Share

Menantu Idaman

Penulis: Ais Aisih
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-23 10:18:57

“Aku lega mendengarnya. Kamu sudah tidak marah lagi pada kami,” ujar Sahid. Meminum air putih dari gelas. 

Suara sendok dan piring kosong beradu. Nayya memainkannya seperti anak kecil yang meminta makan. Terdengar gaduh. Sendok sayur di tangan Rohana sampai terlepas ke mangkuk. Dibuat kaget oleh ulah sang putri sendiri.

“Aduh, kamu ini rusuh saja jadi orang.” Rohana menuang sayur asem ke dalam piringnya.

Nayya memandang ibunya dengan tatapan tidak biasa. Kedua matanya terlihat tajam dan tidak berkedip. Rohana jadi urung untuk makan.

“Kenapa?” Maksud pertanyaan Rohana adalah mengapa putrinya menatapnya seperti itu. Pasti ada hal yang tidak beres.

“Jadi, terkait kebohongan yang sudah kalian lakukan, siapa yang mau bertanggung jawab?”cerocos Nayya

.

“Nayya, sebaiknya kita makan dulu.” Rafan memberi nasihat.

“Gimana aku bisa makan dengan enak? Sementara hatiku enggak tenang, Mas. Emangnya enak apa dibohongi.” Nayya memberengut.

Rohana dan Sahid saling bersi tatap. 

“Nak, maafkan kami,” ucap Sahid memberanikan diri. “Kami mengaku salah. Tidak seharusnya merahasiakan hal yang tidak kamu sukai. Tapi justru karena itulah, kami tidak berani jujur.”

“Ibu dan Ayah tahu kalau kamu tidak berkenan menikah dengan seorang duda. Kamu pernah ngajuin syarat semacam itu. Maka dari itu, kita merahasiakannya. Tapi bukan disimpan untuk waktu yang lama. Kami akan memberitahu suatu saat nanti. Menunggu waktu yang tepat. Namun, tampaknya kamu sudah duluan tahu. Maaf.” Giliran Rohana mengakui kesalahan.

Nayya meloloskan napasnya melalui mulut. Nasi, sayur asem, tempe goreng dan sambal terasi yang baru memenuhi piringnya diaduk-aduk tak jelas. Lidahnya terasa hambar untuk bersentuhan dengan makanan. 

“Aku jadi enggak berselera buat makan. Kayaknya aku butuh waktu buat merenungi semuanya.” Nayya bangkit dengan lesu. Membawa tubuhnya untuk pergi ke lantai atas. 

“Maaf, Nak Rafan, suasananya jadi tidak enak begini,” ungkap Sahid.

“Tidak apa-apa, Yah. Lagi pula, saya yang salah. Seharusnya menjadi tugas saya dari awal untuk memberitahu Nayya. Saya akan bicara pada Nayya pelan-pelan nanti.” Rafan menanggapi.

“Sudah. Tidak usah diperpanjang. Aku paling tahu karakter Nayya. Dia pasti sudah memaafkan. Hanya sikapnya saja yang suka gengsi. Ayo, Nak Rafan, dihabiskan makannya!” imbau Rohana.

 Rafan mengangguk sopan.

Menantu idaman. Dua kata yang selalu dielu-elukan Rohana dan suaminya. Bagaimana tidak? Selain wajahnya ganteng, ia begitu ringan tangan membantu pekerjaan rumah. Seperti saat ini. Rafan membantu mertuanya mencuci piring kotor bekas makan. Air keran melunturkan busa-busa yang menempel pada piring.

“Ibu bisa melakukannya sendiri, Nak. Sebaiknya kamu beristirahat saja.” 

“Saya senang melakukannya, Bu. Lagi pula, sejak kecil sudah terbiasa membantu pekerjaan ummi di rumah.” Rafan mengembangkan senyum.

“Abah dan ummi kamu pasti sukses mendidik putra-putranya.” Rohana tersenyum penuh penghargaan. 

