“Oke anak-anak, sebelum pulang, ibu ada pengumuman dulu. Mohon disimak baik-baik, ya!” Bu Reyna memberi instruksi. Suasana kelas yang riuh pun hening seketika agar informasi mereka dapatkan secara lengkap.
“Jadi, SMA Alamanda akan mengadakan acara perkemahan ke sebuah desa kecil di daerah Garut. Kita akan berkemah di sana selama seminggu. Perkemahan ini sebagai nilai tambahan kalian bagi yang nilai PTS kemarin di bawah KKM. Di sana kita akan belajar beberapa hal tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Semua siswa kelas X dan kelas XI wajib mengikuti akan tetapi dengan izin orang tua pastinya. Ini surat izin yang harus orang tua kalian tanda tangani. Besok, kalian harus kembali membawa surat ini dengan tanda tangan dan pernyataan izin atau tidak dari orang tua kalian. Bagi yang tidak mendapat izin dari orang tuanya, kalian jangan berkecil hati, tambahan nilai bisa kalian dapatkan dengan membuat 100 lembar makalah tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Silakan kalian bawa pulang surat ini, jangan lupa minta tanda tangan orang tua kalian, ya!” Bu Reyna menerangkan sambil membagikan satu per satu surat yang ia pegang kepada seluruh siswa.Semua siswa XI MIPA 1 seketika menganga mendengar penuturan Bu Rey. Apa yang dia katakan? Jika tidak ikut berkemah maka harus membuat makalah 100 lembar? Semua siswa pasti memilih berkemah, selain untuk menjernihkan pikiran setelah PTS, mereka tidak ingin membuat makalah 100 lembar hanya untuk nilai tambahan.Mereka juga tahu daerah Garut adalah salah satu daerah yang masih minim polusi dan memiliki banyak pegunungan, sungai, kebun teh, lengkap dengan pantai di bagian Garut Selatan. Sehingga, mereka pasti berburu untuk ikut agar bisa berfoto dan melihat keindahan alam di sana. Daerah yang sejuk dengan pemandangan yang tidak mengecewakan, siapa yang tidak menyukai ketenangan seperti itu?
“Akan ada siswi yang mati di depan koridor kelas ini!” Sebuah bisikan dengan suara serak terdengar di telinga Via. Via menengok ke kanan dan kirinya mencoba mencari sumber suara. Bagaimana mungkin ada yang berbisik padanya padahal Via duduk di bangku paling belakang pojok kanan kelas.“Heh! Siapa yang jail? Gak boleh tau bilang gitu! Kalo kejadian beneran gimana?” Via bermonolog pelan, berusaha mengusir rasa gugupnya tentang siapa yang membisikinya kalimat yang menurut Via adalah kalimat yang mendahului takdir.Angin berembus di belakang Via, membuat jilbabnya berkibar dan buluk kuduknya meremang. Tapi tidak sedikit pun membuat Via takut. Ia tidak takut pada hal gaib kecuali pada Tuhannya, begitu kata Via.Brak! Jendela kelas dilempari dengan sebuah batu seukuran kepalan tangan yang dibungkus kertas membuat kaca jendela berhamburan ke luar dan ke dalam kelas. Beberapa siswa yang duduk di dekat jendela terkena serpihan kaca dan berusaha menghindar takut apabila kaca yang lain kembali dipecahkan. Ya, kaca jendela kelas itu sengaja dipecahkan. Bu Rey meminta semua siswa ke luar kelas, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lain dari itu, Via mencoba membaca tulisan di dalam kertas yang digunakan untuk membungkus batu besar itu.“Kayaknya aku tahu arti tulisan ini,” batin Via.Tulisan dengan aksara sunda dicatat tidak rapi menggunakan tinta merah yang bau amis di kertas tersebut. Darah! Tulisan itu ditulis menggunakan darah. Via bisa membaca tulisan itu karena saat SD ia diajarkan membaca aksara sunda di sekolahnya. Sedangkan ayahnya berasal dari Kota Bandung, sehingga sedikit banyaknya ia paham bahasa sunda.‘Lamun maneh hayang salamet ulah milu ka Garut! Kabeh bakal paeh ku urang! Dendam urang acan beres ka jalma-jalma nu pernah ngahina jeung ngarendahkeun urang! Urang apal maneh jelema bager. Ajak babaturan maneh lamun embung kajadian cilaka nu leuwih parah ti ieu!'