Share

Bab 6. Lorong Tak Bertepi

 “Ini gila sih, masa sih Seno ternyata orang yang udah meninggal?.” Renata berjalan mondar mandir di kamarnya sambil terus bergumam sendiri, saat kembali dari rumah Nadia tadi memang Renata langsung pulang dan langsung mengunci diri dalam kamarnya.

“Aku harus mencari tau sendiri, aku ga percaya Seno sudah meninggal,” gumam Renata namun sesaat kemudian dia termenung. “Tapi mata Seno memancarkan aura aneh sih, aku kadang takut kalo ngeliat matanya” Renata masih saja bermonolog. Hingga sebuah hembusan angin dingin menerpa wajahnya, Renata tersentak dan langsung menoleh ke arah AC kamarnya, di raihnya remote AC dan dia memeriksanya.

Saat dia melihat tidak ada yang salah dari setinganya, dia pun mengabaikan apa yang baru saja terjadi.

“Aku bukan anak indigo yang bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata, jika aku bisa melihat Seno berarti Seno adalah manusia”

Renata masih gelisah memikirkan semua apa yang di katakan sahabatnya, terkadang dia merebahkan dirinya di atas ranjang, sesaat kemudian berdiri dan berjalan mondar mandir sambil terus bergumam sendiri.

Saat itu suhu udara kamarnya kembali terasa dingin, dan Renata kembali mengecek remote AC, namun angka yang tertera masih seperti sebelumnya.

“Haissh.... kenapa juga ini AC? Ini mah dingin banget”

Terdengar bunyi beep yang menandakan Renata mematikan mesin pendingin ruangan tersebut. Renata kemudian tersenyum sendiri saat melintas sebuah ide di dalam benaknya. Setelah itu dia pun merebahkan diri di ranjang singlenya.

“Semoga ideku ini tidak akan membahayakan diriku sendiri jika seandainya Seno bukanlah manusia,” ucap Renata sebelum dia jatuh terlelap.

***

Renata sudah berada di kampus lebih pagi dari biasanya, dia langsung menuju tempat dimana dia pertama kali bertemu dengan Seno, dia pun duduk di kursi panjang yang ada disana, sambil kepalanya melihat ke kanan dan kiri. ‘Semoga dia cepat menampakan diri,’ gumamnya dalam hati.

“Apa yang kamu lakukan sepagi ini di sini?”

“Aaaaaaaaa.” Renata sangat terkejut melihat kedatangan Dylan yang tiba-tiba sudah berada di di hadapanya.

“Jangan takut, aku bukan hantu”

“Kak Dylan bikin kaget aku, tau ga?!”

Dylan tak memperdulikan ocehan Renata, dia malah mengambil tempat duduk di sisi Renata.

“Kamu ngapain sendirian di sini sepagi ini?”

“Bukan urusan Kak Dylan”

“Memang bukan, tetapi akan menjadi urusanku jika sesuatu terjadi pada salah satu mahasiswi di area fakultas ini, karena aku ketua BEMnya, juga akan merepotkan ayahku karena ayahku adalah rektor di kampus ini”

“Cih... mentang-mentang anak rektor.” Renata bangkit dan berjalan pergi, tak lama dia merasakan cekal dan di tarik.

“Ikut aku”

“Iihhh... Kak Dylan mau ngapain?”

“Jangan bawel, ikut aja”

Meskipun dengan melayangkan protes beberapa kali namun Renata akhirnya menurut mengikuti langkah kaki Dylan, hingga tiba di ruang UKM.

“Mau ngapain disini? ini masih sepi loh? Kak Dylan mau berbuat mesum ya?”

Renata langsung mengaduh saat Dylan menyentil dahinya. “Ngomong tuh pake filter, lagian seleraku itu bukan yang seperti kamu”

“Awas aja kalo Kak Dylan macam-macam sama aku, pasti aku tereak sampe kedengeran ke jalan raya”

“Jangan bawel, ayo cepat masuk, ada yang mau aku tanyain”

Tak berapa lama mereka berdua sudah duduk berhadapan, sama seperti saat pertama kali Dylan membawa Renata ke ruang UKM di hari pertama ospek.

“Mau nanya apa? Cepetan aku sibuk”

“Ceritakan bagaimana kamu bertemu Seno, apa saja yang dikatakanya?”

“Kepo....”

“Aku sedang tidak ingin main-main Renata, aku hanya ingin tau apa benar kamu bertemu Seno atau hanya bualanmu saja”

Belum sempat Renata membalas ucapan Dylan, tiba-tiba suhu ruangan tersebut terasa dingin. Renata menoleh ke arah dinding, mencari keberadaan AC di ruangan tersebut, namun tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara benda berat yang jatuh.

“Kak Dylan?”

Dilihatnya Dylan sudah duduk di lantai dan kursi yang di dudukinya terlempar ke belakang. Renata berdiri dan membantu Dylan untuk bangun, tetapi kembali dikejutkan oleh kursi yang melayang menghantam tubuh Dylan. Untung Renata cepat menarik tanganya dan menggeser tubuhnya menjauh dari Dylan, hingga dia tak ikut terkena hantaman kursi.

“Aarrgghhh,” Dylan menjerit kesakitan, dan Renata memandang semua kejadian itu dengan mata terbelalak.

“Apa yang terjadi?.” Dengan tangan gemetar Renata kembali berusaha membantu Dylan untuk berdiri. Namun matanya kembali terbelalak. “Seno? Jangan Seno! Apa yang kau lakukan?”

