Share

PTH 2 (Surat)

“Oke anak-anak, sebelum pulang, ibu ada pengumuman dulu. Mohon disimak baik-baik, ya!” Bu Reyna memberi instruksi. Suasana kelas yang riuh pun hening seketika agar informasi mereka dapatkan secara lengkap.

“Jadi, SMA Alamanda akan mengadakan acara perkemahan ke sebuah desa kecil di daerah Garut. Kita akan berkemah di sana selama seminggu. Perkemahan ini sebagai nilai tambahan kalian bagi yang nilai PTS kemarin di bawah KKM. Di sana kita akan belajar beberapa hal tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Semua siswa kelas X dan kelas XI wajib mengikuti akan tetapi dengan izin orang tua pastinya. Ini surat izin yang harus orang tua kalian tanda tangani. Besok, kalian harus kembali membawa surat ini dengan tanda tangan dan pernyataan izin atau tidak dari orang tua kalian. Bagi yang tidak mendapat izin dari orang tuanya, kalian jangan berkecil hati, tambahan nilai bisa kalian dapatkan dengan membuat 100 lembar makalah tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Silakan kalian bawa pulang surat ini, jangan lupa minta tanda tangan orang tua kalian, ya!” Bu Reyna menerangkan sambil membagikan satu per satu surat yang ia pegang kepada seluruh siswa.

Semua siswa XI MIPA 1 seketika menganga mendengar penuturan Bu Rey. Apa yang dia katakan? Jika tidak ikut berkemah maka harus membuat makalah 100 lembar? Semua siswa pasti memilih berkemah, selain untuk menjernihkan pikiran setelah PTS, mereka tidak ingin membuat makalah 100 lembar hanya untuk nilai tambahan.

Mereka juga tahu daerah Garut adalah salah satu daerah yang masih minim polusi dan memiliki banyak pegunungan, sungai, kebun teh, lengkap dengan pantai di bagian Garut Selatan. Sehingga, mereka pasti berburu untuk ikut agar bisa berfoto dan melihat keindahan alam di sana. Daerah yang sejuk dengan pemandangan yang tidak mengecewakan, siapa yang tidak menyukai ketenangan seperti itu?

“Akan ada siswi yang mati di depan koridor kelas ini!” Sebuah bisikan dengan suara serak terdengar di telinga Via. Via menengok ke kanan dan kirinya mencoba mencari sumber suara. Bagaimana mungkin ada yang berbisik padanya padahal Via duduk di bangku paling belakang pojok kanan kelas.

“Heh! Siapa yang jail? Gak boleh tau bilang gitu! Kalo kejadian beneran gimana?” Via bermonolog pelan, berusaha mengusir rasa gugupnya tentang siapa yang membisikinya kalimat yang menurut Via adalah kalimat yang mendahului takdir.

Angin berembus di belakang Via, membuat jilbabnya berkibar dan buluk kuduknya meremang. Tapi tidak sedikit pun membuat Via takut. Ia tidak takut pada hal gaib kecuali pada Tuhannya, begitu kata Via.

Brak! Jendela kelas dilempari dengan sebuah batu seukuran kepalan tangan yang dibungkus kertas membuat kaca jendela berhamburan ke luar dan ke dalam kelas. Beberapa siswa yang duduk di dekat jendela terkena serpihan kaca dan berusaha menghindar takut apabila kaca yang lain kembali dipecahkan. Ya, kaca jendela kelas itu sengaja dipecahkan. 

Bu Rey meminta semua siswa ke luar kelas, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lain dari itu, Via mencoba membaca tulisan di dalam kertas yang digunakan untuk membungkus batu besar itu.

“Kayaknya aku tahu arti tulisan ini,” batin Via.

Tulisan dengan aksara sunda dicatat tidak rapi menggunakan tinta merah yang bau amis di kertas tersebut. Darah! Tulisan itu ditulis menggunakan darah. Via bisa membaca tulisan itu karena saat SD ia diajarkan membaca aksara sunda di sekolahnya. Sedangkan ayahnya berasal dari Kota Bandung, sehingga sedikit banyaknya ia paham bahasa sunda.

‘Lamun maneh hayang salamet ulah milu ka Garut! Kabeh bakal paeh ku urang! Dendam urang acan beres ka jalma-jalma nu pernah ngahina jeung ngarendahkeun urang! Urang apal maneh jelema bager. Ajak babaturan maneh lamun embung kajadian cilaka nu leuwih parah ti ieu!'

