Share

Jangan Sentuh Aku!

“Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.

Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.

“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”

Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan. 

“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”

Hana justru tersenyum.

“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran. 

Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.

“Kenapa harus bersumpah?”

“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”

“Apa aku terlihat sedang marah?”

“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”

Hana tersenyum lagi.

“Aku enggak marah.”

“Berarti kamu senang kita sekamar?”

“Aku enggak senang.”

“Kenapa?”

“Karena, kita datang ke sini untuk berobat. Aku ingin tidur. Ini bantal dan selimutnya.”

“Lalu, kamu?”

“Aku bisa pakai sarungmu, pinjam ya!”

“Jangan konyol, kamu pikir ini Indonesia Hana. Sarung setipis itu mana bisa melindungimu dari dingin. Aku minta resepsionis buat minta selimut satu lagi.” 

Tak menunggu lama. Seorang pelayan hotel mengantar selimut. Setelah, sebelumnya aku menghubunginya lewat telepon.

Aku gegas ke dalam untuk tidur, karena telingaku juga sedikit tidak nyaman. Apa lagi tubuhku juga masih terasa sakit akibat pukulan Ayah yang membabi buta. Sepertinya aku memang harus kembali mengasah bela diri. Bukan malah sibuk futsal dan badminton.

Rasanya ringkih sekali, baru beberapa kali pukulan saja sudah membuatku seperti ini.

Namun, rupanya Hana malah meninggalkan selimut itu di sofa. Membiarkan tubuhnya meringkuk kedinginan hanya dengan sarung milikku. Konyol sekali wanita ini.

Aku memakaikan selimut, di tubuh Hana. Meski musim panas, tetap saja di ruang berAC dia akan tetap kedinginan.

Sesuai rencana, esok hari, kami akan ke rumah sakit tempat Hana melakukan operasi.

Pagi-pagi sekali Hana sudah bersiap. Ia bangun bahkan sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Terlihat bagaimana, wanita itu sudah sibuk dengan aktivitasnya memindahkan biji-biji tasbih. Di saat aku masih berusaha untuk membuka mata yang masih menolak untuk diajak melakukan tugasnya.

Ia bahkan tak menyadari jika sejak. Ia mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, aku sudah memperhatikannya. Sampai ketika ia melakukan salam yang terakhir barulah aku ketahuan. Itu semua karena kami saling bertatapan.

Hana sedikit terkejut, tetapi ia masih saja bersikap normal dengan melafalkan doa yang entah.

Aku beranjak bangkit, untuk mandi dan mengambil wudu. Tidak seharusnya aku diam dan menunda salat. Entah, sepertinya berat sekali menjalankan saat tepat waktu.

Setelah selesai sarapan kami langsung menuju rumah sakit untuk check up terlebih dahulu. Karena, bagaimana pun dokter perlu memastikan kondisi Hana. Apa lagi setelah benturan keras di wajahnya. Ia perlu memastikan bagian mana saja yang membutuhkan rekonstruksi.

Cukup lama ia di dalam. Hana bilang tak ingin ditemani, tetapi tentu saja aku memaksa masuk. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya. Terlihat bagaimana dokter itu menerangkan, dibantu guide yang memang sudah disediakan oleh pihak hotel. Dari hasil Ct-Scanlah akhirnya kami tahu. Jika Hana mengalami pergeseran pada tulang pipi juga, ada darah yang menggumpal di dalamnya. Seharusnya Hana, memberi tahuku jika ia mengalami pusing atau mimisan setelah pseteg dari rumah sakit.

Namun, entah alasan apa yang membuatnya memilih diam. Aku ingin menanyakan banyak hal, tetapi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.

“Kamu gugup Hana, tanganmu gemetar?” tanyaku saat kami berada di ruang tunggu. Di mana kami tengah menunggu antrean di bagian administrasi.

“Sedikit.”

“Ada Abang, aku janji akan merawatmu sampai sembuh.”

