Share

Devan

Hening. Hanya saja ruangan terasa panas dengan hawa dinging yang menusuk. Bingung kan? ya pokoknya begitulah yang dirasakan Kiara. Kena semprot lagi. Mampus!

"Apa kamu tidak punya jam, hah?"

"Pu-punya, Pak."

"Tidak bisa membaca jam?"

"Bisa pak," jawabnya dengan tetap menunduk.

"Kenapa datang terlambat lagi? sudah saya peringatkan bukan? saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin. Dua hari saya disini kamu sudah membuat kesan yang buruk."

"Maaf, Pak."

"Hah, maaf lagi," dengusnya.

"Rumah saya jauh, Pak. Dan saya setiap hari naik bis dari rumah."

"Bukan urusan saya."

"Kamu di terima disini, tentu saja harus menuruti aturan perusahaan. Bukan perusahaan yang menurutimu. Belilah kendaraan, atau cari kontrakan disini. Kurang cerdas sekali."

Kiara menunduk. Andaikan bisa ia lakukan, sudah dari dulu dia mencari kontrakan di sekitar sini. Tapi ....

"Saya tidak mau tahu. Datang tepat waktu atau keluar dari perusahaan ini. Mengerti!" tatapnya tajam.

"Me-mengerti, Pak."

"Sudah! sana keluar!"

Kia bangkit dari duduknya.

"Tunggu!"

Kiara menghentikan langkahnya.

"Jangan lupa rapat nanti siang."

"Baik, Pak."

"Ya sudah! Sana!"

Hari ke-dua, diusir kedua kalinya, dan di omeli berkali-kali. Kiara melangkah keluar dengan gontai.

---

"Ya? hallo, kenapa, Nin?"

"Rara mengamuk lagi, Tuan"

"Ya sudah, kamu tenangkan. Ajak keluar jalan-jalan atau bagaimana, terserah."

"Sudah, Tuan. Tapi Rara tetap marah."

"Haish!" Devan mengacak rambutnya. Bukan karena dia kesal, dia merasa bingung saja.

"Memang dia minta apa? Apa kamu sudah tanya?"

"Emm ... itu, Tuan ...."

"Itu apa? Ngomong jangan setengah-setengah dong, Nin."

"Rara minta mama, Pak. Gara-gara tadi disekolah banyak yang diantar mamanya."

Devan terdiam. Inilah yang sedari dulu ditakutkannya. Suatu saat Rara pasti akan menanyakan itu. Menanyakan wanita yang menjadi mamanya. Ah, harus ia jawab bagaimana saat dia sendiri tak ingin membahasnya. Rara mulai memasuki Paud. Anak itu terlihat gembira saat ia diberi tahu akan sekolah. Tapi pasti anak-anak lain akan diantar mamanya, atau baby sitter seperti Nina.

Dan tentunya disana ia akan menemukan fakta bahwa ia tak punya mama. Ah, anak-anak itu.

"Bagaimana, Tuan? saya harus jawab bagaimana?"

"Huft ...." Hanya helaan napas yang terdengar.

"Baiklah. Katakan saja, nanti padanya bahwa papanya akan membawakan mama untuknya."

"Tapi, Tuan ... memang siapa mamanya Rara? Apa Tuan benar mau membawanya?"

"Pokoknya kamu katakan saja seperti itu, ya?"

"Baik, Tuan."

Devan memutus sambungan telepon. Mengusap kepalanya sedikit kasar, membuat rambut rapinya menjadi sedikit acak-acakan. Menjadi orang tua tunggal di usia semuda itu memang tidak mudah. Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin saja saat ini dia masih bebas menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Masih bisa bebas berkelana melalang buana sesukanya. Tapi karena anak itu, ia berusaha keras lulus dengan cepat dan berakhir memangkas masa mudanya dengan menggantikan papanya. Perjanjian yang dibuatnya dengan papanya dulu saat mengetahui dirinya telah mempunyai anak dengan menyuruhnya fokus ke studi dan mengurus perusahaan, atau kalau dia tidak mau, mereka akan mengusirnya. Dan semuanya berawal dari terpaksa.

Tapi, saat ini tak bisa di pungkiri, dia mulai menyayangi Rara. Wajah mungil dengan pipi gembul menggemaskan itu membuat lelahnya hilang. Mata bulat yang mengerjap berbinar saat menyambut kedatangannya seakan mengembalikan semangatnya.

"Argh! siapa yang akan ku bawa untuk menjadi mamanya Rara nanti. Kenapa sesembrono itu omonganmu, Devan!" rutuknya.

"Bagaimana kalau Rara kecewa kalau tahu aku pulang tidak membawa mamanya seperti yang aku janjikan? ah, dia pasti kecewa."

Tubuh kekarnya bersandar di kursi kebanggaannya dengan mata terpejam.

"Tok! tok! tok!"

"Masuk!"

Derap langkah pelan mendekatinya. Devan masih tak beranjak dari posisinya.

"Maaf pak. Jadwal rapat di percepat jam sepuluh."

Devan sontak membuka matanya. Gadis itu ternyata.

"Siapa yang merubahnya?"

"A-anu, Pak. Perusahaan dari Darkside corp."

"Aish! siapa dia seenaknya merubah jadwal!"

Darkside adalah perusahaan besar yang pengaruhnya sebanding dengan GF Corp. Mereka seringkali bersaing ketat.

"Mereka pikir karena aku baru menjabat bisa bertingkah seenaknya. Heh! kita lihat saja nanti," seringainya.

Kiara masih berdiri dengan bulu kuduk merinding. Sumpah, wajah pria di depannya ini berubah menakutkan.

"Kau bisa keluar."

"Baik, Pak."

Dengan senang hati.

Kiara membalikkan tubuhnya. Huft, untung saja pria itu cepat mengusirnya. Kali ini dia bersyukur. Hey, melihat wajah tampan, ah bukan! wajah sangar itu di depan matamu bukan hal baik bukan?

Namun, baru saja dua langkah ...

"Tunggu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status