Share

Dipaksa Nikah

Author: Maunah-Muflih
last update Last Updated: 2025-09-04 09:28:37

Aku tersentak kaget mendengar suara ribut dan gedoran di jendela mobilku. Aku membuka mata dan betapa terkejutnya aku, ketika kulihat orang-orang berkumpul di sekeliling mobilku.

Aku bergegas membuka pintu dan mencoba bertanya secara baik-baik. "Dasar mesum! Kalau kalian mau berbuat mesum, jangan di kampung kami!" ujar salah seorang dari mereka. 

"Maaf, Pak. Kami tadi habis ziarah, terus hujan deras dan mobil saya terprosok ke dalam lubang yang berlumpur. Jadi, saya putuskan untuk tetap di sini sampai hujan reda,"  terangku pada mereka. Namun, sepertinya mereka tak percaya.

"Halah, Bapak ini cuma membela diri. Coba kita suruh keluar perempuannya. Mbak, ayo keluar!" sentak salah satu dari mereka sambil menggedor kaca mobil di tempat Sintya duduk. 

Sintya pun keluar dari mobil. Yang membuat mataku melebar, penampilan Sintya terlihat brantakan. Kerudungnya terlihat sudah tak terikat lagi, kancing kemejanya pun terlihat terbuka dan dia menutupi badannya dengan jasku.

"Lihat Pak, tampang perempuan ini, Anda masih mau mengelak?" sahut warga yang berada di samping Sintya.

Aku mendekati Sintya dan mencoba bertanya padanya, tapi dia hanya tertunduk.

"Ah, sudahlah, ayo ikut ke balai desa, jangan banyak bicara lagi!" 

Karena tak punya alasan lagi, aku pun terpaksa mengikuti orang-orang ini. Mereka menggiring kami menuju ke dalam kampung.

"Loh, ini kan anaknya Almarhumah Teh Rani yang dari kampung sebelah, yang beberapa waktu lalu meninggal karena kecelakaan?" tanya salah seorang warga yang mengenali Sintya.

"Oh iya, kamu Sintya kan? Terus, laki-laki Ini siapa?" 

Warga - warga itu mencecar Sintya dengan pertanyaan mereka, tetapi Sintya hanya diam membisu. 

Karena tak ada jawaban dari  Sintya, terpaksa aku yang menjawab, "Saya Thariq, saya sahabat ayahnya Sintya, beliau menitipkannya ke saya, dan hari ini kami berziarah ke makam mereka." 

"Sahabat ayahnya, tapi mengajak dia mesum, dasar laki-laki hidung belang!"

"Dari pada kita kena bencana, bagaimana kalau kita nikahkan mereka," usul salah satu dari warga itu. 

"Maaf, Pak, kenapa harus seperti itu? Demi Allah saya tak melakukan apa-apa pada Sintya. Iya, kan, Sin?" 

Aku terus berusaha menjelaskan, sambil melirik ke arah Sintya, tapi anehnya gadis ini hanya diam membisu. Dia sama sekali tak memberi pembelaan atau juga menyangkal hingga membuat para warga semakin yakin bahwa kami memang berbuat mesum. 

Mereka terus mendesakku agar menikahi Sintya, bahkan mereka mengancamku akan merekam dan memposting kejadian ini di medsos. Hal itu sungguh membuatku terpojok. Jika hal itu terjadi, maka hancurlah semua yang kumiliki. 

Karena tak mau menjadi bahan ejekan netizen dan tak mau karir serta keluargaku hancur, akhirnya aku menyetujui tuntutan mereka. 

Setelah mendengar persetujuanku, mereka langsung membawa Sintya ke rumah salah satu warga. Beberapa menit kemudian,mereka muncul dengan membawa Sintya yang sudah dihias alah kadarnya.

Ijab-kabul pun akhirnya dilaksanakan, tentunya dengan wali hakim. Karena memang Ilham ayahnya Sintya tak memiliki kerabat atau saudara yang bisa menjadi wali Sintya. 

Usai akad, Gadis muda yang seusia putriku itu kini berada di depanku dan menyalamiku. Tak kupungkiri, ada debar aneh yang selalu bergejolak di dadaku ketika berada di sisi Sintya. Kini debar itu makin kukenali. Ya, sepertinya aku juga merasakan hal yang sama dengan Sintya.  Aku jatuh cinta pada gadis ini. Ah, entahlah, apa iya perasaanku ini kini sudah berpindah dari Dina ke Sintya, ataukah ini hanya rasa sesaat yang akan hilang pada waktunya. 

"Karena kalian sudah sah, baiknya kalian menginap saja dulu di kampung ini, besok baru pulang," ujar Bu RT yang mendampingi Sintya.  Kami dipersilakan menginap di rumah Pak RT yang memiliki rumah terluas di antara para warga yang lain. 

"Kenapa kamu diam saja saat diintrogasi warga tadi?" tanyaku pada Sintya ketika kami berada di kamar. Kami ditempatkan di sebuah kamar milik anaknya Pak RT yang kebetulan sedang di luar kota. 

"Karena saya ingin menikah dengan Om. Saya tahu kebiasaan warga di sini, mereka akan menikahkan orang yang dikira berbuat zina, makanya saya diam saja."

Deg! 