“Ibu bikin susu buat Nayya. Biasanya kalau malas makan, dia minum susu. Bawalah ke atas untuk istrimu!” Gelas di tangannya berpindah ke tangan menantu laki-lakinya.

“Baik, Bu.”

Selangkah demi selangkah, Rafan sudah melewati semua anak tangga berwarna cokelat. Ia berdiri di depan pintu dan mengetuknya perlahan. 

“Minumlah susu ini, Nay! Perutmu butuh asupan.” Rafan menyerahkan gelas berisi susu vanila kepada sang istri. 

Dengan bibir tertekuk, Nayya menerimanya. Meminum sedikit demi sedikit. Masih sisa setengahnya, ia letakkan di atas nakas. 

“Kenapa cemberut terus, Nay?”

“Mas?”

“Ya?”

“Kenapa sih, manggilnya Nay, Nay, Nay terus? Kita kan sepasang suami istri.” Cemberutnya semakin parah.

Alih-alih merasa bersalah, Rafan tergelak. 

“Kenapa malah ketawa? Kalau manggil nama ‘kan nggak ada bedanya sama kayak aku manggil nama Gina.” 

“Terus kamu mau dipanggil apa?”

 “Pokoknya mau yang romantis,” kata Nayya sedikit malu-malu.

“Iya, Sayang.” Masih terasa kaku di lidah sang ustaz. 

“Hah? Apa? Aku enggak denger.” 

Rafan menarik hidung Nayya. “Sayangku.”

Tanpa aba-aba, wanita itu langsung memeluk suaminya. “Makasih.”

“Makasih apa?”

“Sayang.”

Rafan mengulum senyum sembari menggelengkan kepala. Tingkah sang istri selalu menggemaskan. 

“Sayang, aku ada jadwal perjalanan bisnis selama tiga hari. Apa kamu mau ikut?” tanya Rafan.

Nayya manyun lagi. “Kamu ini gimana sih, Mas. Kita ‘kan belum lama nikah. Kamu malah mau pergi. Lagian kalau aku ikut pasti ditinggal sendirian di hotel ‘kan?” 

“Iya, makanya ini kunjungannya yang deket-deket dulu aja. Aku usahakan biar bisa pulang lebih cepet. Insyaa Allah. Kalau ngajak kamu ke tempat kerja, takut nanti bosan di sana. Tapi spesial, malamnya buat kamu.” Rafan berusaha merayu.

Nayya menggeleng. Membayangkan kalau suaminya pulang kerja bukannya bermesraan, malah ditinggal tidur karena capek.

“Oh, jadi enggak mau ikut?”

“Maunya kalau enggak ada acara kerja. Pengen full sama-sama.” Wajah Nayya berubah sendu.

“Ok. Kalau enggak ada halangan kita pergi sama-sama setelah aku pulang dari Bandung.” 

“Oh, jadi ke Bandung?”

Rafan mengangguk. “Enggak apa-apa ‘kan ditinggal beberapa hari?”

“Ya udah. Tapi nanti kalau udah pulang, kita pergi ke tempat yang pengen aku kunjungi ya?” 

“Iya, Sayang.”

“Hmmm.” Desah napas panjang terdengar dari mulut Nayya.

Rafan membelai anak rambut Nayya lembut. Wanita itu merinding diperlakukan demikian. Bulu kuduknya pada berdiri. Ia menelan ludah. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Rafan tertawa melihat istrinya mematung. Ditambah lagi, terlihat bulu-bulu halus di tangannya berdiri. Wanita itu pasti sedang menahan geli.

“Kamu sungguh enggak mau berubah pikiran? Tiga hari itu enggak sebentar loh? Rasanya kayak tiga tahun,” goda sang ustaz.

“Ya udah. Enggak usah pergi aja kalau gitu.” Nayya merajuk. Menyandarkan kepala di dada sang suami.

Rafan meraih tangan Nayya. Menggenggamnya erta-erat. Mengecup pucuk kepala wanita yang dicitainya itu. Sebenarnya ia merasa bersalah harus meninggalkan sang istri. Status pernikahan mereka masih sangat baru. Namun, Rafan tidak bisa mengubah jadwal yang sudah tersusun rapi.

