LOGINPaviliun Timur Caraxis diselimuti oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara pepohonan kering. Aroma anyir darah bercampur dengan udara malam yang dingin, menusuk hidung seperti belati tak kasat mata. Cahaya bulan temaram memantulkan siluet seorang gadis yang tergantung di tiang kayu, tubuhnya dililit kawat duri yang mencengkeram erat seperti ular berbisa yang tak ingin melepas buruannya.
Ravena Xenagon, gadis berwajah pucat bagai salju musim dingin, hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Setiap tarikan napasnya seperti serpihan kaca yang menghujam paru-parunya. Darah merembes dari luka-luka yang menganga di kulitnya, menetes perlahan ke tanah yang telah berubah merah tua karena darah yang tumpah di tempat itu.
Di hadapannya, seorang wanita dengan gaun merah tua—semerah darah yang mengalir dari tubuh Ravena—menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Helena Caraxis. Wanita itu berlutut dengan santai, tangan kanannya memegang paku panjang, sementara tangan kirinya dengan kejam menekan telapak kaki Ravena ke tiang kayu.
“Ah, lihatlah dirimu sekarang, Ravena.” Helena menyeringai, lalu dengan gerakan cepat, ia menghunjamkan paku itu ke telapak kaki Ravena.
CRAAK!
Jeritan tertahan lolos dari bibir Ravena saat paku itu menembus daging dan tulangnya. Rasa sakit yang menyengat bagai api neraka membakar syarafnya. Ia menggigit bibirnya begitu keras hingga darah merembes dari sudut bibirnya.
Di sisi lain, tiga pengawal setianya mengalami nasib yang sama. Mereka terpaku di tiang kayu, wajah mereka berlumuran darah dan tubuh mereka penuh luka. Mata mereka membara dengan amarah, tetapi tubuh mereka terlalu lemah untuk melawan.
“Helena Caraxis... dasar wanita berhati iblis!” suara Ravena serak, matanya penuh kebencian. “Keluarga Drakenis telah memperlakukanmu dengan baik, dan ini balasanmu? Kau membantai mereka semua demi apa?”
Helena hanya mengangkat bahunya, acuh tak acuh. Sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya, seolah-olah pertanyaan Ravena hanyalah angin lalu. Namun, pengawal setia Ravena, Kalandra, tak bisa menahan amarahnya.
“Kau wanita busuk!” raungnya. “Tuan Muda memperlakukanmu dengan baik! Tuan dan Nyonya Besar juga! Tapi kau seperti anjing kelaparan yang tak pernah puas dengan satu tulang!”
Helena tersenyum tipis. Dalam sekejap, tangannya meluncur ke arah Kalandra, menyusup ke dalam mulut pria itu, mencengkeram lidahnya dengan erat.
“Aku tidak suka orang yang berisik,” bisiknya pelan.
Dengan satu tarikan cepat—
CRRRTT!
Lidah Kalandra terlepas dari pangkalnya. Pria itu menjerit tertahan, darah muncrat dari mulutnya seperti air mancur merah. Tubuhnya menggeliat kesakitan, matanya melebar ketakutan.
Helena hanya tertawa kecil sambil mengusap darah yang membasahi tangannya ke kain gaunnya yang telah berlumuran darah. “Nah, sekarang kau bisa diam,” ucapnya santai, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hal sepele.
Ravena menggertakkan giginya, hatinya terasa terbakar melihat pengawalnya yang setia harus menderita seperti itu.
“Kau benar-benar iblis, Helena! Beruntung aku tidak jadi memiliki kakak ipar sepertimu!” serunya dengan penuh kebencian.
PLAAAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Ravena, membuat kepalanya terlempar ke samping. Rasa panas menjalar di kulitnya, tetapi ia tetap menatap Helena dengan sorot mata penuh perlawanan.
“Beraninya kau menghinaku?” geram Helena. Matanya bersinar marah. “Keluarga Drakenis sudah musnah! Sampah seperti Kevin juga sudah mati! Apalagi yang kau harapkan?”
Ravena mengepalkan tangannya sekuat tenaga meski pergelangannya masih terpaku. Jika saja ia bisa bergerak, ia sudah mengoyak tubuh Helena dengan tangannya sendiri. Matanya melirik Kalandra yang terengah-engah, darah mengalir tak henti dari mulutnya.
Helena melangkah mendekati Ravena, kali ini nada suaranya lebih lembut, penuh godaan beracun.
“Aku tidak peduli dengan mereka,” ujarnya. “Tapi bagaimana jika aku memberimu pilihan? Nyawa tiga pengawal setiamu ini... dengan Darah Iblis Es dalam tubuhmu.”