“Hm.”

“Minum dulu, ya!”

Hana menerima botol itu, lalu tanpa ragu menenggaknya. Namun, karena tangannya gemetar botol itu hampir saja jatuh. Alhasil, sebagian isi membasahi gamis putihnya itu.

Aku refleks menggenggam botol itu, lalu mendekatkan pada mulut Hana. Namun, ia seperti ingin menolak.

“Kamu bisa tersedak!”

Akhirnya ia mau membuka mulut, meski dengan malu-malu.

Setelah mengurus administrasi. Operasinya akan dilakukan lusa. Jadi, kami masih memiliki satu hari sebelum hari menegangkan itu tiba. Bukan hanya Hana, nyatanya aku pun ikut gugup dibuatnya.

Kami lantas kembali ke penginapan. Hana masih diam saja, pikirannya entah melayang ke mana. Ia susah sekali ditebak.

“Aku takut dengan rasa sakit.”

“Kamu ingat saat kejadian kecelakaan sewaktu kecil?”

Hana mengangguk kecil.

Seingatku Hana pernah bercerita jika ia pernah diserempet mobil saat dibangku SMA. Kakinya pernah patah, sehingga perlu dipasang pen. Bahkan, sampai sekarang aku masih bisa melihat bekas luka itu di kakinya. 

“Kamu pasti sangat ketakutan, saat Mamah mendorongmu dari tangga.”

“Aku hanya takut jika aku kembali merepotkan banyak orang. Aku takut tidak bisa jalan, sedangkan anak-anak butuh bundanya.”

“Setelah semua ini kamu enggak akan merasa sakit lagi.”

“Hmm, semoga saja. Tapi, mungkin aku akan merepotkanmu selama beberapa hari hmm tidak sepertinya beberapa bulan.”

“Enggak masalah.”

Sungguh itu bukanlah masalah. Justru sebuah keberuntungan bagiku. Bisa terus dekat denganmu.

~

“Ada sesuatu yang ingin kamu kunjungi? Kita punya sehari sebelum operasi.”

“Enggak ada. Aku ke sini untuk berobat bukan wisata.”

“Ayolah, jangan terlalu formal. Kamu suka lihat drama korea ‘kan?”

“Sudah lama, aku berhenti menonton. Enggak punya waktu.”

“Maafkan aku, pasti kamu sangat kerepotan dengan anak-anak kita.”

“Sudah tugasku, begitu ‘kan yang selalu Abang katakan dulu.”

“Aku, egois ya?”

Hana hanya tersenyum saja.

“Mau jujur atau bohong?”

“Aku sudah tahu jawabannya.”

“Sekarang aku tahu, kenapa kita enggak pernah ngobrol setenang ini?”

Hana mengalihkan pandangan sejenak, seperti menantikan hal apa yang ingin kuungkapkan.

“Aku enggak pernah kasih kamu waktu sendiri. Kamu sibuk dengan anak-anak.”

“Akhirnya kamu mengerti, tanpa harus aku jelaskan.”

Entah aku harus mengatakan apa, kesalahanku begitu banyak. Akhirnya perjalanan berakhir dengan keheningan.

Hari itu Sam mengirimku email. Sebenarnya berat meninggalkan kantor saat seperti ini. Jadi, di tempat ini. Aku tak bisa banyak memanfaatkan kesempatan untuk mendekati Hana, karena sibuk dengan pekerjaan.

Esok hari pun sama. Nyatanya aku malah sibuk dengan pekerjaan lagi. Hari itu aku melihat Hana sepanjang hari hanya sibuk dengan ponselnya.

Sesekali juga ia menelepon. Entah apa yang ia bicarakan, tapi mimik wajahnya sangat serius. Aku khawatir jika ia sudah tahu. Berita yang kini menggegerkan publik itu.

Sampai malam, tak seperti biasanya Hana tidur lebih awal. Entah benar tertidur atau pura-pura, untuk menghindar. Namun, aku juga tak bisa mengganggunya. Ia butuh banyak istirahat, mengingat besok operasinya akan segera dimulai.