“Aku kemarin khawatir banget sama kamu loh, Mas. Aku bingung, mau menghubungimu ke mana. Aku ngerasa bersalah banget. A-aku takut kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu.” Nayya berucap sedih.

“Sssttt! Enggak usah dibahas lagi, ya. Yang terpenting sekarang aku baik-baik aja. Kamu enggak perlu ngerasa bersalah terus. Aku bisa ngerti kok.” Untuk ke sekian kalinya. Rafan mencium kening Nayya.

“Kamu ‘kan bisa pinjam HP temen buat telepon ke rumah kemaren, Mas.” Nayya masih saja merajuk.

Sejenak, Rafan terbungkam. “Aku sudah mencoba menghubungi berkali-kali. Pakai HP temen. Sudah kirim pesan juga. Tapi sampai aku kembali, semua pesan belum terbaca. Ujung-ujungnya, aku yang kirim pesan. Aku juga yang baca isi pesanku sendiri.

“Tunggu, maksud Mas Rafan menghubungi ke nomor yang mana, ya?” cecar Nayya.

“Ke nomor HP-ku sendiri.” 

“Pantesan aja!” 

“Memang kenapa? Aku ‘kan enggak hafal nomor kamu. Nomor ayah sama ibu juga belum punya. Aku pikir, karena HP-ku ikut terkurung sama kamu. Jadi, aku berusaha buat ngirim kabar ke HP aku sendiri. Harapannya, kamu mau angkat teleponku,” terang Rafan.

“Jadi, kemarin itu Mas Rafan? Aku enggak tahu. Pantesan HP kamu bunyi terus. Ya udah. Mulai sekarang hafalin. Biar kalau ada apa-apa bisa langsung ngasih kabar. Sini, mana HP-nya?” Nayya bergaya seperti aparat kepolisian yang meminta barang bukti dari tersangka.

Rafan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Menyerahkan benda pipih hitam itu kepada Nayya. “Kamu juga hafalin nomor aku, ya, Sayang.”

“Udah hafal.” Nayya kemudian menyebutkan angka sebanyak dua belas digit. Ia menjulurkan lidah meledek sang suami. Perkara hafal-menghafal nomor telepon Nayya ahlinya.

“Nomorku terlalu gampang untuk diingat,” sangkal Rafan.

“Aku emang cepet kalau disuruh menghafal. Tapi emang nomor Mas Rafan cantik sih. Siapa aja pasti bisa langsung inget.”

“Cantikan kamu,” goda Rafan lagi. 

“Iih, Mas Rafan.” Sekarang lengan Rafan yang jadi sasaran pukulan Nayya. “Gombal melulu.”

“Tapi seneng ‘kan?”

Nayya tersipu. Tidak sengaja bibirnya tergigit. Melihat hal itu, Rafan beraksi. Mendekat ke wajah Nayya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Ustaz Gundul   Nikahan Gina dan Kepergian Iin

    Pagi itu, suasana di gang kecil kawasan Depok terasa berbeda. Rumah sederhana milik keluarga Kardi, yang terletak di sebelah rumah orang tua Nayya, dihiasi dengan janur kuning dan bunga melati yang dirangkai indah. Meski sederhana, nuansa kebahagiaan dan kehangatan terpancar dari setiap sudut rumah.Acara pernikahan Gina dan Furqon dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, diikuti dengan khutbah nikah yang disampaikan oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama setempat. Dalam khutbahnya, penghulu menekankan pentingnya membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.Tibalah saat ijab kabul. Dengan suara tenang, Kardi mengucapkan ijab, menyerahkan putrinya kepada Furqon. Furqon menjawab dengan lantang dan penuh keyakinan, menandai sahnya pernikahan mereka di hadapan Allah dan para saksi.Di antara para tamu, tampak Abah Musa hadir bersama cucunya, Hanun. Kehadiran mereka membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga besar. Namun, Iin, mantan istri Rafan, tidak tampak dalam aca

