LOGINKevin melangkah cepat di antara pepohonan yang menjulang di kaki Gunung Xandaria. Napasnya teratur, tapi sorot matanya tajam, seakan-akan setiap langkahnya membawa kenangan yang tak bisa dihapus oleh waktu. Udara di sekitarnya dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang tertiup angin, membawa nostalgia yang mengguncang hatinya. Tak lama, hamparan beton dan kaca dari Kota Nagapolis tampak di depan mata. Kota yang dulu menjadi saksi kejayaan keluarganya, sekaligus kehancuran yang menyisakan dendam.
Lima tahun berlalu sejak ia terakhir kali menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Bagaimana rupa kota ini sekarang? Apa yang berubah?
Ia harus mencari informasi terlebih dahulu tentang Nagapolis, terutama Keluarga Caraxis yang menjadi sasaran pertamanya untuk menyelidiki kejadian lima tahun yang lalu. Tiba-tiba Kevin teringat kartu magnetik Dracarys yang bisa digunakannya.
Jemarinya merogoh saku dalam pakaiannya, menyentuh kartu kristal biru yang terasa dingin di ujung jarinya. Kartu Dracarys. Pemberian roh dewa di kuburan kuno. Begitu ia mengusapnya, pancaran cahaya biru berpendar, mengirimkan gelombang elektromagnetik yang hanya bisa diterima oleh orang-orang tertentu.
*****
Di sebuah kamar luas dengan pemandangan pusat kota Nagapolis, seorang wanita terbaring di atas sofa beludru berwarna safir. Gaun sutra tipisnya melekat sempurna pada tubuhnya, menampilkan siluet yang anggun dan berbahaya. Tubuhnya yang memiliki lekuk-lekuk yang indah terlihat jelas di balik gaun sutra tipis ini.
Wajahnya yang cantik dan eksotik merupakan ciri khas wanita yang berasal dari Negara Parisian.
Claudia Xander, pemimpin cabang Paviliun Dracarys di Kota Nagapolis, membuka matanya yang tajam saat cahaya biru tiba-tiba menyala di jam pintarnya. Ia terduduk, jantungnya berdegup lebih cepat.
"Kartu Chief Executive Dracarys?" gumamnya dengan nada tidak percaya. "Bagaimana mungkin pimpinan tertinggi Paviliun Dracarys datang ke Kota Nagapolis tanpa sepengetahuanku?"
Dalam hitungan detik, Claudia bangkit dari duduknya, jubah panjangnya melambai mengikuti langkah cepatnya. Aroma mawar hitam dari parfumnya menguar, menandai kehadirannya yang selalu penuh kewibawaan. Ia tak butuh waktu lama untuk melacak sumber sinyal itu.
Di sebuah gang sempit yang masih diterangi lampu kota, Kevin berdiri tegak, ekspresinya datar namun tajam. Dalam sekejap, bayangan seseorang muncul di hadapannya. Claudia Xander. Matanya melebar ketika melihat pemuda di depannya.
Ia menunduk dalam. "Aku adalah Claudia Xander, pemimpin cabang Nagapolis dari Paviliun Dracanys... Ada yang bisa saya bantu, Chief?"
Kevin mengangkat alis, tak menyembunyikan keterkejutannya. Matanya menyapu Claudia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita ini memancarkan aura keanggunan yang berbahaya. Namun, bukan itu yang membuatnya terdiam, melainkan panggilannya.
"Chief?" ulangnya dengan sedikit bingung tapi tidak mengurangi sikap dinginnya.
Claudia mengangguk. "Benar. Bukankah Tuan Muda adalah Chief Executive dari Paviliun Dracarys?"
Sekarang, Claudia yang bingung dengan sikap Kevin yang sulit dimengerti olehnya.
Kevin tetap diam, membiarkan keheningan meresap. Kartu Dracarys tidak bisa diaktifkan oleh sembarang orang. Ini berarti identitasnya tidak bisa dipertanyakan. Tapi Claudia tampak heran, matanya mengamati pakaian Kevin yang lebih menyerupai seorang pengelana daripada pemimpin organisasi paling berpengaruh di dunia.
Namun, Kevin tak peduli dengan itu semua.
"Aku ingin informasi mengenai Keluarga Caraxis dalam lima tahun terakhir ini. Bisa kau usahakan sekarang?" ujar Kevin, suaranya dingin, tak berintonasi, mengabaikan pertanyaan Claudia.
Claudia menegakkan tubuhnya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Keluarga Caraxis?"
"Benar. Sekalian informasi mengenai Helena Caraxis." Kevin menyebut nama itu dengan nada penuh kebencian. Seketika, aura membunuh yang dingin merambat ke udara, membuat napas Claudia tercekat. Ia pernah bertemu dengan orang-orang kuat sebelumnya, tapi tekanan yang keluar dari Kevin lebih dahsyat, seakan bisa membekukan siapa saja di sekitarnya.
