Home / Rumah Tangga / Petaka Satu Malam / Permintaan Konyol

Share

Permintaan Konyol

Author: FitriElmu
last update Last Updated: 2022-06-17 08:39:54

Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja.

"Kamu masih ingin bekerja disini bukan?"

"Benar, Pak."

Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya.

"Kalau begitu turuti perintah saya."

"Maksud bapak?"

"Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."

Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan.

"Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti.

"Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi."

Devan merasa kesal melihat ekspresi

Kiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya.

"Ta-tapi, Pak ..."

"Terima atau cari perusahaan lain. Gampang bukan?"

Devan melipat tangannya di depan dada, sembari mengangkat sebelah alisnya.

"Demi apapun, gue sebenarnya ogah. Tapi terpaksa ...."

"Baiklah pak."

"Bagus. Nanti sore aku antar pulang untuk mengambil barang-barangmu."

"Ha-hari ini, Pak?"

"Iyalah. Kamu kira kapan? Tahun depan?"

"Bukan begitu, hanya saja saya juga perlu izin dengan orang tua saya."

"Gampang! nanti sekalian pas ambil barang-barangmu."

Tidak semudah itu Ferguso! Kiara masih bimbang.

"Kenapa?"

"Ah, tidak ada apa-apa pak. Saya permisi," pamitnya.

-----

"Jelek amat muka lo, Ra. Di semprot lagi?" tanya Nadia. Demi apa, wajah Kiara seperti baju kusut yang sudah sebulan dibiarkan bertumpukan dan gak pernah di setrika.

"Jangan diambil hati, Ra. Boss muda emang kayak gitu." Satrio merasa kasihan juga lama-lama dengan Kiara Dia yang pernah bertemu beberapa kali -sewaktu masih bekerja dengan pak Dedi- dengan Devan saja masih sering stuck karena omongan super pedasnya, apalagi Kia yang baru beberapa kali. Tapi sepertinya gadis itu bakal kebal lama-lama dengan si Mr. Swag plus Savage itu, selama menjadi sekretarisnya kedepan nanti.

"Apa kita tukeran posisi aja, Ra. Gue aja yang jadi sekretarisnya pak Devan. Gue rela kok di marahin setiap hari," tukas Ayu sambil senyam senyum.

"Gila lo, Yu, sejak kapan lo kesemsem sama si Mr. Swag itu?" tanya Satrio. Setahunya kemarin saja dia ketakutan setengah mati dengan Devan.

"Ngeliat sayangnya papa muda itu sama anaknya, gue jadi pengen jadi mamanya. Pasti disayang juga. Hehe," cengir Ayu.

"Bener, Yu. Gue juga mendadak pingin ngerasain jadi mama muda juga. Tapi papa mudanya harus pak Devan. Ihh ... Co ciiit ..." tambah Nadia.

"Lama-lama makin ngawur kalian.!" Satrio menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua rekannya yang mulai gila.

Kiara hanya terdiam melamun di meja kerjanya. Apa iya kalau jadi mamanya bocah itu dia tidak akan kena semprot lagi?

.

.

Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalanan sore. Namun berlawanan dengan keadaan  dalam mobil itu. Sepi. Hening.

"Kemana lagi?"

"Terus saja. Nanti kalau belok saya kasih tahu."

Dan kembali hening. Ya begitulah, mereka hanya berkata sekadarnya saja. Sekedar arah kanan atau kiri, lurus atau belok. Begitu saja.

Kia masih kesal pada Devan? Ya, jelas saja itu salah satunya. Selain itu juga ia menyalahkan dirinya yang tidak bisa menolak. Ah, andai saja dia kaya, tak akan sudi dia merendahkan diri dengan pura-pura menjadi mama dari anak kecil.

Dia mengalihkan pandangan keluar jendela. Menatap pemandangan pinggiran jalan, meski ia tak yakin benar-benar menikmatinya.

Devan juga sesekali melirik gadis di sampingnya. Kalau bukan karena terpaksa juga dia tidak sudi menyewa wanita sebagai mama anaknya. Sekali lagi itu karena terpaksa.

"Depan itu belok kanan, Pak."

Mobil membelok kearah yang ditunjuk Kiara.  Jalanan mulai gelap. Diluar juga terdengar suara adzan bersahut-sahutan.

"Masih jauh?"

"Lumayan."

"Kamu benar setiap hari naik bis?" heran saja, jarak segini jauhnya gadis itu naik bis. Kenapa tidak cari kos-kosan saja sih. Merepotkan diri sendiri.

"Bapak kira saya suka bercanda," ketus.

Devan terkekeh. Dia tahu gadis itu marah padanya.

"Kamu bodoh,"ujarnya.

Dan Kiara hanya mendengus.

.

.

Orang tua Kiara hanya terdiam saat pemuda tampan dan gagah yang ternyata boss putrinya itu meminta izin membawa putrinya.

"Maaf pak, tapi putri saya bukan ...."

"Saya tahu pak. Maaf kalau membuat bapak dan ibu berfikiran yang buruk. Saya meminta bantuan pada Kiara dan ini sangat mendesak. Saya janji, saya tidak akan bertingkah macam-macam dengannya. Dia juga akan saya beri ruangan sendiri," jelasnya.

Kia sedari tadi menahan napas. Inilah yang dia takutkan. Alasan kenapa dia tidak mengambil tempat tinggal di kos. Ayah dan ibunya pasti trauma. Dia hanya bisa menunduk.

