Share

Mari Saling Melupa!

Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.

“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”

“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”

“Ya, karena mereka benar.”’

“Tapi, aku yang melahirkanmu.”

“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”

“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”

“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”

Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.

Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalkannya.

Lagi-lagi dia mengusirku.

“Tunggu sebentar!” panggil Bu Sundari kemudian. Aku mendekat untuk tahu apa yang hendak ia katakan.

“Saya mau ambil anak-anak.”

“Ma-mau ambil bagaimana?”

“Biar saya yang menjaganya di rumah.”

“Anak-anak aman kok, di rumah saya.”

“Bagaimana bisa kamu bilang aman, sedangkan Hana saja bisa sampai seperti itu. Tolong jangan membuat saya semakin marah dengan perlakuan keluarga kamu. Berikan saja anak-anak pada saya. Apa kamu ingin anak-anakmu juga bernasib sama seperti Hana?”

“Itu enggak mungkin, Ibu. Mamah enggak akan setega itu menyiksa anak kecil.”

“Yakin?”

Aku terdiam. Entah, kenapa baru kali ini aku merasa ragu dengan apa yang baru saja kukatakan.

“Antar aku ke rumah orang tuamu sekarang.”

“Tapi, Ibu mau bawa anak-anakku ke mana?”

“Ke rumahmu. Memangnya ke mana? Bundanya masih sakit, bagaimana bisa aku ajak mereka jauh-jauh.”

“Syukurlah, ya sudah kalau begitu mari aku antar ke sana.”

Setidaknya aku merasa lega jika Rafa dan Rifa di bawah pengasuhan Bu Sundari. Sejak melihat Mamah tega berbuat sekasar itu pada Hana. Aku sendiri, bahkan ragu jika dia akan mampu menjaga cucunya dengan baik.

Beruntung saat itu Mamah tak ada di rumah, karena bisa jadi akan terjadi keributan kembali.

“Kamu bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bu Sundari saat kami dalam perjalanan.

“A-aku, tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi mungkin Ibu bisa melihat kejadiaannya lewat CCTV.”

Dengan berat hati akhirnya kutunjukkan rekaman CCTV, di ponselku setelah kami sampai di rumah. Sejujurnya meski, Mamah sudah menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Aku tetap tidak percaya. Rasanya ingin sekali mendengarkan cerita dari Hana, sayangnya bahkan untuk sekedar menatapku saja dia menolak.

Cukup lama, Bu Sundari terdiam bahkan setelah ponselku ia letakkan di atas meja.

“Maafkan Mamah, Bu.”

Wanita itu hanya diam. Wajahnya terlihat shock. Wajar, jika ia begitu. Aku pun merasakannya juga. Bu Sundari lekas memeluk kedua cucunya dengan erat. Sampai-sampai membuat kedua anak itu kebingungan.

Kedua cucuku mempersilakan Neneknya untuk masuk. Ia menurut meski tanpa kata, mereka lekas mengajaknya ke dalam ruangan.

Aku berencana untuk mandi, sebelum kembali ke rumah sakit. Namun, alangkah terkejutnya saat turun ke bawah. Rumah begitu sepi. Apa mungkin anak-anak tidur?

Aku bermaksud mengetuk pintu kamar mereka. Namun, sampai ketukan ke 3 tak ada respons juga. Aku pikir mereka ketiduran di dalam, jadi lebih baik bersiap ke rumah sakit lagi dari pada membangunkan ibu yang kelelahan hanya untuk pamit.

Aku baru saja membuka pintu, tetapi saat melewati kamar anak-anak di mana jendelanya yang tak tertutup gorden membuat pandanganku tembus ke dalam. Sejak saat itulah aku menyadari jika mereka telah pergi.

Lekas aku kembali untuk memastikan. Pintu kamar itu bahkan tak terkunci. Aku mengecek lemari anak-anak, khawatir jika ibu malah berniat membawa keduanya pergi.

Benar saja, pakaian anak-anak hanya tinggal setengahnya saja.

“Ya Allah, ujian apa lagi ini?”

Tak menunggu lama, aku langsung mencari mereka. Seharusnya masih di sekitar sini. Seingatku tak ada kendaraan umum yang masuk ke perumahan. Seharusnya Bu Sundari juga tak bisa memesan taxy online mengingat Hana pernah mengatakan jika orang tuanya bahkan tak tahu cara menggunakan aplikasinya.

Aku kembali ke rumah sakit, tetapi saat itu anak-anak tak ada di sana.

“Yah, kumohon jangan bawa anak-anak pergi.”

“Kamu bahkan tidak bisa diandalkan untuk menjadi putriku. Lalu, bagaimana bisa aku mempercayakan mereka padamu.”

“Sayang, Hanya tolong jelaskan ke Ayah. Kita enggak mungkin ‘kan pisah sama anak-anak?”

“Aku pikir mereka lebih baik dengan orang tuaku,” kata Hana, yang bahkan bicara tanpa memandang ke arahku.

