Selain Vania yang semakin ke sini semakin bersikap tak enak padanya, selebihnya tak ada yang berubah sepeninggal Leo. Ia sudah sembuh dari sakitnya dan mulai membiasakan diri menerima kenyataan pahit akan luka yang dibuat Leo malam itu.
Sesekali Valerie tak sengaja mendengar percakapan antara Vania dan Leo di telepon, mereka semakin mesra di hari-hari menjelang pernikahan. Tapi Vania buru-buru mengecilkan suara ataupun menutup pintu kamar dengan kasar di saat Valerie hanya kebetulan lewat.
Satu bulan terlewati, hari pernikahan pun tiba.
Rumah kembali ramai. Kerabat jauh dan dekat berdatangan. Tak hanya dari pihak Mahendra, tapi juga dari pihak Arka— keluarga Leo. Valerie hanya mampu bersembunyi di kamar ketika orang-orang mulai sibuk menyiapkan semuanya. Ia enggan membantu atau menemani Vania di dandani oleh MUA, karena memang Vania tidak mau Valerie ada di dekatnya.
Sebelum acara dimulai, suara-suara yang terdengar sampai ke kamar Valerie kebanyakan memperbincangkan mempelai laki-laki yang notabene sukses di mata banyak orang.
Dan keramaian semakin meriah ketika tepat di pukul sembilan pagi, teriakan ‘sah’ saling bersahutan selama beberapa detik. Vania dan Leo telah resmi menjadi suami istri.
Seketika air mata Valerie menetes lalu buru-buru dihapus manakala Vira masuk ke kamar, mencarinya. Tentu saja sang ibu sadar akan keabsenan Valerie.
‘’Kamu kok di sini? Kenapa tidak turun ke bawah?’’
‘’Valerie hanya sedikit pusing, Ma.’’
‘’Loh, kamu sakit lagi? Bukannya sudah sembuh, ya?’’ Vira menyentuh dahi Valerie, menunjukkan perhatiannya sebagai seorang ibu.
Valerie menggeleng lemah. Bingung bagaimana menjelaskan apa yang sedang ia rasakan. Fisiknya memang tidak sakit. Tapi ada bagian lain yang lebih sakit di tubuhnya. Dan itu dipicu dengan pernikahan Leo dan Vania hari ini.
‘’Mungkin kamu belum makan. Kalau begitu ayo kita ke bawah, Nak. Nanti Mama suapin. Mama juga gak enak sama keluarga besan dan keluarga kita yang lain. Masa adik pengantin tidak kelihatan.’’
Meski beranjak dari tempat tidur dengan setengah hati, tapi pujukan Vira berhasil. Valerie merapikan kebaya dan sanggulan rambutnya. Mengikuti Vira di belakang..
‘’Besan, ayo foto.’’
Vira menyadari bahwa ia dan Valerie turun di waktu yang tepat. Semua orang sudah berbaris mengapit pengantin.
‘’Ma, Valerie mau makan saja.’’
‘’Ih, kamu nih. Ini momen langka. Sekarang mungkin Leo sama Vania. Nanti kamu juga kayak kakakmu. Duh, Mama jadi penasaran. Siapa ya orang beruntung yang jadi jodoh kamu nanti, Val?’’ Vira setengah berbisik. Matanya berbinar-binar. Mengekspresikan bahwa ia memang menantikan momen tersebut.
Tapi, Valerie tidak yakin ada pria yang mau dengannya mengingat ia sudah tidak suci lagi. Memikirkannya membuat ia langsung bersedih.
‘’Ayo, Nak. Sini.’’
Namun ia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Juga pasrah ketika Vira menarik tangannya. Bergabung dengan semua orang yang berdiri di hadapan photographer.
‘’Valerie di sebelah pengantin laki-laki fotonya. Mana tau ketularan dapat jodoh seperti Leo.’’ Ibu Leo mengusulkan. Wanita itu memang menyukai Valerie.
Valerie tersenyum getir. Ia ingin menghindar, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tapi tiba-tiba Valerie kehilangan keseimbangan. Refleks Leo menangkap tubuh mungil Valerie. Bersitatap seperti di film-film. Dan konyolnya sang photographer mengabadikannya.
‘’Valerie!’’
Sama seperti Drupadi yang cemburu terhadap Subadra, Vania pun sama. Mungkin memang tidak sampai menikah. Tapi tetap saja ia marah bila melihat Arjuna-nya memeluk wanita lain. Meski itu adalah adiknya sendiri.
Vania paham kalau Leo hanya ingin menolong. Tapi sebagai istri, ia tetap tak menyukai adegan yang malah disambut oleh tawa dan seruan kompak orang-orang.
‘’Sudahlah. Ayo cepat fotonya!’’ Vania berseru ketus. Lalu bertukar posisi dengan Leo. Membuatnya jadi berfoto di sebelah Valerie. ‘’Habis ini aku mau foto sama orang tuaku dan juga orang tua Mas Leo.’’