Dylan tersentak kaget mendengar Renata menyebut nama Seno. “Seno? Dia ada disini? apa kau melihatnya? Dimana dia?.” Dengan sedikit tertatih Dylan bangkit berdiri mendekatkan tubuhnya pada Renata dan menatapnya heran.

“Apa Kak Dylan tidak melihatnya?”

Dylan menggelengkan kepalanya, “Dimana dia?”

Saat itu sebuah kursi melayang hendak menghantam kembali tubuh Dylan, namun dalam penglihatan Renata, Senolah yang mengangkat kursi tersebut.

“Seno... cukup! Hentikan Seno!”

Dylan menoleh dan melihat kursi tersebut perlahan turun ke lantai. Sedanglan Renata berjalan mendekat ke arah kursi tersebut.

“Seno? Benarkah dia disini?.” Dylan ikut berjalan dan berdiri di sebelah Renata, “Kau melihatnya? Dia ada di sebelah mana?”

Renata melirik Dylan, dia mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Dylan. “Apa kau pura-pura buta? Seno berdiri di depan kita”

“Tapi aku benar-benar tidak melihatnya Renata”

“Seno, katakan sesuatu, jangan diam saja. aku ga mau dianggap aneh”

“Lihat aku Rena, apa aku begitu menakutkan bagimu?,” tanya Seno yang akhirnya membuka mulutnya.

Renata menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Seno. Sedangkan Dylan mengerutkan keningnya melihat Renata geleng-geleng kepala. Namun dia menduga bahwa Renata tengah berbicara dengan Seno yang tak terlihat olehnya.

“Apa yang dia katakan Renata?,” bisik Dylan.

Renata hendak menjawab pertanyaan Dylan, namun kemudian dia teringat akan idenya semalam, langsung saja Renata melangkah maju mendekati Seno dan meraih tanganya. Rasa dingin terasa menjalar di seluruh tangan Renata yang menggenggam tangan Seno, lalu Renata memberanikan diri menatap mata Seno.

“Apa yang kamu lakukan Renata?.” Dylan menarik tangan Renata untuk menjauh dari sana, namun dengan cepat Renata menepisnya.

Renata terus menatap mata Seno yang juga sedang menatapnya. Tak dipedulikanya keberadaan Dylan disana. Renata tetap fokus pada sosok Seno.

“Kau tidak takut padaku kan Rena?”

“Tentu saja tidak, mengapa kamu berpikiran begitu?”

“Semua orang yang melihatku akan lari ketakutan, hanya kamu saja yang tidak takut padaku”

Kian lama Renata menatap mata Seno, semakin Renata merasa tersedot ke dalam sebuah lubang yang dalam tanpa dasar serta gelap, namun Renata terus saja memberanikan diri dengan tidak memutus kontak mata dengan Seno, inilah yang dia rencanakan semalam, ingin tau apa yang terjadi saat dia tak melawan arus yang membawanya seolah terbang ke ruang lain, ke sebuah lorong panjang tak berujung. Hingga Renata melihat sekelilingnya berubah, dia tak lagi berada di ruang UKM, tak dilihatnya juga sosok Dylan maupun Seno. Renata kini berada di sebuah lorong panjang, napas Renata kian berat seolah sudah berlari bermil-mil jauhnya, sayup-sayup dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Renata pun merasakan kakinya kembali berlari.

“Hahh... kakiku lemas sekali, aku tak sanggup lagi berlari, kenapa kakiku seolah bergerak sendiri?”

Renata terus berusaha menyeret langkahnya yang terasa berat. Dari kejauhan dia mendengar beberapa langkah kaki, sepertinya lebih dari dua orang. Renata bahkan tak mengerti mengapa dia terus berlari dan siapa orang yang mengejarnya. Dia hanya merasa bahwa saat ini dia harus berlari sejauh-jauhnya, dia juga merasa bahwa dibelakangnya ada beberapa orang yang mengejar.

“Itu dia disana! Cepat kejar!”

Renata menoleh ke belakang, berusaha melihat suara siapa yang di dengarnya tadi, namun dia tak melihat siapapun disana, hanya mendengar suara orang-orang berteriak untuk menyuruhnya berhenti berlari. Renata berusaha menajamkan pandangan matanya, karena keadaan sekelilingnya gelap. Renata juga merasa dadanya sangat sesak seperti orang yang habis berlari jauh, napas Renata kian tersengal dan tubuhnya terasa lemas, hingga akhirnya tubuh Renata meluruh dan merasakan lantai dingin dan basah dibawahnya. Sayup-sayup Renata mendengar beberapa orang berbicara yang sepertinya ditujukan kepada dirinya.

“Kau harus mengakuinya”

“Sudah jangan banyak protes, turuti saja kemauan kami”

“Mengaku saja, apa susahnya hah?!”

Suara-suara beberapa orang terus terdengar di telinga Renata, namun entah suara siapa itu? mengapa suaranya terdengar dekat? Renata bangkit dengan susah payah dan terus berlari, hingga langkah kakinya sampai di lorong yang tak terlalu gelap, ada sedikti cahaya disana, setidaknya mampu membuat mata Renata bisa melihat tanganya sendiri.

Namun Renata sangat syok saat melihat keadaan tanganya, dia mengangkat kedua telapak tanganya dan mendekatkan ke wajahnya. “Ini...ini... bukan tanganku”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status