Share

6. Pingsan di Dapur

Vania seperti sengaja. Malam itu, Valerie mendengar suara-suara desahan dari kamar sebelah. Mungkin Valerie tidak akan bisa tidur bila tidak ia paksakan menutup telinga menggunakan bantal. 

Dan di tengah malam, tiba-tiba saja Valerie terbangun. Rasa traumanya kambuh begitu saja. Valerie mengecek pintu, memastikannya terkunci lalu mencoba kembali tidur. Tapi sayangnya Valerie malah terjaga sebentar. Adanya Leo di rumah membuat batin Valerie tak tenang.

‘’Kau tidak boleh lengah, Valerie,’’ lirihnya.

Hidup memang sulit untuk di tebak. Sebelum malapetaka itu terjadi, ia adalah gadis yang bersahaja. Ia bermimpi untuk menjadi dokter. Jadi Valerie tidak takut dengan yang namanya hal-hal mengerikan termasuk kematian. Sebab, Valerie akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa orang. Namun siapa sangka bahwa terbesit di pikirannya untuk melakukan percobaan bunuh diri. 

Apanya yang menjadi dokter? Apanya yang ingin menyelamatkan nyawa? Mempertahankan napas dan keteguhan hidup untuk diri sendiri saja ia tidak bisa. Seharusnya ia menjauhkan pisau itu sebelum Leo masuk ke kamarnya.

Valerie kira ujian hidupnya hanyalah Vania. Tapi ternyata jumlahnya bertambah satu.

Memang selama ini orang tua mereka tak pernah sekalipun membanding-bandingkan antara ia dan Vania. Tapi selama ini Valerie memang mendapat perlakuan yang berbeda dengan kakaknya. Vania adalah sebenar-benarnya anak emas di rumah ini. Ia cantik. Sangat cerdas dengan pengukuhan cum laude yang didapat tiga bulan lalu. Juga seksi dengan cara berpakaian yang terbuka dan mengumbar aurat kemana-mana. 

Bisa dibilang, ia adalah the beast dan Vania adalah beauty-nya. Ujian hidup yang selalu dirasakan oleh saudara sedarah yang mana memiliki perbedaan fisik yang begitu jauh.

Valerie bangun dari tempat tidur ketika fajar telah menyingsing. Bertepatan dengan ketukan pintu yang begitu keras. Dengan lemah Valerie mengayunkan tungkai kurusnya. Meraih gagang pintu sambil mengucek mata.

Vania lagi.

‘’Buka pintu saja lama. Kamu ngapain aja sih di dalam?’’ Vania bertanya ketus.

‘’Maaf, Mbak. Tadi masih tidur.’’ Tanpa bertanya seharusnya Vania tahu setelah melihat Valerie yang belum sepenuhnya sadar. Apalagi mata Valerie juga masih sayu.

‘’Ini sudah jam delapan. Pemalas banget sih kamu. Buatin aku sarapan,’’ titahnya dengan nada tak senang. 

‘’Memangnya Inah kemana, Mbak?’’ 

Bagaimanapun statusnya di rumah itu, Valerie tetaplah anak majikan. Memasak bukanlah tugasnya. Apalagi mereka memiliki ART.

‘’Inah ikut mama sama papa belanja. Makanya bangun pagi-pagi. Aku gak mungkin nyuruh kamu kalau Inah ada di rumah.’’ Mendorong kening Valerie dengan telunjuk.

Gadis itu diam.

‘’Valerie!’’

Pekikan Vania membuat ia tersadar setelah mendapat perlakuan tak enak. 

‘’Iya, Mbak. Mau dimasakin apa?’’

‘’Mie Goreng saja. Jangan lupa pakai telur mata sapi setengah matang.’’

Valerie mengangguk. Buru-buru turun menuju dapur. 

‘’Non Valerie kenapa di sini?’’ Pak Sena menegur. Baru saja kembali dari kebun, ingin mencuci tangan.

‘’Buat Mie Goreng untuk Mbak Van.’’

‘’Sebelum pergi bukannya Inah sudah siapin bubur ayam untuk sarapan, Non?’’

Valerie tersenyum kecil. Mungkin Vania tak mau memakan makanan itu pikirnya. 

Dalam sekejap makanan sudah tertata di meja makan. Dua piring mie goreng plus telur mata sapi yang tengahnya tak matang sempurna. Bertepatan dengan Vania dan Leo yang baru saja menuruni tangga.

‘’Siapa yang nyuruh kamu pergi? Kopi suamiku belum ada di meja. Jus jeruk punyaku juga gak ada.’’

Dengan lemah Valerie menghentikan keinginannya untuk kembali ke kamar dan kembali memasuki dapur. Melewati Vania dan Leo yang saling menyuapi satu sama lain diiringi tawa.

