Renata belum sempat mencerna apa yang terjadi dengan dirinya saat beberapa pria berdatangan dengan memegang senjata di tangan masing-masing.
“Mau apa kalian? Pergi! Jangan ganggu aku!”
Pria-pria berbadan tegap tersebut tak menggubris omongan Renata, bahkan mereka malah menertawakannya, Renata tak mampu melihat wajah-wajah mereka dengan jelas.
“Pergiiii! jangan ganggu aku!”
Karena ketakutan, Renata berusaha berlari kembali, namun tangan kekar para pria tersebut berhasil menangkap tubuh Renata.
“Tidaakkk.... jangan sakiti aku, tolooooonggg”
Teriakan Renata seolah memantul dalam lorong tersebut, tak ada siapapun disana yang bisa menolongnya, Renata terus meronta dan berteriak meminta tolong.
“Tolooooong....”
Renata melihat tangan kekar mereka hendak menyentuhnya, Renata sudah bersiap untuk menangkis dan melawan sebisanya, hingga yang dia rasakan adalah tepukan lembut di pipinya.
“Renata... Renata bangun Re”
Terdengar lirih sebuah suara yang lembut memanggil Renata yang masih berteriak meminta tolong, saat itulah dilihatnya sebuah cahaya yang semakin lama kian membesar hingga mata Renata melihat sinar terang benderang di sekitarnya.
“Re... kamu sudah sadar?”
“Ya Tuhan... syukurlah kamu akhirnya sadar Re”
Kali ini Renata mendengar suara Yoke dan Nadia. Perlahan Renata mengerjapkan matanya, dan benar saja, dilihatnya sosok kedua sahabatnya tersebut sedang berdiri di sisi kanan dan kiri, sedang Renata terbaring di ranjang dalam sebuah ruangan yang semua dindingnya berwarna putih.
“A..aku dimana?”
“Kamu di ruang IGD, kami membawamu kesini karena kamu dalam keadaan tak sadarkan diri dan terus berteriak meminta tolong” kali ini bukan suara Yoke maupun Nadia, tetapi itu adalah suara asing yang belum pernah Renata dengar, dilihatnya kini sudah berdiri sosok pria paruh baya dengan mengenakan pakaian yang menunjukan bahwa dia bukan orang sembarangan.
Yoke dan Nadia mundur memberi jalan pada pria tersebut sambil mengangguk hormat padanya.
“Re, ini Pak Bramantyo, rektor kampus kita,” ucap Yoke.
Mendengar itu Renata berusaha bangun dan duduk, namun gerakanya di tahan oleh Pak Bramantyo.
“Tidak apa nak Renata, kamu tiduran saja, wajahmu masih terlihat pucat, saya datang kesini karena ingin meminta maaf atas nama anak saya, Dylan”
Renata mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan arah pembicaraan sang rektor. “Maksud bapak gimana ya? Kenapa meminta maaf?”
“Iya nak, sebenarnya bapak juga malu atas kelakuan anak bapak itu, tapi bapak pastikan hal itu tidak akan terulang kembali, jadi bapak harap nak Renata tak perlu memperpanjang masalah ini, biar bapak sendiri yang akan memberi pelajaran pada Dylan”
Renata semakin tak mengerti dengan maksud Bramantyo. “Sepertinya ada kesalah pahaman disini pak, ijinkan saya menjelaskan terlebih dahulu”
Saat itu pintu ruangan terbuka, dan masuklah seorang dokter di iringi perawat. Mereka langsung memeriksa keadaan Renata setelah meminta ijin terlebih dahulu pada Bramantyo.
“Bagaimana keadaanya dok?,” tanya Bramantyo.
“Pasien hanya syok, tapi dia baik-baik saja, dan sudah boleh pulang, hanya saja harus istirahat dan tidak boleh stress”
setelah dokter dan perawat keluar dari ruangan tempat Renata dirawat, pintu kamar kembali terbuka, kali ini Renata melihat sosok Dylan melangkah masuk.
