“Ini gila sih, masa sih Seno ternyata orang yang udah meninggal?.” Renata berjalan mondar mandir di kamarnya sambil terus bergumam sendiri, saat kembali dari rumah Nadia tadi memang Renata langsung pulang dan langsung mengunci diri dalam kamarnya.
“Aku harus mencari tau sendiri, aku ga percaya Seno sudah meninggal,” gumam Renata namun sesaat kemudian dia termenung. “Tapi mata Seno memancarkan aura aneh sih, aku kadang takut kalo ngeliat matanya” Renata masih saja bermonolog. Hingga sebuah hembusan angin dingin menerpa wajahnya, Renata tersentak dan langsung menoleh ke arah AC kamarnya, di raihnya remote AC dan dia memeriksanya.
Saat dia melihat tidak ada yang salah dari setinganya, dia pun mengabaikan apa yang baru saja terjadi.
“Aku bukan anak indigo yang bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata, jika aku bisa melihat Seno berarti Seno adalah manusia”
Renata masih gelisah memikirkan semua apa yang di katakan sahabatnya, terkadang dia merebahkan dirinya di atas ranjang, sesaat kemudian berdiri dan berjalan mondar mandir sambil terus bergumam sendiri.
Saat itu suhu udara kamarnya kembali terasa dingin, dan Renata kembali mengecek remote AC, namun angka yang tertera masih seperti sebelumnya.
“Haissh.... kenapa juga ini AC? Ini mah dingin banget”
Terdengar bunyi beep yang menandakan Renata mematikan mesin pendingin ruangan tersebut. Renata kemudian tersenyum sendiri saat melintas sebuah ide di dalam benaknya. Setelah itu dia pun merebahkan diri di ranjang singlenya.
“Semoga ideku ini tidak akan membahayakan diriku sendiri jika seandainya Seno bukanlah manusia,” ucap Renata sebelum dia jatuh terlelap.
***
Renata sudah berada di kampus lebih pagi dari biasanya, dia langsung menuju tempat dimana dia pertama kali bertemu dengan Seno, dia pun duduk di kursi panjang yang ada disana, sambil kepalanya melihat ke kanan dan kiri. ‘Semoga dia cepat menampakan diri,’ gumamnya dalam hati.
“Apa yang kamu lakukan sepagi ini di sini?”
“Aaaaaaaaa.” Renata sangat terkejut melihat kedatangan Dylan yang tiba-tiba sudah berada di di hadapanya.
“Jangan takut, aku bukan hantu”
“Kak Dylan bikin kaget aku, tau ga?!”
Dylan tak memperdulikan ocehan Renata, dia malah mengambil tempat duduk di sisi Renata.
“Kamu ngapain sendirian di sini sepagi ini?”
“Bukan urusan Kak Dylan”
“Memang bukan, tetapi akan menjadi urusanku jika sesuatu terjadi pada salah satu mahasiswi di area fakultas ini, karena aku ketua BEMnya, juga akan merepotkan ayahku karena ayahku adalah rektor di kampus ini”
“Cih... mentang-mentang anak rektor.” Renata bangkit dan berjalan pergi, tak lama dia merasakan cekal dan di tarik.
“Ikut aku”
“Iihhh... Kak Dylan mau ngapain?”
“Jangan bawel, ikut aja”
Meskipun dengan melayangkan protes beberapa kali namun Renata akhirnya menurut mengikuti langkah kaki Dylan, hingga tiba di ruang UKM.
“Mau ngapain disini? ini masih sepi loh? Kak Dylan mau berbuat mesum ya?”
Renata langsung mengaduh saat Dylan menyentil dahinya. “Ngomong tuh pake filter, lagian seleraku itu bukan yang seperti kamu”
“Awas aja kalo Kak Dylan macam-macam sama aku, pasti aku tereak sampe kedengeran ke jalan raya”
“Jangan bawel, ayo cepat masuk, ada yang mau aku tanyain”
Tak berapa lama mereka berdua sudah duduk berhadapan, sama seperti saat pertama kali Dylan membawa Renata ke ruang UKM di hari pertama ospek.
“Mau nanya apa? Cepetan aku sibuk”
“Ceritakan bagaimana kamu bertemu Seno, apa saja yang dikatakanya?”
“Kepo....”
“Aku sedang tidak ingin main-main Renata, aku hanya ingin tau apa benar kamu bertemu Seno atau hanya bualanmu saja”
Belum sempat Renata membalas ucapan Dylan, tiba-tiba suhu ruangan tersebut terasa dingin. Renata menoleh ke arah dinding, mencari keberadaan AC di ruangan tersebut, namun tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara benda berat yang jatuh.
