Raka sedikit membungkuk hanya untuk melihat wajah Hana yang menunduk. Ia menarik dagu Hana ke atas, sehingga ia bisa dengan mudah menyeka sudut mata Hana yang basah.
“Cantikmu jadi enggak kelihatan kalau nangis.”
“Bukankah aku sudah menentangmu begitu kerasnya, lalu hal apa lagi yang mau kamu tunggu!”
“Karena, aku tetap pada keyakinanku. Bahkan jika, kamu menolaknya 100 kali lagi. Jika yang bersanding dengan namaku di lauhul mahfudz itu namamu. Enggak akan ada yang bisa mengubahnya.”
Pria itu masih saja begitu keras kepala. Sekarang keduanya telah menjadi pusat perhatian semua orang.
Demi menghilangkan perasaan haru yang menyeruak dalam dada. Hana memilih mengalihkan pandangan.
“Duduklah di tempatmu, Bang. Sidangnya akan segera dimulai,” ucap Hana tanpa berpaling.
Sialnya Raka yang nakal malah membawa kursinya menjadi lebih dekat dengan Hana. Sontak saja, tingkahnya itu
Sadar akan maksud dan tujuan suaminya. Hana menjadi salah tingkah sendiri.Selayaknya anak gadis, ia yang lama tak disentuh suaminya. Mendadak malu membahas hal seintim itu. Apa lagi di depan Bapak.“Bu, ayo cari yang seger-seger di luar! Kayaknya sudah lama kita enggak makan bakso. Ajak anak-anak keluar juga!”Pak Ramdan sengaja mengeraskan suaranya. Hanya agar Bu Sundari yang sejak tadi sibuk di dapur itu mendengarnya.Bu Sundari tahu dengan jelas apa maksud dari suaminya itu. Lamanya menjalin ikatan pernikahan membuatnya mengerti tanpa harus memberi banyak penjelasan. Bu Sundari, lekas mempercepat langkah.Sembari, menggiring kedua cucunya itu. Ia masih sempat menggoda putrinya yang kini bahkan wajahnya terlihat merona serupa mawar.“Bunda, Ayah kita pamit ya. Wassalamualaikum,” ucap si kembar kompak.“Wa-waalaikumsalam. Hm pergi semua ini?” tanya Hana yang gugup.“Sudah toh
Hana menahan tubuh Raka yang hendak berbalik. Ia bahkan dengan sengaja mendekapnya begitu erat. Hanya agar pria itu tetap melihat lurus ke depan.“Jalan, Bang!”“Abang cuma mau memastikan.”“Jangan menengok ke belakang!”“Kenapa, Sayang? Kamu takut? Ada Abang di sini.”“Mereka enggak cuma sendiri.”Raka yang semula berniat berbalik. Merasakan tangan Hana yang dingin dan mulai gemetar itu. Ia pun mengurungkan niatnya.“Kita berhenti di Cafe itu, di sana cukup ramai. Aku yakin mereka enggak akan berani mengikuti sampai ke sana.”“Sayang, tanganmu sampai gemetar begini.”“Aku baik-baik saja, Abang. Aku bukannya enggak mempercayai kemampuan bela dirimu. Hanya saja. Aku takut jika mereka membawa senjata tajam. Aku sudah menghitungnya ada 3 orang, tapi sepertinya mungkin lebih dari itu.”“Astaghfirrull
“Abang harus ke kantor polisi, pamit dulu ya Pak, Bu.”“Aku ikut, ya?”“Hm, kamu enggak apa ketemu Mamah?”“Cepat atau lambat kita juga pasti akan ketemu lagi ‘kan?”“Hm, tapi tetap di sampingku, ya. Jangan bertemu hanya berdua saja.”“Hati-hati ya, Nak. Semoga ada jalan terbaik buat kita semua,” ucap Pak Ramdan mengiringi langkah mereka yang hendak pergi.“Urusan Wira, biar nanti kita selesaikan. Kamu bisa menyusul Arham. Saya akan ke sana nanti, setelah di kantor polisi,” ucap Raka sebelum pergi.Arham pergi dengan sepeda motornya. Pria itu lebih senang menggunakan kendaraan roda dua, selain menghemat waktu, karena bisa menembus kemacetan. Ia juga menyukai adrenalin.~Di kantor polisi asisten rumah tangga Bu Sina masih menunggunya dengan setia. Raka meminta wanita paruh Baya itu untuk pulang. Ia merasa iba, karena rela menunggu m