Vania memang menatap kamera. Tapi ujung matanya tak berhenti tertuju pada Valerie. Ia akan menjaga Leo dari adiknya yang memiliki aroma-aroma ketertarikan pada suaminya. Lagi pula tak jarang hancurnya rumah tangga didasari dari orang terdekat sendiri.
***
‘’Tadi katanya mau makan. Kok jadi diam sih, Val? Mama suapin, ya?’’
Vira mengisi piring dengan nasi, rendang dan juga acar timun lalu duduk di samping Valerie. Duduk di bangku tamu tak jauh dari prasmanan. Kebetulan para tamu sudah banyak yang pulang. Jadi mereka memilih duduk di sana.
Apalagi virus corona sedang marak-maraknya. Jadi tak banyak tamu yang hadir. Hanya kerabat dekat yang jumlahnya tak lebih dari lima puluh orang.
Raut wajah Valerie masih saja muram. Berbanding terbalik dengan Vania.
‘’Ayo buka mulutnya,’’ kata Vira sambil membawa sendok berisi tumpukan nasi dan lauk di depan wajah Valerie.
Gadis itu menurut. Bagaimana jadinya jika Vira tau bahwa putrinya sedang merasa lemas dan pusing di waktu yang bersamaan.Nafsu makan Valerie juga mendadak lenyap.
Tapi lagi-lagi Valerie tak berdaya. Ia menurut. Memakan sesuap demi sesuap makanan yang tak terasa nikmat.
‘’Kamu kok jadi gampang sakit, Nak? Mukamu juga pucat.’’
Ternyata Vira menyadari fisik Valerie. Apalagi gadis itu juga terlihat lebih kurus.
‘’Hah? Enggak kok, Ma. Valerie baik-baik saja.’’ Tangannya meremas ujung baju.
Valerie tahu berbohong pun tak ada gunanya. Pipinya lebih tirus. Tulang di bawah leher juga menonjol jelas. Karena itulah Valerie buru-buru naik ke kamar setelah selesai makan. Vira membiarkannya. Sebagai seorang ibu, ia merasa iba pada anak yang selalu menyimpan masalahnya sendiri tanpa mau berbagi itu.
Saat waktu telah memasuki jam untuk terlelap, Valerie ingin memastikan pintu kamar sudah terkunci atau belum, sebelum ia kembali ke atas tempat tidur. Pengalaman membuatnya terjaga untuk tidak melakukan kesalahan seperti satu bulan yang lalu.
Dengan setengah mengantuk, Valerie mendekati daun pintu, berusaha meraih gagang yang ternyata sudah berputar lebih dulu sebelum ia menyentuhnya.
‘’Outer gaun tidurku terkena noda. Cepat bersihkan.’’ Vania muncul dengan melemparkan kain berwarna putih ke muka Valerie tiba-tiba.
Tanpa mau menyela atau membantah, Valerie bergegas menuruti perintah Vania. Mengucek noda kehitaman dengan sabun. Mengeringkannya dan menyetrikanya rapi.
Hati terasa berat untuk mengantarkan pakaian itu ke kamar Vania. Tapi kakaknya itu telah mengatakan untuk mengantarnya ke kamar jika sudah selesai. Satu tangan Valerie bergerak mengetuk pintu.
‘’Mbak Van, bajunya mau ditaruh di mana?’’ teriaknya dari luar.
‘’Masuk saja. Ga dikunci kok. Aku lagi dandan. Cepetan!’’
Nada geram Vania Memaksa Valerie untuk buru-buru masuk.
‘’Sayang, jangan pakai bra, ya.’’ Leo tiba-tiba keluar dari kamar mandi tanpa tahu ada Valerie di sana. Memeluk, mencumbu leher Vania dan wanita itu hanya tertawa geli sambil mengabaikan Vania yang membeku.
‘’Aku udah gak sabar. Cepat buka bajunya, Sayang. Kita bikin Leo dan Vania kecil.’’
Vania mengangguk. Tersenyum lembut sambil mengecup bibir Leo.
Hati Valerie terasa ditusuk jarum. Maniknya sudah tidak sanggup untuk melihat lebih banyak. Valerie bergegas meletakkan baju di meja dekat pintu bersama pemandangan Vania dan Leo yang sedang melakukan pemanasan untuk malam pertama.