~

Pagi hari kami sudah bersiap ke rumah sakit. Aku mencoba mengajaknya bicara, sekedar menghilangkan rasa gugupnya. Namun, ia hanya menjawab sekedarnya. Dan memilih melihat indahnya jalanan kota Seoul, di pagi hari.

Operasi Hana berjalan lancar. Namun, sekarang Hana masih dalam perawatan intensif. Ia baru bisa dikunjungi esok hari.

Itu pun dalam keadaan semua wajahnya. Terbalut perban. Ia bahkan belum bisa mengatakan sesuatu. Jangankan bicara membuka mata saja ia kesulitan. 

Aku tahu itu pasti sangat sakit, sedangkan Hana paling tidak tahan dengan kekerasan fisik. Ah, kenapa harus Mamah yang melakukannya. Orang yang sulit sekali untuk aku benci.

Hanya doa yang bisa kupanjatkan demi kesembuhan Hana. Yang kupikir dia baik-baik saja nyatanya tidak. Operasi ini tak sesimple dengan apa yang ada di pikiranku.

Saat inilah aku tahu, jika uang bukan segalanya, ia tak bisa membantu apa pun. Kenapa kamu menyembunyikan semua ini dariku, Hana?

Kamu bilang semua baik-baik saja, tapi nyatanya. Dokter bahkan mengatakan. Pantas saja kamu lebih banyak diam, nyatanya kamu bukan tak sanggup melawan, tapi sedang menahan sakit.

Hari terus berlalu, bahkan kini sudah sepekan Hana terbaring di rumah sakit. Ayah tak henti menanyakan kabar putrinya. Namun, aku hanya bisa menunjukkan foto Hana. Pantas ia sampai begitu gugup, nyatanya ada yang ia sembunyikan di dalam diamnya.

“Kuat ya Sayang, jangan tinggalin aku!”

Hana sudah bisa mengedipkan matanya. Aku senang sekali.

Hari demi hari aku melihat perkembangan Hana, di mana ia bengkak di wajah Hana juga berangsur mereda. Hari demi hari kami lewati dengan indah. Kurasa hubungan kami jadi sangat dekat. 

Sampai tiba di mana Hana diperbolehkan pulang, kami kembali ke penginapan yang lebih luas. Bukan lagi hotel, kali ini aku menyewa apartemen hanya agar Hana merasa nyaman.

Ada suster yang kupekerjakan untuk merawat Hana. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik. Namun, hingga momen di mana perbannya dilepas. Itu adalah momen yang paling kunantikan. 

Masyaallahalhamdulillah wajahmu sudah kembali Hana.”

Alhamdulillah,” ucapnya dengan senyuman yang terkesan dipaksakan. Entah karena tidak puas atau yang lainnya. Saat itu ekspresi Hana cenderung datar. Ia kembali diam, tetapi kali ini terlihat seperti menahan sesuatu yang entah apa. Saat itu kami memutuskan pulang ke Indonesia, lusa. 

Karena, dokter masih perlu memastikan kondisi Hana pasca lepas perban. Setalah dirasa baik. Kami langsung terbang menuju tanah air. 

Sepanjang jalan, aku bisa melihat Hana terus saja menghindar. Bahkan saat aku menawarkan tangan saat landing. Ia dengan tegas menolaknya. 

“Jangan sentuh aku! Sudah kubilang jangan sentuh aku! Apa kamu enggak bisa mendengarnya?”

“Hana kenapa? Aku hanya menyentuhmu sedikit. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita!”

Kali ini ia memilih menghadapi ketakutannya sendirian. Meski aku bisa melihat, ia bermandikan peluh, karena teramat takut.

Ya Allah ada apa lagi kali ini, setelah aku merasa semuanya akan membaik. Kenapa Engkau senang sekali mengujiku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status