Meski merasakan ketegangan luar biasa, Claudia menjawab dengan suara setenang mungkin, "Lima tahun lalu, saat Keluarga Drakenis dimusnahkan... Keluarga Caraxis langsung mengambil alih semua aset dan pendukung Keluarga Drakenis. Mereka bekerja sama dengan Gubernur Provinsi Xandaria, yang memberi mereka kekuatan politik dan militer untuk menancapkan kekuasaan di kota ini."
Kevin mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang mengamuk dalam dirinya.
Claudia ragu sejenak sebelum menambahkan, "Oh ya, ada informasi terbaru mengenai Helena Caraxis. Namun, aku belum memastikan kebenarannya."
"Katakan saja!" suara Kevin menggema, dingin dan penuh ancaman.
Claudia menggigil tanpa sadar. "Aku dengar semalam, seorang wanita bernama Ravena Xenagon mencoba membunuh Helena Caraxis. Sayangnya, ia gagal dan tertangkap."
Kevin terpaku. Seketika, aura membunuhnya semakin pekat, udara di sekitar mereka terasa membeku. Claudia harus berjuang untuk tidak mundur.
Ravena Xenagon. Nama yang begitu familiar. Gadis itu bukan hanya adiknya, tapi juga satu-satunya keluarganya yang tersisa. Sejak kecil, Ravena menderita penyakit misterius yang membuat tubuhnya selalu dingin, melebihi es. Tak ada seorang pun yang bisa menyentuhnya tanpa membeku, kecuali Kevin.
Namun, ada satu fakta lain yang lebih mengerikan. Darah Iblis Es mengalir dalam tubuh Ravena, dan begitu ia menginjak usia 17 tahun, kekuatan itu akan bangkit sepenuhnya. Banyak yang menginginkan darahnya untuk meningkatkan kultivasi mereka.
"Ravena dalam bahaya!" batinnya.
"Cepat beritahu aku! Ditahan di mana Ravena sekarang?" tanyanya, auranya semakin menakutkan.
Claudia menelan ludah, berusaha tidak menunjukkan ketakutannya. "Dia ditahan di Paviliun Timur Keluarga Caraxis. Tapi, Chief ...."
WUUUSH!
Dalam sekejap, Kevin menghilang dari hadapannya. Claudia hanya bisa berdiri terpaku, jantungnya masih berdegup cepat.
"Orang ini..." gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. "Begitu muda, tapi kekuatannya sudah melampaui semua orang di kota ini..."
Sinar matahari pagi menembus celah awan dan menimpa wajah Kevin yang terbaring di tanah berumput lembap. Cahaya itu terasa hangat di kulitnya—terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Ia mengerjap pelan, matanya menangkap pemandangan langit berwarna keemasan dan kabut tipis yang menari di lereng gunung. Udara pagi membawa bau tanah basah dan wangi bunga liar yang baru mekar.Namun sebelum sempat memahami di mana ia berada, sepuluh sosok berdiri mengelilinginya. Mereka tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang aneh—cahaya di sekeliling tubuh mereka bergetar halus, memancarkan aura kekuatan kuno yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Muridku! Akhirnya kamu kembali!” seru seorang pria kurus dengan janggut panjang, matanya berkilat lembut tapi penuh kekhawatiran. “Kami membutuhkan bantuanmu, Kevin!”Kevin terduduk perlahan, tubuhnya masih berat seolah baru saja terlepas dari mimpi panjang. “Aku… ada di mana?” suaranya serak, tenggorokannya kering.Pria kurus itu melangkah maju, menepuk
Langit seolah terbakar. Awan-awan berputar liar membentuk pusaran hitam-emas yang berdenyut seperti jantung dunia yang sedang sekarat. Petir ungu menyambar tanpa henti, setiap kilatnya menyayat langit dan menyalakan siluet dua sosok yang berdiri di udara tinggi, jauh di atas kota. Ketinggian itu terlalu sunyi, terlalu sakral—seolah bumi sendiri tak layak menjadi panggung bagi mereka.Di sisi barat pusaran, berdiri Kevin Drakenis. Aura hitam membara di sekeliling tubuhnya, bukan api biasa, tapi nyala kegelapan—api yang menelan cahaya. Di sepanjang lengannya muncul sisik-sisik naga iblis berkilau seperti batu obsidian yang hidup. Darahnya mendidih, matanya berpendar merah menyala—namun bukan amarah yang menguasainya. Itu adalah kesadaran yang dingin, tekad yang dipahat dari ribuan luka dan kehilangan.Di seberangnya, Tian Long berdiri tegak, tubuhnya memancarkan cahaya keemasan yang begitu terang hingga udara di sekelilingnya tampak retak. Rambutnya berkibar liar di tengah badai, ta
