LOGINKevin Drakenis masih saja tidak habis pikir dengan sikap kekasihnya yang berbalik membencinya.
"Ayahku memperlakukanmu dengan baik, menerima keluargamu saat kalian hampir bangkrut! Begini cara kalian membalasnya?!" suaranya penuh kemarahan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.
Helena mendekat, menatap Kevin seolah ia adalah serangga yang pantas dihancurkan. "Kau sudah bukan Jenius Bela Diri lagi, Kevin. Sekarang, akulah yang akan menggantikanmu! Dan hari ini, Keluarga Drakenis akan binasa dari Vandaria!" Pernyataan itu menyadarkannya. Kevin berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Ketika akhirnya ia tiba di Paviliun Drakenis, semua sudah terlambat. Bangunan yang dulu megah kini hanya reruntuhan yang dilalap api. Bau anyir darah bercampur dengan asap hitam yang membubung ke langit. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang halaman, tubuh mereka dingin dan tak bernyawa Di antara mereka, Kevin menemukan sosok yang paling ia cari. "Ayah... Ibu..." suaranya nyaris tak terdengar, tangannya gemetar saat menyentuh tubuh mereka yang sudah tak bernyawa. Darah masih mengalir dari luka-luka mereka, membasahi tanah di bawahnya. Matanya memanas, namun air mata tak mampu jatuh. Namun, ia tak punya waktu untuk meratapi. Langkah-langkah mendekat dengan cepat. Pria-pria bertopeng yang membantai keluarganya kini mengincarnya. Dan pemimpin mereka sekarang… adalah Helena Caraxis sendiri. Kevin memaksakan tubuhnya untuk berlari. Ia tahu, jika ia berhenti, ia akan mati. "Kevin! Menyerah saja, maka aku jamin kematianmu akan cepat! Tidak seperti orangtuamu yang harus memohon agar kau dibiarkan hidup!" suara Helena menusuk malam, penuh ejekan dan kebencian. Kevin terus berlari, meski luka di tubuhnya semakin parah. Darah menetes di tanah, meninggalkan jejak di belakangnya. Ia tidak tahu apakah ia akan selamat. Namun ia tahu satu hal… Ia tidak akan mati di tangan mereka. Dan ia akan kembali. Untuk membalas semuanya. Beruntung bagi Kevin Drakenis, pada saat ia terjun ke dalam jurang tak berdasar ... portal dimensi menuju Kuburan Iblis dan Dewa terbuka, yang membawanya masuk ke dalam kuburan kuno ini. Saat matanya terbuka, Kevin mendapati dirinya berada di tengah reruntuhan kuno, tempat yang dipenuhi aura kelam dan energi yang menusuk tulang. Kuburan Iblis dan Dewa, legenda yang hanya disebut dalam bisikan ketakutan, kini menjadi kenyataan di hadapannya. Waktu berlalu. Lima tahun telah ia habiskan di tempat ini, menempa dirinya dalam kesunyian dan kebencian. Dendam mengukir jiwanya dengan luka yang tak akan sembuh. Ia menggenggam erat pedang hitam yang bergetar dengan kekuatan iblis, pantulan wajahnya di bilah pedang itu tak lagi seperti dahulu. Dulu, ia hanya seorang pemuda tampan dengan masa depan cerah. Sekarang, wajah itu telah berubah—dingin, penuh kebencian, dan dihantui amarah yang membara. "Sudah lima tahun berlalu, tapi dendamku belum surut! Helena... kau harus membayar semuanya! Tapi bukan kau yang membunuh ayah dan ibu... jadi, siapa pembunuhnya?" gumamnya, suaranya rendah dan parau. Jejak langkahnya mengoyak keheningan hutan Gunung Dragonia. Kabut tipis mengambang di antara pepohonan tua yang menjulang tinggi, membisikkan rahasia kelam. Burung hantu melayang di atas, suaranya seperti jeritan jiwa-jiwa tersesat. Setiap ranting yang ia injak berderak, seakan ikut bergetar dalam amarahnya.Tatapan Kevin berubah liar, pupil matanya menyala merah, seakan iblis telah merasuki tubuhnya. Amarah mengalir dalam nadinya, menggumpal seperti racun yang siap meledak. Gunung Dragonia bergemuruh seiring dengan amukan jiwanya.
"Aku harus menemukan Helena! Dia adalah kunci! Kunci untuk mengungkap pembunuh sebenarnya selain Keluarga Caraxis... Kalian akan mati duluan, keluarga sampah!"
