Aku tersentak kaget mendengar suara ribut dan gedoran di jendela mobilku. Aku membuka mata dan betapa terkejutnya aku, ketika kulihat orang-orang berkumpul di sekeliling mobilku.
Aku bergegas membuka pintu dan mencoba bertanya secara baik-baik. "Dasar mesum! Kalau kalian mau berbuat mesum, jangan di kampung kami!" ujar salah seorang dari mereka. "Maaf, Pak. Kami tadi habis ziarah, terus hujan deras dan mobil saya terprosok ke dalam lubang yang berlumpur. Jadi, saya putuskan untuk tetap di sini sampai hujan reda," terangku pada mereka. Namun, sepertinya mereka tak percaya. "Halah, Bapak ini cuma membela diri. Coba kita suruh keluar perempuannya. Mbak, ayo keluar!" sentak salah satu dari mereka sambil menggedor kaca mobil di tempat Sintya duduk. Sintya pun keluar dari mobil. Yang membuat mataku melebar, penampilan Sintya terlihat brantakan. Kerudungnya terlihat sudah tak terikat lagi, kancing kemejanya pun terlihat terbuka dan dia menutupi badannya dengan jasku. "Lihat Pak, tampang perempuan ini, Anda masih mau mengelak?" sahut warga yang berada di samping Sintya. Aku mendekati Sintya dan mencoba bertanya padanya, tapi dia hanya tertunduk. "Ah, sudahlah, ayo ikut ke balai desa, jangan banyak bicara lagi!" Karena tak punya alasan lagi, aku pun terpaksa mengikuti orang-orang ini. Mereka menggiring kami menuju ke dalam kampung. "Loh, ini kan anaknya Almarhumah Teh Rani yang dari kampung sebelah, yang beberapa waktu lalu meninggal karena kecelakaan?" tanya salah seorang warga yang mengenali Sintya. "Oh iya, kamu Sintya kan? Terus, laki-laki Ini siapa?" Warga - warga itu mencecar Sintya dengan pertanyaan mereka, tetapi Sintya hanya diam membisu. Karena tak ada jawaban dari Sintya, terpaksa aku yang menjawab, "Saya Thariq, saya sahabat ayahnya Sintya, beliau menitipkannya ke saya, dan hari ini kami berziarah ke makam mereka." "Sahabat ayahnya, tapi mengajak dia mesum, dasar laki-laki hidung belang!" "Dari pada kita kena bencana, bagaimana kalau kita nikahkan mereka," usul salah satu dari warga itu. "Maaf, Pak, kenapa harus seperti itu? Demi Allah saya tak melakukan apa-apa pada Sintya. Iya, kan, Sin?" Aku terus berusaha menjelaskan, sambil melirik ke arah Sintya, tapi anehnya gadis ini hanya diam membisu. Dia sama sekali tak memberi pembelaan atau juga menyangkal hingga membuat para warga semakin yakin bahwa kami memang berbuat mesum. Mereka terus mendesakku agar menikahi Sintya, bahkan mereka mengancamku akan merekam dan memposting kejadian ini di medsos. Hal itu sungguh membuatku terpojok. Jika hal itu terjadi, maka hancurlah semua yang kumiliki. Karena tak mau menjadi bahan ejekan netizen dan tak mau karir serta keluargaku hancur, akhirnya aku menyetujui tuntutan mereka. Setelah mendengar persetujuanku, mereka langsung membawa Sintya ke rumah salah satu warga. Beberapa menit kemudian,mereka muncul dengan membawa Sintya yang sudah dihias alah kadarnya. Ijab-kabul pun akhirnya dilaksanakan, tentunya dengan wali hakim. Karena memang Ilham ayahnya Sintya tak memiliki kerabat atau saudara yang bisa menjadi wali Sintya. Usai akad, Gadis muda yang seusia putriku itu kini berada di depanku dan menyalamiku. Tak kupungkiri, ada debar aneh yang selalu bergejolak di dadaku ketika berada di sisi Sintya. Kini debar itu makin kukenali. Ya, sepertinya aku juga merasakan hal yang sama dengan Sintya. Aku jatuh cinta pada gadis ini. Ah, entahlah, apa iya perasaanku ini kini sudah berpindah dari Dina ke Sintya, ataukah ini hanya rasa sesaat yang akan hilang pada waktunya. "Karena kalian sudah sah, baiknya kalian menginap saja dulu di kampung ini, besok baru pulang," ujar Bu RT yang mendampingi Sintya. Kami dipersilakan menginap di rumah Pak RT yang memiliki rumah terluas di antara para warga yang lain. "Kenapa kamu diam saja saat diintrogasi warga tadi?" tanyaku pada Sintya ketika kami berada di kamar. Kami ditempatkan di sebuah kamar milik anaknya Pak RT yang kebetulan sedang di luar kota. "Karena saya ingin menikah dengan Om. Saya tahu kebiasaan warga di sini, mereka akan menikahkan orang yang dikira berbuat zina, makanya saya diam saja." Deg! Jawaban Sintya itu benar-benar membuatku emosi. Tak kusangka dia senekat ini. Apa dia tak memikirkan keluargaku sama sekali. Ah, anak ini! Tiba-tiba saja aku digelayuti rasa bersalah. Bagaimana kalau Dina dan Nabil tahu? Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku menjelaskan pada mereka. "Astagfirullah, kenapa kamu senekat ini? Lalu bagaimana dengan Nabil? Apa kamu gak mikirin Nabil dan Dina?" ketusku sambil menghempaskan bokongku ke atas ranjang. Kepalaku terasa pening karena dipenuhi rasa khawatir, sementara Sintya terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini. Kulihat gadis itu mendekati ranjang dan duduk di sebelahku. "Dah,lah, Om. Kenapa sih Om ngomel terus! Mau Om ngomong kaya apapun, yang jelas Sintya sekarang sudah jadi istri Om. Apa pun jalannya, yang jelas Allah sudah menjodohkan Sintya sama Om. Masa Om mau ngehindar?" ujarnya sambil mencebikkan bibirnya. Lucu, manis, dan menggemaskan, itulah yang aku rasakan saat melihat gadis ini bermanja di depanku. Ah, apa aku harus tetap mempertahankan sikapku dan berlagak seperti seorang ayah pengganti. Sampai kapan aku akan memungkiri dan menghindari rasa yang memang sudah bergejolak sejak lama ini. Apa sekarang waktunya aku harus menyerah dan bersikap sewajarnya. Bersikap selayaknya laki-laki pada wanita yang sudah menjadi istrinya.(Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj
Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela
Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang
Langit terlihat begitu cerah, matahari pun bersinar dengan terang, tak ada sedikit pun mendung yang menghiasi. Kendaraan yang kutumpangi terus melaju menuju sebuah Pesantren yang terletak di luar kota Jakarta. Aku sengaja meminta izin pada suamiku dan anak-anak untuk pergi mengunjungi sahabatku di Ponpes yang ia tempati. Sebuah Ponpes yang terletak di Kota Bogor."Assalamu alaikum," sapaku ketika berada di gerbang pesantren. "Alaikum salam," jawab seorang laki-laki penjaga gerbang. Aku dipersilakan masuk ke dalam Pesantren. Sebuah Pesantren yang khusus untuk Dzuafa dan anak yatim. Suami Khodijah adalah seorang Ustadz yang benar-benar ingin mendedikasikan ilmunya untuk berdakwah di jalan Allah. "Ma sya Allah, Nur, kamu udah datang, ayo masuk!" sambut Khadijah dengan penuh keramahan. Dia dan keluargaku memang selalu memanggilku Nur, bukan Dina seperti Mas Thariq memanggilku.Khadijah mengajakku ke tempat anak-anak yang sedang belajar. Aku sengaja membawakan hadiah untuk anak-a
(Dina)Malam semakin larut, usai aku mengerjakan tugas kantor, aku tetap duduk di ruang kerjaku. Akhir-akhir ini, aku memang sengaja menghindar dari Mas Thariq. Aku tak sanggup melihat wajah laki-laki itu ketika dia di sampingku, tetapi dia pokus berchat ria bersama istri barunya. Aku lelah terus diam begini, tetapi jika aku berbicara, dan melampiaskan amarahku, aku khawatir keluargaku akan terpecah dan anak-anakku akan kehilangan sosok ayah. Apalagi Nabil, dia pasti sangat terluka, kalau sampai dia tahu, ayahnya sendiri sudah menikungnya dan menikahi perempuan yang dia cintai.Aku menghela napas sambil tetap emnatap laptop ku yang masih menyala. Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran dengan isi chat suamiku dengan Sintya. Karena aku gegas membuka ponselku yang khusus aku gunakan untuk menyadap wa suamiku. Dengan penuh keraguan, aku membuka chat Mas Thariq dengan Sintya. Aku membaca chat yang hari ini saja. Kubaca kalimat demi kalimat yang Mas Thariq tulis, hingga akhirnya aku memba
Hari demi hari berlalu, entah kenapa aku semakin merasa nyaman berada di rumah Sintya. Setiap hari aku memang pulang ke rumah dan tidur di samping Dina, tapi perasaan ini semakin terasa hambar.Kalau saja aku tak menghargainya, mungkin aku tak akan pulang ke rumah. Meski Dina selama ini tak pernah berpenampilan kusut, tapi entah kenapa rasa di hati ini seakan sudah pudar dan yang ada hanya ingin menghargainya saja.Meski aku berada di samping Dina, hati dan mataku terus saja dipenuhi oleh bayang wajah Sintya, karenanya aku sering menghabiskan waktu dengan mengechat istri keduaku itu sebelum aku tidur.Dua bulan berlalu, selama itu aku sama sekali tak menyentuh Dina. Keberadaan Sintya seakan mendominasi semua ruang di hati dan seluruh jiwa ragaku. Karenanya, saat bersama Dina, gairahku seakan hilang. Yang ada di hati ini hanya rasa segan dan ingin menghargainya sebagai ibu dari anak-anakku. Pernah suatu malam, Dina berdandan rapi, dengan make up dan memakai gaun tak berlengan."Ma