Share

Petualangan Tujuh Hari
Petualangan Tujuh Hari
Penulis: Paperrapoo

PTH 1 (Apa maksudnya?)

Dengkuran halus dari laki-laki yang memiliki hidung yang mancung, kulit putih, dan rahang yang kokoh itu pasti membuat semua wanita yang melihatnya berdecak kagum memuji ciptaan Tuhan yang hampir sempurna itu. Bagaimana tidak, laki-laki dengan wajah yang rupawan dan segudang prestasi yang ia raih pasti banyak dipuja wanita seusianya. Akan tetapi, siapa sangka jika ia bahkan hanya menganggap gadis-gadis yang mengaguminya sebagai pemain figuran, karena ia belum mendapatkan pemain utama yang akan berperan sebagai pemilik kunci hatinya. Ia yakin, semua gadis itu hanya menyukai fisik dan prestasinya, bukan karena benar-benar ingin menemaninya.

Selain itu, ia juga hanya akrab dengan beberapa orang saja, utamanya, dua laki-laki dan satu gadis yang duduk di dekatnya. Masalah pertemanan pun ia masih pilih-pilih, meskipun ia tidak menolak jika ada yang ingin berteman dengannya, tapi ia sedikit menjaga jarak dari orang-orang selain tiga orang di depannya. Ia rasa, tak perlu banyak teman untuk bisa hidup dan menjalani hari-hari. Cukup beberapa teman yang selalu menemaninya di masa senang dan sulit.

Brak!

Sebuah gebrakan keras pada meja yang ditiduri Defa—siswa cerdas dengan tampang yang menawan itu membangunkan ia dari tidurnya. 

“Bangun, woy! Tidur mulu, ish! Temenin aku ke perpustakaan, yok!” ajak Novia—teman wanita yang baru ia kenali dua tahun ini. Meskipun belum lama, tapi ia rasa Via bisa menjadi teman baiknya. Berbeda dari gadis lainnya yang selalu tebar pesona di hadapan Defa, Via justru hanya bertingkah seadanya, tanpa mencari perhatiannya atau sekedar bermanja-manja padanya. Via sangat menjaga diri.

“What? Ke perpustakaan? Lo sehat, Vi? tanya Raffa.

“Sehat, kok. Yuk mumpung jamkos, lho,” ajaknya lagi.

“Gue mencium bau-bau niat terselubung di otak lo, Vi! Sejak kapan seorang Novia Putri Febrya Andias mau ke perpustakaan? Biasanya juga kalo jamkos lo ngajak ke kantin atau ke masjid. Kesambet apaan pengen ke perpustakaan?” Fadri pun tak kalah herannya mendapati keinginan teman wanitanya yang tiba-tiba mengajak ke perpustakaan. Padahal, selama hampir dua tahun berteman, Via selalu menolak saat diajak ke perpustakaan, dengan alasan ia pusing membaca banyak huruf pada buku yang tersusun rapi di perpustakaan. Ia lebih suka membaca buku cerita bergambar sehingga ia bisa membayangkan alur cerita sesuai ilustrasi yang ada.

“Ish, kalian, kok gitu, sih. Harusnya dukung aku, dong! Aku kan juga pengen pinter kayak Defa! Lagi pula aku gak ngajak sesat juga!” Via bersikukuh dengan keinginannya.

“Via mau ke perpustakaan? Ya udah, yuk. Sekarang aja.” Defa memilih mengiyakan keinginan Via, karena perpustakaan juga tempatnya mengisi waktu luang saat di sekolah. Itulah sebabnya Defa memiliki otak cerdas yang terus terasah.

“Gue di sini aja mau mabar sama Fadri,” kata Raffa.

“Eits, kalian harus ikut! Seorang perempuan tidak boleh berduaan dengan laki-laki tanpa didampingi mahram, maka yang ketiga adalah syaiton. Jadi kalian harus ikut, ya!” pintanya.

“Terus lo mau kita jadi syaiton?” tanya Raffa.