  • Pesona Ustaz Gundul   Khitbah

    Hari itu akhirnya tiba, hari yang telah lama dinantikan, setelah perjalanan panjang yang penuh liku, Gina akhirnya menemukan tambatan hati sejatinya. Perasaan yang selama ini tertahan dan bingung, ternyata jatuh pada sosok Furqon. Cinta yang selama ini bersemayam di dalam dada Gina, kini menemukan pelabuhan yang tepat.Seminggu setelah Kardi dan Een kembali bersatu, Furqon, dengan penuh harap dan doa, bersama keluarganya mendatangi kediaman keluarga Gina di Depok. Mereka datang dengan niat tulus, melamar dan memohon restu untuk melangkah bersama di masa depan, di tengah suasana penuh haru dan kebahagiaan yang menyelimuti.Di rumah itu, suasana tidak hanya ramai dengan kedatangan keluarga Furqon, tetapi juga Nayya dan orang tuanya yang menjadi saksi dari khitbah yang dilakukan Furqon. Semua mata tertuju pada momen sakral tersebut, di mana tak hanya keluarga dekat yang hadir, tetapi juga orang-orang yang mendukung perjalanan cinta mereka.Ibrahim, kakak Furqon, berdiri di depan, mewakil

  • Pesona Ustaz Gundul   Kembali Pulang

    Dalam ruangan yang sederhana, suara mesin jahit terdengar lirih. Een, perempuan setengah baya yang wajahnya tenang dan tangan terampil itu, sedang duduk di dekat jendela, matanya sesekali melirik ke luar sembari meneruskan pekerjaannya. Sehelai kain panjang berwarna biru muda terhampar di meja, menunggu sentuhan akhir dari jarum di tangannya.Sore itu, langkah kaki terdengar mendekat. Pintu depan yang sedikit terbuka membuat Een mengangkat wajahnya. Kardi, pria yang sudah lama tak ia jumpai, kini berdiri di ambang pintu. Pandangannya dalam dan sorot matanya penuh tekad, tetapi ada kesan lelah yang tak dapat disembunyikan.“Boleh duduk, Een?” tanyanya sambil mengangguk kecil ke arah kursi di hadapan Een.Een tak menjawab, hanya menggeser kursi lain dengan gerakan singkat. Pandangannya kembali tertuju pada kain biru yang dijahitnya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang kini mulai menguasai hatinya. Mereka sudah berpisah bertahun-tahun tanpa pertemuan yang berarti. Meski demikian, peras

  • Pesona Ustaz Gundul   Permohonan untuk Kembali

    Sesampainya di rumah, Gina mendapati ibunya sedang di dapur, menyelesaikan masakan kesukaannya. "Ma," sapa Gina sedikit canggung.Een tersentak kaget melihat sang putri yang sudah cukup lama meninggalkannya ke Jawa tiba-tiba berdiri di depannya. "Gina? Kamu udah pulang?" Een buru-buru mengelap tangannya menggunakan celemek yang tengah dipakainya. Een langsung memeluk tubuh sang putri yang mematung. Gina memeluk balik tubuh orang yang dirindukannya. "Kamu kenapa? Sakit?" Een bertanya saat menyadari bibir sang putri terlihat putih pucat. Gina menggeleng. "Aku nggak sendirian, Ma. Aku bawa seseorang kemari.""Siapa? Apa Nayya ikut pulang?" Een menanyakan Nayya yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Gina menggeleng. "Nayya masih belum bisa pulang karena suaminya masih ada beberapa jadwal ceramah.""Kalau gitu, kamu sama siapa?" Een sudah sangat penasaran. Ia tidak lagi menunggu jawaban anaknya. Een langsung pergi ke luar untuk melihat siapa orang yang datang bersama Gina. Seny

  • Pesona Ustaz Gundul   Pinangan Furqon

    Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet

  • Pesona Ustaz Gundul   Ungkapan Rasa yang Tidak Terduga

    Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status