Vania seperti sengaja. Malam itu, Valerie mendengar suara-suara desahan dari kamar sebelah. Mungkin Valerie tidak akan bisa tidur bila tidak ia paksakan menutup telinga menggunakan bantal.
Dan di tengah malam, tiba-tiba saja Valerie terbangun. Rasa traumanya kambuh begitu saja. Valerie mengecek pintu, memastikannya terkunci lalu mencoba kembali tidur. Tapi sayangnya Valerie malah terjaga sebentar. Adanya Leo di rumah membuat batin Valerie tak tenang.
‘’Kau tidak boleh lengah, Valerie,’’ lirihnya.
Hidup memang sulit untuk di tebak. Sebelum malapetaka itu terjadi, ia adalah gadis yang bersahaja. Ia bermimpi untuk menjadi dokter. Jadi Valerie tidak takut dengan yang namanya hal-hal mengerikan termasuk kematian. Sebab, Valerie akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa orang. Namun siapa sangka bahwa terbesit di pikirannya untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Apanya yang menjadi dokter? Apanya yang ingin menyelamatkan nyawa? Mempertahankan napas dan keteguhan hidup untuk diri sendiri saja ia tidak bisa. Seharusnya ia menjauhkan pisau itu sebelum Leo masuk ke kamarnya.
Valerie kira ujian hidupnya hanyalah Vania. Tapi ternyata jumlahnya bertambah satu.
Memang selama ini orang tua mereka tak pernah sekalipun membanding-bandingkan antara ia dan Vania. Tapi selama ini Valerie memang mendapat perlakuan yang berbeda dengan kakaknya. Vania adalah sebenar-benarnya anak emas di rumah ini. Ia cantik. Sangat cerdas dengan pengukuhan cum laude yang didapat tiga bulan lalu. Juga seksi dengan cara berpakaian yang terbuka dan mengumbar aurat kemana-mana.
Bisa dibilang, ia adalah the beast dan Vania adalah beauty-nya. Ujian hidup yang selalu dirasakan oleh saudara sedarah yang mana memiliki perbedaan fisik yang begitu jauh.
Valerie bangun dari tempat tidur ketika fajar telah menyingsing. Bertepatan dengan ketukan pintu yang begitu keras. Dengan lemah Valerie mengayunkan tungkai kurusnya. Meraih gagang pintu sambil mengucek mata.
Vania lagi.
‘’Buka pintu saja lama. Kamu ngapain aja sih di dalam?’’ Vania bertanya ketus.
‘’Maaf, Mbak. Tadi masih tidur.’’ Tanpa bertanya seharusnya Vania tahu setelah melihat Valerie yang belum sepenuhnya sadar. Apalagi mata Valerie juga masih sayu.
‘’Ini sudah jam delapan. Pemalas banget sih kamu. Buatin aku sarapan,’’ titahnya dengan nada tak senang.
‘’Memangnya Inah kemana, Mbak?’’
Bagaimanapun statusnya di rumah itu, Valerie tetaplah anak majikan. Memasak bukanlah tugasnya. Apalagi mereka memiliki ART.
‘’Inah ikut mama sama papa belanja. Makanya bangun pagi-pagi. Aku gak mungkin nyuruh kamu kalau Inah ada di rumah.’’ Mendorong kening Valerie dengan telunjuk.
Gadis itu diam.
‘’Valerie!’’
Pekikan Vania membuat ia tersadar setelah mendapat perlakuan tak enak.
‘’Iya, Mbak. Mau dimasakin apa?’’
‘’Mie Goreng saja. Jangan lupa pakai telur mata sapi setengah matang.’’
Valerie mengangguk. Buru-buru turun menuju dapur.
‘’Non Valerie kenapa di sini?’’ Pak Sena menegur. Baru saja kembali dari kebun, ingin mencuci tangan.
‘’Buat Mie Goreng untuk Mbak Van.’’
