Share

Petaka Dua Garis
Petaka Dua Garis
Author: Meisya Jasmine

1

“Kamu itu mandul. Buat apa, sih, capek-capek bersikap sok manis? Toh, suamimu juga sudah muak! Mending kamu mundur saja dari kehidupan Yazid.”

*

Keturunan adalah hal yang paling didamba dalam rumah tangga. Rasaku, tak ada satu pun pasangan menikah harmonis di dunia ini yang enggan memiliki darah daging sendiri. Semua suami istri waras pasti ingin menimang buah hati. Akan tetapi, bagaimana jika takdir mengatakan bahwa anak adalah rejeki yang masih tertunda? Haruskah aku menerima caci maki meski segala upaya telah dilakukan?

Bukan Almira namanya jika tak tegar menghadapi pahit getir kehidupan ini. Seorang sarjana dengan predikat cumlaude, setengah mati diperjuangkan oleh seorang anak tunggal dari keluarga mapan nan terhormat. Mimpi untuk meniti karier sirna dan pupus sejak jari manis ini diikat oleh sebuah cincin berlian yang dulu khusus dipesan Ummi. Tutur lembut nan santun dahulu selalu memenuhi hari-hari yang kian indah dalam sangkar emas. Akan tetapi, itu tinggal sebuah masa lalu yang cukup manis hanya untuk dikenang.

Tahun demi tahun tanda-tanda kehamilan tak kunjung hadir pada rahimku. Mulai dari langkah modern hingga paling primitif telah dicoba. Dokter, tabib China, tukang urut, ustaz, hingga paranormal tak putus asa kami datangi. Semua hanya demi memuaskan hasrat Abi dan Ummi untuk menimang cucu yang hanya dapat mereka dapatkan dari anak semata wayangnya tersebut.

Berbagai tindakan telah kami coba. Mulai program hamil dengan terapi hormonal, inseminasi buatan, hingga IVF yang harganya ratusan juta. Namun, nihil. Semua tak juga membuahkan hasil. Padahal, dokter mengatakan tak ada masalah serius, baik pada alat reproduksiku maupun milik Mas Yazid.

Memang, dari pihak keluargaku, kedua orangtua tak mau banyak menuntut. Bagi Ayah dan Ibu yang notabene tinggal di desa dan bekerja sebagai buruh tani, masalah keturunan adalah hak perogatif milik Gusti Allah. Meski dipaksa dengan cara apa pun, kalau Yang Punya Hidup belum mau memberi, tak bakal terjadi. Namun, semua begitu berbanding terbalik dengan sikap kedua orangtua Mas Yazid. Pasangan yang sudah naik haji berkali-kali dan melabeli dirinya sebagai alim tersebut malah punya kehendak yang begitu keras. Tak peduli dengan ketetapan Tuhan dan terus mendesak agar keinginannya segera tercapai.

“Kamu itu mandul, Mira. Apa tidak malu?” Entah setan apa yang membuat wanita paruh baya itu mengeluarkan kata-kata kasarnya. Padahal, kami tengah memasak bersama di dapur miliknya yang sangat mewah.

Aku seperti biasa hanya dapat terkesiap. Diam seribu bahasa sembari menahan tangis. Bi Tin, pembantu setia keluarga Mas Yazid, hanya dapat mengelus dada dan menatap sedih ke arahku.

“Coba lihat sepupu Yazid. Si Nada baru nikah dua bulan sudah langsung isi. Belian belum setahun rumah tangga telah melahirkan. Padahal mereka itu tidak program sama sekali. Beda denganmu. Semua sudah dilakukan. Mulai dari medis sampai non medis. Bahkan bayi tabung pun gagal.” Emosi Ummi meluah. Suaranya makin tinggi saja. Kuping ini jelas makin merah kala pisau dapur yang dia pegang mengempas kuat pada talenan kayu.

“Maafkan Mira, Ummi.” Seperti biasa, yang dapat kulakukan hanya mengalah dan berucap maaf. Seakan kesalahan bertumpu padaku seorang.

“Kamu itu mandul. Buat apa, sih, capek-capek bersikap sok manis? Toh, suamimu juga sudah muak! Mending kamu mundur saja dari kehidupan Yazid.” Bagai tertimpa batang akasia tua nan tinggi, aku terhenyak mendengar kalimat Ummi.

Air mata ini luruh berderai. Hancur lebur dada ini. Terkoyak segala perasaan. Apa Ummi pikir aku ini bukan manusia yang memiliki hati? Di mana nurani wanita itu? Apakah dia lupa bahwa kami adalah sama-sama seorang istri?