“Mau apa kamu kesini?” suara Bramantyo meninggi saat melihat anak semata wayangnya datang, kedua tanganya langsung mencengkram kerah kemeja Dylan.
“Lepas pah, biarkan aku menyelesaikan urusanku”
“Urusan apa hah?! Kelakuan kamu itu hanya membuat papa malu saja! pergi sana!”
“Aku tidak akan pergi sebelum berbicara dengan Renata”
“Tidak ada yang harus kalian bicarakan, papa sudah mengurus semuanya, sekarang kamu pergi saja, dan biarkan Renata beristirahat”
“Apa yang bisa papa urus? Papa hanya memutuskan sepihak yang menurut papa benar tanpa mempedulikan kebenaranya”
“Cukup Dylan, papa sudah pusing dengan semua kelakuan bejatmu itu, sebaiknya kamu sekarang pergi dari sini”
Bramantyo hendak mendorong tubuh Dylan agar menjauh, namun gerakanya tertahan kala mendengar Renata memintanya untuk mengijinkan Dylan ada disana.
“Maaf Pak Bramantyo, tapi tolong ijinkan Dylan tetap disini, saya juga ada beberapa hal yang ingin ditanyakan padanya,” pinta Renata.
“Papa dengar sendiri kan? Renata memintaku untuk disini.” Dylan melangkah mendekati ranjang pasien. “Apa kamu baik-baik saja?,” tanyanya dengan tetap menatap wajah Renata.
Dylan menyeret kursi agar lebih dekat ke ranjang tempat Renata terbaring, sedangkan Renata melihat ke arah Dylan dengan keheranan, karena wajah Dylan penuh lebam, bahkan disudut bibirnya masih terlihat sedikit darah yang sudah mengering. ‘Apa Kak Dylan berkelahi dengan Seno?’ pikirnya.
“Apa yang terjadi dengan wajahmu? Apa kamu berkelahi?”
Dylan yang mendegar pertanyaan Renata hanya tersenyum sinis dengan melirik ke arah ayahnya. Bramantyo langsung berjalan mendekat dan menarik Dylan agar menjauh dari Renata.
“Maafkan anak bapak ya nak, tolong kali ini biarkan dia pergi, bapak berjanji dia tak akan membuat ulah lagi”
“Tapi... maksud bapak apa?.” Renata bangkit dan duduk bersandar pada sandaran ranjang, dia masih merasa pusing untuk duduk tegak. Yoke langsung mendekat dan memegang tangan Renata tanpa berkata apa-apa, wajah Yoke dan Nadia terlihat tegang dan cemas.
“Pa, sebaiknya papa mendengarkan dulu apa yang ingin dikatakan Renata”
“Sudah papa bilang, cukup Dylan, papa sudah membereskan semua permasalahan yang kamu buat, sekarang pulanglah”
“Aku tidak akan pulang sebelum berbicara dengan Renata”
“Renata harus beristirahat di rumahnya, dokter juga sudah mengijinkanya untuk pulang, dan papa sudah menyiapkan supir dan mobil untuk mengantarkanya pulang”
“Kalau begitu biar aku saja yang mengantarkanya”
“Kamu ini bicara apa Dylan?! Jangan membuat papa tambah marah dengan kelakuanmu”
“Maaf Pak Bramantyo, kalo boleh ijinkan saya bicara sebentar dengan Kak Dylan dan saya setuju jika Kak Dylan yang mengantarkan saya pulang”
Bramantyo terbengong mendengar permintaan Renata, namun pada akhirnya dia mengalah dan membiarkan Renata diantar pulang oleh Dylan.
***
Saat ini Renata sudah dalam perjalanan pulang dalam mobil yang dikendarai Dylan. Dia duduk di kursi penumpang di sebelah supir, dan tentu saja di seat belakang telah duduk manis Yoke dan Nadia yang memaksa ikut dengan alasan khawatir akan keadaan sahabat mereka.
“Kak Dylan, kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, apa kalian berkelahi?”
Dylan melirik sebentar ke arah Renata, dia mengerti siapa yang Renata maksud dengan kalian, namun dia terlihat enggan untuk menjawab pertanyaan Renata. Untunglah Nadia sudah kembali ke mode aslinya, dan dia langsung menyampaikan informasi yang dia ketahui.
