Share

6

Mas Haris lalu menarik tubuhku ke atas ranjang, lalu mengempaskannya begitu saja. Pakaian kotor yang tadinya kuhimpun untuk masuk ke keranjang kotor, terpaksa jatuh tergeletak di atas lantai lagi.

            “Gita, kamu itu cantik. Namun, sayang. Terkadang sering kehilangan kontrol,” bisik Mas Haris sembari mengempaskan dirinya di sampingku.

            Aku sudah tak ingin membahas lagi. Sebab, Mas Haris sudah terlanjur jauh menyentuh kelopak pada mekar bunga. Selayaknya seekor kumbang jantan yang terbang mencari nektar di pagi hari, sekarang dia telah menghinggap sempurna di atas tempat jajahannya. Selayaknya sekuntum mawar yang tak bisa berlari atau berteriak, aku pun pasrah begitu saja kala sang kumbang menghisap habis sari-sari madu yang kupunya. Hingga tetes terakhir si kumbang jantan tamak pada bagiannya, tak dibiarkan nektar itu tersisa barang setitik pun. Tipikal tak mau rugi, benakku yang sedikit banyak malah menikmati prosesi ‘perampasan’ sari tersebut.

            Sehabis menunaikan ‘ibadah’ yang satu, suamiku terlelap lelah di sampingku. Tubuhnya cepat-cepat kuselimuti hingga atas dada, sebab takut dia bangun dalam keadaan menggigil kedinginan. Aku yang tak betah langsung tidur saat tubuh terasa lengket, buru-buru masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuh. Kupilih air hangat untuk mandi, sebab tak tahan dengan suhu kamar yang lumayan sejuk sebab pendingin di sini distel 20 oC oleh Mas Haris.

            Segar juga mandi dengan air hangat malam-malam begini. Beban di punggung pun seolah luntur saat rintik-rintik air pada shower mengenai kulit. Mas Haris, meski tadi kami sempat bertengkar hebat, dia kok kepikiran sampai ke sana, ya. Aku jadi heran juga. Ah, sudahlah. Toh, aku langsung merasa bahagia dan teramat senang gara-garanya. Sedikit kulupakan tentang kasus si Fitri. Namun, besok sih aku tidak bisa janji apakah aku bisa tetap setenang ini atau tidak. Seingatku, di kotak P3K masih ada obat pencahar yang kubeli sebulan lalu. Saat itu aku mengalami sembelit selama lima hari dan untuk kali pertama membeli obat tersebut demi bisa buang hajat. Eh, tak tahunya, sebelum minum malah mulas duluan. Oke, sepertinya pil-pil tersebut akan berfungsi pada esok hari. Hehe, maaf ya, Fitri. Kamu nakal sih, jadi anak.

            Selepas mandi, aku yang masih dililit selembar handuk putih, segera bertukar pakaian dengan kimono tidur motif kupu-kupu besar warna hitam. Kusadari ternyata aku terlalu banyak pakaian tidur warna gelap. Harus beli yang warna merah, batinku. Biar Mas Haris tidak sibuk menyebut-nyebut warna si*lan itu lagi. Kesal aku. Apalagi dia bilang kalau warna itu kesukaan Fitri. Perasaan, barang-barang Fitri banyak warna merah muda. Sebenarnya merah itu kesukaan Fitri atau abangnya? Ah, pikiranku kumat lagi. Kurang aj*r! Kenapa dua beradik itu terus-terusan menjajah pikiranku? Lama-lama kerutan di wajah ini bakal bertambah sepuluh kali lipat gara-gara mereka.

            Segera aku naik ke atas ranjang yang sebelumnya kualasi dengan jarik bersih sebab takut meniduri sisa ‘sesuatu’ yang tertumpah di atas sana. Saat mata ini kupejamkan, tetap tak bisa tidur. Pikiranku berat. Sungguh berat. Aku seperti sedang diusik oleh rasa penasaran yang sangat besar tentang misteri hubungan adik-kakak Mas Haris dengan Fitri.

            Aku langsung menyesal saat menyadari ketidakdekatanku dengan Papa mertua. Lelaki tua yang masih sibuk bekerja sebagai direktur operasional perusahaan importir suku cadang kendaraan bermotor tersebut sama sekali jarang berbicara dan berjumpa denganku. Mas Haris juga terlihat enggan mengajak kami untuk bertandang di rumah besarnya yang berjarak sekitar 15 kilometer dari sini. Seharusnya aku bisa mengorek segala informasi dari beliau. Ingin sekali kutanyakan tentang Fitri yang sangat manja dan tidak wajar kepada suamiku. Sebenarnya, apakah memang Fitri dididik seperti itu sejak kecil? Atau karena ada apa? Namun, jika mengingat sosok tinggi besar dengan rambut warna perak dan hampir tak pernah mengulas senyum itu, nyaliku jadi menciut.

            Oh, tidak! Aku benar-benar sulit untuk memejamkan mata. Kuraih ponsel yang tadinya kuletakkan di atas nakas. Saat melihat jam yang tertera di sana, sudah pukul 01.20 ternyata. Astaga, mau jam berapa aku bisa tertidur kalau begini terus.

            Saking tak bisa tidurnya, aku memutar otak. Apalagi yang bisa kubuat malam-malam begini. Akhirnya, mataku tak sengaja menangkap ponsel Mas Haris yang tergeletak di atas nakas pada sisi kiri ranjang, dekat Mas Haris terlelap mendengkur.

