“Kamu itu mandul. Buat apa, sih, capek-capek bersikap sok manis? Toh, suamimu juga sudah muak! Mending kamu mundur saja dari kehidupan Yazid.”
*
Keturunan adalah hal yang paling didamba dalam rumah tangga. Rasaku, tak ada satu pun pasangan menikah harmonis di dunia ini yang enggan memiliki darah daging sendiri. Semua suami istri waras pasti ingin menimang buah hati. Akan tetapi, bagaimana jika takdir mengatakan bahwa anak adalah rejeki yang masih tertunda? Haruskah aku menerima caci maki meski segala upaya telah dilakukan?
Bukan Almira namanya jika tak tegar menghadapi pahit getir kehidupan ini. Seorang sarjana dengan predikat cumlaude, setengah mati diperjuangkan oleh seorang anak tunggal dari keluarga mapan nan terhormat. Mimpi untuk meniti karier sirna dan pupus sejak jari manis ini diikat oleh sebuah cincin berlian yang dulu khusus dipesan Ummi. Tutur lembut nan santun dahulu selalu memenuhi hari-hari yang kian indah dalam sangkar emas. Akan tetapi, itu tinggal sebuah masa lalu yang cukup manis hanya untuk dikenang.
Tahun demi tahun tanda-tanda kehamilan tak kunjung hadir pada rahimku. Mulai dari langkah modern hingga paling primitif telah dicoba. Dokter, tabib China, tukang urut, ustaz, hingga paranormal tak putus asa kami datangi. Semua hanya demi memuaskan hasrat Abi dan Ummi untuk menimang cucu yang hanya dapat mereka dapatkan dari anak semata wayangnya tersebut.
Berbagai tindakan telah kami coba. Mulai program hamil dengan terapi hormonal, inseminasi buatan, hingga IVF yang harganya ratusan juta. Namun, nihil. Semua tak juga membuahkan hasil. Padahal, dokter mengatakan tak ada masalah serius, baik pada alat reproduksiku maupun milik Mas Yazid.
Memang, dari pihak keluargaku, kedua orangtua tak mau banyak menuntut. Bagi Ayah dan Ibu yang notabene tinggal di desa dan bekerja sebagai buruh tani, masalah keturunan adalah hak perogatif milik Gusti Allah. Meski dipaksa dengan cara apa pun, kalau Yang Punya Hidup belum mau memberi, tak bakal terjadi. Namun, semua begitu berbanding terbalik dengan sikap kedua orangtua Mas Yazid. Pasangan yang sudah naik haji berkali-kali dan melabeli dirinya sebagai alim tersebut malah punya kehendak yang begitu keras. Tak peduli dengan ketetapan Tuhan dan terus mendesak agar keinginannya segera tercapai.
“Kamu itu mandul, Mira. Apa tidak malu?” Entah setan apa yang membuat wanita paruh baya itu mengeluarkan kata-kata kasarnya. Padahal, kami tengah memasak bersama di dapur miliknya yang sangat mewah.
Aku seperti biasa hanya dapat terkesiap. Diam seribu bahasa sembari menahan tangis. Bi Tin, pembantu setia keluarga Mas Yazid, hanya dapat mengelus dada dan menatap sedih ke arahku.
“Coba lihat sepupu Yazid. Si Nada baru nikah dua bulan sudah langsung isi. Belian belum setahun rumah tangga telah melahirkan. Padahal mereka itu tidak program sama sekali. Beda denganmu. Semua sudah dilakukan. Mulai dari medis sampai non medis. Bahkan bayi tabung pun gagal.” Emosi Ummi meluah. Suaranya makin tinggi saja. Kuping ini jelas makin merah kala pisau dapur yang dia pegang mengempas kuat pada talenan kayu.
“Maafkan Mira, Ummi.” Seperti biasa, yang dapat kulakukan hanya mengalah dan berucap maaf. Seakan kesalahan bertumpu padaku seorang.
“Kamu itu mandul. Buat apa, sih, capek-capek bersikap sok manis? Toh, suamimu juga sudah muak! Mending kamu mundur saja dari kehidupan Yazid.” Bagai tertimpa batang akasia tua nan tinggi, aku terhenyak mendengar kalimat Ummi.
Air mata ini luruh berderai. Hancur lebur dada ini. Terkoyak segala perasaan. Apa Ummi pikir aku ini bukan manusia yang memiliki hati? Di mana nurani wanita itu? Apakah dia lupa bahwa kami adalah sama-sama seorang istri?
