Share

Bab 2

Author: Satama
last update Last Updated: 2021-08-25 04:56:25

 Pagi itu, Dimas sedang menggali di kebun belakang rumahnya. Sebelum saya melangkah lebih jauh, sebaiknya saya memberi tahu Anda mengapa dia menggali di sana. Dan bahkan sebelum saya memberi tahu Anda itu, saya lebih baik memberi tahu Anda bahwa Dimas dan Hari hampir sama dalam kecerdasannya, dalam hal tidak memiliki kecerdasan yang terlalu banyak. Kakak Dimas, Sandi, bahkan lebih bodoh, seperti yang akan Anda lihat.

 Empat tahun sebelumnya, ketika dia berusia delapan tahun, Dimas mengubur sebotol uang receh di bawah bagian depan rumah, di ruang gelap yang dia sebut guanya. Dia sedang bermain game tentang perampok, dan mereka menyembunyikan uang receh dari polisi. Dia menggambar peta yang menunjukkan di mana botol itu, meletakkannya di kamarnya dan melupakannya selama hampir sebulan.

 Kemudian, suatu hari ketika dia ingin pergi untuk menonton film dan dia tidak punya cukup uang, dia ingat tentang uang receh dan pergi mencari peta. Tetapi ibunya telah merapikan kamarnya dan mengambil peta itu, bersama dengan majalah-majalah tua dan sampah-sampah lainnya. Dia telah menggunakannya untuk menyalakan api di dapur keesokan paginya, jadi peta Dimas naik ke cerobong asap dapur.

 Sejak saat itu Dimas terus berusaha mencari botol berisi uang receh. Jumlahnya hanya sekitar lima ratus rupiah, jumlah yang cukup banyak di masa itu, tetapi ketika tahun-tahun berlalu, dan Dimas menjadi semakin putus asa dengan uang recehnya ini. Dia tidak pernah menemukan dimana tempat dia menguburkan mereka.

 Terkadang kami mencoba memberi tahu dia tentang apa yang jelas lebih masuk akal bagi kami, yaitu kakak laki-lakinya, Sandi, tahu tentang botol itu dan menggalinya sendiri. Tetapi Dimas menolak untuk mempercayai ini, meskipun dia membenci Sandi. Dia juga menolak untuk bertanya kepada Sandi tentang hal itu. Mungkin dia takut Sandi akan tertawa dan berkata, “Tentu saja aku mengambilnya, dasar brengsek, dan uang lima ratus itu aku menghabiskan semuanya.”

 Bagaimanapun, dia sedang menggali di sana pada Jumat pagi itu ketika dia mendengar suara pintu rumahnya terbuka dan tertutup. Dia sangat kaget dan kemudian bersembunyi, setelah dia mendengar teman Sandi, Dedi berkata, “Sandi apa yang akan kita lakukan?”

 Sekarang, Dedi adalah salah satu orang yang paling keras kepala dan nakal di desa. Dia berada di geng yang sama dengan Sandi dan Tomi. Jadi begitu Dimas mendengarnya berbicara seperti itu, dia sangat terkejut dan tertarik untuk mengetahui sesuatu yang besar sedang terjadi.

 "Tidak ada," kata Sandi. “Itulah yang akan kita lakukan.”

 “Tapi tidakkah kamu melihatnya?” kata Dedi. “Pasti itu adalah anak laki-laki yang ada di berita radio, yang bernama Sigit atau siapa pun itu, sudah mati di hutan sekitar Bendungan. Kondisinya sangat menakutkan.”

 "Ya, benar," Sandi setuju. “Beruntung gadis-gadis itu tidak melihatnya. Mereka pasti akan memberitahu semua orang jika melihatnya. Apakah menurutmu mereka akan mengetahui ada sesuatu yang salah?”

 “Aku tidak yakin,” kata Dedi. “Tapi kita sudah mencuri uangnya. Kita tidak bisa memberitahu polisi tentang anak itu. Atau kita akan mendapatkan masalah serius.”