“Kak Dylan?”
Dilihatnya Dylan sudah duduk di lantai dan kursi yang di dudukinya terlempar ke belakang. Renata berdiri dan membantu Dylan untuk bangun, tetapi kembali dikejutkan oleh kursi yang melayang menghantam tubuh Dylan. Untung Renata cepat menarik tanganya dan menggeser tubuhnya menjauh dari Dylan, hingga dia tak ikut terkena hantaman kursi.
“Aarrgghhh,” Dylan menjerit kesakitan, dan Renata memandang semua kejadian itu dengan mata terbelalak.
“Apa yang terjadi?.” Dengan tangan gemetar Renata kembali berusaha membantu Dylan untuk berdiri. Namun matanya kembali terbelalak. “Seno? Jangan Seno! Apa yang kau lakukan?”
Dylan tersentak kaget mendengar Renata menyebut nama Seno. “Seno? Dia ada disini? apa kau melihatnya? Dimana dia?.” Dengan sedikit tertatih Dylan bangkit berdiri mendekatkan tubuhnya pada Renata dan menatapnya heran.
“Apa Kak Dylan tidak melihatnya?”
Dylan menggelengkan kepalanya, “Dimana dia?”
Saat itu sebuah kursi melayang hendak menghantam kembali tubuh Dylan, namun dalam penglihatan Renata, Senolah yang mengangkat kursi tersebut.
“Seno... cukup! Hentikan Seno!”
Dylan menoleh dan melihat kursi tersebut perlahan turun ke lantai. Sedanglan Renata berjalan mendekat ke arah kursi tersebut.
“Seno? Benarkah dia disini?.” Dylan ikut berjalan dan berdiri di sebelah Renata, “Kau melihatnya? Dia ada di sebelah mana?”
Renata melirik Dylan, dia mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Dylan. “Apa kau pura-pura buta? Seno berdiri di depan kita”
“Tapi aku benar-benar tidak melihatnya Renata”
“Seno, katakan sesuatu, jangan diam saja. aku ga mau dianggap aneh”
“Lihat aku Rena, apa aku begitu menakutkan bagimu?,” tanya Seno yang akhirnya membuka mulutnya.
Renata menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Seno. Sedangkan Dylan mengerutkan keningnya melihat Renata geleng-geleng kepala. Namun dia menduga bahwa Renata tengah berbicara dengan Seno yang tak terlihat olehnya.
“Apa yang dia katakan Renata?,” bisik Dylan.
Renata hendak menjawab pertanyaan Dylan, namun kemudian dia teringat akan idenya semalam, langsung saja Renata melangkah maju mendekati Seno dan meraih tanganya. Rasa dingin terasa menjalar di seluruh tangan Renata yang menggenggam tangan Seno, lalu Renata memberanikan diri menatap mata Seno.
“Apa yang kamu lakukan Renata?.” Dylan menarik tangan Renata untuk menjauh dari sana, namun dengan cepat Renata menepisnya.
Renata terus menatap mata Seno yang juga sedang menatapnya. Tak dipedulikanya keberadaan Dylan disana. Renata tetap fokus pada sosok Seno.
“Kau tidak takut padaku kan Rena?”
“Tentu saja tidak, mengapa kamu berpikiran begitu?”
“Semua orang yang melihatku akan lari ketakutan, hanya kamu saja yang tidak takut padaku”
Kian lama Renata menatap mata Seno, semakin Renata merasa tersedot ke dalam sebuah lubang yang dalam tanpa dasar serta gelap, namun Renata terus saja memberanikan diri dengan tidak memutus kontak mata dengan Seno, inilah yang dia rencanakan semalam, ingin tau apa yang terjadi saat dia tak melawan arus yang membawanya seolah terbang ke ruang lain, ke sebuah lorong panjang tak berujung. Hingga Renata melihat sekelilingnya berubah, dia tak lagi berada di ruang UKM, tak dilihatnya juga sosok Dylan maupun Seno. Renata kini berada di sebuah lorong panjang, napas Renata kian berat seolah sudah berlari bermil-mil jauhnya, sayup-sayup dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Renata pun merasakan kakinya kembali berlari.
“Hahh... kakiku lemas sekali, aku tak sanggup lagi berlari, kenapa kakiku seolah bergerak sendiri?”
