Share

Petaka Di Gunung Rinjani
Petaka Di Gunung Rinjani
Penulis: Tama Fernandez

bab 1

Penulis: Tama Fernandez
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 15:57:02

Pagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika.

"Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya.

"Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal.

Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu.

Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tempat berkumpul rutin mereka.

"Eh, Ucok sama cewek-cewek belum datang ya?" tanya Firman sambil meletakkan tas di kursi.

Tak lama kemudian, Ucok datang dengan langkah tergesa-gesa. "Gue baru selesai piket kelas, tadi disuruh Bu Ratna bersihin papan tulis," jelasnya sambil menarik kursi.

"Makanya jangan suka corat-coret di papan tulis," ledek Deri sambil tertawa.

Margareta dan Diana muncul dari arah kantin bagian dalam, masing-masing membawa nampan berisi makanan. Margareta dengan gaya rambut bob-nya yang rapi terlihat tenang dan terkendali. Sementara Diana dengan kuncir kuda tingginya tampak lebih ceria.

"Kalian udah pesen belum? Tadi gue lihat mie ayam Pak Budi kayaknya enak banget," kata Diana sambil duduk di sebelah Margareta.

Firman menggeleng sambil mengeluarkan bekal dari tasnya. "Gue bawa bekal dari rumah. Mama masak nasi goreng kemarin."

Mereka mulai makan sambil ngobrol tentang hal-hal remaja pada umumnya. Tugas matematika yang susah, guru fisika yang galak, dan rencana nonton bioskop akhir pekan.

"Ngomong-ngomong, liburan semester tinggal sebulan lagi," kata Firman tiba-tiba. "Kalian udah ada rencana belum?"

Ucok langsung bersemangat. "Wah, iya juga ya! Gue sih pengennya liburan yang seru. Kemarin bokap bilang bisa kasih uang jajan lebih buat liburan."

"Biasanya sih gue cuma di rumah doang, bantuin mama jualan di warung," jawab Diana. "Tapi tahun ini pengen nyoba sesuatu yang beda."

Margareta menyeka mulutnya dengan tissue. "Gue sih bebas aja. Orang tua gue bilang terserah mau liburan kemana, yang penting jangan kemana-mana sendirian."

Mata Firman berbinar ketika mendengar respons teman-temannya. "Kalian mau denger ide gue?"

"Apa?" tanya semua teman-temannya hampir bersamaan.

Firman menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum lebar. "Gimana kalau kita naik Gunung Rinjani di Lombok? Yang jalur extreme, bukan yang biasa-biasa."

Keheningan sejenak menyelimuti meja mereka. Diana hampir tersedak air minumnya, sementara Margareta menatap Firman dengan ekspresi tidak percaya.

"Gunung Rinjani? Serius lo, Man?" tanya Ucok dengan mata membulat. "Itu kan gunung yang tingginya ribuan meter."

Firman mengangguk yakin. "Iya, serius banget. Gue udah riset di internet, pemandangannya gila-gilaan. Ada danau di puncaknya, terus ada gunung kecil di tengah danau itu."

Diana menggeleng-geleng kepala dengan wajah pucat. "Gue takut naik gunung, Man. Gimana kalau nanti kita nyasar? Atau ada binatang buas?"

"Tenang, Di. Kita kan nggak sendirian, pasti ada guide-nya," hibur Firman. "Lagian, ini kesempatan bagus buat kita ngerasain petualangan beneran sebelum lulus SMA."

Margareta masih terlihat skeptis. "Firman, lo tau nggak sih naik gunung itu nggak main-main? Persiapannya banyak banget, fisiknya harus kuat, peralatannya mahal. Belum lagi biaya transportasi ke Lombok, penginapan, sama guide-nya."

"Betul kata Margareta," tambah Diana. "Mama gue pasti nggak izin kalau tau gue mau naik gunung."

Deri yang dari tadi diam sambil makan, tiba-tiba angkat bicara. "Sebenernya ide lo menarik juga, Man. Gue sih setuju-setuju aja, asal ada yang bayarin."

Semua teman-temannya langsung tertawa mendengar jawaban khas Deri.

"Lah, lo pikir gue sultan?" protes Firman sambil ikut tertawa.

