Compartir

03. Dendam

Autor: Zhu Phi
last update Última actualización: 2025-03-24 16:14:20

Kevin Drakenis masih saja tidak habis pikir dengan sikap kekasihnya yang berbalik membencinya.

"Ayahku memperlakukanmu dengan baik, menerima keluargamu saat kalian hampir bangkrut! Begini cara kalian membalasnya?!" suaranya penuh kemarahan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

Helena mendekat, menatap Kevin seolah ia adalah serangga yang pantas dihancurkan.

"Kau sudah bukan Jenius Bela Diri lagi, Kevin. Sekarang, akulah yang akan menggantikanmu! Dan hari ini, Keluarga Drakenis akan binasa dari Vandaria!"

Pernyataan itu menyadarkannya. Kevin berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya.

Ketika akhirnya ia tiba di Paviliun Drakenis, semua sudah terlambat.

Bangunan yang dulu megah kini hanya reruntuhan yang dilalap api. Bau anyir darah bercampur dengan asap hitam yang membubung ke langit. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang halaman, tubuh mereka dingin dan tak bernyawa

Di antara mereka, Kevin menemukan sosok yang paling ia cari.

"Ayah... Ibu..." suaranya nyaris tak terdengar, tangannya gemetar saat menyentuh tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.

Darah masih mengalir dari luka-luka mereka, membasahi tanah di bawahnya. Matanya memanas, namun air mata tak mampu jatuh.

Namun, ia tak punya waktu untuk meratapi. Langkah-langkah mendekat dengan cepat. Pria-pria bertopeng yang membantai keluarganya kini mengincarnya.

Dan pemimpin mereka sekarang… adalah Helena Caraxis sendiri.

Kevin memaksakan tubuhnya untuk berlari. Ia tahu, jika ia berhenti, ia akan mati.

"Kevin! Menyerah saja, maka aku jamin kematianmu akan cepat! Tidak seperti orangtuamu yang harus memohon agar kau dibiarkan hidup!" suara Helena menusuk malam, penuh ejekan dan kebencian.

Kevin terus berlari, meski luka di tubuhnya semakin parah. Darah menetes di tanah, meninggalkan jejak di belakangnya.

Ia tidak tahu apakah ia akan selamat.

Namun ia tahu satu hal…

Ia tidak akan mati di tangan mereka.

Dan ia akan kembali. 

Untuk membalas semuanya.

Beruntung bagi Kevin Drakenis, pada saat ia terjun ke dalam jurang tak berdasar ... portal dimensi menuju Kuburan Iblis dan Dewa terbuka, yang membawanya masuk ke dalam kuburan kuno ini.

Saat matanya terbuka, Kevin mendapati dirinya berada di tengah reruntuhan kuno, tempat yang dipenuhi aura kelam dan energi yang menusuk tulang. Kuburan Iblis dan Dewa, legenda yang hanya disebut dalam bisikan ketakutan, kini menjadi kenyataan di hadapannya.

Waktu berlalu. Lima tahun telah ia habiskan di tempat ini, menempa dirinya dalam kesunyian dan kebencian. Dendam mengukir jiwanya dengan luka yang tak akan sembuh. Ia menggenggam erat pedang hitam yang bergetar dengan kekuatan iblis, pantulan wajahnya di bilah pedang itu tak lagi seperti dahulu. Dulu, ia hanya seorang pemuda tampan dengan masa depan cerah. Sekarang, wajah itu telah berubah—dingin, penuh kebencian, dan dihantui amarah yang membara.

"Sudah lima tahun berlalu, tapi dendamku belum surut! Helena... kau harus membayar semuanya! Tapi bukan kau yang membunuh ayah dan ibu... jadi, siapa pembunuhnya?" gumamnya, suaranya rendah dan parau. 

Jejak langkahnya mengoyak keheningan hutan Gunung Dragonia. Kabut tipis mengambang di antara pepohonan tua yang menjulang tinggi, membisikkan rahasia kelam. Burung hantu melayang di atas, suaranya seperti jeritan jiwa-jiwa tersesat. Setiap ranting yang ia injak berderak, seakan ikut bergetar dalam amarahnya.

Tatapan Kevin berubah liar, pupil matanya menyala merah, seakan iblis telah merasuki tubuhnya. Amarah mengalir dalam nadinya, menggumpal seperti racun yang siap meledak. Gunung Dragonia bergemuruh seiring dengan amukan jiwanya.

