Share

Awal Mula Masalah

Pria berusia lima puluh tahunan itu memakai baju kaos oblong dan tengah bersantai di halaman belakang rumahnya. Di halaman itu terdapat kolam renang mewah dan halaman tersebut begitu luas. Pria bernama Satia Utama itu memakai kacamata minus yang besar, uban di rambutnya mulai terlihat sebagian.

Satia Utama memulai karir politiknya sejak lulus kuliah, dia pandai dalam mengkritik pemerintah dan terus menjadi oposisi. Karena gaya bicaranya yang lantang dan berani, membuatnya mendapatkan dukungan yang besar. Wajah Satia Utama begitu tampan dan berkarisma sehingga tak hanya mendapatkan simpati dari masyarakat dia juga digilai oleh kaum wanita. Tak ayal ketika masa mudanya Satia disebut playboy dan berganti-ganti pasangan.

Satia bukanlah orang miskin dari awal. Dirinya anak orang kaya, ayahnya pengusaha pertambangan terbesar di negeri ini. Sehingga karir politiknya terus meroket. Dia menyuap sana-sini untuk bisa memuluskan langkahnya. Sampai Satia berhasil duduk di parlemen sebanyak dua periode.

Perjuangannya tidak sia-sia, karena dia berada di kubu yang mendukung konservatif, capres yang didukungnya berhasil menang dan dia kini menjabat sebagai anggota parlemen yang disegani. Satia sangat dekat dengan beberapa mafia dan ormas dalam upaya meraih keberhasilan karir politiknya.

Saat itu Satia yang sedang bersantai di kursinya sambil membaca berita di ponsel miliknya. Tiba-tiba salah seorang pelayannya datang, pelayan itu adalah perempuan berusia dua puluhan. "Maaf, pak. Ada yang ingin bertemu dengan bapak. Katanya dia saudaranya mendiang Bams."

"Suruh saja masuk, kan dia udah biasa kesini. Ngapain konfirmasi ke saya terus?" Jawab Satia tanpa berpaling dari layar ponsel.

"Baik, pak." Pelayan itu setengah lari dari hadapan Satia.

Hanya berselang beberapa detik, seorang yang berbadan kurus datang ke hadapan Satia. Orang itu adalah pria yang masih berusia dua puluhan dan wajahnya tampak sedikit memelas.

Akhirnya Satia memalingkan pandangannya dari layar ponsel dan menyimpan ponselnya. "Hey, Fadli. Ayo duduk, silahkan duduk. Ada perlu apa lagi sekarang?"

Fadli yang merupakan adik Bams itu duduk di kursi sebelah Satia. "Terima kasih, pak. Maksud kedatangan saya kesini, saya mau meminta bantuan untuk anaknya Mas Bams yang mau kuliah, dia kekurangan biaya. Apa Pak Satia mau membantunya."

Satia tersenyum lebar, "Tentu saja, pasti. Abang lu sudah berjasa, gue berhutang budi bahkan berhutang nyawa. Gue kan sudah bilang berkali-kali ke lu, jadi nggak usah sungkan. Memangnya butuh berapa?"

"Lima puluh juta pak, untuk biaya masuknya."

"Oke, nanti gue transfer ke rekening lu. Ada yang lainnya?"

Fadli merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan selembar kertas tebal yang sudah lecek. "Ini pak, maaf baru menyerahkannya sekarang. Itu saya temukan di baju Mas Bams saat ditemukan tewas 10 tahun yang lalu. Saya kira itu tidak penting, semacam catatan kata sandi atau apa. Makanya saya simpan saja. Sampai akhirnya saya berpikir siapa tahu itu penting."

Satia mengerutkan kening saat mendengarkan penjelasan Fadli dia melihat kertas lecek itu dan melihat tulisan yang hampir pudar.

@Rahasia2013#

My.GD

Betapa terbelalaknya Satia saat itu seolah menemukan sebuah oasis di padang pasir dan dia berseru pada Fadli dengan nada suara yang tinggi. "Kenapa lu tidak memberikannya dari dulu!"

Satia Utama menyuruh Fadli untuk segera pergi dari rumahnya setelah mentransfer uang padanya dan saat itu juga Satia marah bukan main pada Fadli, dia bilang itu adalah uang bantuan yang terakhir untuknya dan keluarganya karena Fadli telah melakukan kesalahan yang fatal. Satia juga menanyakan alamat email g***l milik Bams pada Fadli dan Satia mendapatkannya.