“Kak Dylan babak belur begitu karena di hajar oleh bapak rektor, karena kalian berdua kedapatan sedang berduaan di ruang UKM yang sepi tadi”
“Apa?? Tapi... kami tidak melakukan apapun” Renata kaget mendengar penjelasan Nadia.
“Ohh.. jadi kalian tidak melakukan yang dituduhkan orang-orang?”
“Memangnya orang-orang menuduh kami melakukan apa?”
“Ituu.. katanya kalian berdua tadi sedang... awwwh...” Nadia meringis dan mengusap lenganya yang dicubit oleh Yoke.
“Lo jangan banyak mikir dulu Re, mending istirahat aja, dokter juga udah ngasih surat ijin ko, jadi besok lo ga usah dateng ke kampus, istirahat aja di rumah,” ucap Yoke.
Renata menoleh ke belakang, menatap Nadia dan Yoke penuh selidik. “Ke, mending lo cerita yang sebenarnya, daripada nanti gue cari tau sendiri, kan ngerepotin gue jadinya”
Yoke memutar kedua bola matanya. “Ya lo mikir aja sendiri Re, lo berduaan sama Kak Dylan di ruang UKM, masih pagi banget, kampus masih sepi, ngapain coba? Udah gitu pas kepergok sama Pa Damar tadi, lo posisinya lagi tergeletak di lantai, trus Kak Dylan posisinya lagi mau nyium lo gitu”
“Aku lagi berusaha bikin Renata sadar, bukan mau nyium, tapi ngasih napas buatan. Paham kalian?!”
Dylan kesal dengan kalimat teman-teman Renata yang cenderung menuduhnya melakukan hal tidak senonoh terhadap Renata.
Yoke dan Nadia langsung terjengat mendengar suara Dylan yang membentak.
“Eh..iya.. paham kak, tuh Ke dengerin, jangan suudzon aja bisanya”
Renata pun langsung membalikan tubuhnya kembali menatap ke depan. Kini dia mengerti mengapa Dylan mendapatkan luka di wajahnya.
“Maaf,” ucap Renata lirih dengan wajah tertunduk. Dia merasa bersalah pada Dylan. Akibat dari percobaan idenya kini Dylan yang jadi korban tuduhan orang-orang.
Dylan mengantarkan Renata sampai di rumahnya, dan malam ini baik Yoke maupun Nadia memutuskan untuk menginap di rumah Renata, Dylan pun berpamitan pulang setelah sebelumnya membuat Renata setuju untuk bertemu denganya di cafe ataupun menginjinkanya untuk kembali mengunjungi Renata di rumahnya, dan memintanya untuk bicara hanya berdua saja.Malam ini ketiga gadis tersebut tidur dalam satu kamar, walaupun ranjang Renata berukuran single tetapi kamarnya lumayan besar, hingga Mba Iyus bisa menyiapkan extra bed untuk Yoke dan Nadia.“Re, lo istirahat aja, tidur di ranjang, biar gue sama Nadia tidur di bawah, di extra bed”“Iya Re, lagian extra bednya empuk ko” Nadia menimpali perkataan Yoke.Yoke dan Nadia sudah mengatur posisi ternyamannya, dan merebahkan diri. Melihat kedua temanya bersiap untuk tidur, Renata pun ikut merebahkan diri di ranjangnya, meskipun sebenarnya dia sangat ingin menceritakan pada Yoke dan Nadia tentang hal yang dialaminya saat di ruang UKM, namun dia memutuskan unt
Akhirnya dengan terpaksa Renata menyanggupi permintaan Seno, dia terus memutar otak bagaimana menyelidiki kasus Seno. Namun selalu saja pikiranya berakhir buntu, dia tak bisa menemukan ide apapun untuk membantu Seno mengingat kembali masa lalunya. “Kau pulanglah dulu Seno, aku harus beristirahat, semoga besok pagi otakku bisa kupakai untuk mencari ide cemerlang untuk mengungkapkan kasusmu” Tanpa menunggu jawaban Seno, Renata langsung beranjak dan kembali lagi ke dalam kamarnya. Disana dia melihat