Share

2

Bagian 2

“Kalau memang itu keputusan Abi dan Ummi, Yazid patuh.”

*

Sembari berderai tangis pilu, aku menguatkan diri untuk melanjutkan memasak menu makan siang. Abi dan Yazid akan pulang beberapa jam lagi. Tak mungkin kalau di meja belum terhidang aneka santapan apabila kedua pengusaha perikanan tersebut tiba. Bisa makin runyam persoalan.

Aku dan Bi Tin pun kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayam goreng yang telah menghitam dan bau hangus itu segera kuangkat. Bak sampah adalah tempatnya. Setelah membuang potongan yang lumayang banyak tersebut, aku kembali mengganti minyak di wajan dan memanaskannya ulang.

Tangan ini cekatan mengerjakan segala urusan dapur. Sudah tujuh tahun aku terlatih melakukan tugas-tugas rumah tangga. Semua hanya demi membuat Mas Yazid dan keluarganya bahagia. Namun, ternyata semua tak ada nilai. Tetap dikali nol sebab tiada tanda kehadiran jabang bayi dalam rahim diri.

Tak apa. Mungkin sudah nasib dikandung badan. Lari dan minta cerai bukan solusi untuk saat ini. Praktis hidup nyaman bergelimang harta tak bakal lagi kutemui jika berpisah. Itu hanya kebodohan menurutku. Enak saja aku dibuang bagai benalu yang tak dibutuhkan. Maaf, biar begini aku masih berpikir secara rasional.

Sebelum azan Zuhur, semua masakan telah siap. Ayam goreng tepung, sayur lodeh, tempe bacem, tongkol asin balado, dan tak lupa sambal kecap kesukaan Mas Yazid telah terhidang rapi di atas meja. Biasanya, dua kepala keluarga akan datang beberapa saat sebelum atau sesudah Zuhur. Keduanya beristirahat sampai sore tiba di rumah ini setelah seharian mengawasi tambak dan melayani para pengepul yang mengangkut hasil budidaya perikanan.

Aku dan Mas Yazid memang tak serumah dengan Abi-Ummi. Kami tinggal di rumah depan, persis berseberangan dengan istina mewah milik keluarga terpandang ini. Namun, sebagian besar hari-hariku dihabiskan di rumah ini untuk mengabdi menyenangkan hati mertua. Ada saja yang kukerjakan. Entah membantu Bi Tin memasak dan bikin jajanan, atau menjahit aneka kerajinan yang sering dipakai maupun dibagikan Ummi pada teman-teman pengajiannya.

Betapa sesungguhnya aku telah berbakti pada keluarga ini untuk waktu yang tak sebentar. Namun mengapa semua tak ada harganya di mata mereka? Bahkan, Ummi kini semakin sering menghardik dan tak henti menyalahkan. Sungguh aku sudah lelah. Tiada tempat mengadu dan meminta pembelaan. Sedang orangtua sendiri jauh di sana, selalu berprasangka bahwa anak sulungnya sedanh bergelimang nikmat di kota ini.

Pukul 12.15 bel rumah berbunyi. Aku yang sedang duduk di mushala, cepat bangkit dan melangkah ke depan untuk membukakan pintu. Untung sudah selesai salat, pikirku. Kalau masih salat, pasti aku harus menghentikannya sejenak untuk menyambut kedatangan suami dan mertua. Maklum, Mas Yazid paling tidak suka jika yang muncul pertama kali kala dia tiba adalah Bi Tin. Kalau Ummi, mana mau dia bergerak hanya untuk membuka pintu.

“Assalamualaikum,” ucap Abi dengan suara yang dingin. Tak biasanya beliau berlaku demikian. Dari pancaran wajah tua pria tinggi besar tersebut tak muncul adanya senyum setitik pun.

“Waalaikumsalam, Abi, Mas Yazid.” Segera aku menyalami keduanya dengan takzim.

