Share

Bab 4

Pada saat kami melewati ladang dan telah mencapai jembatan, kami semua telah melepas jaket kami dan mengikatnya di pinggang kami. Kami berkeringat seperti babi. Kami berjalan di tepian ke jembatan dan di sana kami berdiri dan melihat ke bawahnya.

 Saya tidak akan pernah melupakan momen itu, berapa pun usia saya. Jarum jam tangan saya berdiri pada pukul tiga sore dan terik matahari melakukan perjalanan ke barat mencari kitab suci. Di hadapan kami adalah sungai, tempat kami semua dibesarkan, dengan rumah-rumah beserta hutan penuh pohon yang tinggi menjulang dan sampah-sampah mengotori sungai. Di sebelah kanan kami ada tanah kosong, tertutup semak-semak.

 Kami berdiri di sana untuk sesaat ketika senja dan kemudian Rudi berkata, “Ayo, ayo pergi.”

 Kami berjalan menyusuri tepian tebing sedalam tiga meter kurang lebih dan kaki kami menyibakkan debu di setiap langkah.  Dimas mulai bernyanyi, tetapi segera berhenti, yang lebih baik untuk telinga kami. Hanya Hari dan Rudi yang membawa botol air dan kami semua sering minum dari botol itu.

 "Kita bisa mengisi botol lagi di tempat pembuangan sampah," kataku.  "Ada keran di sana dengan air yang bagus, kata ayahku."

 “Oke.” kata Rudi. “Lagi pula, itu akan menjadi tempat yang bagus untuk beristirahat.”

 “Bagaimana dengan makanan?” tanya Hari tiba-tiba. “Aku yakin tidak ada yang ingat untuk membawa sesuatu untuk dimakan.”

 “Aku tahu, aku tidak melakukannya.” Rudi berhenti.

 “Tuhan! Aku juga tidak. Kata Dimas. “Kamu bagaimana Den?”

 Aku menggelengkan kepalaku, merasa benar-benar bodoh.

 “Mari kita lihat berapa banyak uang yang kita punya,” kataku. Aku membuka ikatan jaketku dan meletakkannya di tanah. Kita semua memasukkan uang kita ke dalamnya. Kami memiliki sekitar seribu lima ratus rupiah.

 “Tidak buruk,” kataku. “Ada toko di ujung jalan kecil yang menuju ke tempat pembuangan sampah. Salah satu dari kita bisa mendapatkan beberapa makanan dan rokok di sana.”

 “Siapa yang akan kesana?” bertanya.

 “Kita akan memutar koin untuk itu ketika kita sampai di tempat pembuangan sampah. Ayo bergegas sebelum kegelapan datang.”

 Aku memasukkan semua uang ke dalam sakuku dan baru saja mengikatkan jaketku ke pinggangku lagi ketika Rudi berteriak, “Berlatihlah!”

 Aku meletakkan tanganku di salah satu telinga untuk merasakannya, meskipun saya sudah bisa mendengarnya. Suara gemercik langkah yang cepat seperti makhluk hidup. Dimas dan Rudi melompat ke balik semak-semak dan bersembunyi.

 Untuk sesaat aku terlalu terkejut untuk bergerak, dihadapan kami muncul seekor anjing liar yang cukup besar, menatap dan siap menerkam kami. Hari membuka ranselnya dan mengeluarkan pistol. Aku melompat mengejarnya dan dia memukul perutku saat aku menarik bajunya membuatku terjatuh.

 “Kamu anjing kecil!” Hari berteriak. “Jangan bertingkah besar denganku! Aku akan membunuhmu!”

 “Hari!” Aku berteriak kembali. “Tidak ada yang harus tahu kita di sini. Tidakkah kamu mengerti, dasar brengsek bodoh?”

 Akhirnya Dimas dan Rudi keluar dari semak-semak, mereka menarik Hari dan memegangnya sampai dia menjadi tenang dan hanya berdiri di sana, kacamatanya bengkok dan menggantung di satu telinga.

 “Kalian brengsek.” kata Hari melepaskan pegangan mereka.

 “Mereka hanya mencoba melakukan hal yang benar, kawan,” kataku. “Sudahlah, ayo kita pergi lewat jalan memutar.”

 Kami sampai di tempat pembuangan sampah sekitar pukul lima lebih sepulih menit dan meluncur menuruni tepian sungai. Tempat pembuangan itu dikelilingi oleh pagar kawat yang tinggi, dan ada papan tanda yang mengatakan bahwa tempat pembuangan itu buka antara pukul delapan sampai tiga sore, di luar itu tidak boleh masuk kapan pun dalam keadaan apa pun. Jadi kami memanjat pagar dan melompat ke tanah.

 Kami langsung menuju keran. Sementara Hari dan Dimas berdebat tentang siapa yang akan pergi selanjutnya, aku melihat sekeliling.