Jawaban Sintya itu benar-benar membuatku emosi. Tak kusangka dia senekat ini. Apa dia tak memikirkan keluargaku sama sekali. Ah, anak ini! Tiba-tiba saja aku digelayuti rasa bersalah. Bagaimana kalau Dina dan Nabil tahu? Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku menjelaskan pada mereka.

"Astagfirullah, kenapa kamu senekat ini? Lalu bagaimana dengan Nabil? Apa kamu gak mikirin Nabil dan Dina?" ketusku sambil menghempaskan bokongku ke atas ranjang. Kepalaku terasa pening karena dipenuhi rasa khawatir, sementara Sintya terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini.

Kulihat gadis itu mendekati ranjang dan duduk di sebelahku. "Dah,lah, Om. Kenapa sih Om ngomel terus! Mau Om ngomong kaya apapun, yang jelas Sintya sekarang sudah jadi istri Om. Apa pun jalannya, yang jelas Allah sudah menjodohkan Sintya sama Om. Masa Om mau ngehindar?" ujarnya sambil mencebikkan bibirnya. 

Lucu, manis, dan menggemaskan, itulah yang aku rasakan saat melihat gadis ini bermanja di depanku. Ah, apa aku harus tetap mempertahankan sikapku dan berlagak seperti seorang ayah pengganti. Sampai kapan aku akan memungkiri dan menghindari rasa yang memang sudah bergejolak sejak lama ini. 

Apa sekarang waktunya aku harus menyerah dan bersikap sewajarnya. Bersikap selayaknya laki-laki pada wanita yang sudah menjadi istrinya.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq (Egoiskah Aku?)

    (POV; Thariq)Aku menatap nanar ke arah tanganku yang tadi melayang ke pipi putra sulungku. Aku sungguh merasa menjadi ayah yang tak berguna, aku sudah menghianatinya, kini aku juga memukul fisiknya.Jika Dina tahu, dia pasti tak akan memaafkanku. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? "Mas, Mas gak apa-apa?" tanya Sintya sambil mengguncang tanganku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku pun menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu."Mas gak apa-apa, tapi Mas takut sekali sekarang. Nabil pasti akan memberi tahu ibunya, dan ... dan Dina pasti marah pada Mas," jawabku. Sintya terlihat tak suka dengan jawabanku."Apa Mas segitunya memikirkan Tante Dina? Kenapa sih Mas itu cuma mikirin Tante Dina?" teriak Sintiya seraya berlalu menuju mobil kemudian masuk ke dalam mobil dengan membanting pintu dengan keras.Aku tak mau ambil pusing dengan sikapnya, karenanya aku hanya diam membisu tak meladeninya. Pikiranku kini hanya tertuju pada Dina dan anak-anak kami. Tak bisa kubayangkan j

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq (kepergok)

    Setelah kami sampai di Jakarta, aku pun gegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Usai itu, aku pun langsung pergi ke rumah Sintya. "Assalamu alaikum. Sin, kamu di mana?" Sambil memanggilnya, aku langsung memasuki kamar kami, tapi tak kutemukan Sintya di sana. "Bu Yanti, Mbak Sintya mana?" tanyaku pada ART yang sengaja kugaji untuk menemani Sintya. "Eh, Bapak, udah pulang? Mbak Sintya dari pagi pergi ke Tangerang, katanya mau ziarah ke makam orang tuanya," terang Bu Yanti. "Ya Allah, dia pasti marah sama saya, ya Bu?" "Hmm, iya, Pak. Dari kemaren, Mbak Sintya uring-uringan terus karena Bapak gak datang-datang." Mendengar penjelasan Bu Yanti, aku pun gegas menyambar kunci mobilku dan langsung melesat pergi ke Tangerang untuk menyusul istri kesayanganku itu. Rasa bersalah dan cemas pun berbaur menjadi satu. Aku yakin dia marah padaku. Setelah hampir dua jam diperjalanan, akhirnya aku tiba di TPU tempat Almarhum ayah dan ibu Sintya dikuburkan. Benar saja, ku

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq 2

    Aku gegas menemui Sintya yang kini terlihat merajuk. Aku pun berusaha menghiburnya hingga membuatnya kembali ceria. Beberapa jam kami mengobrol, akhirnya dia membuatku terlena dengan manisnya madu yang ia suguhkan. Aku lupa dengan janjiku pada Dina untuk pulang cepat. "Ya Allah, sudah jam 3 malam, aku belum pulang. Dina pasti makin kecewa," gumamku di saat aku terbangun dan menyadari bahwa aku masih ada di rumah Sintya. "Sin, Mas pulang dulu, ya! Mas gak mau Dina curiga!" pamitku pada Sintya yang tertidur sambil memelukku. Dia menggeliat manja dan merengek memintaku tetap tinggal. Dia terus merajuk manja sehingga membuatku melemah dan akhirnya tetap tinggal di sisinya sampai pagi tiba. Keesokan harinya, aku langsung bergegas pulang ke rumah Dina. "Papa, kok, Papa barusan dari luar, emangnya Papa dari mana?" tanya Fitra menyambutku. Dia dan Ibrahim terlihat sedang bersiap-siap pergi. "Pa, kami mau ke puncak, ayo ikut Pa! nanti Kak Nabil juga nyusul, biar kita barengan, ya,

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq

    (Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj

  • Petaka Puber Kedua   Keanehan Nabil

    Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela

  • Petaka Puber Kedua   Menggali Sisa Cinta

    Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status