(‘Kalo Kamu ingin selamat, jangan ikut ke Garut! Semuanya akan mati di tanganku! Dendamku belum tuntas pada orang-orang yang pernah menghina dan merendahkanku! Aku tahu kamu orang baik. Ajak temanmu jika tidak ingin kejadian yang lebih parah dari ini!’)Astagfirullohaladzim! Via banyak berucap istigfar. Siapa yang mengirimkan surat ini sebenarnya? Kenapa berisi dendam dan permintaan agar Via tidak ikut berkemah ke Garut?Teriakan banyak siswi dari bawah menyadarkan Via dari lamunannya. Mengapa banyak teriakan? Segera, Via menyembunyikan surat yang ia ambil tadi dan menyimpannya di saku rok panjangnya. Setelah itu, ia menyusul Defa, Raffa, dan Fadri yang bergegas mengecek ke luar kelas.Betapa kagetnya mereka saat melihat seorang siswi dengan posisi telungkup dan darah yang merembes dari kepalanya yang mungkin pecah. Astaga! Sesuatu yang Via pikirkan adalah bisikan tadi. Gadis itu terletak lurus tepat di depan kelasnya. Artinya, bisikan yang ia dengar benar adanya. Tapi siapa yang berbisik tadi? Siapa yang dibunuh? Dan kenapa dia dibunuh?Brak! Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan Via, seorang siswi dengan rambut acak-acakan tiba-tiba melempar bangku ke arah papan tulis. Sontak, beberapa siswa kelas XI MIPA 1 yang tidak turun untuk melihat siapa yang loncat dari koridor kelas XI MIPA 1 pun masuk untuk melihat apa yang menjadi sumber suara.Mereka kaget dan bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang gadis yang terkenal lugu itu bisa mengangkat dan melempar bangku dari belakang kelas dengan begitu kuatnya hingga papan tulis pun retak tidak berbentuk.
“Haha! Maneh nu ngarti tulisan urang, tong wani-wani milu kaditu! Urang geus ngabejaan maneh lamun maneh sien cilaka ulah milu kaditu!” teriaknya dengan selingan tawa yang menyeramkan.Via tercenung, apa gadis itu sedang berbicara padanya? Kenapa harus Via yang mendapat informasi sepenting ini? Apa yang harus Via lakukan.“Via, kenapa?” tegur Defa. Via masih asyik dengan lamunannya. Sepertinya, hanya Via yang paham perkataan gadis yang kerasukan itu. “Oy, Via!” teriakan Fadri sukses menyadarkannya.“Eh, kalian, kenapa?” tanyanya polos.“Lo yang kenapa? Dari tadi kok ngelamun gitu?” Raffa menanyakan hal yang sama.“A-aku gak apa apa, kok. Cuma kaget aja ada dua kejadian sekaligus yang em ....” Ucapan Via menggantung, Defa mengajaknya untuk segera turun ke bawah melihat siapa siswi yang terjun dari depan kelasnya.“Ke bawah, yuk! Aku pengen liat siapa yang celaka tadi,” ajak Defa. Via mengangguk setuju. Mereka berempat meninggalkan kelas karena siswi yang kerasukan tadi sudah ditenangkan oleh guru agama.***“Risty!” “Itu Risty, kan kelas XI Bahasa 3!”“Iya, itu Risty!”“Kenapa dia bunuh diri, ya?”“Jangan-jangan hamdu, tuh!”“Iya kali, pasti cowoknya gak mau tanggung jawab, tuh!”Beberapa celotehan terdengar sampai ke telinga Via yang baru datang menghampiri kerumunan mayat siswi yang mereka panggil Risty.“Astagfirullah! Kepalanya bener-bener bocor!” batin Via.Guru-guru berhamburan keluar dari ruang guru dan bertanya-tanya apa yang terjadi sampai siswi bernama Risty yang tidak terlalu dikenal itu mendadak menjatuhkan diri dari koridor kelas di lantai empat. Beberapa guru mencoba menghubungi polisi dan guru lainnya meminta siswa untuk tidak berkerumun. Namun semua siswa tidak mengindahkan perintah guru itu, mereka terus menatap jenazah Risty yang meninggal dengan mengenaskan itu. Ada yang berteriak histeris, ada yang menangis sesenggukan. Ah, mungkin mereka teman dekatnya.Via melirik ke arah sepucuk surat berlumur darah yang tergeletak di samping jenazah Risty. Penasaran, ia mengambil dan melihat apa isi suratnya. Matanya membulat sempurna saat ia tahu apa isi surat itu."Ini sudah keterlaluan!"