“Jangan hanya bisa menangis, Mira! Pikirkan apa solusinya? Yazid adalah penerus tunggal. Tak mungkin jika tidak ada keturunan darinya. Bagaimana nasib usaha Abi? Siapa yang bakal meneruskannya jika kelak Abi dan Yazid sudah tiada?” Suara Ummi menggelegar. Membuat aku yang tadinya sedang menekuri penggorengan, kini tak lagi bersemangat untuk hidup.

“Perempuan lemah! Bikin pusing saja kerjaanmu. Baiklah kalau harus begini akhirnya. Besok Ummi akan panggil Dinda. Meski sepupu sekali, Yazid boleh menikahi keponakanku itu. Biar saja. Yang penting dia sudah terbukti bisa memiliki keturunan walau statusnya sekarang janda cerai hidup. Ummi lebih berkenan jika Yazid membangun bahtera rumah tangga dengan Dinda agar kami segera memiliki cucu.”

Jangan ditanya betapa hancurnya jiwa ini. Ayam berbalur tepung di dalam wajan kini tak kupedulikan lagi. Hanya ada rasa sesak yang menguliti ragaku hidup-hidup. Apa yang baru saja dikatakan oleh Ummi? Tak sadarkah dia dengan kalimatnya barusan?

“Mi ....” Lidahku bergetar. Pilu sekali hatiku. Baru sekali ini aku merasa bagai seonggok daging yang tak berguna. Ummi benar-benar sukses merendahkan derajat serta martabatku.

“Sudahlah, Mira. Mau apalagi? Semua sudah kita coba. Silakan pilih, meninggalkan Yazid atau bertahan dalam poligami. Itu terserahmu. Kami juga tidak peduli.” Ummi menatapku lekat dengan kesengitan yang luar biasa. Perempuan berhidung mancung dengan kulit putih dan rambut sebahu yang dicat henna itu lalu melangkah pergi setelah melempar talenan berisi bawang iris ke lantai. Praktis jantungku nyeri. Layaknya ada pisau belati yang baru saja dihunjamkan.

“Neng Mira sabar, ya.” Bi Tin yang sedari tadi hanya terdiam sembari menyiangi sayuran, kini memeluk tubuhku dengan erat. Aku menangis tergugu pilu dalam dekapannya. Bahkan kami sudah tak lagi peduli dengan aroma gosong di penggorengan.

“Bi, aku ini sebenarnya apa? Binatangkah?” Kalimatku begitu pilu. Tak sanggup sebenarnya lidah ini mengatakan hal barusan. Terlaku menyakitkan sesungguhnya.

“Jangan bilang seperti itu, Neng. Bibi yakin, Neng Mira itu tidak mandul dan suatu hari nanti bisa hamil serta melahirkan. Neng sabar, ya.” Tangan kasar Bi Tin mengusap ait mataku. Prempuan berpostur rendah dan gempal itu terlihat ikut menangis. Air matanya deras mengaliri pipi sawo matang yang telah keriput. Bibi ... bahkan kau lebih menyayangiku ketimbang Ummi yang jelas-jelas adalah mertua sendiri.

“Jika memang suatu hari nanti aku hamil dan melahirkan, kupastikan Ummi akan bersujud di bawah kaki ini untuk minta maaf atas segala kekejaman yang pernah dia lakukan. Demi Tuhan aku tak ikhlas, Bi.” Dadaku berguncang hebat. Kepiluan ini bak lubang besar yang terus menganga tanpa dapat kembali tertutup rapat. Hati kadung terluka dan bukan main sakitnya. Tak ada obat untuk menyembuhkan, terkecuali waktu yang akan membalikkan segala keadaan.

“Sabar, Neng. Sabar. Gusti Allah tidak pernah tidur.” Bi Tin memeluk tubuhku lagi.

Benar, Bi. Allah tidak pernah tidur. Maka dari itu, Ummi harus tahu jika segala perbuatannya hari ini, kelak akan dibalaskan dengan ratusan kali lipat. Lihat saja, Ummi. Mungkin aku hari ini hanya bisa menangis dan mengalah di depanmu. Akan tetapi, besok atau lusa, aku tak dapat menjamin apa aku bisa terus begini pada kalian.

(Bersambung)

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Asep hendri
hadehhhhh...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Author jgn gitu np? Pake tulis suami istri waras pasti pengen punya anak. Klo mereka ndak pengen punya anak trus diblg ndak waras begitu? Pengen punya anak ato itu pilihan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status