Ia marah, kesal, tapi tak tau untuk apa. Padahal bukan sekali ini ia melihat kemesraan pasangan itu di depan mata. 

‘’Mama pulang.’’ 

Seruan Vira seperti penerang di gelapnya malam. Valeria sedikit lega karena adanya Vira membuat Vania tak bisa bertindak sesukanya. Apalagi Inah muncul membawa banyak belanjaan.

‘’Loh, kok?’’ Inah melongo. Aneh melihat Valerie membuat kopi.

‘’Aku yang nyuruh,’’ Vania berseru ketus. ‘’Gak usah lebay liat Valerie nyiapin minum begitu. Taruh belanjaan sana ke kulkas!’’ 

‘’Kamu tuh budek ya, Nah?’’ seru Vania kala melihat Inah memilih meletakkan belanjaan dan ingin mengambil alih termos untuk menuangkan air panas.  ‘’Kalau aku bilang taruh belanjaan berarti kamu tuh gak usah sok-sok berinisiatif bantu Valerie,’’ 

Inah mengangguk takut. Apalagi Vania mendesis disertai mata yang melotot.

‘’Gak apa-apa, Nah. Sudah kamu pergi saja.’’ Valerie berbisik.

‘’Duh baik sekali adik ipar nyiapin minuman untuk kakak iparnya,’’ puji Mahendra begitu memasuki rumah dan langsung melihat Valerie mengantarkan dua minuman ke meja makan. 

‘’Hati-hati sama muka polos dan budi baik, Pah. Kadang yang seperti ini suka menikam dari belakang.’’

Glek.

Seperti biasa. Kata-kata Vania dianggap sebagai candaan oleh Mahendra dan Vira. Padahal ada sepasang mata yang sedang berkaca-kaca. 

‘’Anak papa ngomongnya pintar sekali.’’ Mahendra terkekeh. Sejak dulu Vania memang dikenal suka bicara ceplas-ceplos. 

‘’Ada lagi, Mbak Van?’’

‘’Mama beliin buah pir kesukaan Vania gak?’’

‘’Beli dong. Mama beli lima kilo loh.’’ Vira berkata lalu menaiki tangga. Menyusul suaminya yang juga ingin berganti baju.

Vania tersenyum lebar. Kemudian senyumnya hilang saat bertautan pandang dengan Valerie. ‘’Potongin buah sana.’’

Gadis tujuh belas tahun itu menoleh pada Inah.  Tapi Vania menyadari gerak tubuh adiknya.

‘’Dia lagi sibuk. Kamu tuh gak ngapa-ngapain juga di kamar. Potong buah kan gak lama.’’

Valerie terdiam, perlahan maniknya mencari Mahendra dan Vira. Berharap dibela. Tapi ia tak mendapati dua orang itu di dekatnya. Hanya ada Inah dan Leo yang sedang menyantap mie goreng sambil sibuk mengecek ponsel.

‘’Biar saya saja, Non.’’

‘’Kamu urus saja pekerjaan kamu, Nah. Nanti ketahuan Mbak Van, kamu bakal dimarahin lagi.’’

‘’Non Vania itu benar-benar penguasa rumah ini ya, Non.’’ Inah berbisik. ‘’Nyonya Vira sama Tuan Mahendra saja tidak berani membantah permintaannya kalau sudah mau sesuatu.’’

‘’Kamu jangan ngomong seperti itu, Nah. Biar begitu, Vania itu adalah anak sulung di rumah ini. Dia juga kakakku.’’

‘’Tapi saya agak aneh sih.’’

‘’Aneh gimana?’’

‘’Non itu seperti anak tiri di rumah ini.’’

‘’Huss!’’

‘’Maaf, Non.’’ Seraya cengengesan. 

Valerie tak ambil hati. ‘’Sudah sana, kerjain apa yang disuruh Mbak Van.’’ 

Inah menurut. Tangannya gesit mengeluarkan kantung-kantung belanjaan basah sementara Valerie mulai memotong-motong buah.

Dahi Valerie berkerut saat aroma amis menyeruak ke hidungnya. ‘’Mama belanja ikan, Nah? Tumben.’’ 

‘’Katanya Tuan Leo suka sekali sama ikan, Non.’’

Valerie mengangguk-angguk. Tapi semakin lama, aroma itu kian membuat kepalanya berputar dan perutnya mual. Tanpa sadar tangan Valerie sampai tersayat pisau.

Dan saat tetesan darah itu mulai bercucuran dari jari telunjuk, teriakan lain pun menggema. Leo seketika berlarian ke dapur dengan posisi Valerie yang sudah tergeletak di lantai. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status