Bagian 21
“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.
“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.
“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.
&
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
“Kamu itu mandul. Buat apa, sih, capek-capek bersikap sok manis? Toh, suamimu juga sudah muak! Mending kamu mundur saja dari kehidupan Yazid.”*Keturunan adalah hal yang paling didamba dalam rumah tangga. Rasaku, tak ada satu pun pasangan menikah harmonis di dunia ini yang enggan memiliki darah daging sendiri. Semua suami istri waras pasti ingin menimang buah hati. Akan tetapi, bagaimana jika takdir mengatakan bahwa anak adalah rejeki yang masih tertunda? Haruskah aku menerima caci maki meski segala upaya telah dilakukan?Bukan Almira namanya jika tak tegar menghadapi pahit getir kehidupan ini. Seorang sarjana dengan predikat cumlaude, setengah mati diperjuangkan oleh seorang anak tunggal dari keluarga mapan nan terhormat. Mimpi untuk meniti karier sirna dan pupus sejak jari manis ini diikat oleh sebuah cincin berlian yang dulu khusus dipesan Ummi. Tutur lembut nan santun dahulu selalu memenuhi hari-hari yang kian indah dalam sangkar emas. Akan teta
Bagian 2“Kalau memang itu keputusan Abi dan Ummi, Yazid patuh.”*Sembari berderai tangis pilu, aku menguatkan diri untuk melanjutkan memasak menu makan siang. Abi dan Yazid akan pulang beberapa jam lagi. Tak mungkin kalau di meja belum terhidang aneka santapan apabila kedua pengusaha perikanan tersebut tiba. Bisa makin runyam persoalan.Aku dan Bi Tin pun kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayam goreng yang telah menghitam dan bau hangus itu segera kuangkat. Bak sampah adalah tempatnya. Setelah membuang potongan yang lumayang banyak tersebut, aku kembali mengganti minyak di wajan dan memanaskannya ulang.Tangan ini cekatan mengerjakan segala urusan dapur. Sudah tujuh tahun aku terlatih melakukan tugas-tugas rumah tangga. Semua hanya demi membuat Mas Yazid dan keluarganya bahagia. Namun, ternyata semua tak ada nilai. Tetap dikali nol sebab tiada tanda kehadiran jabang bayi dalam rahim diri.Tak apa. Mungkin sudah nasib
Dengan guguan yang masih mengisak, bibir ini begitu terbata menjawab pertanyaan Abi. “S-si-lakan m-me-ni-kah lagi, Mas ....” Dada ini sesak luar biasa. Ada beban besar yang tak dapat kutanggung seorang diri.Maka, air mata pun meluah bagai air bah kala memandang wajah Mas Yazid. Lelaki berwajah persegi dengan dua tulang pipi yang menonjol tersebut hanya dapat diam tanpa ekspresi keberatan. Seolah mau-mau saja dan memang menginginkan hal tersebut.Wajah Abi langsung segar. Ada rona bahagia dari senyum semringahnya. Bagaikan pria paruh baya itu baru saja mendapatkan kado terspesial dalam hidup. Semakin sempurnalah rasa sakit yang berkemacuk dalam sanubari.“Baguslah jika kamu memilih jalan tersebut, Mira. Lihat dirimu saat ini. Tanpa pekerjaan maupun penghasilan. Apa yang dapat kau harapkan jika berpisah dari pria mapaj seperti Yazid? Bersyukurlah bahwa kami tidak mendepak dan masih mempertahankan keberadaanmu di keluarga ini.” Kalimat demi
Hari ini betul-betul menjadi hari paling buruk dalam sejarah hidup. Tak ada kata yang lebih menyakitkan ketimbang ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut tajam Abi maupun Ummi. Setelah tragedi siang tadi, kukira semua tak bakal kembali terulang pada malamnya. Ternyata, pada jam makan malam pun mereka masih saja sibuk membahas tentang rencana pernikahan Mas Yazid yang bakal digelar secepat mungkin. Di meja makan, aku sama sekali tak mereka acuhkan. Bagai tunggul yang tiada mulut dan telinga. Mereka sibuk membahas ABCD sementara tak dipikirkannya bagaimana kondisi kejiwaanku saat ini. Ingin aku berontak, tapi apa daya diri ini terlalu lemah. “Mira, Ummi bangga padamu. Sekarang sikapmu berbanding terbalik dengan tadi siang. Sudah lebih tenang dan menerima keputusan ini. Memang seperti itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”* Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut. Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memeja
Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi. “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran. Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini. Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang mengg
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?