 Mereka menghabiskan sebatang rokok dan pergi mencari Tomi.

 “Apakah kita akan memberitahu Tomi, Ded?” Sandi bertanya saat mereka berjalan pergi.

 “San, ingatlah kita tidak akan pernah memberi tahu apapun kepada siapa pun,'' kata Dedi.

 Segera setelah Dimas yakin bahwa mereka benar-benar pergi, dia berlari ke markas kami dengan membawa berita itu.

 "Kau benar-benar beruntung," kataku. “Mereka akan membunuhmu jika mereka tahu kau mendengarkan apa yang mereka bicarakan.”

 Hari berkata, “Aku tahu jalan ke Bendungan. Itu berakhir di sungai tengah hutan. Aku beberapa kali pergi memancing di sana.”

 “Mungkinkah dia berjalan jauh-jauh dari rumahnya ke daerah sini?” aku bertanya. "Itu sekitar sepuluh kilo meter."

 “Kurasa begitu,” kata Rudi. “Jika dia mengikuti sungai. Sangat mudah untuk berjalan dan dia mungkin mengira akan membawanya keluar dari hutan. Dan kemudian dalam kegelapan ada sesuatu yang menyebabkannya mati.”

 “Ngomong-ngomong, apakah kamu ingin pergi dan melihatnya?” Dimas bertanya. Dia sangat bersemangat sehingga dia hampir tidak bisa diam.

 “Ya,” kata Rudi sambil melemparkan kartunya ke atas meja. “Dan kau tahu apa? Aku yakin kita mendapatkan foto kita di koran. Kita akan menjadi terkenal.”

 “Apa yang kau katakan?” tanya Dimas.

 “Ya,” Rudi menjelaskan. "Kita bisa menemukan mayatnya dan melaporkannya."

 “Aku tidak tahu,” kata Dimas. “Sandi akan menebak bahwa aku mendengar pembicaraannya dengan Dedi, dan dia akan memukuliku.”

 “Tidak, dia tidak akan melakukannya,” kataku. "Dia tidak perlu khawatir lagi tentang uang curian dan segalanya."

 "Tapi bagaimana dengan orang tua kita?"  kata Hari. “Jika kita menemukan mayatnya, mereka akan tahu kita tidak sedang berkemah di halaman belakang Dimas.”

 “Kita bisa memberi tahu mereka bahwa kami bosan di halaman.” kataku, “dan memutuskan untuk berkemah di hutan saja. Dan kemudian semua orang tua akan terlalu bersemangat tentang kita menemukan mayat daripada menyalahkan kita.”

 “Oke,” kata Hari. “Mari kita semua bertemu di sini setelah makan siang. Apa yang bisa kita katakan kepada mereka tentang makan malam?”

 Rudi berkata, “Kita bisa bilang kita makan di rumah Dimas.”

 "Dan aku akan memberitahu ibuku bahwa aku sedang makan di rumah Rudi." kata Dimas.

 Itu akan berhasil kecuali ada keadaan darurat atau kecuali ada orang tua yang saling menghubungi. Tak satu pun dari kami berasal dari keluarga kaya, dan baik rumah Dimas maupun Rudi tidak memiliki telepon. Banyak orang tidak melakukannya pada masa itu.

 Ayah saya telah pensiun dari pekerjaan, ayah Dimas bekerja di sebuah pabrik di kota. Ayah Rudi sudah meninggal, Ibunya hanya menyewakan sebuah kamar di rumahnya ketika dia bisa menemukan seseorang untuk mengambilnya. Ayah Hari hampir selalu mabuk dan tidak memiliki pekerjaan.