“Ini baru dugaan,” kata Ayah, sembari tersenyum simpul. Lantas, sedikit melirik ke arah Hendrawan yang hanya diam. Sejak ketiganya memulai obrolan.Seolah mengerti Raka berusaha memecah suasana dengan menawarkannya camilan.“Makan aja dulu, baru kita diskusikan masalah ini, Yah. Jangan terlalu tegang.”Sadar akan Hana yang ingin protes, terlihat dari bagaimana ia bersiap membuka mulut. Seketika Raka, lekas menggenggam lengan istrinya itu. Hana menatap sekilas, lalu menangkap saat suaminya mulai menggerakkan kepalanya perlahan ke kanan dan kiri.Saat itu juga ia langsung diam.“Berapa lama masa tahanannya, Pak Hendrawan?” tanya Ayah. Sekaligus mengawali pembicaraan.“Seharusnya 2 tahun 8 bulan.”“Oke.”“Itu sangat lama, Ayah,” ucap Hana.“Kamu lihat itu, Raka! Pilihanmu memang enggak pernah salah. Wanita mana yang masih mau memperjuangkan
“Jadi 1 atau 2, Nona?” tanya Arham.Sawa langsung mendecak kesal. Wanita itu lantas, membuang wajahnya ke arah jendela.“Aku enggak melakukan apa pun.”“Kok bisa ya, sudah jelas ketahuan masih mau mengelak.”“Kalian sengaja menjebakku. Aku enggak tahu apa-apa.”“Oke, kalau udah enggak bisa bicara baik-baik. Kita selesaikan di luar.”Raka sudah bangkit dari tempatnya, sedang Arham bersiap mencengkeram lengan Sawa.“Lepasin! Aku memang melakukan semuanya, tapi tolong jangan membawa kasus ini kantor polisi.”“Sudah direkam, Ham?” tanya Raka kemudian.Arham yang sudah mengerti langsung menunjukkan pena perekam yang sejak tadi berada di genggamannya. Ia tampak memutar benda itu. Sengaja, hanya untuk membuat Sawa terancam.“Apa-apaan sih, Mas?”“Kamu yang apa-apaan. Aku sudah menikah, tapi kamu malah masih mengej
Hisapan demi hisapan itu seolah membuat candu. Sudah sekian lama ia telah meninggalkan kebiasaannya itu. Namun, entah hari ini. Ia benar-benar butuh ketenangan.Ingin marah, tetapi bukan salahnya. Ingin membenci, tetapi ia adalah orang yang mustahil dibenci. Ia selalu kalah oleh statement, “Surgaku ada di telapak kakinya.”Sampai batang terakhir, ia menyadari jika malam sudah semakin larut. Seharusnya Hana sudah terlelap, begitu pikirnya.Sayangnya, siluet di balik jendela ruang tamunya menandakan jika, ada seseorang yang tengah berjalan menuruni tangga. Ia buru-buru memadamkan rokoknya. Mengibaskan piyama, berharap itu mampu menghilangkan jejak abu dari aksinya barusan. Ia lupa jika, aroma khas roko sudah melekat di tubuhnya. Bahkan ji
Kedua petugas sipil itu menarik paksa Mamah Sina kembali ke sel. Wanita paruh baya itu, meronta minta dilepaskan.Raka yang saat itu masih menjadikan dirinya tameng untuk Hana. Kini mulai melonggarkan rengkuhannya. Melihat ketiganya semakin jauh dari tempatnya berpijak.Raka melihat bagaimana Hana terlihat bernafas dengan tak beraturan. Bagaimana dadanya kembang kempis dengan cepat. Seolah ia tak cukup mendapatkan pasokan oksigen ke paru-paru-parunya.“Sayang, kita pulang sekarang!”Tanpa menunggu persetujuan dari istrinya. Raka langsung membawa Hana ke luar tempat pengap dan lembap itu. Setelah sebelumnya ia membereskan kekacauan di meja.Ia membawa kembali kotak makan yang bercecer di bawah. Sementara, sisa makanannya dibersihkan petugas kebersihan.Teriknya sinar mentari siang itu, membuat Hana sampai menyipitkan matanya.“Sayang, minum dulu!”Mana kala mereka berada di dalam mobil, Raka menyerahkan a
“Tidak akan pergi sesuatu yang indah, kecuali digantikan dengan yang lebih indah,” ucap Raka kala Hana semakin melangkah jauh.Wanita itu tak berbalik, tetapi ia hanya memelankan langkah. Ia sengaja tak menahannya untuk tetap tinggal. Ia tahu jika, berat berada di posisi Hana sekarang. Ia mungkin butuh ruang dan waktu untuk bisa menenangkan diri, seperti ia yang sering kali butuh menepi sejenak setiap kali asa itu hampir pupus.“Dan sampai detik ini, kamu masih menjadi alasan kenapa hatiku enggak bisa menerima siapa pun, selain kamu.”Raka sengaja mengeraskan nada bicaranya. Hanya agar Hana masih bisa menangkap suaranya. Dan ya, usahanya tak mengkhianati. Hana berbalik dan berhenti melangkah.“Dia lebih cantik dan modis. Pengetahuannya luas, enggak sepertiku yang sederhana dan apa adanya begini.”“Aku menyukai kesederhanaanmu dan semua tentang kamu. Jadi peduli, apa tentang Sawa.”“Bohong