Sekuat apapun aku bertahan, ternyata aku tetap tak mampu menolak pesona Sintya. Rasa bersalahku pada Dina dan Nabil kian tersamarkan bahkan terhapuskan oleh gelombang rasa yang kian membuncah. Terlebih sekarang tak ada lagi alasan bagiku untuk menghindar. Sintya sudah sah menjadi istriku secara agama.
"Om, apa nanti Om akan langsung terus terang pada Tante Dina?" tanya Sintya ketika kami sudah berada di dalam mobil. Aku tak menjawab pertanyaan itu. Bayang wajah Dina dan Nabil tiba-tiba menghiasi pelupuk mataku. "Om belum tahu. Sebaiknya kita harus merahasiakan ini dulu. Om belum sanggup menghadapi mereka. Terlebih, sekarang mereka sedang menyiapkan pernikahan ..." Kata-kataku terhenti begitu saja saat kuingat setatus Sintya yang kini sudah menjadi Ibu sambung bagi Nabil. "Baiklah, Om. Sintya pasti merahasiakan ini, tapi harus secepatnya kita kasih tahu mereka. Masa nanti Sintya harus nikah sama Mas Nabil?" "Iya, nanti Om akan pikirkan caranya. Pokoknya kamu jangan sampai keceplosan." Sintya terlihat mengangguk sambil tersenyum. Dia meraih lenganku dan menyandarkan dagunya, "Om, ngomong-ngomong, nanti Sintya panggil apa, masa harus panggil Om terus? Kan, gak lucu, gimana kalau Sintya panggil Mas aja ke Om, biar sama kaya Tante Dina?" ungkap Sintya sambil bergelayut manja. Ada binar bahagia yang menyelusup ke sanubariku. Rasa yang pernah kurasakan di masa lalu, tepatnya 25 tahun lalu, kini aku rasakan kembali. Ah, entahlah, entah apa yang kurasakan sekarang, aku juga tak paham. "Boleh, tapi nanti setelah kita tinggal berdua. Jangan panggil Mas sekarang, apa lagi di depan Dina dan anak-anak," jawabku sambil meraih jemari wanita keduaku ini dan menggenggamnya erat. Aku terus melajukan kendaraanku hingga akhirnya kami pun sampai di depan rumah. Sebelum turun, aku kembali mengingatkan Sintya agar bersikap biasa saja dan jangan sampai keluargaku curiga. Aku turun dari mobil dan langsung menuju kamar Dina, sementara Sintya langsung masuk ke kamarnya. "Mas, ini baju buat kita pakai di acara akadnya Nabil sama Sintya, bagus gak?" tanya Dina ketika aku sudah berada di kamar kami. Dina membawakan dua setel baju dan menunjukkannya padaku. Kulihat ada binar bahagia terpancar di wajah istri pertamaku ini. Mungkin kebahagiaan ini harusnya aku rasakan juga. Sebagai orang tua yang akan menyaksikan anak sulungnya menikah, aku harusnya merasakan kebahagiaan, tetapi takdir justru membuatku begini. Entah apa yang akan terjadi nanti kalau mereka tahu, bahwa Sintya sudah menjadi istriku. "Mas, kok, Mas Thariq malah bengong sih? Mas gak suka sama model pakaiannya atau bagaimana?" Dina bertanya sambil mengguncang tanganku hingga membuatku tersadar dari lamunanku. "Eh, maaf, Mas cuma nervous aja. Ya soal pakaian terserah kamu, Mas nurut aja," kilahku sambil berusaha tersenyum di depan ibu dari anak-anakku ini. Hari kian berlalu, aku berusaha tetap bersikap biasa saja di depan Sintya, ketika berada di rumah. Beda halnya ketika kami cuma berdua. "Om, kapan Om akan terus terang, hari pernikahannya semakin dekat, masa Om gak mau jujur juga?" tanya Sintya ketika kami berada di luar rumah. "Sabar, ya. Pernikahan ini harus kamu yang membatalkan, Om gak bisa membatalkannya, Dina pasti kebingungan kalau sampai Om yang membatalkan." Aku diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan pembicaraan kami. "Sekarang kita cari rumah buat kamu, nanti kamu pindah ke sana. Soal hubungan kita, Om belum sanggup terus terang. Kamu yang harus batalkan pernikahan, nanti kamu pamitan dan keluar dari rumah, ok?" Setelah mendengar penjelasanku, Sintya akhirnya setuju. Aku mengajaknya mencarikan dia sebuah rumah yang akan kami tempati nantinya. Aku berharap Dina dan anak-anakku akan menerima semua ini jika suatu saat mereka tahu. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya hari yang dinantikan semua orang di rumahku pun tiba. Sintya dihias bak putri raja. Ia terlihat sangat cantik memakai kebaya pengantin yang cukup mewah yang dipilih Dina Istriku. Semua tamu Undangan telah hadir, begitu juga pak penghulu. Dengan hati yang sangat kacau, aku terpaksa mengikuti prosesinya, hingga pada saat acara puncak yaitu menjelang pelaksanaan ijab kabul, akhirnya Sintya berani mengutarakan maksudnya untuk membatalkan pernikahan ini. Rumah kami yang tadinya dipenuhi kebahagiaan, kini berubah menjadi bak rumah duka. Dina dan Nabil juga adik-adiknya sangat kecewa dengan pembatalan pernikahan ini. Aku sendiri sebenarnya tak menginginkan hal ini terjadi pada putraku, tetapi apalah daya, takdir sudah berkata lain. Kenyatannya wanita yang akan dinikahi Nabil kini telah menjadi ibu sambung bagi Nabil yang tentunya haram untuk dinikahi. Aku melajukan kendaraanku membelah jalanan kota Jakarta, sore ini aku akan mengantarkan Sintya ke rumah barunya yang telah kusediakan. "Mas, nanti Sintya tinggalnya sama siapa? Masa Sintya sendirian? Atau, Mas mau nemenin tiap hari?" tanya Sintya ketika kami sudah berada di rumah baru kami. Aku tersenyum geli mendengar dia memanggilku dengan sebutan 'Mas' sama seperti Dina memanggilku. "Hehe, nanti Om, eh, maksudnya Mas ngambil art buat nemenin kamu," jawabku seraya menjawil hidung mungilnya, hingga membuat dia terkekeh. "Iih, Mas ini ah. Ya udah, gak apa-apa. Terus, nanti Mas ke sininya tiap hari kan?" Dia bertanya lagi. Kali ini dia bergelayut di pundakku. Aku mendesah panjang. Ingin sekali rasanya aku memenuhi keinginan Sintya yang tentunya kini sudah menjadi keinginanku juga. Ya, aku sekarang tak sanggup berada jauh dari wanita muda ini. Sebentar saja aku jauh darinya, aku sudah merasakan kerinduan yang teramat sangat. Ah, aku seperti merasa kembali ke masa-masa lalu. Aku merasa kembali menjadi remaja yang sedang jatuh cinta. "In sha Allah, nanti Mas akan tiap hari ke sini, tetapi Mas gak bisa nginap, sampai nanti Mas mampu terus terang ke Dina dan anak-anak Mas tentang kamu," jawabku sambil memutar tubuh istri mudaku ini dan membawanya ke dalam pelukanku. Aku tak mau dia merasa kecewa dengan sikapku. Aku ingin dia terus merasa bahagia di sisiku. "Apa nanti Tante Dina dan anak-anak Mas akan menerima Sintya?" Sintya bertanya di dalam pelukanku. Sebuah pertanyaan yang membuat hatiku membeku seketika. Aku teringat Dina dan anak-anakku. Pasti akan sulit bagi mereka menerima setatus Sintya yang kini sudah menjadi istriku. Dina pasti sangat kecewa karena aku sudah berpaling darinya. Nabil, ah ... kalau aku ingat anak sulungku itu, rasa bersalahku terasa semakin menggunung. Akankah mereka menerima? Bagaimana caranya agar membuat mereka rido dengan pernikahan keduaku? Sintya yang memahami kegundahanku kini semakin mempererat pelukannya. "Sintya minta maaf ya, Mas. Karena kehadiran Sintya sudah menyusahkan Mas. Sintya gak akan menuntut lebih lagi. Kita pasrahkan semuanya pada Allah ya, Mas. Kita berdoa semoga Tante Dina dan anak-anak Mas mau menerima hubungan kita ini."(Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj
Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela
Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang
Langit terlihat begitu cerah, matahari pun bersinar dengan terang, tak ada sedikit pun mendung yang menghiasi. Kendaraan yang kutumpangi terus melaju menuju sebuah Pesantren yang terletak di luar kota Jakarta. Aku sengaja meminta izin pada suamiku dan anak-anak untuk pergi mengunjungi sahabatku di Ponpes yang ia tempati. Sebuah Ponpes yang terletak di Kota Bogor."Assalamu alaikum," sapaku ketika berada di gerbang pesantren. "Alaikum salam," jawab seorang laki-laki penjaga gerbang. Aku dipersilakan masuk ke dalam Pesantren. Sebuah Pesantren yang khusus untuk Dzuafa dan anak yatim. Suami Khodijah adalah seorang Ustadz yang benar-benar ingin mendedikasikan ilmunya untuk berdakwah di jalan Allah. "Ma sya Allah, Nur, kamu udah datang, ayo masuk!" sambut Khadijah dengan penuh keramahan. Dia dan keluargaku memang selalu memanggilku Nur, bukan Dina seperti Mas Thariq memanggilku.Khadijah mengajakku ke tempat anak-anak yang sedang belajar. Aku sengaja membawakan hadiah untuk anak-a
(Dina)Malam semakin larut, usai aku mengerjakan tugas kantor, aku tetap duduk di ruang kerjaku. Akhir-akhir ini, aku memang sengaja menghindar dari Mas Thariq. Aku tak sanggup melihat wajah laki-laki itu ketika dia di sampingku, tetapi dia pokus berchat ria bersama istri barunya. Aku lelah terus diam begini, tetapi jika aku berbicara, dan melampiaskan amarahku, aku khawatir keluargaku akan terpecah dan anak-anakku akan kehilangan sosok ayah. Apalagi Nabil, dia pasti sangat terluka, kalau sampai dia tahu, ayahnya sendiri sudah menikungnya dan menikahi perempuan yang dia cintai.Aku menghela napas sambil tetap emnatap laptop ku yang masih menyala. Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran dengan isi chat suamiku dengan Sintya. Karena aku gegas membuka ponselku yang khusus aku gunakan untuk menyadap wa suamiku. Dengan penuh keraguan, aku membuka chat Mas Thariq dengan Sintya. Aku membaca chat yang hari ini saja. Kubaca kalimat demi kalimat yang Mas Thariq tulis, hingga akhirnya aku memba
Hari demi hari berlalu, entah kenapa aku semakin merasa nyaman berada di rumah Sintya. Setiap hari aku memang pulang ke rumah dan tidur di samping Dina, tapi perasaan ini semakin terasa hambar.Kalau saja aku tak menghargainya, mungkin aku tak akan pulang ke rumah. Meski Dina selama ini tak pernah berpenampilan kusut, tapi entah kenapa rasa di hati ini seakan sudah pudar dan yang ada hanya ingin menghargainya saja.Meski aku berada di samping Dina, hati dan mataku terus saja dipenuhi oleh bayang wajah Sintya, karenanya aku sering menghabiskan waktu dengan mengechat istri keduaku itu sebelum aku tidur.Dua bulan berlalu, selama itu aku sama sekali tak menyentuh Dina. Keberadaan Sintya seakan mendominasi semua ruang di hati dan seluruh jiwa ragaku. Karenanya, saat bersama Dina, gairahku seakan hilang. Yang ada di hati ini hanya rasa segan dan ingin menghargainya sebagai ibu dari anak-anakku. Pernah suatu malam, Dina berdandan rapi, dengan make up dan memakai gaun tak berlengan."Ma