Vania seperti sengaja. Malam itu, Valerie mendengar suara-suara desahan dari kamar sebelah. Mungkin Valerie tidak akan bisa tidur bila tidak ia paksakan menutup telinga menggunakan bantal. Dan di tengah malam, tiba-tiba saja Valerie terbangun. Rasa traumanya kambuh begitu saja. Valerie mengecek pintu, memastikannya terkunci lalu mencoba kembali tidur. Tapi sayangnya Valerie malah terjaga sebentar. Adanya Leo di rumah membuat batin Valerie tak tenang. ‘’Kau tidak boleh lengah, Valerie,’’ lirihnya. Hidup memang sulit untuk di tebak. Sebelum malapetaka itu terjadi, ia adalah gadis yang bersahaja. Ia bermimpi untuk menjadi dokter. Jadi Valerie tidak takut dengan yang namanya hal-hal mengerikan termasuk kematian. Sebab, Valerie akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa orang. Namun siapa sangka bahwa terbesit di pikirannya untuk melakukan percobaan bunuh diri. Apanya yang menjadi dokter? Apanya yang ingin menyelamatkan nyawa? Mempertahankan napas dan keteguhan hidup untuk
‘’Apa yang kamu rasakan sekarang, Nak?’’ Valerie diburu pertanyaan Mahendra begitu siuman. Ada Vira juga di sana. Kepala terasa sakit. Valerie juga merasa seperti kehilangan tenaga. Tapi yang dikatakan Valerie selanjutnya jauh berbeda dengan kenyataannya. ‘’Valerie gak apa-apa kok, Pah.’’ ‘’Apanya yang gak apa-apa. Kamu pingsan. Sekarang kita ke rumah sakit,’’ tukas Mahendra lagi. Telapak tangan Valerie dingin. Ia telah menyukai dunia medis sejak kecil. Jadi sedikit banyak ia paham akan kondisi tubuhnya saat ini. Ada ketakutan yang membayangi Valerie jika ia berkeras menuruti permintaan Mahendra. ‘’Tadi cuma kaget lihat darah, Pah. Valerie beneran gak apa-apa,’’ ucap Valerie lirih. Hatinya diterpa kesedihan. ‘’Kalau begitu biar dokter yang kemari. Cepat telepon—’’ ‘’Mama,’’ Valerie memotong. Wajahnya memelas. Meminta untuk dituruti perkataannya. ‘’Tolong, Mah, Pah. Valerie hanya perlu istirahat.’’ Tetes air mata jatuh membasahi pipi. Kepala Valerie yang panas merasakan belaia
‘’Papa…’’ ‘’Jawab Valerie!’’ Vira berteriak tak sabar. Degup jantung Valerie terasa lebih kencang. Ia memejam sambil menyentuh tangan Devano yang semakin kuat menarik rambutnya. Mengharapkan belas kasih untuk dikendurkan sedikit tatkala ia meringis. Namun ringisan Valerie tak bisa menutupi kemarahan Devano selagi pertanyaan menggantung itu tak dijawab. ‘’Apa Vania bilang, Pa.’’ Secara tak langsung Vania membongkar kejahatannya sendiri. Wanita itu diam-diam selalu mencuci otak Vira dan Mahendra terkait desas-desus yang didapat Vania dari teman-temannya. Namun selama ini mereka berdua tidak percaya. Atau lebih tepatnya masih berpikiran positif tentang Valerie. Valerie kesal, kenapa orang tuanya tidak marah pada Vania yang jelas-jelas sengaja menjelek-jelekkannya tanpa bukti? Seolah fitnah itu tidak terdengar kejam. Apakah begitu rasanya menjadi anak yang paling disayang? Selalu dimaklumi perbuatannya meski salah? Batin Valerie menjerit. Dan yang membuat Valerie lebih berduka adala
‘’Mas?’’ Valerie meminta Leo sadar atas ucapannya. Itu berarti Leo menginginkan ia menjadi istri kedua.‘’Kita harus membicarakannya. Segera. Waktu saya tidak banyak,’’ pungkas Leo sambil mengulurkan tangannya pada Valerie. Mengajak wanita itu pergi.Berkali-kali Valerie mengurungkan niat untuk menyambut telapak tangan yang terbuka itu. Tapi apa daya, gerakan sepihak Leo membuat telapak tangan mereka bertemu. Ada penerbangan yang sedang menunggu dan Vania yang menghubunginya terus-menerus. Ia diburu waktu.‘’Saya tidak mau dimadu. Dan lagi, kamu sudah menikah dengan Vania,’’ ujar Valerie saat mereka sudah berada di dalam mobil. Leo mendengarkan sambil mengemudikan mobil.Mendengar Valerie berkata seperti itu, Leo menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Menghadapkan tubuh pada Valerie. Bisa dibilang Leo terlihat sangat frustasi saat itu.‘’Apa yang kamu harapkan? Saya menceraikan Vania lalu menikahi kamu di depan keluarga?’’ Leo berujar marah. Valerie membisu merasakan suasana panas