‘’Sebelum pergi bukannya Inah sudah siapin bubur ayam untuk sarapan, Non?’’
Valerie tersenyum kecil. Mungkin Vania tak mau memakan makanan itu pikirnya.
Dalam sekejap makanan sudah tertata di meja makan. Dua piring mie goreng plus telur mata sapi yang tengahnya tak matang sempurna. Bertepatan dengan Vania dan Leo yang baru saja menuruni tangga.
‘’Siapa yang nyuruh kamu pergi? Kopi suamiku belum ada di meja. Jus jeruk punyaku juga gak ada.’’
Dengan lemah Valerie menghentikan keinginannya untuk kembali ke kamar dan kembali memasuki dapur. Melewati Vania dan Leo yang saling menyuapi satu sama lain diiringi tawa.
Ia marah, kesal, tapi tak tau untuk apa. Padahal bukan sekali ini ia melihat kemesraan pasangan itu di depan mata.
‘’Mama pulang.’’
Seruan Vira seperti penerang di gelapnya malam. Valeria sedikit lega karena adanya Vira membuat Vania tak bisa bertindak sesukanya. Apalagi Inah muncul membawa banyak belanjaan.
‘’Loh, kok?’’ Inah melongo. Aneh melihat Valerie membuat kopi.
‘’Aku yang nyuruh,’’ Vania berseru ketus. ‘’Gak usah lebay liat Valerie nyiapin minum begitu. Taruh belanjaan sana ke kulkas!’’
‘’Kamu tuh budek ya, Nah?’’ seru Vania kala melihat Inah memilih meletakkan belanjaan dan ingin mengambil alih termos untuk menuangkan air panas. ‘’Kalau aku bilang taruh belanjaan berarti kamu tuh gak usah sok-sok berinisiatif bantu Valerie,’’
Inah mengangguk takut. Apalagi Vania mendesis disertai mata yang melotot.
‘’Gak apa-apa, Nah. Sudah kamu pergi saja.’’ Valerie berbisik.
‘’Duh baik sekali adik ipar nyiapin minuman untuk kakak iparnya,’’ puji Mahendra begitu memasuki rumah dan langsung melihat Valerie mengantarkan dua minuman ke meja makan.
‘’Hati-hati sama muka polos dan budi baik, Pah. Kadang yang seperti ini suka menikam dari belakang.’’
Glek.
Seperti biasa. Kata-kata Vania dianggap sebagai candaan oleh Mahendra dan Vira. Padahal ada sepasang mata yang sedang berkaca-kaca.
‘’Anak papa ngomongnya pintar sekali.’’ Mahendra terkekeh. Sejak dulu Vania memang dikenal suka bicara ceplas-ceplos.
‘’Ada lagi, Mbak Van?’’
‘’Mama beliin buah pir kesukaan Vania gak?’’
‘’Beli dong. Mama beli lima kilo loh.’’ Vira berkata lalu menaiki tangga. Menyusul suaminya yang juga ingin berganti baju.
Vania tersenyum lebar. Kemudian senyumnya hilang saat bertautan pandang dengan Valerie. ‘’Potongin buah sana.’’
Gadis tujuh belas tahun itu menoleh pada Inah. Tapi Vania menyadari gerak tubuh adiknya.
‘’Dia lagi sibuk. Kamu tuh gak ngapa-ngapain juga di kamar. Potong buah kan gak lama.’’
Valerie terdiam, perlahan maniknya mencari Mahendra dan Vira. Berharap dibela. Tapi ia tak mendapati dua orang itu di dekatnya. Hanya ada Inah dan Leo yang sedang menyantap mie goreng sambil sibuk mengecek ponsel.
‘’Biar saya saja, Non.’’
‘’Kamu urus saja pekerjaan kamu, Nah. Nanti ketahuan Mbak Van, kamu bakal dimarahin lagi.’’