“Jangan hanya bisa menangis, Mira! Pikirkan apa solusinya? Yazid adalah penerus tunggal. Tak mungkin jika tidak ada keturunan darinya. Bagaimana nasib usaha Abi? Siapa yang bakal meneruskannya jika kelak Abi dan Yazid sudah tiada?” Suara Ummi menggelegar. Membuat aku yang tadinya sedang menekuri penggorengan, kini tak lagi bersemangat untuk hidup.
“Perempuan lemah! Bikin pusing saja kerjaanmu. Baiklah kalau harus begini akhirnya. Besok Ummi akan panggil Dinda. Meski sepupu sekali, Yazid boleh menikahi keponakanku itu. Biar saja. Yang penting dia sudah terbukti bisa memiliki keturunan walau statusnya sekarang janda cerai hidup. Ummi lebih berkenan jika Yazid membangun bahtera rumah tangga dengan Dinda agar kami segera memiliki cucu.”
Jangan ditanya betapa hancurnya jiwa ini. Ayam berbalur tepung di dalam wajan kini tak kupedulikan lagi. Hanya ada rasa sesak yang menguliti ragaku hidup-hidup. Apa yang baru saja dikatakan oleh Ummi? Tak sadarkah dia dengan kalimatnya barusan?
“Mi ....” Lidahku bergetar. Pilu sekali hatiku. Baru sekali ini aku merasa bagai seonggok daging yang tak berguna. Ummi benar-benar sukses merendahkan derajat serta martabatku.
“Sudahlah, Mira. Mau apalagi? Semua sudah kita coba. Silakan pilih, meninggalkan Yazid atau bertahan dalam poligami. Itu terserahmu. Kami juga tidak peduli.” Ummi menatapku lekat dengan kesengitan yang luar biasa. Perempuan berhidung mancung dengan kulit putih dan rambut sebahu yang dicat henna itu lalu melangkah pergi setelah melempar talenan berisi bawang iris ke lantai. Praktis jantungku nyeri. Layaknya ada pisau belati yang baru saja dihunjamkan.
“Neng Mira sabar, ya.” Bi Tin yang sedari tadi hanya terdiam sembari menyiangi sayuran, kini memeluk tubuhku dengan erat. Aku menangis tergugu pilu dalam dekapannya. Bahkan kami sudah tak lagi peduli dengan aroma gosong di penggorengan.
“Bi, aku ini sebenarnya apa? Binatangkah?” Kalimatku begitu pilu. Tak sanggup sebenarnya lidah ini mengatakan hal barusan. Terlaku menyakitkan sesungguhnya.
“Jangan bilang seperti itu, Neng. Bibi yakin, Neng Mira itu tidak mandul dan suatu hari nanti bisa hamil serta melahirkan. Neng sabar, ya.” Tangan kasar Bi Tin mengusap ait mataku. Prempuan berpostur rendah dan gempal itu terlihat ikut menangis. Air matanya deras mengaliri pipi sawo matang yang telah keriput. Bibi ... bahkan kau lebih menyayangiku ketimbang Ummi yang jelas-jelas adalah mertua sendiri.
“Jika memang suatu hari nanti aku hamil dan melahirkan, kupastikan Ummi akan bersujud di bawah kaki ini untuk minta maaf atas segala kekejaman yang pernah dia lakukan. Demi Tuhan aku tak ikhlas, Bi.” Dadaku berguncang hebat. Kepiluan ini bak lubang besar yang terus menganga tanpa dapat kembali tertutup rapat. Hati kadung terluka dan bukan main sakitnya. Tak ada obat untuk menyembuhkan, terkecuali waktu yang akan membalikkan segala keadaan.
“Sabar, Neng. Sabar. Gusti Allah tidak pernah tidur.” Bi Tin memeluk tubuhku lagi.
Benar, Bi. Allah tidak pernah tidur. Maka dari itu, Ummi harus tahu jika segala perbuatannya hari ini, kelak akan dibalaskan dengan ratusan kali lipat. Lihat saja, Ummi. Mungkin aku hari ini hanya bisa menangis dan mengalah di depanmu. Akan tetapi, besok atau lusa, aku tak dapat menjamin apa aku bisa terus begini pada kalian.