Ucok tiba-tiba bersemangat lagi. "Eh, tapi seriously nih, gue tertarik. Kayaknya seru banget naik gunung bareng-bareng. Kita bisa camping, masak di alam terbuka, liat bintang di malam hari."

"Lo terlalu banyak nonton film adventure, Cok," kata Diana sambil menggeleng. "Realitanya nggak segampang itu. Dingin, capek, kotor, terus kalau hujan gimana?"

Firman semakin bersemangat. "Makanya namanya petualangan, Di. Kalau gampang namanya juga bukan petualangan. Lagian, kita masih muda, fisik kita masih kuat."

"Fisik lo mungkin kuat, fisik gue yang kayak lidi gini gimana?" tanya Diana sambil melihat tangannya.

Margareta menghela napas panjang. "Firman, gue nggak bilang ide lo jelek. Tapi lo harus realistis juga. Kita bukan atlet, kita cuma anak SMA biasa yang paling jauh jalan kaki cuma dari gerbang sekolah ke kelas."

"Iya, dan pengalaman hiking gue cuma waktu study tour ke Puncak tahun lalu," tambah Ucok. "Itupun cuma jalan santai."

Firman melihat satu per satu wajah teman-temannya. Ada keraguan, ada ketakutan, tapi dia juga melihat secercah ketertarikan. "Gue tau ini kedengarannya gila, tapi percayalah, kalau kita nggak coba sekarang, kapan lagi?"

"Emang kenapa harus sekarang?" tanya Diana.

"Karena setelah lulus, kita semua bakal sibuk sama urusan masing-masing. Kuliah, kerja, pacaran serius," jawab Firman dengan nada serius. "Ini mungkin kesempatan terakhir kita buat melakukan sesuatu yang gila-gilaan bareng-bareng."

Suasana di meja mereka berubah menjadi lebih serius. Kata-kata Firman mengingatkan mereka bahwa masa SMA akan segera berakhir. Persahabatan yang sudah terbangun bertahun-tahun mungkin akan berubah.

Bel masuk berbunyi, menandakan istirahat sudah berakhir. Mereka semua bersiap-siap untuk kembali ke kelas masing-masing.

"Pikirin dulu deh, guys," kata Firman sambil mengemasi sisa bekalnya. "Gue kasih waktu seminggu buat kalian memutuskan. Kalau setuju, kita mulai planning serius."

Diana masih terlihat ragu-ragu. "Gue harus diskusi sama orang tua dulu."

"Gue juga harus hitung-hitung budget," tambah Deri sambil menggendong tasnya.

Margareta berjalan paling belakang, masih terlihat memikirkan usulan Firman dengan serius. "Lo yakin banget nih, Man? Ini bukan keputusan yang bisa diambil sembarangan."

Firman menoleh sambil tersenyum penuh keyakinan. "Gue yakin banget, Gre. Ini bakal jadi pengalaman yang nggak akan kita lupain seumur hidup."

Mereka berpisah di persimpangan koridor, masing-masing menuju kelas yang berbeda. Tapi pikiran mereka semua masih terjebak pada usulan gila Firman tentang pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.

Di kelasnya, Firman duduk di bangkunya sambil melamun. Mata guru yang sedang menjelaskan pelajaran biologi tidak mampu mengalihkan pikirannya. Dia sudah membayangkan dirinya berdiri di puncak Rinjani, memandang pemandangan yang spektakuler sambil merasakan angin gunung yang sejuk.

Sementara itu, di kelas sebelah, Diana masih terlihat gelisah. Dia terus membayangkan skenario-skenario menakutkan yang bisa terjadi di gunung.

Margareta di kelasnya yang lain, justru sudah mulai membuat catatan tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan kalau mereka benar-benar jadi pergi. Sifat terorganisirnya mulai bekerja, meski dia masih ragu.

Ucok dan Deri yang sekelas, sesekali saling bertukar pandang sambil tersenyum. Mereka berdua sepertinya adalah yang paling antusias dengan ide Firman.

Hari itu berakhir dengan lima remaja yang pikirannya dipenuhi oleh satu hal yang sama: Gunung Rinjani dan petualangan ekstrem yang mungkin akan mengubah hidup mereka forever.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 82

    Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 81

    Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 80

    Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 79

    "Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 78

    Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 77

    Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status