Renata terus berusaha menyeret langkahnya yang terasa berat. Dari kejauhan dia mendengar beberapa langkah kaki, sepertinya lebih dari dua orang. Renata bahkan tak mengerti mengapa dia terus berlari dan siapa orang yang mengejarnya. Dia hanya merasa bahwa saat ini dia harus berlari sejauh-jauhnya, dia juga merasa bahwa dibelakangnya ada beberapa orang yang mengejar.
“Itu dia disana! Cepat kejar!”
Renata menoleh ke belakang, berusaha melihat suara siapa yang di dengarnya tadi, namun dia tak melihat siapapun disana, hanya mendengar suara orang-orang berteriak untuk menyuruhnya berhenti berlari. Renata berusaha menajamkan pandangan matanya, karena keadaan sekelilingnya gelap. Renata juga merasa dadanya sangat sesak seperti orang yang habis berlari jauh, napas Renata kian tersengal dan tubuhnya terasa lemas, hingga akhirnya tubuh Renata meluruh dan merasakan lantai dingin dan basah dibawahnya. Sayup-sayup Renata mendengar beberapa orang berbicara yang sepertinya ditujukan kepada dirinya.
“Kau harus mengakuinya”
“Sudah jangan banyak protes, turuti saja kemauan kami”
“Mengaku saja, apa susahnya hah?!”
Suara-suara beberapa orang terus terdengar di telinga Renata, namun entah suara siapa itu? mengapa suaranya terdengar dekat? Renata bangkit dengan susah payah dan terus berlari, hingga langkah kakinya sampai di lorong yang tak terlalu gelap, ada sedikti cahaya disana, setidaknya mampu membuat mata Renata bisa melihat tanganya sendiri.
Namun Renata sangat syok saat melihat keadaan tanganya, dia mengangkat kedua telapak tanganya dan mendekatkan ke wajahnya. “Ini...ini... bukan tanganku”
Renata terbengong sendiri mendengar perkataan Sena, sedangkan Sena tersenyum-senyum menatap wajah Renata dan membayangkan mereka tinggal bersama.“Sebentar deh Sena, kamu kan baru aja kuliah disini, kenapa mau pindah?”“Ya ga papa sih, abis ternyata disini membosankan suasananya, apalagi kalau nanti ga ada kamu, bisa kebayang kan sekeriting apa otakku nanti?”Renata tertawa renyah mendengar kelakar Sena, “Ada-ada aja kamu Sena”“Kalian berdua lagi ngomongin apaan sih?” Yoke tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Renata dan ikut duduk disisinya.“Hei Yoke, kamu tambah manis aja hari ini”“Aduh Sena, ga usah ngegombalin gue deh, kaga mempan tau ga?! Kemaren gue abis mutusin cowo gue, gara-gara gombalan dia udah basi, udah expired”“Ya ampun Ke, lo sadis banget sih”“Iihh abisnya dia ga kreatif ngerayu cewe Re, bikin bosen”“Ke, lo dalam sebulan ini udah berapa kali ganti pacar?”“Ehm... lupa gue, abis rata-rata mereka pada jahat, cuma pe ha pe doang”Renata hanya geleng-geleng kepala
“Jadi... maksud saya datang kesini adalah untuk melamar Dek Camelia, untuk menjadi istri saya dan juga mamanya Dylan, dan saya juga bersedia menjadi ayah bagi Rama dan Leon,” ucap Bramantyo sambil menyodorkan kotak beludru warna biru yang di dalamnya berisi cincin berlian.Camelia terkesiap mendengar lamaran yang diucapkan oleh Bramantyo. Dia memang sudah bisa menebak rasa yang belum diungkapkan oleh laki-laki yang usianya hampir kepala lima itu. Bahkan hari kemarin saat mereka pulang setelah main seharian di mall, Camelia sebenarnya terus menghindari percakapan dengan Bramantyo, karena dia sudah bisa membaca dan menebak arah dari kalimat laki-laki yang pernah menjadi atasan mendiang suaminya itu.Dylan yang mengantar ayahnya untuk melamar Camelia hanya menganggukan kepala dan tersenyum saat Bramantyo melanjutkan kalimatnay yang mengatakan bahwa anaknya pun sudah memberikan restu dan menerima jika Camelia mau menjadi istrinya.Camelia menjadi serba salah, disatu sisi dia tak ingin ke
