Share

Pergilah!

“Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”

“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”

“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”

“Apa perlu operasi, Dok?”

“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”

Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.

Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.

Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.

Sepanjang malam, kulewati dengan terus memanjatkan doa keselamatan. Sungguh tak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminta pertolongan pada Sang Pemilik Kehidupan. Selama hidup aku bahkan, baru pertama melakukan ibadah begitu khusyuk. Sampai-sampai sejak kedua tangan mengangkat takbir sampai mengucap dua salam untuk terakhir kali, mataku tak berhenti berair.

Meski, dokter bilang lukanya tak terlalu parah. Namun, apa yang lebih parah, jika kemudian ia memilih pergi dariku.

Waktu berlalu, aku bahkan tak mengizinkan Ibu untuk masuk. Entah, aku masih belum bisa memaafkannya. Apa lagi sampai siang Hana masih juga belum sadar.

Siang pun tiba, seharusnya Hana akan sadar sebentar lagi. Namun, mataku sangat mengantuk, semalam suntuk kuhabiskan untuk mendoakan Hana. Saat itu, aku malah tertidur sambil menggenggam lengan kanan Hana. Sampai, kurasakan pergerakan kecil dari lengannya, aku langsung membuka mata.

Cepat aku memanggil dokter, untuk memastikan keadaan Hana.

Sampai aku bisa melihat Dokter itu tersenyum lega. Barulah hatiku merasa lega.

“Semuanya normal.”

~

Setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Hana malah memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan denganku.

“Hana, kamu mengingatku bukan?”

Hana tak menjawab, padahal tadi ia merespons saat Dokter menanyakan sesuatu.

Aku beralih ke sisi kiri Hana hanya agar bisa melihatnya dengan jelas.

“Kamu bisa mengedipkan matamu, jika mengingatku.”

Bukannya mengedipkan mata, Hana malah terus terpejam begitu lama. Ia bahkan, seperti tak mau bicara denganku.

“Kamu marah padaku, Hana?” tanyaku, meski aku tahu dia tidak akan menjawabnya.

“Kamu berhak melakukannya, semua memang salahku yang enggak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan aku.”

Lekas, aku genggam tangannya. Ia tak menolak, saat itu.

“Aku janji ke depannya enggak akan membiarkanmu berada di dekat Mamah. Aku akan menjagamu dengan lebih baik lagi. Aku akan melindungimu, Hana.”

“Jangan diam saja, Hana! Kamu percaya padaku ‘kan, Sayang?”

“Enggak,” lirihnya, bahkan tanpa membuka matanya sedikit pun.

“Sekali saja, kasih aku kesempatan. Kamu enggak ingat anak-anak. Bagaimana nasib mereka jika kita enggak sama-sama lagi?”

“Pergilah!”

“Sayang, tapi kamu janji kita tetap sama-sama. Aku enggak akan melepaskanmu, Hana. Maafkan aku.”

“Pergi! Jangan membuatku semakin membencimu.”

Saat itu aku tak ingin pergi, tetapi demi kebaikan Hana aku juga tak bisa egois. Aku mengerti jika ia memang butuh waktu sendiri.

Namun, baru saja beberapa langkah dari ranjang. Tangis Hana justru terdengar, ia terisak begitu pilu. Aku yang penasaran, kembali membalikkan badan.

Begitu menyesakkan saat menyaksikan Hana mengusap wajahnya yang rusak dengan kedua mata yang basah.

“Jangan menangis, Hana. Aku berjanji akan mengobatinya, kamu tidak perlu khawatir.”

“Kenapa belum pergi? Aku ingin sendiri.”

“Bagaimana aku bisa pergi melihatmu begitu rapuh, izinkan aku menemanimu di sini. Setidaknya aku bisa membantumu jika kamu butuh sesuatu.”

“Enggak perlu, pergilah …, kumohon!”

~

Aku tak bisa lagi mengelak, dengan langkah berat aku meninggalkan ruangan itu. Memilih duduk bersandar di bangku yang berada tepat di samping pintu ruangan Hana.

Pernikahanku tak boleh berakhir dengan cara seperti ini.

Waktu berlalu, Hana masih saja tak mau bicara denganku. Meski, kali ini aku terus berada di sampingnya. Tentu saja, karena aku yang memaksa untuk masuk. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir jika dia ingin minum atau mungkin ingin yang lainnya.

Sampai malam tiba keluarga Hana datang. Mereka tak banyak menanyakan alasan kenapa Hana bisa terbaring di sana. Justru, hanya fokus menanyai kondisi putrinya. Namun, semua keakraban kami tiba-tiba saja terganggu karena kehadiran Mamah.

Saat itu Pak Ramdan memilih pergi ke kantin, menggantikan Bu Sundari, ia pikir akan lebih baik jika bicara pada sesama perempuan.