            Ponsel itu sungguh tak pernah kupegang dan kuutak atik isinya, sebab suamiku selalu memegang barang tersebut dan tak pernah mengizinkanku untuk membukanya. Pikiranku langsung memberontak. Bagaimana kalau kubuka saja isinya dan menemukan apa yang tersimpan di dalam sana.

            Sungguh, aku semakin tertarik dan merasa begitu penasaran. Tanpa pikir panjang, aku langsung turun dari ranjang. Berjinjit sedikit demi tak membuat kegaduhan. Lalu kemudian kuambil ponsel tersebut dari nakas dan membawanya naik ke atas ranjang lagi.

            Pakai password. Ah, si*l! Sama sekali aku tidak punya clue apa pun tentang kode rahasia yang dia pakai.

            Kucoba beberapa kombinasi angka. Mulai dari tanggal lahirnya, tanggal pernikahan kami, sampai tanggal lahirku sendiri. Ponsel tetap terkunci. Kucoba untuk meletakkan ponsel di depan wajah Mas Haris, siapa tahu bisa membuka pakai deteksi wajah. Tidak bisa juga. Aku ingin menyerah rasanya. Masa aku harus menempelkan jempol Mas Haris ke ponselnya? Ah, mana mungkin. Jangan-jangan dia bakal terbangun dan marah besar akibat kusentuh.

            Otakku tiba-tiba berpikir tentang hari ulang tahun Fitri. Seingatku, gadis itu berulang tahun pada bulan depan tanggal 20. Kucoba akhirnya menekan angka 201202 untuk tanggal 20 bulan 12 tahun 2002. Demi Tuhan, aku sangat tercengang saat mendapati ponsel itu berhasil terbuka.

            Hah? Aku masih terbengong-bengong. Betulan bisa? Berhasil? Apa ini mimpi? Mas Haris membuat tanggal lahir adiknya sebagai kode dari ponsel yang dia miliki? Apa faedahnya? Untuk apa?

            Dadaku semakin sesak. Ini kenapa sih, sebenarnya? Mereka ini ada hubungan apa? Makin menjadi rasa kecewaku saat wallpaper ponselnya berupa foto si gadis nakal tersebut. Sunggingan senyum dari bibir seksi gadis itu terlihat begitu menggoda. Mustahil seorang pria dewasa macam Mas Haris tak menyukai paras secantik ini. Jika hanya sekadar adik-kakak, mengapa hubungan mereka kelewat dekat dan membuatku begitu terbakar kecemburuan?

            Kutahan gemetar tangan. Sekuat tenaga kuyakinkan hati untuk membuka galeri ponsel Mas Haris. Jujur, aku ingin tahu, foto dan video apa saja yang tersimpan di sana.

            Dadaku berdegup sangat kencang saat tiba di awal galeri. Foto-foto terbaru yang dibidik kamera ponsel itu tak ada yang mencurigakan. Keramaian di kafe Antariksa milik Mas Haris, booth-booth minuman RisTime yang kini menjamur di seluruh penjuru kota dan bahkan merambah ke kota lain, kemudian gambar-gambar Mas Haris bersama para karyawannya.

            Aku tak menyerah. Kucari folder lain yang berisi gambar. Mataku membeliak saat menatap sebuah folder yang diberi nama ‘My Sweety’. Coba tebak apa yang ada di dalam sana? Ya, gambar diri Fitri semua!

            Banyak foto selfie di sana. Ada Fitri sedang mengenakan seragam SMA, Fitri tengah belajar kelompok dengan teman-temannya, Fitri bergaya OOTD di depan bangunan tua bersejarah, Fitri tengah di kolam renang dengan bikini one piece yang melihatkan lekuk tubuh aduhainya, dan … Fitri sedang mengenakan kimono tidur warna merah motif merak yang sangat elegan.

            Foto itu memperlihatkan pose Fitri yang beragam. Mulai dari duduk dengan rambut yang dicepol ke atas, berbaring dengan rambut diurai, sampai berdiri di depan kaca besar yang ada di kamarnya dengan bergaya memegang leher. Semua foto berkimono merah itu tak melihatkan senyum. Hanya mimik wajah sensual dengan bibir yang sedikit terbuka.

            Jantungku benar-benar berdetak sangat kencang kala mengamati kimono itu dengan teliti. Sebuah pakaian tidur yang terbuat dari bahan satin itu tak memiliki kancing dengan sebuah pengikat di pinggang sebagai katupnya. Pada pose berdiri di depan cermin, terlihat paha mulus milik Fitri yang tak tertutup sehelai benang pun. Bagian dadanya pun sedikit terbuka sebab ikatan kimono terlihat tak terlalu dia kencangkan. Untuk apa berpose seperti ini, lalu mengirimkannya pada Mas Haris? Gila! Perempuan aneh. Bahkan untuk gadis remaja, dia sama sekali tak pantas untuk berpose nakal seperti itu, kecuali tengah mempromosikan diri untuk open BO.

            “Git ….”

            Setengah mati aku kaget. Jantungku terasa mencelos. Tubuh besar Mas Haris yang berlapis selimut tampak menggeliat. Buru-buru kusembunyikan ponselnya di bawah bantal milikku, lalu pura-pura berbaring.

            “Iya, Mas,” kataku sembari memeluk tubuhnya.

            Tangan kiri lelaki itu tampak keluar dari selimut dan berusaha untuk menggapai-gapai nakas. Sementara matanya masih terpejam dengan mulut yang menceracau memanggil namaku.

            Matilah aku! Mati!

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status