Ayu hanya seorang gadis desa biasa yang bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Ardiansyah, tempat para miliarder tinggal dalam kemewahan yang sunyi. Dia bertemu dengan Revan, tuan muda yang terjebak dalam pernikahan kosong dengan wanita sosialita ambisius. Tapi di balik sikap kaku dan diamnya, ia mulai luluh oleh ketulusan Ayu. Namun cinta mereka tak diizinkan. Nama besar, harga diri, dan masa lalu kelam keluarga siap merobek segalanya. Cinta ini haram. Tapi kenapa rasanya justru candu?
View MoreJam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Sebuah mobil sedan hitam berhenti, tepat di depan sebuah rumah bergaya klasik Eropa. Rumah itu terlihat mewah, tapi tidak dengan suasananya yang sunyi bahkan terlampau sunyi seperti tak berpenghuni.
Revan Ardiansyah keluar dengan langkah tegap, sorot mata tajam sambil membawa tas kerja. Setelan jas hitam yang melekat di tubuh kekarnya masih tetap rapi. Wajah tampan bak dewa Yunani itu masih menatap datar, dingin seolah-olah tidak terjadi apapun di dalam hidupnya. Padahal tatapan datar dan dingin itu hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi hatinya yang kosong dan sepi. Sebenarnya hari ini ia sangat lelah. Banyak sekali rapat, tekanan, dan keputusan penting yang menguras banyak waktu serta tenaga. Tapi semua itu sepertinya tak cukup untuk menghilangkan ekspresi datar yang sudah melekat kuat pada dirinya. Meski ekspresinya selalu dingin. Tapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ada sebuah harapan yang tumbuh. Bahwa malam ini, rumahnya tak lagi sepi. Ada istrinya, Nadine yang akan menyambutnya pulang. Mungkin dengan senyum, pelukan kecil, atau setidaknya secangkir teh hangat dan sebuah pertanyaan, Bagaimana harimu. Tapi semuanya masih sebatas harapan yang belum terkabulkan. Karena saat ia membuka, pintu itu tak terkunci. Lampu ruang tamu menyala terang, semua perabotan masih tersusun rapi. Tapi semuanya masih terasa kosong. "Nadine?" Revan mencoba memanggil, tapi tak ada jawaban. Hanya terdengar suara detik jam yang berulang pelan. Ia melepas jas, menaruhnya di sandaran kursi. Lalu melangkah menyusuri lorong, menuju ke sumber suara samar dari lantai atas. Sesekali tawa itu terdengar lembut, tapi tawa yang bahkan tak pernah tertuju untuknya. Di lantai dua, pintu kamar setengah terbuka. Cahaya dari dalam menyebar ke koridor. Revan berdiri di ambangnya, pandangannya tertuju pada wanita di depan cermin besar yang sedang tertawa kecil sambil menatap layar ponselnya. Nadine mengenakan gaun tidur sutra berwarna emas muda. Rambutnya masih tertata rapi, sisa dari pesta yang belum lama usai. Wajahnya berseri, bukan karena melihat Revan, tapi karena lawan bicara di seberang telepon. "Iyaaa, aku bakal datang. Tenang aja, aku pakai heels merah itu. Kamu suka kan? Hahaha... Iya, dia belum pulang kayaknya. Kapan sih dia punya waktu buatku." Tanpa mengetuk pintu Revan melangkah masuk. Nadine menoleh sejenak, dan sekejap wajahnya berubah kaku. Tapi hanya sekejap lalu kembali seperti biasa. "Kamu pulang juga akhirnya," Ucap Nadine bukan peduli, tetapi hanya sekedar bertanya dan bukan ingin tahu juga. "Iya. Sudah larut." Balas Revan singkat. Revan melangkah, duduk di tepi ranjang. Ranjang yang sangat empuk dan nyaman, namun nyatanya tidak pernah ada yang namanya kehangatan disana. "Kamu nggak bilang kalau mau pulang. Aku pikir nginep di kantor." “Mau aku bilang ataupun tidak, apa urusannya denganmu. Kamu gak akan peduli juga.” Revan beranjak, menuju ruang walk in closet untuk ngambil pakaian ganti. Sedangkan Nadine kembali bercermin, membersihkan wajahnya dari sisa makeup yang masih menempel di wajahnya. “Besok aku pulang terlambat, karena harus hadir ke gala dinner yang panting. Jangan menungguku, karena aku tidak tau jam berapa akan pulang.” Revan menghentikan langkah, lalu bersuara tanpa menoleh. “Terserah, aku tak peduli.” “Apa kamu sudah tidak berharap rumah tangga kita yang dingin dan sepi ini berubah hangat,” Nadin berbalik menatap punggung suaminya. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku sudah tak peduli. Terserah kamu mau kemana dan ngapain aja itu sama sekali bukan urusanku.” Setelah mengatakan hal itu ia lanjut ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat untuk menghilangkan lelahnya. Entah lelah apa yang sedang ia coba untuk hilangkan. Entah lelah tubuh atau lelah hati, menghadapi pernikahan sepi yang tak bertepi. Hampir setengah jam ia berada di sana, Revan keluar. Di dalam kamar ia sudah tidak lagi mendapati istrinya. Tapi pintu balkon terbuka dan Revan tahu wanita itu ada di sana. Alih-alih menyusul, Revan lebih memilih menuruni tangga tanpa suara, dan kembali ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, menyandarkan punggung, memejamkan mata sejenak. Jam di dinding berdetak pelan, hujan masih turun di luar sana. Di tengah gemuruhnya, rumah ini terlalu sunyi. Ia membuka mata, menatap langit-langit dengan sorot mata yang kosong dan napas yang terdengar berat. "Apa gunanya semua ini, kalau pulang pun tak ada yang menunggu.” Ya, sesimpel itu yang inginkan. Tapi sayang, tak ada yang mengerti bahkan istrinya sendiri yang jauh lebih peduli pada hidupnya dan status sosialnya. Revan kembali duduk dengan tegak, matanya terarah ke meja kaca. Di sana, ada satu gelas wine yang baru habis setengah. Bekas lipstik merah muda istrinya masih menempel di bibir gelas. Serta ada ponsel lain milik Nadine yang layarnya menyala tiba-tiba. Notifikasi masuk satu demi satu ke ponsel itu dengan nama pengirim yang tak asing. "Lelaki itu lagi," Geramnya. Sorot mata yang tadinya terlihat kosong, sekarang kembali berubah dingin. Tangannya menggenggam ponsel itu dan dalam satu kali lemparan, benda pipih itu sukses menghantam dinding hingga pecah berkeping-keping. “Revan! Kau apakan ponselku!” Dari arah tangga, terdengar suara istrinya yang berjalan cepat. Menghampirinya dengan wajah merah menahan amarah. “Cahayanya terlalu mengganggu, lebih baik dihancurkan daripada merusak mata.” Dengan santai, Revan kembali duduk di sofa. Nadine mengepalkan tangan penuh amarah. “Kamu tahu kan itu ponselku dan harganya mahal, Ravan!” Revan menaikkan sebelah sudut bibirnya ke atas. “Mahal? Bahkan aku bisa membelikan 10 buah yang seperti itu untukmu,” Aaaarrrggghh! Nadine menggeram. Iya berbalik kembali ke lantai atas tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi. Ini bukan tentang ponsel, tapi tentang sesuatu berharga yang ada di dalamnya dan Revan sudah menghancurkan semuanya. Revan tersenyum puas, menata pecahan ponsel yang tak lagi berharga di sana. “Sekali-kali bermain ternyata asik juga,” Ucapnya.Setelah makan malam yang aneh. Revan mengikuti Nadine yang mengajaknya duduk di ruang tamu. Revan mengambil ponsel lalu memeriksanya sejenak. Tepat di sebelahnya Nadine masih menempel seperti lem, sesekali menggoda dengan ujung jari yang menyentuh lengan suaminya."Revan, kamu nggak ingin ngobrol sebentar? Kita udah lama banget nggak ngobrol berdua seperti ini?" Nadine berkata dengan nada manja yang terdengar dibuat-buat.Revan hanya menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke layar ponselnya. "Aku masih ada kerjaan."“Yaudah, aku temenin, ya? Sambil bikin kamu teh lagi?” Nadine memaksa senyum.Tak ada respons dari Revan. Ia beranjak dan melangkah ke ruang kerjanya tanpa sepatah kata pun.Tapi Nadine tidak menyerah. Ia menatap punggung Revan yang menjauh dan mengembuskan napas panjang. Kesempatan itu tidak boleh lewat. Ia segera masuk ke dapur, mengaduk teh hangat yang sudah ia siapkan. Tapi kali ini, ia menambahkan satu hal lagi ke dalam cangkir itu. Sesuatu itu adalah setetes cai
Sudah tiga hari berlalu sejak Nadine kembali dari Paris. Tiga hari penuh kecemasan, panik, dan ketakutan yang dirasakan sendiri. Namun pagi tadi, saat pulang dari klinik kandungan dengan hasil pemeriksaan yang menegaskan bahwa usia kandungannya telah memasuki minggu kelima. Nadine tahu bahwa ia tidak punya waktu lagi. Ia harus bertindak sekarang.Dan sore ini, semuanya harus dimulai.Revan belum pulang. Rumah besar itu terasa hening seperti biasa, hanya sesekali terdengar suara Ayu dari dapur yang sedang menyiapkan makan malam. Nadine berdiri di depan cermin besar di kamar, mengenakan gaun satin berwarna merah marun yang melekat sempurna di tubuh rampingnya. Gaun itu panjang, tapi bagian dadanya sangat terbuka. Tali tipis menggantung di bahu, dan belahan tinggi di paha memperlihatkan kulit putihnya yang terawat.Makeup-nya tipis tapi menggoda. Bibirnya merah basah. Rambutnya digerai lembut dengan aroma parfum mahal yang baru ia beli dari Paris.Nadine menatap refleksi dirinya sendiri.