(‘Kalo Kamu ingin selamat, jangan ikut ke Garut! Semuanya akan mati di tanganku! Dendamku belum tuntas pada orang-orang yang pernah menghina dan merendahkanku! Aku tahu kamu orang baik. Ajak temanmu jika tidak ingin kejadian yang lebih parah dari ini!’)

Astagfirullohaladzim! Via banyak berucap istigfar. Siapa yang mengirimkan surat ini sebenarnya? Kenapa berisi dendam dan permintaan agar Via tidak ikut berkemah ke Garut?

Teriakan banyak siswi dari bawah menyadarkan Via dari lamunannya. Mengapa banyak teriakan? Segera, Via menyembunyikan surat yang ia ambil tadi dan menyimpannya di saku rok panjangnya. Setelah itu, ia menyusul Defa, Raffa, dan Fadri yang bergegas mengecek ke luar kelas.

Betapa kagetnya mereka saat melihat seorang siswi dengan posisi telungkup dan darah yang merembes dari kepalanya yang mungkin pecah. Astaga! Sesuatu yang Via pikirkan adalah bisikan tadi. Gadis itu terletak lurus tepat di depan kelasnya. Artinya, bisikan yang ia dengar benar adanya. Tapi siapa yang berbisik tadi? Siapa yang dibunuh? Dan kenapa dia dibunuh?

Brak! Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan Via, seorang siswi dengan rambut acak-acakan tiba-tiba melempar bangku ke arah papan tulis. Sontak, beberapa siswa kelas XI MIPA 1 yang tidak turun untuk melihat siapa yang loncat dari koridor kelas XI MIPA 1 pun masuk untuk melihat apa yang menjadi sumber suara.

Mereka kaget dan bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang gadis yang terkenal lugu itu bisa mengangkat dan melempar bangku dari belakang kelas dengan begitu kuatnya hingga papan tulis pun retak tidak berbentuk.

“Haha! Maneh nu ngarti tulisan urang, tong wani-wani milu kaditu! Urang geus ngabejaan maneh lamun maneh sien cilaka ulah milu kaditu!” teriaknya dengan selingan tawa yang menyeramkan.

Via tercenung, apa gadis itu sedang berbicara padanya? Kenapa harus Via yang mendapat informasi sepenting ini? Apa yang harus Via lakukan.

“Via, kenapa?” tegur Defa. Via masih asyik dengan lamunannya. Sepertinya, hanya Via yang paham perkataan gadis yang kerasukan itu. 

“Oy, Via!” teriakan Fadri sukses menyadarkannya.

“Eh, kalian, kenapa?” tanyanya polos.

“Lo yang kenapa? Dari tadi kok ngelamun gitu?” Raffa menanyakan hal yang sama.

“A-aku gak apa apa, kok. Cuma kaget aja ada dua kejadian sekaligus yang em ....” Ucapan Via menggantung, Defa mengajaknya untuk segera turun ke bawah melihat siapa siswi yang terjun dari depan kelasnya.

“Ke bawah, yuk! Aku pengen liat siapa yang celaka tadi,” ajak Defa. Via mengangguk setuju. Mereka berempat meninggalkan kelas karena siswi yang kerasukan tadi sudah ditenangkan oleh guru agama.

***

“Risty!” 

“Itu Risty, kan kelas XI Bahasa 3!”

“Iya, itu Risty!”

“Kenapa dia bunuh diri, ya?”

“Jangan-jangan hamdu, tuh!”

“Iya kali, pasti cowoknya gak mau tanggung jawab, tuh!”

Beberapa celotehan terdengar sampai ke telinga Via yang baru datang menghampiri kerumunan mayat siswi yang mereka panggil Risty.

“Astagfirullah! Kepalanya bener-bener bocor!” batin Via.

Guru-guru berhamburan keluar dari ruang guru dan bertanya-tanya apa yang terjadi sampai siswi bernama Risty yang tidak terlalu dikenal itu mendadak menjatuhkan diri dari koridor kelas di lantai empat. Beberapa guru mencoba menghubungi polisi dan guru lainnya meminta siswa untuk tidak berkerumun. Namun semua siswa tidak mengindahkan perintah guru itu, mereka terus menatap jenazah Risty yang meninggal dengan mengenaskan itu. Ada yang berteriak histeris, ada yang menangis sesenggukan. Ah, mungkin mereka teman dekatnya.

Via melirik ke arah sepucuk surat berlumur darah yang tergeletak di samping jenazah Risty. Penasaran, ia mengambil dan melihat apa isi suratnya. Matanya membulat sempurna saat ia tahu apa isi surat itu.

"Ini sudah keterlaluan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status