"Aku harus menemukan Helena! Dia adalah kunci! Kunci untuk mengungkap pembunuh sebenarnya selain Keluarga Caraxis... Kalian akan mati duluan, keluarga sampah!"

Ingatan tentang Helena kembali menghantamnya. Dulu, ia adalah gadis manis dengan senyum hangat yang selalu memanggilnya "Kak Kevin" dengan nada lembut. Namun, senyuman itu hanyalah topeng! Wajah yang dulu ia cintai kini terukir dalam pikirannya sebagai sosok penuh kelicikan dan kekejaman.

Helena bukan hanya mengkhianatinya—ia menghancurkannya. Gadis itu telah memancingnya ke dalam jebakan, merusak dantian-nya dengan senyum yang sama seperti senyum yang dulu membuatnya jatuh cinta. Ia, yang dahulu adalah Jenius Bela Diri nomor satu di Nagapolis, dijatuhkan ke titik nadir dengan penghinaan.

Genggaman Kevin pada pedangnya semakin erat. Angin malam berbisik di telinganya, seakan menyampaikan pesan dari arwah keluarganya yang menuntut balas.

"Tunggu aku, Helena... Aku akan menemuimu!" suaranya beresonansi di antara pepohonan, menyatu dengan deru angin yang membawa aroma darah dan dendam.

Langkahnya mantap. Gunung Dragonia ia tinggalkan, dan kini tujuannya hanya satu—Nagapolis, tempat semua dendam ini akan diselesaikan dengan darah.

Semua tindakan Helena dan Keluarga Caraxis akan dibalasnya berkali-kali lipat.

"Kalian tidak akan tenang selama aku, Kevin Drakenis berada di Nagapolis! Bersiaplah kalian para penghianat!" seru Kevin dengan wajah penuh dendam.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   616. Pertarungan Dewa dan Iblis

    Langit perang kini pecah menjadi ratusan kilatan cahaya dan gelombang energi. Di setiap sudut medan, pertarungan antar legenda berlangsung. Sorakan pasukan teredam oleh deru kekuatan maha dahsyat.***~ Voltron vs Helena & Kael ~Pedang raksasa milik Voltron berayun dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh sebesar itu. Setiap gerakannya mencabik udara, meninggalkan retakan panjang di tanah berbatu. Suara gesekan logam membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya berdiri.“Helena, sisi kiri!” teriak Kael, pedangnya dilapisi pusaran angin yang menderu. Setiap tebasannya menimbulkan badai kecil, mencoba menahan hantaman brutal dari lawan.Helena menukik dari udara, rambut pirangnya berkibar liar tertiup tekanan spiritual. Pedang di tangannya menyala api biru membara, panasnya membuat udara bergetar.“Flameburst Sword!” serunya. Dengan teriakan itu, pedang menghujam bahu Voltron, disertai ledakan api biru yang membuat getaran hebat.Namun, Voltron hanya menggerakkan pedang besarnya. D

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   615. Serangan Celestial Myrad dan Dewa Seiryu

    Langit bergemuruh. Petir mengelagar di balik awan hitam yang terus berputar, seolah semesta sendiri tenggelam dalam kekacauan. Tiba-tiba, aura menyesakkan muncul, jauh lebih berat dari ribuan iblis yang baru saja menelan setengah medan perang.Suara langkah logam menghentak bumi. Sosok raksasa setinggi menara maju dari kegelapan—Voltron, pemimpin Celestial Myrad, dengan pedang besar di punggungnya yang berkilat bagai potongan bintang jatuh. Matanya memancarkan cahaya biru keperakan, dingin dan tak berperasaan.Di sampingnya, Vesta melangkah anggun. Jubah hitamnya berdesir, jemarinya sudah menggenggam kipas lipat berlapis racun, dan dari lengan bajunya bergemerincing jarum-jarum beracun, siap menghujam kapan saja. Senyum tipis terukir di wajahnya, senyum seorang pemburu yang sudah mencium bau darah mangsa.Vega mengaum rendah, tubuhnya menjulang seperti singa raksasa dengan cakar baja yang berkilau lima warna. Setiap langkahnya mencakar tanah, meninggalkan goresan membara dari elemen a

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   614. Pertempuran Paviliun Drakenis

    Sorakan pasukan manusia baru saja mereda ketika tanah bergetar hebat. Dari balik pusaran portal hitam, ribuan iblis menerobos maju. Tubuh mereka menjulang, kulit legam retak-retak mengeluarkan cahaya merah menyala dari dalam, seakan setiap iblis adalah tungku neraka berjalan. Iblis ini lebih mirip makhluk api yang menyebarkan bara yang panas.Iblis dari dasar terdalam Dunia Naga Seiryu ini sengaja dilepaskan oleh Tian Long sebagai pasukan iblis yang akan berada di garis depan penyerangan, sebelum Celestial Myrad turun tangan menghabisi Kevin Drakenis dan rekan-rekannya.“Mereka datang! Formasi!” teriak seorang kapten Dracarys, suaranya pecah tertelan gemuruh langkah musuh.Benturan pertama meledak ketika barisan terdepan iblis menghantam tembok api Dracarys. Api merah menyembur tinggi, menjilat kulit iblis, membuat mereka meraung. Sebagian jatuh terbakar, namun lebih banyak lagi yang menerobos dengan tubuh melepuh tapi terus mengamuk.“Phoenix Merah, sayap terbuka!” teriak Claudia dari

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   613. Menghimpun Kekuatan - III

    Di sisi lain, kegelapan hutan bagai tirai hitam yang menelan langkah dua sosok yang berlari kencang. Nafas Ezio dan Aurora terengah, bercampur dengan aroma darah segar yang masih menempel di pakaian mereka. Di tubuh keduanya, noda merah pekat mengering, bukti pertempuran sengit yang baru saja mereka lalui. Daun-daun hutan berguncang tiap kali mereka menerobos, suara ranting patah bercampur dengan detak langkah kaki yang terburu-buru.Udara malam menusuk, dingin, tapi tubuh mereka terasa panas oleh adrenalin dan amarah. Cahaya rembulan hanya samar menembus rimbunnya pepohonan, membuat jalanan bagai jurang gelap. Aurora sempat menoleh pada Ezio, tatapannya penuh dengan kelelahan, tapi tekad di matanya menyala lebih terang dari api.“Ezio… kita harus sampai sebelum terlambat.” suaranya tercekat, namun keras.Ezio hanya mengangguk, genggaman tangannya pada pedang makin kuat. “Kita tidak boleh berhenti.”Tak lama, kegelapan hutan pecah oleh cahaya obor yang berjajar tinggi. Di depan mereka,

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   612. Menghimpun Kekuatan - II

    Sementara itu, di sisi timur kota, menara tertinggi Paviliun Dracarys berdiri bagai tombak api yang menusuk langit malam. Angin kencang berputar liar di sekitar puncaknya membuat menara ini tampak gagah. Di ujung menara itu, Claudia berdiri tegak, gaunnya yang merah tua berderak tertiup angin, sementara rambut hitam legamnya berkibar liar seakan ikut terbakar oleh amarahnya.Matanya menyala—bukan hanya oleh pantulan api, tapi oleh tekad yang tak tergoyahkan. Aura merah api yang meledak dari tubuhnya merambat ke udara, membuat malam terasa lebih panas, seakan langit sendiri akan runtuh.“Mobilisasi penuh!” suaranya menggema, pecah bagai petir di atas lautan api. Ia mengangkat tangan, dan lidah-lidah api menjalar ke udara, membentuk simbol Phoenix Merah yang mengepakkan sayapnya.“Semua cultivator tingkat menengah hingga puncak—bergerak sekarang!” teriaknya lagi, suara penuh komando. “Prajurit barisan api, siapkan formasi Phoenix Merah! Ingat baik-baik, tidak ada yang boleh mundur, bahka

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   611. Menghimpun Kekuatan

    Langit Kota Nagapolis berwarna kelabu. Awan hitam pekat bertumpuk, seolah menahan badai raksasa yang siap meledak kapan saja. Dari kejauhan, petir samar kadang menyambar, seperti firasat buruk tentang perang yang akan datang.Di pusat kota, Paviliun Drakenis berdenyut dengan aura kewaspadaan penuh. Setiap dinding batu kuno seakan bergetar oleh formasi pertahanan yang dibangkitkan. Obor spiritual menyala biru, menebar kilau aneh di udara, menandakan markas Kevin tengah dalam kondisi siaga total.Lampu-lampu listrik juga dinyalakan untuk memberikan suasana terang benderang.Informasi dari mata-mata yang dikirim Claudia atas perintah Kevin ini tiba lebih cepat dari dugaan: Celestial Myrad akan menyerbu dalam tiga hari.Di ruang utama paviliun, para tetua dan murid inti berbaris rapi. Udara dipenuhi aura qi yang menekan, setiap helaan napas bagai membawa beban berat di udara. Claudia berdiri di sisi Kevin, tangan kanannya menggenggam gagang pedang spiritual yang tergantung di pinggang. Sor

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status