 Selalu ada begitu banyak barang di tempat sampah sehingga mataku sakit hanya dengan melihatnya. Seluruh sampah warga dan limbah pabrik, hampir seluruhnya ada di tempat itu. Ada banyak hewan liar juga, tapi bukan jenis yang Anda lihat di film Disney atau di kebun binatang anak-anak di mana mereka membiarkan Anda membelai binatang. Anjing dan kucing liar juga datang ke sini. Mereka biasa menyerang satu sama lain karena sepotong daging busuk, tetapi mereka tidak pernah menyerang Hartono, penjaga tempat pembuangan sampah, karena dia selalu membawa Rambo bersamanya.

 Rambo adalah anjing yang paling ditakuti dan paling tidak terlihat di pembuangan sampah. Desas-desus dan cerita telah membuatnya menjadi besar, kejam, dan jelek. Dikatakan bahwa Hartono telah melatihnya untuk mmembunuh. Dia bisa mengambil telinga, mata, kaki, tangan atau bagian tubuh manapun. Bahkan Hari takut pada Rambo. Tidak ada tanda-tanda Hartono atau Rambo hari ini.

 Rudi dan aku melihat Dimas dan Hari di keran. “Hari memang gila,” kataku pelan.

 "Aku tahu itu," kata Chris. “Sepertinya dia tidak akan hidup sampai dua kali usianya sekarang.”

 “Kau ingat waktu di pohon itu?”

 “Tentu saja.”

 Tahun sebelumnya, Hari dan Rudi memanjat pohon tinggi di belakang rumahku. Rudi berhenti di dekat puncak karena sisa cabang tampak kering dan busuk. Hari ingin melanjutkan, dan tidak ada yang dikatakan Rudi yang membuat perbedaan. Hari melakukannya, meskipun dia mencapai puncak. Tapi kemudian cabang tempat dia berpijak patah dan Hari jatuh. Rudi baru saja berhasil meraih bajunya Hari saat dia lewat. Meskipun pergelangan tangannya sakit selama seminggu setelah itu, dia menahannya sampai kakinya menemukan cabang untuk berdiri. Ketika mereka turun, wajah Rudi pucat pasi dan hampir muntah karena ketakutan. Dan Hari marah padanya karena menarik bajunya hingga sobek.

 "Kadang-kadang aku memimpikannya," kata Rudi. “Kecuali dalam mimpi aku merindukannya. Aku hanya tidak sengaja menariknya dan Hari berteriak dari dahan ke tanah. Aneh, ya?”

 “Benar” kataku, dan untuk sesaat kami saling berpandangan dan melihat beberapa hal sejati yang membuat kami berteman.

 Setelah kami semua cukup minum dan berbagi air ke satu sama lain untuk sementara waktu, kami duduk di bawah satu-satunya pohon di tempat pembuangan sampah.

 "Ini benar-benar saat yang tepat," kata Dimas singkat. Dia tidak bermaksud hanya berada di sini di tempat pembuangan sampah atau berjalan-jalan di hutan. Semua itu hanya sebagian saja. Semuanya ada di sana dan di sekitar kita. Kami tahu persis siapa kami dan ke mana kami akan pergi dalam hidup ini. Itu bagus.

 Kami duduk di bawah pohon sampai bayang-bayang tumbuh lagi, dan kemudian kami menyadari seseorang harus pergi dan mendapatkan makanan.

 “Tempat pembuangannya sudah tutup,” kata Dimas. “Aku tidak ingin berada di sini ketika Hartono dan Rambo tiba.”

 “Oke.” Kataku berdiri.

  “Orang aneh pergi?” 

 “Hah?”

 “Itu kamu, Deni,” kata Rudi.  "Kau memang aneh." 

 Aku tersenyum dan memberi mereka masing-masing koin. “Putar!” kataku.

 Empat koin bersinar terang saat mereka berbalik di udara memantulkan cahaya. Empat tangan meraih mereka dari udara. Empat tamparan datar di empat pergelangan tangan yang kotor. Kami membukanya bersamaan. Dua gambar burung dan dua angka. Kami berputar lagi dan kali ini kami berempat memiliki angka.

 “Oh, astaga, itu nasib buruk,” kata Dimas, tidak memberi tahu kami apa pun yang tidak kami ketahui. Empat gambar burung berarti benar-benar keberuntungan, empat angka sebaliknya.

 “Tidak ada yang percaya sampah itu,” kata Hari. “Ini permainan balita. Ayo, berputar.”

 Kali ini tiga lainnya semua memiliki angka dan saya memiliki gambar burung. Dan aku tiba-tiba ketakutan. Mereka masih memiliki nasib buruk. Kemudian Hari tertawa terbahak-bahak dan menunjuk ke arahku, dan perasaan itu menghilang.

 "Pergi dan beli makanannya," teriak Hari.

 “Lanjutkan, Deni,” kata Rudi.  "Kami akan menunggu ujung sungai sebelum masuk hutan."

 "Kalian sebaiknya tidak pergi tanpaku," kataku dan aku pergi.

 Saya tidak pernah punya teman, kemudian seperti yang saya miliki ketika saya berusia dua belas tahun. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status