Tak ada lagi kata-kata dari dua beranak itu. Mereka berjalan terus tanpa mau berbasa-basi menanyakan masak apa hari ini atau di mana keberadaan Ummi. Hatiku entah mengapa seketika ciut. Ada noda kekecewaan yang menyaput. Ya Tuhan, mengapa sikap keduanya begitu berbeda hari ini? Adakah hubungannya dengan pembahasan Ummi di dapur tadi?

Gontai, aku menutup daun pintu besar dengan gagang mewah berlapis marmer tersebut. Kaki ini melangkah lemah menuju mushala. Kulepaskan mukena putih yang masih menempel di tubuh, lalu melipatnya rapi. Tanpa mengenakan hijab, aku kemudian mendatangi Abi dan Mas Yazid yang sudah duduk tenang di kursi makan.

“Mari kita makan dulu. Mana Ummi?” Abi memandangku dengan ekspresi datar. Seketika membuatku merasa makin tegang.

“Di kamar, Abi. Apa perlu Mira panggilkan?”

“Kenapa Ummi ke kamar, Mir? Kamu ada bikin kesalahankah?” Mas Yazid yang duduk di seberangku memandang curiga. Manik cokelatnya begitu tajam menelisik. Ya Tuhan, mengapa suamiku pun malah ikut-ikutan begini? Lelaki yang dulunya banyak diam itu kok semakin bertambah berubah perangainya.

“Tidak, Mas. Tadi Ummi cuma marah sama Mira. Mungkin ... karena Mira ini mandul.” Remuk benar perasaanku saat harus mengatakan kalimat barusan.

Keduanya hanya diam. Abi langsung menciduk nasi dengan wajah tak berselera. Begitupula Mas Yazid. Lelaki tinggi berambut ikal dengan hidung mancung seperti Ummi tersebut malah membuang pandang. Tak sedikit pun wajah tampannya mau menoleh padaku. Apa salahku, Mas? Sebegitu kesalnyakah kalian?

“Abi, tongkol asinnya. Kesukaan Abi dan Mas Yazid.” Aku menawarkan sembari mendekatkan lauk dalam wadah keramik tersebut pada Abi. Tak disangka, lelaki berkulit gelap itu tak menyentuhnya sedikit pun.

“Tidak.” Sakit benar aku mendengar perkataan Abi. Lebih nyeri kala melihat wajahnya yang cuek.

“Mas?” Aku menawarkan pada Mas Yazid. Lelaki itu malah menggeleng tak ingin. Maka, melelehlah air mata ini perlahan.

“Mira, Abi mau bicara. Ini masalah penting.” Suara Abi terdengar berat. Lelaki berhidung besar dengan rambut yang telah ditumbuhi uban tersebut memandang ke arahku dengan tajam.

Cepat kuseka air mata. Tak bakal ada yang mengasihani, pikirku. Semua orang nyata sekali sedang tak berpihak. Hanya berusaha kuat dan tegar yang dapat dilakukan. Berserah pada Tuhan. Apapun yang akan dikatakan Abi, mungkin inilah awal titik balik dalam hidup yang semakin sursm ini.

“Tentang pernikahan kalian ....” Abi menggantung kalimat. Wajah tembamnya melihat ke arah aku dan Mas Yazid bergiliran. Seakan mau menimbang apakah kami ini masih pantas untuk membina rumah tangga atau tidak.

“Abi rasa, hanya ada dua pilihan saja untuk ke depannya.” Nada Abi begitu sarat akan penghinaan. Seolah dia tak segan untuk mencoretku sebagai mantu. Seakan segala keputusan berada di genggamannya dan aku hanya wayang yang bisa disetir begini begitu oleh sang dalang. Jangan tanya bagaimana kondisi jiwa ini. Remuk redam hancur berkeping-keping.