Di sang hari yang panas tersebut, Leo urung tidur siang bersama istri pertamanya setelah membaca pesan di gawai itu. Leo cepat-cepat memakai baju dan memastikan mata Vania masih menutup. Wanita yang ia sayang itu tidak boleh tahu ia meninggalkan kamar. ‘’Kau menipuku? Sebenarnya kau di mana?’’ Leo bertanya beruntun setelah mengecek ke luar rumah dan tidak menemukan wanita yang di dalam pesan mengatakan sedang berada di kediamannya. ‘’Saya salah ketik.’’ Apa dia serius? Leo menahan kesal mendengar kalimat polos Valerie. Seperti mendapatkan syok terapi. ‘’Sekarang kau di mana?’’ Kekesalannya masih belum hilang. Leo berkata keras sampai Valerie harus menjauhkan gawai dari telinga. ‘’Saya di luar. Sedang berbelanja.’’ ‘’Bukankah sudah ku bilang jangan menghubungi bila tidak penting?’’ Susu ibu hamil di depan mata urung ia raih. Sebegitu terganggunya kah Leo dengan pesan typo tersebut? Padahal ia ingin mengetikkan ”saya sudah makan’’ dan mengirimkannya pada Inah. ‘’Maaf, Mas. S
Hari itu, dengan penerbangan yang sama namun di kelas yang berbeda, Vania, Leo dan Valerie berangkat dari Kalimantan menuju Jakarta. Valerie di kelas ekonomi sementara suami istri itu tersebut di kelas bisnis.Leo mengatur segalanya agar Valerie tidak bertemu dengan Vania. Termasuk dengan membuat Valerie mengenakan hijab dan juga masker agar tidak dikenali oleh siapapun. Terutama istrinya.Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam dan untuk sampai ke rumah duka sekitar empat puluh lima menit dari bandara. Valerie tiba belakangan menggunakan taksi sedangkan Leo dan Vania sudah sampai lebih awal karena dijemput oleh Pak Sena.Tepat pukul tiga sore, kembali Valerie menginjakkan kaki di rumah yang pergi maupun pulang membuat air mata Valerie berlinang. Keluarga dan kerabat dekat berbisik-bisik satu sama lain dan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah Valerie adalah orang asing yang tak seharusnya hadir. Inah menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan langs
‘’Halo, Valerie,’’ Telepon dari sahabat Valerie nan jauh di Solo. Layar gawai berkedip tak lama setelah ia duduk. Dengan suara yang dibuat ceria Valerie berdehem untuk mengatur suara sebelum menyapa. ‘’Delia. Kamu apa kabar?’’ sapanya. ‘’Aku baik. Tapi aku tahu kamu enggakkan, Val? Maaf ya aku jauh. Gak bisa menemani kamu di saat-saat seperti ini.’’ Delia tidak berbasa-basi. Valerie mengerti. Jarak menjadi penghalang niat Delia. ‘’Tidak apa-apa. Terimakasih sudah meneleponku.’’ ‘’Aku turut berduka,’’ ujar Delia. ‘’Aku dengar apa yang terjadi sama kamu, Val.’’ Deg. Sontak jantung Valerie berdegup resah. Kabar yang mana yang didengar Delia? Ia yang hamil di luar nikah atau ia yang menjadi penyebab meninggalnya Mahendra? ‘’Maksud kamu apa, Del?’’ Valerie berpura-pura. ‘’Aku tahu dari Vania. Kabar papa kamu dan kamu yang…’’ Seperti tau akan menyakiti hati Valerie, Delia enggan melanjutkan. Dia memang sahabat yang baik. Tapi teganya Vania membocorkan aibnya pada orang lain. ‘’
Selepas keributan di kamar Valerie, ada yang berbeda dari sikap Leo. Biasanya Leo akan mengirimkan uang di tanggal lima. Tapi sudah tanggal tujuh pun tidak ada uang masuk ke rekening Valerie. Leo sepertinya marah. Banyak kebutuhan untuk ibu mengandung. Walau jumlahnya tak banyak dan hanya lima juta, tapi Valerie sangat butuh. Lalu kemana lima puluh juta setiap bulan yang seperti Leo janjikan? Valerie tidak mau uang sebanyak itu. Jadi Leo hanya memberi sekedarnya. Catat. Sekedarnya! Mungkin Vania yang mendapatkan uang belanja sebesar itu. Bisa jadi lebih. Valerie kerap bolak-balik ke rumah sakit. Rutin mengkonsumsi susu serta vitamin khusus ibu hamil. Untuk alasan itulah Valerie mencari cara untuk bicara dengan Leo empat mata. ‘’Aku perlu uang. Kebutuhan untuk bayiku sudah habis.’’ Begitu yang Valerie katakan pada Leo di teras belakang. ‘’Baik. Aku akan membelikannya.’’ ‘’Apa tidak bisa bila kamu memberikan saja uang itu padaku, Mas? Biar aku yang belanja sendiri.’’ ‘’Bukannya