 Hari tidak banyak bicara tentang ayahnya, tapi kami semua tahu dia membencinya seperti racun. Ayahnya sering memukulinya. Suatu kali, tahun sebelumnya, sejumlah uang kas kelas hilang di sekolah. Hari dituduh mengambilnya. Dia bersumpah dia tidak mencurinya, tetapi karena dia adalah salah satu dari orang yang tidak beruntung, dia tidak diizinkan kembali ke sekolah selama dua minggu. Ayahnya memasukkannya ke rumah sakit saat itu, dengan hidung dan pergelangan tangan patah. Memang benar bahwa dia berasal dari keluarga yang buruk, kakak tertuanya Heru dipenjara, dan Heri kaksk keduanya mati overdosis narkoba.

 "Kurasa itu akan berhasil," kataku. "Bagaimana dengan Guntur dan Wahyu?" Guntur dan Wahyu adalah dua anggota tetap geng kami.

 "Mereka masih pergi," kata Rudi. “Mereka tidak akan kembali sampai Senin."

 Kami tidak terlalu bersemangat sekarang untuk bermain kartu. Kami semua meninggalkan markas dan pulang untuk bersiap-siap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petualangan Hidup   Bab 30

    Pagi hari, seperti biasanya saya mengumpulkan semua petugas di ruangan rapat untuk membahas perkembangan kasus. Sebelum itu saya menemui Herman ruangannya. Herman datang ke kantor lebih awal untuk membicarakan perkembangan kasus pembunuhan Karina Julia Mahendra dan Della Ananda dengan saya. Ketika saya masuk, dia menatapku dengan sorot mata yang aneh. “Kau sudah membaca koran kemarin?” dia bertanya tanpa basa-basi ketika saya duduk di seberang mejanya. “Ya, sudah.” Jawabku singkat. “Aku tidak menerima laporan tentang itu?” Kata Herman. “Kukira aku punya wewenang penuh untuk memerintahkan petugas di dalam tim untuk melakukan penyelidikan.” “Kau benar tentang itu,” kata Herman menatapku lebih serius. “Tapi apa pun yang kau lakukan, seharusnya kau melaporkannya kepadaku.” “Bagiku yang kami lakukan adalah hal yang biasa dilakukan polisi, dan tidak ada penemuan berarti yang

  • Petualangan Hidup   Bab 29

    Dua tahun yang lalu, kasus pembunuhan terjadi di tempat karaoke. Korbannya gadis berusia dua puluh lima tahun, dia adalah seorang pemandu karaoke. Gadis itu bernama Elena Yasmin. Dalam catatan laporan penyelidikan, kasus itu tidak pernah terpecahkan siapa pelaku pembunuhan tersebut. Dan yang bertanggung jawab menangani kasus itu adalah Detektif Jimmi Haryadi. Saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan saya ketika membaca berkas laporan kasus pembunuhan itu. Karena sejauh yang saya ketahui, Jimmi tidak pernah menutup kasus yang dia kerjakan tanpa memecahkannya. Saya tidak akan pernah menyangka akan menemukan adanya nilai merah di dalam rapor prestasinya, dan dari berkas laporan ini membuktikan hal itu. “Apakah Zaki menduga kasus itu ada hubungannya dengan kasus pembunuhan yang sedang kami selidiki saat ini?” gumamku kepada diriku sendiri. “Tapi itu tidak mungkin. Zaki bahkan tidak tergabung dalam tim yang menyelidiki kasus itu, bagaimana dia bisa me

  • Petualangan Hidup   Bab 28

    Zaki menemui Herman di ruangannya setelah rapat. Seperti biasanya, dia mengeluhkan tentang saya kepada Herman. "Kami tidak membuat kemajuan dalam penyelidikan, bos," kata Zaki. "Anda harus tahu, Deni mengacaukan kasus ini." "Biarkan dia melanjutkan," kata Herman. “Kita tidak bisa menyingkirkannya kecuali ada alasan bagus. Hal terbaik yang dapat kamu lakukan adalah mencoba bekerja sama dengannya.” "Aku merindukan Jimmi, bos," kata Zaki menatap Herman. "Dia adalah polisi yang baik dan dia adalah temanku." "Kami semua merindukannya, Zaki. Tapi mulai sekarang kamu harus bekerja sama dengan Deni, terlepas dari kamu mau atau tidak." Kata Herman yang membuat Zaki tidak bisa menyembunyikan perasaan kesalnya. Zaki merasa tidak mendapatkan apa yang dia inginkan dari Herman. Kemudian meninggalkan kantor Herman. Dia pergi ke bagian arsip. Di sana dia menemui petugas Irwan yang saat itu bertugas di ruang arsip. &