kedua sahabatnya masih tertidur pulas. ‘Apa aku minta bantuan dua orang ini aja ya?’ pikir Renata. Renata pun memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Yoke dan Nadia esok hari, dia segera naik ke atas ranjang dan berusaha untuk kembali tidur. Namun matanya seperti susah untuk diajak kerjasama, semakin dia berusaha semakin matanya terjaga. Alhasil itu membuat Renata terus berguling ke kanan dan ke kiri, menimbulkan suara berisik yang membuat Yoke terbangun. “Re? Lo ga bisa tidur ya?” R
Pagi ini Renata cs kembali membahas masalah Seno, walaupun mereka telah bangun namun ketiganya masih setia rebahan di kasur, belum ada satupun yang keluar kamar.“Non... Non Rena, bangun non, sarapanya sudah siap”Seperti biasa Mba Iyus selalu membangunkan Renata untuk sarapan.“Iya mba, ini sudah bangun kok dari tadi” sebelum Renata sempat membuka mulutnya, Yoke terlebih dahulu menjawab dengan tereakanya yang membahana, Mba Iyus yang berdiri di depan pintu sampai harus menutup kedua telinganya.Hari ini sesuai janjinya pada Seno, Renata bertekad akan berusaha mencari informasi mengenai Seno ataupun orang-orang yang terlibat kejadian di hari Seno ditemukan tewas. Renata tak banyak bicara saat mereka menyantap sarapan yang disediakan Mba Iyus, hanya sesekali Nadia terdengan berbicara seputar gosip kampus, Yoke pun terlihat enggan mengeluarkan suaranya, dia hanya makan sambil tanganya sibuk memainkan ponsel.“Ke, kamu serius amat ngeliatin hp, lagi chatingan sama siapa?”“Ah.. lo kepo b
“Maksud Kak Dylan? Aku ga ngerti deh, bukanya kalian bersahabat ya?”“Kami berempat memang dekat dari jaman sekolah dulu, tapi Seno selalu menganggapku adalah sainganya”“Berempat?” Renata pura-pura tidak mengerti siapa yang Dylan maksud dengan berempat.“Jaman sekolah dulu kami bersahabat, ada empat orang, aku, Seno, Wendi dan Yasmine”“Yasmine?”Wajah Dylan terlihat murung saat Renata menanyakan hal tentang Yasmine.“Maaf kak, kalau pertanyaanku susah untuk dijawab, ga usah di jawab aja”Dylan menarik napas panjang, dan menggelengkan kepala.“Tidak apa-apa Re, hanya saja... ada hal yang mungkin kau tidak akan mengerti jika kuceritakan”Renata langsung antusias mendengarnya. “Coba aja dulu cerita kak, kali aja ternyata aku mengerti”Dylan tertawa melihat sikap Renata yang dianggapnya seperti anak kecil yang sedang membujuknya untuk memberikan mainan baru.“Aku juga ga ngerti, setelah masuk kuliah sikap Seno sedikit berubah, dia seperti bersaing denganku, entah... aku sendiri tidak t
Seno menatap tanganya sendiri, terdapat tanda di dekat pangkal jari kelingkingnya, tidak terlalu besar dengan bentuk acak berwarna coklat gelap. Seno tampak sedang memikirkan sesuatu, dia mengerutkan keningnya dalam.“Seno? Kamu lagi mikirin apa?”Bukanya menjawab pertanyaan Renata, Seno malah terlihat asik dengan pikiranya sendiri, hingga perlahan Renata melihat tubuh Seno menjadi samar dan menghilang sama sekali.***Pagi ini Renata sudah kembali pada aktivitas kuliahnya, karena Mang Arija ijin cuti untuk pernikahan anaknya di kampung, jadilah Renata menyetir mobil sendiri ke kampusnya. Dalam perjalanan Renata menerima pesan singkat dari Dylan.[“Renata, jangan lupa sore ini kita bertemu lagi di cafe kemarin, dan aku belum menerima kiriman foto kita”]Renata menghembuskan napasnya kasar dan mengusap wajahnya. “Bagaimana cara aku mengirimkan fotonya? Disana bukan hanya ada kami berdua, tapi ada satu sosok yang menyerupai Seno ikutan berfoto”Hingga sampai di kampus Renata masih tidak