‘’Non Vania itu benar-benar penguasa rumah ini ya, Non.’’ Inah berbisik. ‘’Nyonya Vira sama Tuan Mahendra saja tidak berani membantah permintaannya kalau sudah mau sesuatu.’’
‘’Kamu jangan ngomong seperti itu, Nah. Biar begitu, Vania itu adalah anak sulung di rumah ini. Dia juga kakakku.’’
‘’Tapi saya agak aneh sih.’’
‘’Aneh gimana?’’
‘’Non itu seperti anak tiri di rumah ini.’’
‘’Huss!’’
‘’Maaf, Non.’’ Seraya cengengesan.
Valerie tak ambil hati. ‘’Sudah sana, kerjain apa yang disuruh Mbak Van.’’
Inah menurut. Tangannya gesit mengeluarkan kantung-kantung belanjaan basah sementara Valerie mulai memotong-motong buah.
Dahi Valerie berkerut saat aroma amis menyeruak ke hidungnya. ‘’Mama belanja ikan, Nah? Tumben.’’
‘’Katanya Tuan Leo suka sekali sama ikan, Non.’’
Valerie mengangguk-angguk. Tapi semakin lama, aroma itu kian membuat kepalanya berputar dan perutnya mual. Tanpa sadar tangan Valerie sampai tersayat pisau.
Dan saat tetesan darah itu mulai bercucuran dari jari telunjuk, teriakan lain pun menggema. Leo seketika berlarian ke dapur dengan posisi Valerie yang sudah tergeletak di lantai.
‘’Apa yang kamu rasakan sekarang, Nak?’’ Valerie diburu pertanyaan Mahendra begitu siuman. Ada Vira juga di sana. Kepala terasa sakit. Valerie juga merasa seperti kehilangan tenaga. Tapi yang dikatakan Valerie selanjutnya jauh berbeda dengan kenyataannya. ‘’Valerie gak apa-apa kok, Pah.’’ ‘’Apanya yang gak apa-apa. Kamu pingsan. Sekarang kita ke rumah sakit,’’ tukas Mahendra lagi. Telapak tangan Valerie dingin. Ia telah menyukai dunia medis sejak kecil. Jadi sedikit banyak ia paham akan kondisi tubuhnya saat ini. Ada ketakutan yang membayangi Valerie jika ia berkeras menuruti permintaan Mahendra. ‘’Tadi cuma kaget lihat darah, Pah. Valerie beneran gak apa-apa,’’ ucap Valerie lirih. Hatinya diterpa kesedihan. ‘’Kalau begitu biar dokter yang kemari. Cepat telepon—’’ ‘’Mama,’’ Valerie memotong. Wajahnya memelas. Meminta untuk dituruti perkataannya. ‘’Tolong, Mah, Pah. Valerie hanya perlu istirahat.’’ Tetes air mata jatuh membasahi pipi. Kepala Valerie yang panas merasakan belaia
‘’Papa…’’ ‘’Jawab Valerie!’’ Vira berteriak tak sabar. Degup jantung Valerie terasa lebih kencang. Ia memejam sambil menyentuh tangan Devano yang semakin kuat menarik rambutnya. Mengharapkan belas kasih untuk dikendurkan sedikit tatkala ia meringis. Namun ringisan Valerie tak bisa menutupi kemarahan Devano selagi pertanyaan menggantung itu tak dijawab. ‘’Apa Vania bilang, Pa.’’ Secara tak langsung Vania membongkar kejahatannya sendiri. Wanita itu diam-diam selalu mencuci otak Vira dan Mahendra terkait desas-desus yang didapat Vania dari teman-temannya. Namun selama ini mereka berdua tidak percaya. Atau lebih tepatnya masih berpikiran positif tentang Valerie. Valerie kesal, kenapa orang tuanya tidak marah pada Vania yang jelas-jelas sengaja menjelek-jelekkannya tanpa bukti? Seolah fitnah itu tidak terdengar kejam. Apakah begitu rasanya menjadi anak yang paling disayang? Selalu dimaklumi perbuatannya meski salah? Batin Valerie menjerit. Dan yang membuat Valerie lebih berduka adala