Hari yang ditunggu-tunggu semua siswa akhirnya tiba. Hari ini, tepat pukul 8 pagi seluruh siswa kelas X dan kelas XI akan berangkat berkemah ke Garut menggunakan bus sekolah. Via, setelah berdebat kecil dengan orang tuanya pun akhirnya mendapat izin untuk ikut berkemah. Via tidak percaya dengan perkataan Raini—gadis yang beberapa hari lalu kerasukan di kelasnya dan isi surat yang juga mengatakan hal yang sama, tentang larangan untuk pergi ke Garut.Tak lupa, Via membawa buku yang ia pinjam dari perpustakaan beberapa hari lalu. Ia sudah selesai membaca namun belum paham poin utama dalam buku itu. Menurut Via, bahasa di dalam buku itu sulit dipahami karena mengandung unsur mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia akan membacanya lagi nanti saat ada waktu luang.Siswa dan siswi SMA Alamanda mulai berkumpul dan duduk di bangku bus sesuai nomor urut yang diberikan guru. Beruntungnya, Via duduk dengan Arini teman sekelasnya dan Defa duduk di bela
Pagi yang cerah mengawali pembukaan perkemahan. Pukul enam pagi setelah semua siswa selesai mandi, beberapa siswa mulai mendirikan tenda di tepi hutan, meninggalkan rumah Pak RT yang semalam mereka tempati.Setelah beberapa waktu, hingga semua regu selesai membangun tenda, Bu Anne sebagai guru pembimbing yang menggantikan Pak Randi memulai pembukaan acara.“Bismillahirrahmanirrahim. Assalaamualaikum anak-anak, apa kabar hari ini?” sapanya.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah baik, Bu!” jawab semua siswa dan siswi serentak. Bu Anne mengangguk sambil tersenyum.“Alhamdulillah. Hari ini sebagai hari pertama pembukaan perkemahan ada beberapa hal yang ingin ibu sampaikan.”“Meskipun kita beregu, berjumlah banyak, tetap saja tidak boleh semena-mena terhadap alam dan makhluk lain,” ucapnya dengan penuh penekanan pada frasa terakhir.“K
Via, Defa, dan teman-temannya kembali menyusuri jalan yang sempat mereka lalui tadi. Mereka berteriak memanggil nama Fadri supaya laki-laki itu muncul dan tidak menambah kekhawatiran mereka.“Fadri!”“Fadri! Lo di mana?”“Fadri!”“Fadri!” Mereka berteriak- teriak memanggil nama Fadri.Setelah beberapa saat, mereka berhenti sejenak untuk istirahat.“Apa mungkin Fadri udah balik ke tenda?” tanya Defa.“Iya! Mungkin aja dia udah balik!” Raffa menimpali.“Ya, udah kita balik aja ke tenda, barangkali Fadri ada di sana.” Defa memutuskan untuk kembali ke perkemahan. Ketemu atau tidaknya Fadri, mereka tetap harus kembali ke perkemahan untuk mengeceknya.**Langkah mereka terhenti saat pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh Bu Anne.“Gimana? Udah wawancaranya? Kalian uda
Pukul 3 dini hari Defa terbangun dari tidurnya, ia keluar dari tenda menuju toilet perkemahan untuk buang air kecil. Kemudian, Defa mengambil wudu dan memilih untuk salat tahajud di depan tenda.Rakaat pertama ia masih tidak terganggu. Dengan khusyuknya Defa melakukan setiap gerakan salat. Namun, saat rakaat kedua, fokusnya mulai terganggu karena suara-suara aneh dari dalam hutan. Seperti suara keramaian seolah di tempat umum, namun Defa tak menghiraukannya. Ia menyelesaikan salatnya kemudian berdoa meminta perlindungan untuk ia dan teman-temannya serta berdoa agar Fadri segera ditemukan.Selesai berdoa, Defa memilih untuk zikir sampai fajar tiba. Setiap tasbih dan tahmid dari bibirnya seolah menghilangkan suara keramaian yang ia dengar. Hingga benar-benar kesunyian yang ia dapati.Masih dengan zikirnya, Defa melihat seseorang dari tenda wanita keluar. Merasa heran, Defa mengikuti perginya gadis itu. Siapa yang keluar di waktu seperti ini? Seberani i
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.