Renata tidak mengatakan apapun lagi, dia berniat akan mencari tau sendiri apa yang disembunyikan Dylan ataupun Wendi. Setelah sarapan mereka berpisah untuk masuk ke kelas masing-masing. Pikiran Renata tak bisa fokus ke materi pelajaran yang disampaikan oleh dosen, dia tenggelam dalam lamunanya sendiri. Hingga salah seorang teman yang duduk di sebelah Renata mencoleknya. “Hei... kamu di panggil tuh sama Pak Damar” Renata gelagapan karena dia tidak mendengar dosen memanggil namanya. “Iy..iya pa?” “Kamu kalau di kelas selalu melamun? Bagaimana kamu bisa lulus kelas saya kalau kamu tak pernah menyimak materi yang saya berikan?” “Maaf pa.. saya tidak akan mengulangi lagi” Beruntung bagi Renata dosen tersebut tidak mempermasalahkan ataupun mengeluarkan Renata dari kelasnya, dia hanya menyuruh Renata menemuinya di ruang dosen setelah perkuliahan selesai. *** Setelah jam kuliah selesai Renata hendak pergi ke ruangan Damar, karena langkahnya terburu-buru tanpa sengaja Renata menabrak s
Tepat pukul tujuh malam Dylan kembali datang ke rumah Renata, dia datang menepati janjinya untuk menjemput Renata, Dylan sedikit terkejut karena melihat ada 3 orang gadis yang sedang menunggunya, dan begitu ketiganya melihat kedatangan Dylan, mereka kompak memberikan senyuman manis padanya.“Nah Kak Dylan sudah datang, ayo kita berangkat kak, biar ga kemaleman,” ucap Nadia“Iya kak, kita semua sudah siap dari tadi” disusul ucapan Yoke yang menegaskan bahwa kali ini Dylan tak akan bisa menikmati malam berdua saja dengan Renata.Sepulang kuliah tadi memang Renata sengaja mengajak kedua sahabatnya untuk ikut bersamanya menemui Dylan di cafe tempat kemarin. Renata juga sempat mengatakan rencana tersebut pada Seno sebelum dia meninggalkan lorong dimana Seno berada.Mereka berempat sudah berada dalam mobil Dylan. Renata dudu disebelah Dylan yang menyetir.“Kak Dylan, besok ada latihan basket lagi ga? Atau panjat dinding?” tiba-tiba saja Renata tergelitik niatan ingin tau apakah Dylan akan b
“Hei... kalian udah pada pesen makanan?,” tanya Dylan memecah kebisuan diantara mereka, dia sudah selesai berbasa basi dengan sang manager cafe, karyawan dari temannya yang pemilik cafe tersebut.“Aku mau pesan makanan best seller di cafe ini kak, boleh kan? kalau lo pesan apa Nad?”“Aku samain aja sama pesanan kamu Ke, atau samain sama pesanan Renata, apapun pasti kumakan”“Kalau aku mau makan yang kemarin Kak Dylan pesankan untukku”“Ok..ok, biar aku pilihkan untuk kalian semua ya? Lo mau pesen apa Wen?”Dylan sekilas menatap Wendi, dan kembali menunduk melihat buku menu ditanganya.“Gue nanti pesen sendiri aja,” jawab Wendi.Mereka pun sudah asik berbincang santai sambil menunggu makanan yang dipesan Dylan untuk mereka semua datang. Yoke dan Nadia kemudian berdiri dan mulai berfoto ria. Dylan yang melihat itu mulai bergabung bersama mereka untuk menunjukan dimana titik pengambilan foto yang keren. Kini hanya tinggal Renata dan Wendi yang masuh setia duduk dan memperhatikan mereka