‘’Mas?’’ Valerie meminta Leo sadar atas ucapannya. Itu berarti Leo menginginkan ia menjadi istri kedua.‘’Kita harus membicarakannya. Segera. Waktu saya tidak banyak,’’ pungkas Leo sambil mengulurkan tangannya pada Valerie. Mengajak wanita itu pergi.Berkali-kali Valerie mengurungkan niat untuk menyambut telapak tangan yang terbuka itu. Tapi apa daya, gerakan sepihak Leo membuat telapak tangan mereka bertemu. Ada penerbangan yang sedang menunggu dan Vania yang menghubunginya terus-menerus. Ia diburu waktu.‘’Saya tidak mau dimadu. Dan lagi, kamu sudah menikah dengan Vania,’’ ujar Valerie saat mereka sudah berada di dalam mobil. Leo mendengarkan sambil mengemudikan mobil.Mendengar Valerie berkata seperti itu, Leo menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Menghadapkan tubuh pada Valerie. Bisa dibilang Leo terlihat sangat frustasi saat itu.‘’Apa yang kamu harapkan? Saya menceraikan Vania lalu menikahi kamu di depan keluarga?’’ Leo berujar marah. Valerie membisu merasakan suasana panas
Di sang hari yang panas tersebut, Leo urung tidur siang bersama istri pertamanya setelah membaca pesan di gawai itu. Leo cepat-cepat memakai baju dan memastikan mata Vania masih menutup. Wanita yang ia sayang itu tidak boleh tahu ia meninggalkan kamar. ‘’Kau menipuku? Sebenarnya kau di mana?’’ Leo bertanya beruntun setelah mengecek ke luar rumah dan tidak menemukan wanita yang di dalam pesan mengatakan sedang berada di kediamannya. ‘’Saya salah ketik.’’ Apa dia serius? Leo menahan kesal mendengar kalimat polos Valerie. Seperti mendapatkan syok terapi. ‘’Sekarang kau di mana?’’ Kekesalannya masih belum hilang. Leo berkata keras sampai Valerie harus menjauhkan gawai dari telinga. ‘’Saya di luar. Sedang berbelanja.’’ ‘’Bukankah sudah ku bilang jangan menghubungi bila tidak penting?’’ Susu ibu hamil di depan mata urung ia raih. Sebegitu terganggunya kah Leo dengan pesan typo tersebut? Padahal ia ingin mengetikkan ”saya sudah makan’’ dan mengirimkannya pada Inah. ‘’Maaf, Mas. S
Hari itu, dengan penerbangan yang sama namun di kelas yang berbeda, Vania, Leo dan Valerie berangkat dari Kalimantan menuju Jakarta. Valerie di kelas ekonomi sementara suami istri itu tersebut di kelas bisnis.Leo mengatur segalanya agar Valerie tidak bertemu dengan Vania. Termasuk dengan membuat Valerie mengenakan hijab dan juga masker agar tidak dikenali oleh siapapun. Terutama istrinya.Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam dan untuk sampai ke rumah duka sekitar empat puluh lima menit dari bandara. Valerie tiba belakangan menggunakan taksi sedangkan Leo dan Vania sudah sampai lebih awal karena dijemput oleh Pak Sena.Tepat pukul tiga sore, kembali Valerie menginjakkan kaki di rumah yang pergi maupun pulang membuat air mata Valerie berlinang. Keluarga dan kerabat dekat berbisik-bisik satu sama lain dan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah Valerie adalah orang asing yang tak seharusnya hadir. Inah menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan langs