“Raffa, ish! Bukan gitu. Udah, yuk ikut aja!”

“Males Vi, gue sama Raffa mau di sini aja. Lo kalo mau ke perpustakaan sama Defa aja, ya, Vi.” Fadri berusaha menolak dengan halus.

“Fadri sama Raffa gitu, ah. Ya udah, aku ke perpustakaan sendiri, aja.” Via berbalik dan pergi dari kelasnya dengan wajah kesal. Melihat hal itu, tiga sekawan tanpa diminta menyusulnya ke perpustakaan. Mereka sudah menganggap Via adiknya. Sehingga, mau tidak mau, pemintaan Via adalah perintah bagi mereka.

***

Via menghentikan langkahnya saat melihat kerumunan siswa di depan mading sekolah. Ia mencoba menerobos masuk namun masih terlalu jauh untuk melihat ada informasi apa di sana. 

“Permisi, ada apa, ya? Kok pada berkerumun gitu di depan mading?” tanyanya sopan pada seorang siswi yang keluar dari kerumunan.

“Oh itu, ada acara perkemahan yang bakalan diadain selama seminggu.”

“Eh, makasih, ya infonya.” Gadis dengan name tag Sania itu mengangguk dan tersenyum, lalu meninggalkan Via di sana.

“Ibu sama Apap ngizinin gak, ya kalo aku ikut perkemahan ini?” Via bermonolog.

***

“Tolol lo kalo gue jatuh ke bawah bisa mati! Lo mau gue mati, hah?”

"Gue gak dorong lo, Bangke!"

“Kalian ini sudah tidak pernah ke perpustakaan, sekalinya ke perpustakaan cuma bikin gaduh aja! Kalian baca tidak peraturan di depan pintu perpustakaan? Di sini tidak boleh berisik, apalagi bertengkar seperti yang kalian lakukan!” hardik Bu Emma—guru perpustakaan di SMA Alamanda.

“Si curut ini dorong saya, Bu! Saya hampir jatuh ke bawah! Ibu tahu kan perpustakaan ini di lantai tiga, kalo saya sampai jatuh minimal kepala bocor, maksimal ... maksimal ... mak-“

“Maksimal maksimal! Ibu gak mau tahu apa yang terjadi! Kalian tidak boleh berisik di perpustakaan!”

“Kampret, lo! Gue gak dorong lo, Raffa! Dari tadi gue cuma main hape! Gue bahkan gak tau kalo lo hampir jatuh!” Fadri mengelak dari tuduhan Raffa.

Tanpa mereka sadari, Defa sudah masuk ke dalam perpustakaan dengan izin Bu Emma, tentunya. Karena tempat ini sudah menjadi langganan Defa selama ia bersekolah di sini. Sehingga, Bu Emma sudah tidak asing lagi, dan tahu karakter Defa yang tidak akan membuat keributan si tempat favoritnya ini.

“Ibu gak mau tau! Sekarang kalian ikut ibu ke ruang BK untuk bertemu dengan Bu Anne agar kalian mendapat hukuman sesuai perilaku kalian ini!” Bu Emma menggiring Raffa dan Fadri sambil menjewer telinga keduanya menuju ruang BK.

“Cari buku apa, Via?” tanya Defa yang melihat Via terus menggeser letak buku untuk mencari buku yang ia inginkan.

“Lagi pengen baca yang horor-horor gitu, Def. Eh iya sekolah kita bakalan ngadain perkemahan, lho! Ikut gak? Ikut lah masa enggak.”

“Kamu ini, nanya tapi dijawab sendiri! Gimana nanti, deh.”

“Eh buku ini bagus. Aku duduk di sana, ya, Def. Defa kalo mau cari buku juga cari aja.” Via memegang sebuah buku tebal dengan cover warna hitam  pekat dengan beberapa gambar seperti gunting, bawang putih, dan peniti. Defa menganggap buku itu hanya novel karangan penulis biasa. Padahal, tanpa ia sadari, ada tulisan bertinta merah di ujung kanan atas buku yang menyatakan bahwa kisah itu adalah kisah nyata yang dialami seseorang di masa silam.