***

Hari sudah malam ketika Jason kembali pulang ke rumahnya. Setelah menaruh helm di motornya, Jason bergegas membuka pintu rumah dan di dalam ruangan itu tidak ada siapa-siapa. Jason mengira Shani, istrinya berada di kamar. "Sayang, Shani!"

Jason mengecek kamar tapi tidak ada Shani di sana dan kemudian melangkah ke kamar mandi tapi pintu kamar mandi terbuka dan tidak siapa-siapa. Jason kembali ke ruang tengah dan mendapati televisi masih menyala dan Jason berpikir mungkin istrinya itu sedang keluar. Jason kemudian mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Shani.

Tapi ponsel Shani ternyata berada di sofa depan televisi, bergetar tanpa suara. Ponselnya tidak dibawa. Oh mungkin sedang ke warung.

Hanya selang beberapa detik ponsel Jason berdering dan identitas pemanggil disembunyikan. Jason mulai merasa tidak enak, tapi dia berpikir mungkin itu adalah Satia Utama. Jason menerima sambungan telepon tersebut dan terdengar sebuah suara dengan nada yang berat di seberang sana.

"Jason Wijaya. Selamat datang. Istri lu yang cantik sedang berada di tempat yang aman dan gue bisa jamin itu asalkan lu mau melakukan apa yang gue perintahkan!"

Badan Jason lemas dan pikirannya langsung mendidih seketika dia ingin memenggal kepala orang yang meneleponnya. "Siapa lu? Siapa!"

"Sst.." sipenelepon mencoba menenangkan Jason tapi jelas Jason tidak bisa. "Lu harus berpikir jernih dan lakukan pekerjaan yang sederhana ini maka istri lu akan kembali tanpa terluka sedikit pun."

Jason mondar-mandir tidak jelas dan menendang televisi yang ada di depannya yang masih menyala hingga terjungkal dan mati. "Lu pasti Satia Utama kan?"

"Apa? Satia?" sipenelepon malah tertawa geli. "Gue bukan politikus hina itu. Identitas gue rahasia dan lu nggak usah tahu. Lakukan apa yang gue perintahkan."

"Mau lu apa, bangsat!"

"Sederhana. Bawa koper itu kantor lu ke tempat yang sudah ditentukan. Sesederhana itu."

"Tunggu. Dari mana lu tahu?"

"Gue bilang lu nggak perlu banyak tanya. Lakukan saja apa yang gue perintahkan maka istri lu aman.*

"Dari mana gue bisa tahu kalau Shani aman?"

"Coba lihat ponsel istri lu, di situ ada tayangan langsung istri lu yang aman di sebuah ruangan. Akses tautan yang dikirimkan lewat pesan ke ponsel istri lu."

Dengan terburu-buru Jason meraih ponsel Shani yang tergeletak di sofa dan membuka pesan yang dikirimkan oleh sipenculik. Sebuah tautan privat menuju tayangan langsung di Youtube. Benar saja, video itu menayangkan Shani yang sedang duduk di sebuah ruangan bercat putih. Shani duduk di sebuah tempat tidur dan wajahnya penuh dengan ketakutan, resah, dan kebingungan.

"Kalau lu berani menyentuh Shani, gue jamin kepala lu bakal putus di tangan gue!" Teriak Jason, sangat geram.

"Hahaha. Tenang saja. Selama lu ikut aturan maka semuanya lancar terkendali. Sekarang bawa koper itu dan kalau sudah hubungi gue lewat nomor yang bakal gue kirim lewat pesan. Waktu lu cuma sampai dini hari untuk bawa koper itu dan hubungi gue lagi. Selamat berpetualang, semoga berhasil!" Sambungan telepon tertutup.

Yang terbesit di pikiran Jason saat ini adalah menelepon Tommy tapi saat itu langsung muncul sebuah pesan di ponselnya.

Jangan pernah katakan ini ke siapapun, atau istri lu yang mulus ini bakal hancur berkeping-keping.

Jason nyaris ingin membanting ponselnya karena saking marahnya. Dia terpaksa harus menunggu pukul sebelas malam agar gedung tempat dia bekerja menjadi sepi dan hanya diisi oleh para sekuriti saja. Menunggu tiga jam serasa tiga ratus tahun dan Jason terus menatap jam dinding.