Kutatap Mas Yazid. Pria bertubuh sedang dengan kulit bersih itu menunduk lemas. Dia selalu lemah jika berhadapan dengan kedua orangtuanya yang sangat tegas dan cenderung keras. Tak bakal ada pembelaan diri yang bakal keluar dari bibir tebalnya itu.

“Kamu tinggal pilih, Mir. Dimadu atau hengkang dari rumah ini.” Akhirnya, kata-kata itu meluncur juga.

Deraslah air mataku. Dua kali aku disakiti oleh mertua hari ini. Sama kejamnya meski berbeda cara penyampaian. Kepala ini seketika pening bagai dihantam palu godam berkali-kali. Allah Ya Rahman, matikan saja jika aku memang tak berguna bagi mereka, ketimbang harus berada di dalam posisi yang serba sulit begini. Poligami makan hati, tetapi bercerai artinya makan mimpi.

Di usia setua ini, usaha apa yang kulakukan untuk bertahan hidup bila dicerai nanti? Tak mudah mencari kerja kala aku tak punya pengalaman sama sekali. Mau usaha pun, modal dari mana?

“Tentukan pilihanmu sekarang juga, Mira. Besok Ummi dan Abi akan mengundang Dinda, anak dari adik perempuan Ummi. Kami sudah berpikir puluhan kali untuk menjadikannya menantu. Dia cantik, pekerja keras, dan yang terpenting terbukti dapat menghasilkan keturunan. Toh, segala macam usaha sudah kita lakukan selama ini padamu. Tak ada hasilnya, kan?” Tudingan Abi begitu tajam dan mencabik. Terbuat dari apa hati mereka yang semula kusangka baik? Tega nian ucapan yang dilontarkan padaku. Sama sekali tak berperi kemanusiaan!

“Yazid, kamu keberatan?” Abi beralih pada anak tunggalnya. Ditatapnya dengan dalam sang putra yang mengenakan hem warna mustard tersebut.

Tak menunggu lama, ucapan Mas Yazid keluar dari mulutnya yang dulu begitu manis merayuiku. “Kalau memang itu keputusan Abi dan Ummi, Yazid patuh.”

Lemas tungkai ini. Maka semakin pilulah tangisan yang keluar dari manik netra. Teremas-remas jantungku hingga terasa sungguh menyesakkan dada. Ya Allah, Mas Yazid ... sungguh tega dirimu. Mana janji manismu saat kita baru saja lulus dulu? Katamu hidupku akan terjamin dan tak usah lagi merisaukan masa depan karena sebagai suami kamu akan senantiasa melindungi serta mensejahterakanku. Namun, hari ini terbukti segala ungkap masa lalu hanya bualan dan ingkar semata.

“Mira, hentikan tangisan itu. Air matamu tak bakal mengubah nasib. Abi hanya minta jawabanmu sekarang. Poligami atau berpisah baik-baik?” Pertanyaan Abi bagai simalakama yang tak ada manfaatnya bagiku sama sekali. Dua pilihan itu sama-sama bernilai petaka.

Diam aku membisu seribu bahasa. Hanya suara guguan yang setengah mati kutahan sesekali menyeruak dari bibir tipis ini. Serendah inikah derajatku hingga keputusan hidup mati sendiri berada di tangan mertua?

“Mir, jangan buang waktu Abi. Katakan cepat, lalu kita ambil keputusan saat ini juga.” Suara Abi meninggi. Tangannya bahkan mengentak meja dengan geram.

“Mira pilih ....” Berat sekali lidahku berkata. Setengah mati diupayakan pun malah membuat tangisan ini makin menganak sungai.

Sungguh, aku tak ingin diduakan cintanya dan menanggung beban dalam mencemburui. Namun, sanggupkah aku berdiri sendiri dalam kekejaman dunia yang semakin serba sulit? Tuhan, berikan petunjuk-Mu. Aku sudah tak sanggup lagi rasanya menanggung masalah seluas samudra.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status