(Bersambung)
Bagian 2“Kalau memang itu keputusan Abi dan Ummi, Yazid patuh.”*Sembari berderai tangis pilu, aku menguatkan diri untuk melanjutkan memasak menu makan siang. Abi dan Yazid akan pulang beberapa jam lagi. Tak mungkin kalau di meja belum terhidang aneka santapan apabila kedua pengusaha perikanan tersebut tiba. Bisa makin runyam persoalan.Aku dan Bi Tin pun kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayam goreng yang telah menghitam dan bau hangus itu segera kuangkat. Bak sampah adalah tempatnya. Setelah membuang potongan yang lumayang banyak tersebut, aku kembali mengganti minyak di wajan dan memanaskannya ulang.Tangan ini cekatan mengerjakan segala urusan dapur. Sudah tujuh tahun aku terlatih melakukan tugas-tugas rumah tangga. Semua hanya demi membuat Mas Yazid dan keluarganya bahagia. Namun, ternyata semua tak ada nilai. Tetap dikali nol sebab tiada tanda kehadiran jabang bayi dalam rahim diri.Tak apa. Mungkin sudah nasib
Dengan guguan yang masih mengisak, bibir ini begitu terbata menjawab pertanyaan Abi. “S-si-lakan m-me-ni-kah lagi, Mas ....” Dada ini sesak luar biasa. Ada beban besar yang tak dapat kutanggung seorang diri.Maka, air mata pun meluah bagai air bah kala memandang wajah Mas Yazid. Lelaki berwajah persegi dengan dua tulang pipi yang menonjol tersebut hanya dapat diam tanpa ekspresi keberatan. Seolah mau-mau saja dan memang menginginkan hal tersebut.Wajah Abi langsung segar. Ada rona bahagia dari senyum semringahnya. Bagaikan pria paruh baya itu baru saja mendapatkan kado terspesial dalam hidup. Semakin sempurnalah rasa sakit yang berkemacuk dalam sanubari.“Baguslah jika kamu memilih jalan tersebut, Mira. Lihat dirimu saat ini. Tanpa pekerjaan maupun penghasilan. Apa yang dapat kau harapkan jika berpisah dari pria mapaj seperti Yazid? Bersyukurlah bahwa kami tidak mendepak dan masih mempertahankan keberadaanmu di keluarga ini.” Kalimat demi
Hari ini betul-betul menjadi hari paling buruk dalam sejarah hidup. Tak ada kata yang lebih menyakitkan ketimbang ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut tajam Abi maupun Ummi. Setelah tragedi siang tadi, kukira semua tak bakal kembali terulang pada malamnya. Ternyata, pada jam makan malam pun mereka masih saja sibuk membahas tentang rencana pernikahan Mas Yazid yang bakal digelar secepat mungkin. Di meja makan, aku sama sekali tak mereka acuhkan. Bagai tunggul yang tiada mulut dan telinga. Mereka sibuk membahas ABCD sementara tak dipikirkannya bagaimana kondisi kejiwaanku saat ini. Ingin aku berontak, tapi apa daya diri ini terlalu lemah. “Mira, Ummi bangga padamu. Sekarang sikapmu berbanding terbalik dengan tadi siang. Sudah lebih tenang dan menerima keputusan ini. Memang seperti itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”* Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut. Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memeja
Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi. “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran. Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini. Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang mengg
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?
Setelah perjumpaan hari itu, Ummi dan Abi semakin sering mengundang Dinda untuk main ke rumah. Ini benar-benar menyiksaku. Melihat perempuan itu keluar masuk dengan bebas, mempersiapkan ini dan itu demi pesta pernikahan mereka yang semakin dekat, membuat hati ini sungguh teraduk-aduk tak keruan. Terkadang, aku hanya bisa menangis sembari meratapi mengapa nasib yang kutanggung ini begitu sial. Mengapa harus aku yang ditakdirkan menjadi wanita mandul? Dan mengapa pula aku dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak berdaya untuk membelas istrinya sendiri di hadapan kedua orangtua yang begitu diktator lagi tiran. Sore ini, aku kembali merasa hancur saat Ummi mengatakan bahwa Dinda akan datang kembali bersama anaknya untuk makan malam bersama. Ummi memerintahkanku untuk memasak aneka ragam hidangan dari produk tambak yang dibawa oleh Mas Yaz
Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel. “Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis. “Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur. “Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh. “Ya sudah, Bi. Biarkan Azka