Ingatan tentang Helena kembali menghantamnya. Dulu, ia adalah gadis manis dengan senyum hangat yang selalu memanggilnya "Kak Kevin" dengan nada lembut. Namun, senyuman itu hanyalah topeng! Wajah yang dulu ia cintai kini terukir dalam pikirannya sebagai sosok penuh kelicikan dan kekejaman.
Helena bukan hanya mengkhianatinya—ia menghancurkannya. Gadis itu telah memancingnya ke dalam jebakan, merusak dantian-nya dengan senyum yang sama seperti senyum yang dulu membuatnya jatuh cinta. Ia, yang dahulu adalah Jenius Bela Diri nomor satu di Nagapolis, dijatuhkan ke titik nadir dengan penghinaan.
Genggaman Kevin pada pedangnya semakin erat. Angin malam berbisik di telinganya, seakan menyampaikan pesan dari arwah keluarganya yang menuntut balas.
"Tunggu aku, Helena... Aku akan menemuimu!" suaranya beresonansi di antara pepohonan, menyatu dengan deru angin yang membawa aroma darah dan dendam.
Langkahnya mantap. Gunung Dragonia ia tinggalkan, dan kini tujuannya hanya satu—Nagapolis, tempat semua dendam ini akan diselesaikan dengan darah.
Semua tindakan Helena dan Keluarga Caraxis akan dibalasnya berkali-kali lipat.
"Kalian tidak akan tenang selama aku, Kevin Drakenis berada di Nagapolis! Bersiaplah kalian para penghianat!" seru Kevin dengan wajah penuh dendam.
Sinar matahari pagi menembus celah awan dan menimpa wajah Kevin yang terbaring di tanah berumput lembap. Cahaya itu terasa hangat di kulitnya—terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Ia mengerjap pelan, matanya menangkap pemandangan langit berwarna keemasan dan kabut tipis yang menari di lereng gunung. Udara pagi membawa bau tanah basah dan wangi bunga liar yang baru mekar.Namun sebelum sempat memahami di mana ia berada, sepuluh sosok berdiri mengelilinginya. Mereka tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang aneh—cahaya di sekeliling tubuh mereka bergetar halus, memancarkan aura kekuatan kuno yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Muridku! Akhirnya kamu kembali!” seru seorang pria kurus dengan janggut panjang, matanya berkilat lembut tapi penuh kekhawatiran. “Kami membutuhkan bantuanmu, Kevin!”Kevin terduduk perlahan, tubuhnya masih berat seolah baru saja terlepas dari mimpi panjang. “Aku… ada di mana?” suaranya serak, tenggorokannya kering.Pria kurus itu melangkah maju, menepuk
Langit seolah terbakar. Awan-awan berputar liar membentuk pusaran hitam-emas yang berdenyut seperti jantung dunia yang sedang sekarat. Petir ungu menyambar tanpa henti, setiap kilatnya menyayat langit dan menyalakan siluet dua sosok yang berdiri di udara tinggi, jauh di atas kota. Ketinggian itu terlalu sunyi, terlalu sakral—seolah bumi sendiri tak layak menjadi panggung bagi mereka.Di sisi barat pusaran, berdiri Kevin Drakenis. Aura hitam membara di sekeliling tubuhnya, bukan api biasa, tapi nyala kegelapan—api yang menelan cahaya. Di sepanjang lengannya muncul sisik-sisik naga iblis berkilau seperti batu obsidian yang hidup. Darahnya mendidih, matanya berpendar merah menyala—namun bukan amarah yang menguasainya. Itu adalah kesadaran yang dingin, tekad yang dipahat dari ribuan luka dan kehilangan.Di seberangnya, Tian Long berdiri tegak, tubuhnya memancarkan cahaya keemasan yang begitu terang hingga udara di sekelilingnya tampak retak. Rambutnya berkibar liar di tengah badai, ta
~ Dunia Atas – Istana Naga Putih ~Langit di sini tidak berwarna biru.Ia berwarna emas pucat, seperti matahari yang tidak pernah padam.Istana Naga Putih menjulang bagai gunung kristal—pilar-pilar marmer bercahaya, sungai spiritual mengalir di udara seperti pita-pita cahaya.Pada singgasana tertinggi—Tian Long duduk.Tubuhnya dilapisi aura kuning gading.Rambutnya terurai, matanya menyala dengan api kegilaan.Dia telah menyerap Dewa Tertawa.Dan kini, suaranya bergema seperti dua kepribadian berbicara sekaligus.“Selamat datang… Pewaris Drakenis.”Kevin tidak menjawab.Ia hanya menghunus Pedang Dewa Ilahi.Bilahnya tidak memantulkan cahaya tapi ia menghisap cahaya.Langit suci di atas Istana Langit Abadi bergetar pelan, seolah tahu bahwa sesuatu yang tidak seharusnya terjadi… akan dimulai.Awan keemasan berputar seperti pusaran galaksi, menyelimuti singgasana megah tempat Tian Long berdiri — sosok yang selama ribuan tahun disebut sebagai Dewa Abadi dari Timur Surga. Sering disebut S
Cahaya putih dan ungu kembali beradu, memenuhi udara dengan dentuman yang tidak terdengar namun dirasakan langsung di tulang.Ketika cahaya itu memudar...Hanya satu sosok yang masih berdiri tegak.Arkantra Drago. Shu Jian terhuyung, lututnya goyah. Tombaknya retak dari pangkal hingga ujung bilah. Urat-urat hitam muncul di wajahnya, darah merah-hitam menetes dari mulutnya.Namun matanya tetap tetap menatap.Tekadnya tidak pudar.“Arkantra…” suaranya serak, hampir berbisik, “Dunia ini tidak… membutuhkanmu.”Arkantra melangkah maju, pedangnya menyala dengan api putih yang berdenyut seperti jantung.“Aku tahu,” jawabnya pelan.“Itu sebabnya aku tidak datang untuk dunia.”Bilah Eternal Flame Sword ditarik ke belakang.Langit yang retak ikut bergetar.“Aku datang untuk menghancurkan takdir yang kalian tulis.”Pedang Arkantra langsung menebas dengan cepat tanpa suara.Shu Jian hanya terdiam… terkejut dengan serangan yang sangat cepat ini..Tubuhnya perlahan memudar menjadi de
Langit di atas Kota Nirvana terus bergemuruh oleh kejadian di bawahnya. Debu melayang diam di udara, waktu terasa membeku — hanya dua sosok di tengah reruntuhan yang masih bergerak. Arkantra Drago dan Shu Jian. Mereka tidak bicara. Tidak ada ejekan, tidak ada peringatan. Hanya langkah maju… dan benturan yang mengguncang realitas.KRAAANGG!!! Gelombang kejut dari tabrakan pertama meledak seperti dentuman petir di dada bumi. Tanah hancur membentuk kawah. Batu terangkat, udara terbelah — panas dan dingin bercampur menjadi pusaran berapi.Shu Jian berputar cepat, tombaknya menyambar dalam busur sempurna. Bilah Heaven Devourer Spear berkilat ungu kehitaman, menyebarkan riak energi yang terasa seperti tarikan gravitasi dari neraka.Arkantra menangkis. Eternal Flame Sword diayunkan melawan udara, membungkus dirinya dengan api putih menyilaukan. Panasnya memelintir udara, membuat medan perang tampak seperti fatamorgana.Setiap benturan membuat cahaya menyambar di antara mereka seperti
Satu kibasan saja dari Arkantra Drago.WUUUSSSHH!!!Langit terbelah oleh cahaya putih menyilaukan. Gelombang api surgawi menyapu barisan depan pasukan musuh. Dalam sekejap, puluhan tubuh terpotong dalam satu garis lurus sempurna. Tidak ada darah. Tidak ada jeritan terakhir. Hanya abu putih yang beterbangan, berputar di udara sebelum lenyap ditelan angin panas.Sorak kemenangan yang semula memenuhi medan berubah menjadi teriakan histeris. “Bukan manusia!! Dia bukan manusia!!” “Lari! Itu bukan kekuatan fana!”Namun belum sempat mereka melangkah, dari sisi kiri medan perang, Valkyrie sudah bergerak. Ia tidak berteriak. Tidak memanggil nama teknik. Tidak memberi ampun. Cahaya biru es berpendar di sepanjang bilah pedangnya, membuat udara seolah berhenti bernafas.“Frozen Ice Sword.”Suara itu lirih—namun cukup untuk mengubah dunia di sekitarnya. Dalam sekejap, udara membeku. Embun putih mengambang, dan derap langkah musuh mendadak berhenti di tempat. Satu kibasan pedang melintas. Bukan s