~ Dunia Atas – Istana Naga Putih ~Langit di sini tidak berwarna biru.Ia berwarna emas pucat, seperti matahari yang tidak pernah padam.Istana Naga Putih menjulang bagai gunung kristal—pilar-pilar marmer bercahaya, sungai spiritual mengalir di udara seperti pita-pita cahaya.Pada singgasana tertinggi—Tian Long duduk.Tubuhnya dilapisi aura kuning gading.Rambutnya terurai, matanya menyala dengan api kegilaan.Dia telah menyerap Dewa Tertawa.Dan kini, suaranya bergema seperti dua kepribadian berbicara sekaligus.“Selamat datang… Pewaris Drakenis.”Kevin tidak menjawab.Ia hanya menghunus Pedang Dewa Ilahi.Bilahnya tidak memantulkan cahaya tapi ia menghisap cahaya.Langit suci di atas Istana Langit Abadi bergetar pelan, seolah tahu bahwa sesuatu yang tidak seharusnya terjadi… akan dimulai.Awan keemasan berputar seperti pusaran galaksi, menyelimuti singgasana megah tempat Tian Long berdiri — sosok yang selama ribuan tahun disebut sebagai Dewa Abadi dari Timur Surga. Sering disebut S
Cahaya putih dan ungu kembali beradu, memenuhi udara dengan dentuman yang tidak terdengar namun dirasakan langsung di tulang.Ketika cahaya itu memudar...Hanya satu sosok yang masih berdiri tegak.Arkantra Drago. Shu Jian terhuyung, lututnya goyah. Tombaknya retak dari pangkal hingga ujung bilah. Urat-urat hitam muncul di wajahnya, darah merah-hitam menetes dari mulutnya.Namun matanya tetap tetap menatap.Tekadnya tidak pudar.“Arkantra…” suaranya serak, hampir berbisik, “Dunia ini tidak… membutuhkanmu.”Arkantra melangkah maju, pedangnya menyala dengan api putih yang berdenyut seperti jantung.“Aku tahu,” jawabnya pelan.“Itu sebabnya aku tidak datang untuk dunia.”Bilah Eternal Flame Sword ditarik ke belakang.Langit yang retak ikut bergetar.“Aku datang untuk menghancurkan takdir yang kalian tulis.”Pedang Arkantra langsung menebas dengan cepat tanpa suara.Shu Jian hanya terdiam… terkejut dengan serangan yang sangat cepat ini..Tubuhnya perlahan memudar menjadi de
Langit di atas Kota Nirvana terus bergemuruh oleh kejadian di bawahnya. Debu melayang diam di udara, waktu terasa membeku — hanya dua sosok di tengah reruntuhan yang masih bergerak. Arkantra Drago dan Shu Jian. Mereka tidak bicara. Tidak ada ejekan, tidak ada peringatan. Hanya langkah maju… dan benturan yang mengguncang realitas.KRAAANGG!!! Gelombang kejut dari tabrakan pertama meledak seperti dentuman petir di dada bumi. Tanah hancur membentuk kawah. Batu terangkat, udara terbelah — panas dan dingin bercampur menjadi pusaran berapi.Shu Jian berputar cepat, tombaknya menyambar dalam busur sempurna. Bilah Heaven Devourer Spear berkilat ungu kehitaman, menyebarkan riak energi yang terasa seperti tarikan gravitasi dari neraka.Arkantra menangkis. Eternal Flame Sword diayunkan melawan udara, membungkus dirinya dengan api putih menyilaukan. Panasnya memelintir udara, membuat medan perang tampak seperti fatamorgana.Setiap benturan membuat cahaya menyambar di antara mereka seperti
Satu kibasan saja dari Arkantra Drago.WUUUSSSHH!!!Langit terbelah oleh cahaya putih menyilaukan. Gelombang api surgawi menyapu barisan depan pasukan musuh. Dalam sekejap, puluhan tubuh terpotong dalam satu garis lurus sempurna. Tidak ada darah. Tidak ada jeritan terakhir. Hanya abu putih yang beterbangan, berputar di udara sebelum lenyap ditelan angin panas.Sorak kemenangan yang semula memenuhi medan berubah menjadi teriakan histeris. “Bukan manusia!! Dia bukan manusia!!” “Lari! Itu bukan kekuatan fana!”Namun belum sempat mereka melangkah, dari sisi kiri medan perang, Valkyrie sudah bergerak. Ia tidak berteriak. Tidak memanggil nama teknik. Tidak memberi ampun. Cahaya biru es berpendar di sepanjang bilah pedangnya, membuat udara seolah berhenti bernafas.“Frozen Ice Sword.”Suara itu lirih—namun cukup untuk mengubah dunia di sekitarnya. Dalam sekejap, udara membeku. Embun putih mengambang, dan derap langkah musuh mendadak berhenti di tempat. Satu kibasan pedang melintas. Bukan s