  • Petualangan Hidup   Bab 27

    Di lobi kantor polisi, Bagas sedang duduk berbincang dengan seorang wanita paruh baya. Ketika saya tiba, wanita itu tersenyum ramah menatapku seolah dia mengenalku dengan baik. “Ini nyonya Elfi Natalia, bos. Orang yang memberikan keterangan seperti yang aku sampaikan kepadamu di telepon tadi.” Kata Bagas memperkenalkan wanita di sampingnya kepada saya. “Senang bertemu dengan Anda, nyonya Elfi.” Kataku menyapanya. “Saya Detektif Deni Prayoga, penanggung jawab dalam penyelidikan kasus pembunuhan ini.” “Saya sudah melihat Anda di televisi, Detektif. Itu terlihat sangat luar biasa.” Katanya memujiku. “Senang bertemu dengan Anda juga Detektif.” Setelah berbasa-basi beberapa saat, saya mengajak Nyonya Elfi dan Bagas ke ruangan saya, untuk memulai wawancara dan dia memberikan kesaksiannya. Dan saya mulai mengajukan pertanyaan atas kesaksiannya. “Apakah Anda mengenal Karina Julia Mahendra, korban pembunuhan it

  • Petualangan Hidup   Bab 26

    Hari-hari berlalu terasa lebih cepat dari biasanya. Senin itu, Saya merasa gugup saat menunggu di studio televisi. Program itu akan segera dimulai. Saya tahu apa yang harus saya lakukan tetapi hanya merasa takut akan membuat kesalahan. Itu adalah pertama kali bagi saya muncul di program kejahatan televisi dan saya harus melakukannya dengan baik. Orang tuaku, Anisa dan anak-anakku duduk di depan televisi menunggu program dimulai. Mereka tidak akan memulai pesta sebelum aku datang ke rumah. “Anisa.” kata ibuku, “Apakah kamu sudah menyiapkan kamera? Deni ingin kita merekam acaranya sehingga dia bisa menontonnya nanti.” "Sudah ibu.” Jawab Anisa dengan singkat. “Bagus. Sekarang kita bisa menonton siarannya.” Kata Ibuku. “Pastikan tidak ada masalah saat kau merekamnya.” *** “Selamat malam pemirsa.” Sapa pembawa acara, Hera Sulistiawati, saat memulai siaran televisi. “Topik yang akan kami bahas pada malam h

  • Petualangan Hidup   Bab 25

    Hampir tengah malam, saya berdiri dari meja kantorku. Saya telah duduk selama berjam-jam, saya merasa kaku dan lelah. Saya pergi ke kantor Zaki untuk melihat apakah dia masih di sana. Mungkin saya bisa berbicara dengannya dan membujuknya untuk berhenti memusuhi saya. Namun Zaki sudah tidak ada di sana. Saya melihat ruang kerjanya. Di mejanya ada beberapa foto Jimmi dan keluarganya. Di sebelah mereka ada catatan kasus Della Ananda. Lalu saya membuka berkas itu. Di bawah tumpukan kertas, ada sebuah buku kecil, buku harian dengan nama Della tertulis di halaman depan. Tidak ada yang memberi tahu saya bahwa mereka telah menemukan buku harian Della. Saat saya membuka buku itu, beberapa halaman telah hilang. Sudah sangat larut ketika saya sampai di rumah sehingga dia tidak ingin membangunkan Anisa. Saya tidur di sofa ruang depan. Anisa membangunkanku di pagi hari, saat dia membawakannya secangkir kopi. “Anisa?” kataku saat terperanjat kaget t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status