Ravena membelalak. Ia tahu apa yang diinginkan Helena—Darah Iblis Es yang mengalir dalam tubuhnya adalah harta berharga yang hanya bisa diambil saat ia masih hidup dan dalam kondisi terbaik.
Helena tersenyum penuh kemenangan. “Jadi, apa yang akan kau pilih, adik ipar tersayang?”
Wanita kejam itu melirik pria bertubuh besar yang berdiri di dekatnya, sorot matanya penuh perintah tanpa kata. Dengan anggukan singkat, pria itu bergerak cepat. Dengan ayunan tangan yang beringas, dia menghantam wajah Sakya, pengawal setia yang selama ini menemani Ravena. Sakya menatap algojo ini dengan tatapan menantang, darah merembes dari sudut bibirnya. Tanpa jeda, algojo itu mengayunkan pedangnya ke arah tangan pengawal ini. Mata Ravena membelalak saat suara tajam logam bertemu daging menggema di ruangan itu.
"AAARGH!" teriakan kesakitan membahana saat tangan Sakya terpenggal, darah menyembur liar ke lantai batu. Bau anyir memenuhi udara, mengundang rasa mual yang tak tertahankan.
Ravena menggertakkan giginya, matanya memancarkan kebencian yang menyala-nyala. "Kau! Iblis Wanita Berhati Dingin!" jeritnya, suaranya parau oleh amarah dan ketakutan.
Helena, wanita kejam itu, hanya tertawa renyah. "Hahaha ... Aku memang berhati dingin. Itulah sebabnya aku membutuhkan Darah Iblis Es dalam tubuhmu!" Mata hijaunya menyala penuh gairah, seolah ini hanyalah hiburan baginya. "Jadi, bagaimana? Masih keras kepala? Atau mungkin aku harus memotong kaki pengawalmu yang lain?" ancamnya, suaranya semanis racun.
Bagaimana keputusan Ravena? Apakah ia akan menyerahkan hidupnya sebagai ganti kehidupan tiga pengawal setianya ini?
Sinar matahari pagi menembus celah awan dan menimpa wajah Kevin yang terbaring di tanah berumput lembap. Cahaya itu terasa hangat di kulitnya—terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Ia mengerjap pelan, matanya menangkap pemandangan langit berwarna keemasan dan kabut tipis yang menari di lereng gunung. Udara pagi membawa bau tanah basah dan wangi bunga liar yang baru mekar.Namun sebelum sempat memahami di mana ia berada, sepuluh sosok berdiri mengelilinginya. Mereka tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang aneh—cahaya di sekeliling tubuh mereka bergetar halus, memancarkan aura kekuatan kuno yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Muridku! Akhirnya kamu kembali!” seru seorang pria kurus dengan janggut panjang, matanya berkilat lembut tapi penuh kekhawatiran. “Kami membutuhkan bantuanmu, Kevin!”Kevin terduduk perlahan, tubuhnya masih berat seolah baru saja terlepas dari mimpi panjang. “Aku… ada di mana?” suaranya serak, tenggorokannya kering.Pria kurus itu melangkah maju, menepuk
Langit seolah terbakar. Awan-awan berputar liar membentuk pusaran hitam-emas yang berdenyut seperti jantung dunia yang sedang sekarat. Petir ungu menyambar tanpa henti, setiap kilatnya menyayat langit dan menyalakan siluet dua sosok yang berdiri di udara tinggi, jauh di atas kota. Ketinggian itu terlalu sunyi, terlalu sakral—seolah bumi sendiri tak layak menjadi panggung bagi mereka.Di sisi barat pusaran, berdiri Kevin Drakenis. Aura hitam membara di sekeliling tubuhnya, bukan api biasa, tapi nyala kegelapan—api yang menelan cahaya. Di sepanjang lengannya muncul sisik-sisik naga iblis berkilau seperti batu obsidian yang hidup. Darahnya mendidih, matanya berpendar merah menyala—namun bukan amarah yang menguasainya. Itu adalah kesadaran yang dingin, tekad yang dipahat dari ribuan luka dan kehilangan.Di seberangnya, Tian Long berdiri tegak, tubuhnya memancarkan cahaya keemasan yang begitu terang hingga udara di sekelilingnya tampak retak. Rambutnya berkibar liar di tengah badai, ta