Tepat jam sebelas malam, Jason berangkat ke tempat kerjanya itu dan memacu motornya dengan sangat kencang. Dia tiba di gedung itu, tepat halamannya dia bertemu dengan sekuriti.

"Maaf, pak. Ada keperluan apa ya? Gedung sudah tutup." Kata sekuriti berkumis tebal itu.

Jason melirik name tag seragam sekuriti tersebut dan dia sebenarnya sudah tahu siapa sekuriti tersebut karena nyaris setiap hari bertemu saat bekerja. "Pak Samsul, saya harus ke dalam buat mengambil sesuatu yang tertinggal dan harus dibawa sekarang juga."

"Mohon maaf pak, tidak bisa."

"Ayolah, pak. Nggak mungkin juga saya mencuri, kan?"

Dengan ragu-ragu Pak Samsul mengizinkannya masuk namun tetap harus dikawal oleh seorang anak buahnya. "Oke, kalau begitu."

Jason berjalan masuk ke gedung yang lobi gelap gulita itu ditemani oleh seorang sekuriti lain yang tubuhnya kurus. Sekuriti itu sudah saling kenal dengan Jason, namanya Ilham. Ilham membawa senter untuk menerangi jalan.

"Memangnya, mau bawa apa sih sampai-sampai malam begini harus masuk?" tanya Ilham. "Apa lu sudah punya izin dari perusahaan buat masuk ke ruangannya?"

"Urusan pekerjaan. Tentunya sudah ada izin. Gue dikasih kuncinya."

Ilham mengangguk dan mereka berjalan terus menuju ruangan paling ujung yang merupakan gudang yang menjadi incaran tempat dikuburkan koper tersebut. Mereka sampai di depan pintu.

"Ayo, mana kuncinya? Sini!" Perintah Ilham.

Jason bersiap dia merogoh saku jaketnya dia keluarkan sebuah benda hitam dari jaketnya itu sebuah stun gun dan dengan cepat Jason memukulkan benda itu ke tubuh Ilham sampai tubuhnya tersetrum dan Ilham berteriak tidak jelas kemudian terjatuh dan pingsan. Jason mendobrak pintu ruangan itu dan berlari menuju gudang. Terdapat banyak barang-barang di sana namun dia jadi teringat percakapannya dengan Radit yaitu masalah lantai retak dia pun dengan cepat menemukan lantai yang retak itu.

Jason lalu mengeluarkan sesuatu dari tas yaitu palu martil yang sudah dibawanya dari rumah. Dia menghancurkan lantai itu dan berpacu dengan waktu. Para sekuriti cepat atau lambat pasti akan tahu. Jason lalu mengeluarkan sekop kecil dari tasnya dan mulai menggali dengan kecepatan super gila. Beruntung ternyata koper itu terkubur cukup dangkal. Dia menemukan sebuah koper berwarna perak. Dengan badan penuh keringat, Jason meraih koper itu dan kemudian lari dari ruangan tersebut.

Ketika keluar dari ruangan itu, para petugas keamanan telah mengetahui apa yang dilakukan Jason.

Jason berlari ke arah belakang gedung dan kemudian menaiki tangga untuk menuju atap gedung dan para sekuriti mengejarnya walaupun jaraknya cukup jauh.

Ketika sampai di atap gedung, Jason yang menenteng koper menoleh ke sana kemari mencari cara untuk kabur. Dia berlari ke sebelah kanan, di depannya ada sebuah gedung yang tingginya lebih rendah 3 meter dan Jason berpikir dia harus melompat ke situ. Jarak antar gedung itu kira-kira dua meter dan harusnya itu mudah baginya.

Jason lari sekencang mungkin dan meloncat dari gedung satu ke gedung lainnya. Dia mendarat sambil berguling dengan kopernya yang terjatuh, sejenak Jason mengerang kesakitan. Dia belum bisa berhenti dan kemudian melompati gedung lainnya sampai Jason menemukan tempat untuk bersembunyi setelah dia berhasil turun dengan gaya parkournya. Tempat itu adalah gang buntu yang sangat sepi. Dengan nafas yang nyaris habis Jason menghubungi sipenculik.

"Gue udah dapetin kopernya."

"Bagus. Sekarang bawa koper itu ke suatu tempat."

"Ke mana? Jangan mempermainkan gue!"

"Ke Pulau Bali."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status