"Apa tuan bisa menjamin kalau tuan ini orang baik-baik?"

"Saya memang bukan orang baik-baik pak. Tapi saya berusaha menjadi orang baik. Dan saya janji, Kiara akan saya jaga. Jadi, tolong izinkan dia pergi dengan saya pak."

Ayah dan ibu Kiara saling berpandangan. Kalau saja orang tuanya tak mengizinkan, apa boleh buat. Mungkin ini yang terbaik. Dia bisa mencari pekerjaan di lain tempat.

"Saya tak mengizinkan."

Deg.

Tak urung Devan juga terkejut. Tak menyangka akan mendapat penolakan. Padahal dia sudah mencoba bersikap sopan tadi.

"Saya tak mengizinkan anak saya anda manfaatkan sepihak."

"Sepertinya bapak salah faham. Saya jamin Kiara juga mendapat keuntungan dari perjanjian kita."

"Sekali tidak tetap tidak. Saya tidak yakin untuk pria dan wanita tinggal serumah tanpa ikatan. Kalau memang anda benar-benar, nikahi Kiara!"

Mata Kia membulat tak percaya. A-apa yang dikatakan ayahnya, me-menikah?

"Tapi, Pak?"

"Terserah anda. Saya tak mengizinkan putri saya dibawa orang asing. Kalau mau ya nikahi, kalau tidak ya sudah. Tak masalah."

"Ayah," Kiara menatap ayahnya, memohon atas ucapannya tersebut. Tapi ayahnya bergeming. Menatap tegas pada Devan Peduli apa dia orang kaya dan bisa seenaknya mengatur-atur putrinya.

"Baiklah. Saya akan menikahinya," tegas Devan akhirnya.

"Tapi, Pak."

"Saya akan menikahinya secepatnya. Tapi untuk saat ini, saya minta izin untuk membawanya kerumah. Kami butuh pengenalan lebih dekat. Lagipula Kiara juga butuh penyesuaian."

Sumpah demi apa, ini adalah situasi ter-akward dan tak masuk akal dalam hidupnya setelah peristiwa itu tentunya.

"Baik. Saya kali ini izinkan."

"Terimakasih pak. Saya janji akan menjaganya, juga menikahinya." Devan tersenyum meyakinkan.

"Kalau begitu kami pamit, Pak, Bu. Ayo!"

Devan memegang tangan Kiara, sedangkan sebelah tangannya memegang koper milik gadis itu. Kiara yang kebingungan akhirnya menurut saja.

"Tunggu, Pak. Saya perlu pamit pada orang tua saya," ucapnya. Devan mengangguk, melepas genggamannya pada tangan Kiara.

Kiara memeluk orang tuanya antara sedih dan juga bingung.

Setelah itu dia melangkah menuju mobil Devan. Mereka akan ke rumah pria itu malam ini juga.

.

.

Dalam perjalanan Kiara masih tak habis pikir. Semudah itu pria ini mengambil hati orang tuanya dan dia juga bisa bersikap sopan? Juga, dengan mudahnya menuruti pernikahan yang di ajukan oleh ayahnya. Aneh. Sebenarnya apa yang diinginkan pria disampingnya itu.

Kiara memandangi Devan penuh selidik. Kekuatan apa yang dipakainya untuk meluluhkan hati orang tuanya.

"Jangan memandangiku, kalau tidak ingin jatuh cinta."

"Ck! Pede!" dengusnya. Devan terkekeh. Pandangannya masih fokus ke depan.

"Jangan jatuh cinta sama gue. Ingat! gue udah memperingatkan lo hari ini. Jadi, jangan salahin gue kalau suatu hari lo gak bisa ngelupain gue."

"Haish!" Kiara mengarahkan pandangannya kearah lain. Kenapa pede sekali dia. Eh, by the way, Devan tadi ngomong non formal dengannya? dia tidak salah dengar kan?

Kiaraa memutar kepalanya. Melihat dalam gelap pria disampingnya itu.

"Hey! udah gue bilang lo jangan pandangin gue. Atau lo emang udah suka sama gue? hmm..."

Aish! ternyata benar. Dia menyebalkan. Lebih baik dia tidur saja, daripada bersanding dengan orang super pede. Membuatnya mual saja. Namun baru saja matanya terpejam, Devan kembali berkata.

"Pernikahan kita cuma formalitas. Kalau bukan demi Rara, aku juga tak mau menikahimu." Pedas.

"Aku tahu," sahut Kiara. Benarkan apa yang dipikirkannya. Pasti ada niat lain dibalik peng-iyaan Devan.

"Tenang saja. Setelah kita menikah kau masih bisa bebas. Mau ketemu pacarmu terserah. Aku tak melarang. Tak ada kekangan."

"Ya."

Singkat saja, mendadak Kiar malas membahasnya.

"Oke. Nanti setelah sampai, kita bicarakan lagi soal ini."

Kiara manggut-manggut saja. Syukur deh kalau memang benar seperti itu. Ia juga sebenarnya malas untuk menikah. Trauma masih membayangi dirinya.

Mobil kembali melaju dalam gelapnya malam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Satu Malam   Ending Scene

    Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj

  • Petaka Satu Malam   Kesabaran Satrio

    Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur  dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"

  • Petaka Satu Malam   Tentang Dodi

    Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam

  • Petaka Satu Malam   Rencana Nina

    Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar

  • Petaka Satu Malam   Kabar

    "Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj

  • Petaka Satu Malam   Dendam Nina

    Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status