Setelah mendapatkan buku yang akan ia baca, ia memilih duduk di samping jendela sambil menatap lurus kepada Via yang membaca buku di ujung ruangan dengan penerangan yang sedikit remang-remang. Gadis itu hanya duduk sendirian dengan tatapan fokus pada buku yang ia baca. Sepertinya, kalaupun ada gempa ia tidak akan menyadarinya karena kefokusannya.

“Sejak kapan Via suka baca buku horor?” batinnya.

***

Bu Emma terus menyeret Raffa dan Fadri agar masuk ke ruangan BK untuk mendapatkan hukuman atas perilaku mereka. 

“Aduh, Bu. Lepas, Bu sakit!" Raffa berusaha melepaskan jeweran dari Bu Emma. 

Setelah sampai di depan ruang BK, Bu Emma mengajak mereka masuk untuk menemui Bu Anne guru BK baru pengganti Pak Yuda.

“Bu Anne, tolong hukum mereka dengan sesuai, ya! Mereka sudah membuat kegaduhan di perpustakaan dan banyak melontarkan kata-kata kasar yang tidak seharusnya dikatakan oleh remaja seusia mereka,” terang Bu Emma.

Bu Anne tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya.

“Iya, Bu. Biar saya yang mengajak mereka berbicara.” Bu Emma kembali ke perpustakaan dengan rasa kesal yang belum hilang pada dua siswa yang membuat kegaduhan di tempat tenangnya.

“Silakan duduk,” pinta Bu Anne.

“Coba katakan pada ibu, apa yang kalian lakukan sampai membuat Bu Emma membawa kalian ke sini?” tanyanya lembut.

“Tadi Fadri dorong saya dari lantai tiga, Bu. Kalo jatuh gimana? Ini masalah nyawa, lho, Bu! Ibu juga kalo di posisi saya pasti emosi.” Raffa pertama memberi cerita.

“Oke, kalo menurut kamu, gimana? Apa ceritanya sesuai sama yang teman kamu katakan?” Bu Anne kembali bertanya dengan lembut. Memang jarang ada guru BK dengan sikap yang lemah lembut sepertinya. Semua siswa di SMA Alamanda seharusnya bersyukur karena mendapatkan guru BK sebaik dan seramah ini dengan penampilan yang sangat sopan.

Dengan jilbab panjangnya guru muda itu kembali melontarkan perkataannya.

“Ibu mau dengar dulu cerita dari dua pihak, ya.” 

“Saya berani sumpah, Bu. Saya gak dorong Raffa. Lagi pula, apa untungnya buat saya, Bu? Saya sama Raffa temenan udah dari SD, masa iya saya rela lukain temen saya sendiri. Tadi saya lagi main hape, bahkan saya gak tau kalo Raffa hampir jatuh.” Fadri membeberkan cerita dari sudut pandangnya. 

Bu Anne mengangguk paham. Beberapa saat kemudian ia kembali tersenyum.

“Ibu paham apa yang kalian alami. Tapi ibu tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya karena alasan tertentu. Sekarang, ibu mau kalian berbaikan, ya. Ibu tidak akan menghukum kalian. Kalian tidak perlu mendebatkan hal ini lagi. Pertama, karena pernyataan yang kalian berikan berbeda. Kedua, karena Raffa juga gak apa-apa, kan? Kalian jangan memperbesar masalah, ya. Ibu bukannya tidak mau memedulikan Raffa yang hampir jatuh, tapi biarkan masalah ini ibu cari tahu dulu titik terangnya, ya. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas.” Bu Anne tahu apa yang sedang menimpa siswanya. Meskipun ia guru baru, tapi pengetahuannya tentang sekolah ini tidak sedikit, karena ini mantan SMA-nya dulu.

Raffa dan Fadri mengangguk pasrah sambil keluar dari ruangan BK setelah pamit pada Bu Anne.

“Hm, kamu masih suka ganggu, ya, Rin.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status