Sebenci itukah kamu padaku, Sayang? Sadarkah jika itu menyakitiku, Hana?

Aku mendoakanmu siang dan malam, tetapi kamu bahkan tak sudi untuk sekedar menatapku.

“Tapi, setidaknya kasih tahu aku di mana mereka tinggal.”

“Sudahlah, untuk apa kamu masih di sini. Pergilah, kehadiranmu enggak dibutuhkan.”

“Mana bisa begitu Pak, saya masih suami dan ayah mereka. Jelas saya punya hak. Saya hanya ingin mempertanggungjawabkan semuanya.”

“Jadi kamu bersedia menjadi saksi untuk memasukkan ibumu ke penjara? kalau, ya silakan. Aku tidak akan melarangmu mengasuh anak-anakmu,” kata Ayah.

Seketika aku terdiam, yang lebih membuat tercengang rupanya saat itu ada ayah dan ibu yang baru saja masuk. Sepertinya, Pak Ramdan sengaja mengatakannya hanya untuk menyindir.

Di depan Ayah, aku bisa melihat ibu benar-benar menjaga sikap. Entah apa yang terjadi dengan keduanya. Bisa kulihat mata ibu yang sembab.

“Pak Ramdan, bagaimana kalau semuanya kita selesaikan secara kekeluargaan?”

“Keluarga? Istri Anda bahkan, berniat menghabisi putri saya. Apa keluarga Anda memang terbiasa saling bunuh?”

“Saya tahu kesalahan istri saya sangat fatal, tetapi bisakah jika masalah ini jangan diselesaikan secara hukum.”

“Saya minta maaf Pak Ramdan, tetapi tolong pertimbangkan kembali keputusannya. Saya janji enggak akan mengulangi kesalahannya?”

“Bahkan jika kamu menyerahkan semua harta yang kamu punya. Aku tidak akan memaafkanmu atau melepaskanmu begitu saja.”

Seketika Mamah melirik Ayah yang wajahnya nampak frustasi.

“Boleh aku bicara, Pak?”

Tiba-tiba saja suara Hana terdengar.

“Silakan Nak, kamulah yang berhak menentukan keputusan?”

“Kenapa Mamah enggak memberiku kesempatan untuk bicara? Kenapa terus mendorongku. Bukankah aku sudah bilang berhenti? Mamah ingin membuatku cacat bukan? Agar suamiku menceraikanku, lalu memilih Sawa. Wanita yang Mamah bawa pagi tadi? Begitu ‘kan?”

“Mah apa maksudnya, kenapa juga Mamah ajak Sawa ke rumah tanpa sepengetahuanku?”

Hana hanya tersenyum.

“Bicara apa kamu Hana, aku tidak mungkin melakukannya. Ka-kamu tahu Mamah cuma terbawa emosi.”

“DIAM!” sentak Ayah, seketika membuat seisi ruangan itu semakin mencekam.

“Mamah tidak perlu repot-repot melukaiku, hari ini aku akan meninggalkan putramu.”

“Apa maksudmu Hana, aku tidak mau meninggalkanmu. Kau ingin apa, aku janji akan membuat Mamah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kamu ingin kasus ini dibawa ke hukum bukan? Aku akan melakukannya.”

“Raka! Tega kamu bawa Mamah ke penjara. Anak durhaka!” Saat itu Ayah menarik Mamah ke luar. Pak Ramdan juga mengikuti mereka keluar. Sekarang hanya ada aku dan Hana di sini.

“Tiga tahun Bang, aku nunggu kamu untuk mengatakannya. Setelah semua ini terjadi, hal itu sudah terlambat.”

“Aku berjanji akan membuatmu kembali seperti semula, Sayang.”

Aku mengenggam tangan Hana seerat yang kumampu. Namun, Hana malah menggenggam lenganku, sampai-sampai membuat selang infusnya bercampur dengan darah.

“Lepaskan!” katanya begitu lembut, tetapi kenapa terasa begitu menyakitkan.

“Anak-anak ikut denganku, kita bertemu di pengadilan Bang.”

“Enggak, aku enggak akan biarkan kamu bawa mereka. Aku enggak bisa hidup tanpa kalian. Jangan pergi, Hana.”

“Kamu tahu Bang, bahkan jika Mamah masuk penjara, hukumannya hanya beberapa tahun saja. Setelah itu, dia mungkin bisa melakukan sesuatu yang lebih kejam dari hari ini.”

“Enggak mau, kita sama-sama janji untuk enggak saling meninggalkan bukan? Lalu, kenapa kamu malah ingin pergi?”

“Lepaskan aku, ya.”

“Kamu boleh menghukumku Hana, apa saja. Tapi, bukan dengan perpisahan. Aku enggak bisa.”

“Abang bisa. Bukankan pada awalnya kita hanya dua orang asing? Mari kembali seperti semula dan saling melupakan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status