~ Dunia Atas – Istana Naga Putih ~Langit di sini tidak berwarna biru.Ia berwarna emas pucat, seperti matahari yang tidak pernah padam.Istana Naga Putih menjulang bagai gunung kristal—pilar-pilar marmer bercahaya, sungai spiritual mengalir di udara seperti pita-pita cahaya.Pada singgasana tertinggi—Tian Long duduk.Tubuhnya dilapisi aura kuning gading.Rambutnya terurai, matanya menyala dengan api kegilaan.Dia telah menyerap Dewa Tertawa.Dan kini, suaranya bergema seperti dua kepribadian berbicara sekaligus.“Selamat datang… Pewaris Drakenis.”Kevin tidak menjawab.Ia hanya menghunus Pedang Dewa Ilahi.Bilahnya tidak memantulkan cahaya tapi ia menghisap cahaya.Langit suci di atas Istana Langit Abadi bergetar pelan, seolah tahu bahwa sesuatu yang tidak seharusnya terjadi… akan dimulai.Awan keemasan berputar seperti pusaran galaksi, menyelimuti singgasana megah tempat Tian Long berdiri — sosok yang selama ribuan tahun disebut sebagai Dewa Abadi dari Timur Surga. Sering disebut S
Cahaya putih dan ungu kembali beradu, memenuhi udara dengan dentuman yang tidak terdengar namun dirasakan langsung di tulang.Ketika cahaya itu memudar...Hanya satu sosok yang masih berdiri tegak.Arkantra Drago. Shu Jian terhuyung, lututnya goyah. Tombaknya retak dari pangkal hingga ujung bilah. Urat-urat hitam muncul di wajahnya, darah merah-hitam menetes dari mulutnya.Namun matanya tetap tetap menatap.Tekadnya tidak pudar.“Arkantra…” suaranya serak, hampir berbisik, “Dunia ini tidak… membutuhkanmu.”Arkantra melangkah maju, pedangnya menyala dengan api putih yang berdenyut seperti jantung.“Aku tahu,” jawabnya pelan.“Itu sebabnya aku tidak datang untuk dunia.”Bilah Eternal Flame Sword ditarik ke belakang.Langit yang retak ikut bergetar.“Aku datang untuk menghancurkan takdir yang kalian tulis.”Pedang Arkantra langsung menebas dengan cepat tanpa suara.Shu Jian hanya terdiam… terkejut dengan serangan yang sangat cepat ini..Tubuhnya perlahan memudar menjadi de
Langit di atas Kota Nirvana terus bergemuruh oleh kejadian di bawahnya. Debu melayang diam di udara, waktu terasa membeku — hanya dua sosok di tengah reruntuhan yang masih bergerak. Arkantra Drago dan Shu Jian. Mereka tidak bicara. Tidak ada ejekan, tidak ada peringatan. Hanya langkah maju… dan benturan yang mengguncang realitas.KRAAANGG!!! Gelombang kejut dari tabrakan pertama meledak seperti dentuman petir di dada bumi. Tanah hancur membentuk kawah. Batu terangkat, udara terbelah — panas dan dingin bercampur menjadi pusaran berapi.Shu Jian berputar cepat, tombaknya menyambar dalam busur sempurna. Bilah Heaven Devourer Spear berkilat ungu kehitaman, menyebarkan riak energi yang terasa seperti tarikan gravitasi dari neraka.Arkantra menangkis. Eternal Flame Sword diayunkan melawan udara, membungkus dirinya dengan api putih menyilaukan. Panasnya memelintir udara, membuat medan perang tampak seperti fatamorgana.Setiap benturan membuat cahaya menyambar di antara mereka seperti
Satu kibasan saja dari Arkantra Drago.WUUUSSSHH!!!Langit terbelah oleh cahaya putih menyilaukan. Gelombang api surgawi menyapu barisan depan pasukan musuh. Dalam sekejap, puluhan tubuh terpotong dalam satu garis lurus sempurna. Tidak ada darah. Tidak ada jeritan terakhir. Hanya abu putih yang beterbangan, berputar di udara sebelum lenyap ditelan angin panas.Sorak kemenangan yang semula memenuhi medan berubah menjadi teriakan histeris. “Bukan manusia!! Dia bukan manusia!!” “Lari! Itu bukan kekuatan fana!”Namun belum sempat mereka melangkah, dari sisi kiri medan perang, Valkyrie sudah bergerak. Ia tidak berteriak. Tidak memanggil nama teknik. Tidak memberi ampun. Cahaya biru es berpendar di sepanjang bilah pedangnya, membuat udara seolah berhenti bernafas.“Frozen Ice Sword.”Suara itu lirih—namun cukup untuk mengubah dunia di sekitarnya. Dalam sekejap, udara membeku. Embun putih mengambang, dan derap langkah musuh mendadak berhenti di tempat. Satu kibasan pedang melintas. Bukan s