‘’Halo, Valerie,’’ Telepon dari sahabat Valerie nan jauh di Solo. Layar gawai berkedip tak lama setelah ia duduk. Dengan suara yang dibuat ceria Valerie berdehem untuk mengatur suara sebelum menyapa. ‘’Delia. Kamu apa kabar?’’ sapanya. ‘’Aku baik. Tapi aku tahu kamu enggakkan, Val? Maaf ya aku jauh. Gak bisa menemani kamu di saat-saat seperti ini.’’ Delia tidak berbasa-basi. Valerie mengerti. Jarak menjadi penghalang niat Delia. ‘’Tidak apa-apa. Terimakasih sudah meneleponku.’’ ‘’Aku turut berduka,’’ ujar Delia. ‘’Aku dengar apa yang terjadi sama kamu, Val.’’ Deg. Sontak jantung Valerie berdegup resah. Kabar yang mana yang didengar Delia? Ia yang hamil di luar nikah atau ia yang menjadi penyebab meninggalnya Mahendra? ‘’Maksud kamu apa, Del?’’ Valerie berpura-pura. ‘’Aku tahu dari Vania. Kabar papa kamu dan kamu yang…’’ Seperti tau akan menyakiti hati Valerie, Delia enggan melanjutkan. Dia memang sahabat yang baik. Tapi teganya Vania membocorkan aibnya pada orang lain. ‘’
Selepas keributan di kamar Valerie, ada yang berbeda dari sikap Leo. Biasanya Leo akan mengirimkan uang di tanggal lima. Tapi sudah tanggal tujuh pun tidak ada uang masuk ke rekening Valerie. Leo sepertinya marah. Banyak kebutuhan untuk ibu mengandung. Walau jumlahnya tak banyak dan hanya lima juta, tapi Valerie sangat butuh. Lalu kemana lima puluh juta setiap bulan yang seperti Leo janjikan? Valerie tidak mau uang sebanyak itu. Jadi Leo hanya memberi sekedarnya. Catat. Sekedarnya! Mungkin Vania yang mendapatkan uang belanja sebesar itu. Bisa jadi lebih. Valerie kerap bolak-balik ke rumah sakit. Rutin mengkonsumsi susu serta vitamin khusus ibu hamil. Untuk alasan itulah Valerie mencari cara untuk bicara dengan Leo empat mata. ‘’Aku perlu uang. Kebutuhan untuk bayiku sudah habis.’’ Begitu yang Valerie katakan pada Leo di teras belakang. ‘’Baik. Aku akan membelikannya.’’ ‘’Apa tidak bisa bila kamu memberikan saja uang itu padaku, Mas? Biar aku yang belanja sendiri.’’ ‘’Bukannya
Dari jendela yang sengaja di singkap tirainya, Valerie lagi-lagi melihat pemandangan yang sebenarnya sangat sejuk untuk di pandang mata. Leo membukakan pintu mobil untuk Vania. Lalu mencuri sebuah ciuman sebagai balas jasa atas pekerjaan memasang seatbelt dan menutup pintu untuk ratu Vania. Mata Valerie seperti ingin berair. Andai dialah istri pertama dan Vania yang jadi madunya, pastilah ia akan menarik rambut wanita berparas cantik itu sekarang juga. ‘’Non Valerie kok di sini?’’ ‘’Eh?’’ Kehadiran Inah membuat Valerie buru-buru menghapus matanya yang basah. ‘’Mengagetkan saja.’’Tapi Inah hanya cengengesan. Dia tidak bisa melakukannya bila itu Vania. ‘’Nyonya Vira lagi teriak-teriak. Saya cari-cari Non Vania tapi tidak ketemu.’’‘’Mbak Van lagi pergi sama Mas Leo. Biar saya saja yang nenangin mama.’’ Tidak ada yang berubah dari Valerie. Dia masihlah anak yang penyayang meski tak lagi mendapatkan kasih sayang dari Vira.Tiga bulan terlewati, rumah terasa lebih sepi terlebih setela