara aku dan Dania, maka ibu tidak ada pilihan lain selain merestui hubungan kami. Setelah kami menikah, aku melihat sikap ibu sangat baik pada Dania. Dia menyayangi dan juga terlihat sangat perhatian pada Dania. Apalagi saat itu Dania sedang mengandung. Ibu bahkan tidak membiarkan Dania melakukan apapun sendiri. Dia benar-benar menyayangi Dania layaknya anak sendiri. Itulah yang aku lihat saat kami masih hidup bersama dulu. Membuat