Sebelumnya dia memang menghubungiku, untuk meminta maaf pada orang tua Hana. Namun yang terjadi, bukan permintaan maaf yang ia lakukan justru sebaliknya.

Begitu melihat penampilan Bu Sundari yang sederhana, ia malah menampilkan wajah yang menyebalkan.

“Andai saja Mbak bisa mendidik Hana dengan lebih baik, seharusnya kejadian seperti ini enggak akan terjadi.”

“Memangnya apa salah anak saya.”

“Putri Ibu itu sangat tidak tahu sopan santun, apa enggak pernah diajarkan sopan santun. Bisa-bisanya dia mengusir suaminya. Seharusnya dia sadar yang beli rumah dan seisinya itu siapa. Kalau bukan karena Raka, mana bisa dia merasakan tinggal di rumah mewah?”

Plak!

Bu Sundari baru saja menampar Mamah. Selama aku mengenalnya, sikapnya begitu lemah lembut. Sungguh, aku sendiri bahkan tak menyangka jika ia akan semarah itu.

“Kenapa Mbak tampar saya, sakit tahu enggak? Kampungan banget sih, sedikit-sedikit pakai kekerasan, kayak orang enggak berpendidikan? Memang enggak bisa dibicarakan baik-baik.”

“Orang seperti kamu, enggak  akan bisa diajak bicara baik-baik.”

Mamah masih saja tak mau kalah, meski aku sudah menariknya agar menjauh dari Ibu Sundari. Entah kenapa, tenaganya begitu kuat. Sungguh aku malu sekali dengan perlakuan orang tuaku.

“Kamu kok diam aja, Mamahmu diperlakukan seperti ini!”

“Mah, bahkan yang Mamah lakukan ke Hana jauh lebih kasar. Bisa enggak sih Mamah sadar akan kesalahan yang sudah Mamah perbuat. Ini di luar batas.”

“Jadi kamu bela mereka? aku ini Mamahmu, Raka. Mereka cuma orang asing aku yang melahirkan dan membesarkanmu sampai kamu bisa seperti sekarang.”

“Mah aku berterima kasih, sangat berterima kasih atas semua itu, tapi mereka juga orang tuaku. Tanpa mereka Hana juga enggak akan ada dan anak-anakku juga enggak ada. Tolonglah, jangan membuat permasalahan makin runyam. Mamah ingat ‘kan niat datang ke sini untuk apa? Meminta maaf, kenapa malah membuat keributan?”

Saat itu, Pak Ramdan baru saja datang dari kantin. Terlihat di tangannya ada 3 kotak nasi bungkus. Bahkan, aku bisa melihat ketulusan pria berjanggut panjang itu. Meski, sejak dia datang, terlihat sekali jika ia menahan kecewa padaku, karena tak bisa menjaga putrinya dengan baik. Ia masih saja mengingatku.

“Jadi begini, putri saya diperlakukan selama tinggal di rumahmu, Nak Raka?” sindirnya.

Diletakkannya bungkus nasi itu di bangku yang berjejer di depan koridor rumah sakit.

“Kalau saya tahu dari awal, sudah saya bawa Hana keluar dari rumah itu,” kata Pak Ramdan.

“Ya sudah sana bawa, ingat ya Raka juga masih mampu mencari istri yang lebih baik dari pada Hana putri Anda.”

“Oh ya, yakin ada menantu yang tahan dengan perlakuan ibu mertuanya yang seperti Anda?”

“Apa maksud Anda?”

Mamah lagi-lagi melangkah ke depan. Entah, makhluk apa yang merasuki tubuhnya. Kenapa ia begitu tak tahu malu, bahkan ia tak merasa bersalah sama sekali.

“Mah, sudahlah. Turunkan nada bicara Mamah sedikit, ingat Mah mereka mertuaku. Jangan terus-terusan memperlakukan mereka dengan tidak sopan.”

“Mereka enggak sopan kok! Kamu lihat sendiri, lihat wajah Mamah! Mereka saja berani main tampar!”

“Itu, karena memang Mamah yang tidak tahu diri. Mamah bukannya minta maaf malah menyalahkan Hana, jelas-jelas Mamah yang salah. Mamah yang dorong Hana, jangan Mamah pikir aku tidak tahu. Diamlah! Turunkan gengsi, apa susahnya minta maaf?”

“Senang kalian ‘kan, ingat ya. Sampai kapan pun saya enggak sudi minta maaf. Asal kalian tahu, saya bisa saja laporkan semua ini ke polisi, atas kasus penganiayaan.”

“Silakan dan saya akan melaporkan Anda atas kasus yang sama. Bukankah putra Anda, baru saja bersaksi atas penganiayaan ibunya?” tegas Pak Ramdan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status