Bramantyo mengajak Camelia dan kedua anak balita itu untuk keluar dan jalan-jalan ke mall, meskipun awalnya Camelia menolak, namun karena melihat wajah Rama dan Leon yang melompat senang dengan tawaran dari Bramantyo, akhirnya dia pun mengalah dan menuruti keinginan ketiga pria berbeda usia tersebut.Mereka juga mengajak kedua pengasuh Rama dan Leon untuk ikut serta. Jadilah mereka bertujuh dengan supir pribadi Bramantyo, berangkat menuju mall di pusat kota Jakarta.“Papa Bram, nanti di mall kita boleh jajan es krim ga?” Leon bertanya dengan menatap wajah Bramantyo penuh harap, dan langsung tersenyum serta melompat bahagia karena mendapat persetujuan dari Bramantyo dan juga Camelia.“Aku juga mau”“Iya Rama, nanti kita beli es krim yang banyak dan kita bisa makan bersama-sama”“Yeeyyy, terimakasih Papa Bram”“Sama-sama sayang”Camelia yang melihat interaksi kedua bocah itu dnegan Bramantyo hanya bisa tersenyum haru, dia berpikir andaikan saja dulu Damar bisa sehangat itu sikapnya pada
Renata akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju kantin demi menemui Yoke dan Nadia. Keduanya memang masih berada di kantin karena menunggu Renata sambil juga menunggu kelas mereka selanjutnya.“Disebelah sini Re” Yoke dengan suara cemprengnya yang khas memanggil Renata yang baru saja tiba di kantin.Renata mengambil tempat duduk dan bergabung dengan Nadia dan Yoke.“Ternyata Kak Dylan kenal dengan Sena, tadi aku lihat mereka ngobrol seolah sudah saling mengenal lama”“Iya Re, kami sudah tau itu, tadi sewaktu kamu di kelas, kami sudah bertemu dengan Kak Dylan, dan menceritakan tentang sosok mahasiswa yang wajahnya mirip dengan Seno”Renata menoleh dan menatap Nadia. “Jadi kalian menceritakan perihal Sena ke Kak Dylan?”“Iya Re, terus Kak Dylan bilang Sena itu adik sepupu jauh Seno, papanya Sena itu sepupuan sama papanya Seno” Yoke menjelaskan apa yang di dengarnya dari Dylan dengan antusias.Renata mengangguk-anggukan kepalanya, kini dia baru mengerti. “Oh.. Jadi Sena itu masih ada ik
Flashback onPagi ini Renata mengantarkan kedua orangtuanya sampai ke bandara, hari ini mereka harus kembali karena cuti yang diambil ayahnya sudah habis.“Re, kalau ada apa-apa cepat kabari mommy, terus kamu jangan telat makan ya”“Iya mom, Re akan selalu ingat nasehat mommy”“Re, jangan terima tamu lagi kalau malam-malam, batas akhir bertamu itu jam sepuluh, ingat itu!”“Iya papi, Re akan terapkan aturan itu ke semua temen-temen Re”Setelah memberikan wejangan panjang lebar pada anak semata wayang mereka, tibalah kini waktunya mereka untuk berpisah, karena nomor penerbangan pesawat ayah dan ibu Renata sudah dipanggil.Renata pun sekali lagi berpelukan dengan kedua orangtuanya, dan melepaskan mereka untuk kembali ke Kalimantan.Setelah dari bandara, Renata langsung pergi ke kampusnya karena dia ada jadwal kuliah siang ini.“Re, di sebelah sini” Teriakan Yoke langsung menyambutnya kala Renata baru saja turun dari mobil yang baru saja diparkirkanya. Dilihatnya Yoke dan Nadia melambaik
Dylan menatap ayahnya dengan pandangan horor. Namun Bramantyo mengangguk dengan mantap. Kali ini giliran Dylan yang menarik napas dalam serta menggelengkan kepalanya.“Untung aku tidak jadi menikah dengan Yasmine, apa jadinya nanti jika papa menikah dengan Kak Lia, berarti papa jadi kakak iparku dong”“Eh, enak aja kamu nikah sama Yasmine. Papa tidak setuju, asal kamu tau ya Lan, sebenarnya Yasmine itu selalu mengancam papa bahwa dia akan menyebarkan informasi pada media jika anak yang di kandungnya itu adalah anakmu, dan kamu tidak mau bertanggung jawab, itulah sebabnya papa setuju dengan usulan Damar untuk mengirim Yasmine ke luar negeri, agar dia tutup mulut, tetapi setelah tinggal disana, Yasmine selalu meminta uang ke papa dalam jumlah besar”“Oh.. itu.. ehm, jadi itu sebenarnya... Yasmine pun sedang diancam pah, dan dia harus mengirimkan uang dalam jumlah besar, tapi papa tidak usah khawatir, uang papa masih ada kok, utuh”“Maksud kamu apa Lan?”Dylan pun kemudian menceritakan p