Tiga hari telah berlalu sejak Nadine kembali dari Paris, mengakhiri perjalanan bulan madu yang mestinya menjadi awal baru bagi rumah tangganya bersama Revan. Tapi kenyataannya, kebersamaan itu malah semakin memperjelas jurang di antara mereka. Revan pulang lebih dulu ke Indonesia, meninggalkan Nadine sendiri di kota cinta yang justru jadi saksi bisu pengkhianatannya bersama Alvin.Pagi itu, Nadine terbangun dengan rasa aneh di tubuhnya. Kepalanya terasa berat, perutnya mual, dan dadanya nyeri seperti tertindih beban tak kasat mata. Ia duduk di tepi ranjang, menatap cermin besar di hadapannya. Wajahnya pucat. Mata indah yang biasanya bersinar kini sayu dan kehilangan cahaya. Ia menoleh ke arah kalender kecil di meja rias."Tiga hari...? Harusnya sudah datang..." gumamnya pelan.Ia menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi di ponselnya, mencatat siklus bulanan yang selalu diawasi dengan rapi. Tanggal terakhir ia d
Angin bertiup pelan, membawa aroma dedaunan basah setelah gerimis. Di sudut belakang rumah, tepat di gudang penyimpanan yang tak pernah dikunjungi siapapun selain Ayu saat membersihkan, Revan berdiri di balik pintu, menunggu dalam diam.Langkah kaki kecil yang dikenalnya begitu dalam akhirnya terdengar di belakangnya. Ayu menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ia tahu, tempat itu jauh dari jangkauan pelayan lain. Tapi tetap saja, rasa takut dan bersalah menjalari tubuhnya."Kenapa di sini, Tuan?" bisiknya, menatap lantai usang di bawah kaki.Revan mendekat. “Karena aku tidak tahan lagi, Ayu,” suaranya serak, berat, nyaris seperti erangan rindu yang tak tertahan.Ayu mengangkat wajah. Matanya bergetar. Bibirnya gemetar. "Kalau ada yang tahu...""Tak akan ada yang tahu. Hanya kita, hanya malam ini.” Revan menyentuh pipinya dengan lembut, dan sentuhan itu seolah mencairkan seluruh pertahanan yang Ayu bangun selama ini."Aku takut, tapi kenapa hatiku ini selalu berdebar kalau Tuan ada?" lir
Sore menjelang ketika rumah besar itu mulai senyap kembali. Para pelayan sibuk dengan urusan masing-masing—ada yang sedang menyiram bunga di halaman belakang, ada pula yang sedang mengganti sprei di lantai atas. Ayu baru saja selesai merapikan dapur, tangan mungilnya memutar lap basah di atas meja kayu panjang tempat biasa para pelayan bersandar.Ia mengira Revan sedang beristirahat di kamar. Namun langkah pelan dan suara napas berat yang tiba-tiba muncul dari arah pintu dapur membuatnya menoleh.“Tuan… Revan?”Lelaki itu berdiri di sana, bersandar santai di kusen pintu. Tatapan matanya dalam, hangat, dan ada sesuatu yang Ayu rasakan dari sorot itu—kerinduan yang nyaris menyiksa.“Kamu sendirian?” tanya Revan pelan, melangkah masuk.Ayu menelan ludah. “Iya. Yang lain lagi pada di belakang.”Revan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti, seperti seorang pemburu yang tahu betul mangsanya tidak akan kabur.Ketika jarak mereka hanya tinggal satu jeng
Langit pagi Eropa menyemburatkan cahaya lembut ke dalam kamar hotel mewah tempat Nadine dan Revan menginap. Aroma kopi dari bar kecil di sudut kamar seharusnya mampu membangkitkan semangat siapapun yang baru bangun tidur. Namun, yang menyambut Nadine bukanlah aroma kopi ataupun pelukan hangat suaminya, melainkan pemandangan Revan yang tengah berdiri di dekat pintu dengan koper besar di sampingnya.Nadine yang baru saja memasuki kamar, setelah malamnya menghabiskan waktu di hotel lain bersama Alvin, sontak membeku. Rambutnya masih sedikit berantakan, sisa parfum pria samar-samar menempel di leher bajunya.“Revan?” Tanyanya dengan nada ragu.Revan menoleh pelan, wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya dingin dan tidak bersahabat, seolah tidak peduli apa pun yang terjadi di sekitar.“Aku pulang hari ini,” Ucapnya singkat.Nadine memicingkan mata, mendekat, menyembunyikan keterkejutan di balik nada suara yang ia buat terdengar wajar. “Hari ini? Tapi bukankah kita masih punya wak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments