Bab Extra Author : 1/1 Selesai Bab ini merupakan bab terakhir malam ini. Untuk saat ini Bab Bonus Gems sudah mencapai 6 Bab yang akan dirilis saat weekends ... Jangan ragu untuk tetap memberikan gems untuk Bab tambahan ini.
Kuburan Iblis dan Dewa ...Sebuah kuburan kuno yang paling ditakuti oleh seluruh praktisi bela diri di Nagapolis, Propinsi Xandaria yang merupakan propinsi terbesar di Negara Vandarian."Kevin Drakenis, aku hadiahkan Pedang Dewa Ilahi kepadamu. Seluruh ilmu Pedang Dewa Ilahi telah kuajarkan kepadamu! Roh Pedang juga ada di dalam pedang ini, kalau kemampuanmu sudah mencapai maksimum maka Roh Pedang akan muncul membantumu! Tinggal kamu tunjukkan pedang ini kepada Klan Vasendra maka keturunanku ini akan membantumu sebaik mungkin."Pemuda yang berumur sekitar 18 tahun ini menatap pedang yang berwarna biru pada bilah pedangnya ini dan memantulkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Tangannya dengan ringan mengayunkan pedang besar yang cukup berat ini. Tidak ada ucapan apapun dari pemuda ini ... wajahnya terlihat dingin menerima pedang pusaka ini."Ada beberapa ilmu pedang lain di dalam Kitab Ilmu Pedang Dewa yang bisa kamu pelajari untuk meningkatkan ilmu pedangmu!" lanjut bayangan yang membe
Sepuluh bayangan yang menyerupai roh, setengahnya adalah bayangan putih sedangkan setengahnya adalah bayangan hitam berkumpul bersama dengan mengelilingi Kevin Drakenis yang berada di tengah. Aura mengerikan terpancar dari seluruh bayangan ini yang membuat suasana Kuburan Iblis dan Dewa ini seperti mengalami badai kosmis. Aura mengerikan ini menunjukkan kehebatan mereka di masa kejayaan serta jaman keemasan dewa dan iblis ini.Saat ini, sepuluh penghuni Kuburan Iblis dan Dewa yang masih aktif ini tampak sangat berbahagia. Setelah lima tahun berlalu, mereka masih enggan untuk melepaskan Kevin ke dunia luar yang kejam.Ratusan tahun menunggu pewaris yang tepat, akhirnya mereka menemukan Kevin yang terjerumus masuk ke dalam Kuburan Iblis dan Dewa. Sekarang mereka tampak bahagia terhadap Kevin, tapi lima tahun lalu saat Kevin pertama kali tiba di kuburan ini, ia mengalami siksaan lahir-batin dari iblis dan dewa yang menghuni Kuburan Iblis dan Dewa ini selama berabad-abad lamanya.Sekarang
Kevin Drakenis masih saja tidak habis pikir dengan sikap kekasihnya yang berbalik membencinya."Ayahku memperlakukanmu dengan baik, menerima keluargamu saat kalian hampir bangkrut! Begini cara kalian membalasnya?!" suaranya penuh kemarahan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Helena mendekat, menatap Kevin seolah ia adalah serangga yang pantas dihancurkan. "Kau sudah bukan Jenius Bela Diri lagi, Kevin. Sekarang, akulah yang akan menggantikanmu! Dan hari ini, Keluarga Drakenis akan binasa dari Vandaria!" Pernyataan itu menyadarkannya. Kevin berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Ketika akhirnya ia tiba di Paviliun Drakenis, semua sudah terlambat. Bangunan yang dulu megah kini hanya reruntuhan yang dilalap api. Bau anyir darah bercampur dengan asap hitam yang membubung ke langit. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang halaman, tubuh mereka dingin dan tak bernyawa Di antara mereka, Kevin menemukan sosok yang paling ia
Kevin melangkah cepat di antara pepohonan yang menjulang di kaki Gunung Xandaria. Napasnya teratur, tapi sorot matanya tajam, seakan-akan setiap langkahnya membawa kenangan yang tak bisa dihapus oleh waktu. Udara di sekitarnya dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang tertiup angin, membawa nostalgia yang mengguncang hatinya. Tak lama, hamparan beton dan kaca dari Kota Nagapolis tampak di depan mata. Kota yang dulu menjadi saksi kejayaan keluarganya, sekaligus kehancuran yang menyisakan dendam.Lima tahun berlalu sejak ia terakhir kali menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Bagaimana rupa kota ini sekarang? Apa yang berubah?Ia harus mencari informasi terlebih dahulu tentang Nagapolis, terutama Keluarga Caraxis yang menjadi sasaran pertamanya untuk menyelidiki kejadian lima tahun yang lalu. Tiba-tiba Kevin teringat kartu magnetik Dracarys yang bisa digunakannya.Jemarinya merogoh saku dalam pakaiannya, menyentuh kartu kristal biru yang terasa dingin di ujung jarinya. Kartu Dra
Paviliun Timur Caraxis diselimuti oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara pepohonan kering. Aroma anyir darah bercampur dengan udara malam yang dingin, menusuk hidung seperti belati tak kasat mata. Cahaya bulan temaram memantulkan siluet seorang gadis yang tergantung di tiang kayu, tubuhnya dililit kawat duri yang mencengkeram erat seperti ular berbisa yang tak ingin melepas buruannya.Ravena Xenagon, gadis berwajah pucat bagai salju musim dingin, hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Setiap tarikan napasnya seperti serpihan kaca yang menghujam paru-parunya. Darah merembes dari luka-luka yang menganga di kulitnya, menetes perlahan ke tanah yang telah berubah merah tua karena darah yang tumpah di tempat itu.Di hadapannya, seorang wanita dengan gaun merah tua—semerah darah yang mengalir dari tubuh Ravena—menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Helena Caraxis. Wanita itu berlutut dengan santai, tangan kanannya memegang paku panja
Ravena merasakan kemarahan meledak di dadanya. "Cih! Aku tak habis pikir mengapa Kak Kevin bisa begitu jatuh cinta pada wanita sekeji dirimu!" Suaranya penuh penghinaan, tapi tubuhnya gemetar oleh ketegangan.Helena menyeringai, melangkah mendekat dengan angkuh. "Kau tak bisa menyentuhku, adik ipar ... hihihi! Jadi, buang jauh-jauh niat membunuhmu!" katanya penuh kepuasan. "Masih bersikeras? Baiklah! Potong kaki pengawal ini!""Tunggu!" Ravena akhirnya berteriak, matanya memancarkan kepasrahan bercampur kebencian. "Baiklah! Aku akan memberikan Darah Iblis Es! Tapi lepaskan mereka!" Suaranya pecah, nyaris memohon. Tiga pengawalnya telah menjadi keluarganya. Dia tak bisa membiarkan mereka mati dengan sia-sia.Helena terkekeh, lalu dengan kejam meraih tangan Ravena. Pisau peraknya bergerak cepat, memotong nadi Ravena tanpa ragu. Darah biru es menyembur keluar, mengalir ke dalam wadah yang telah disiapkan.Helena membutuhkan Ravena dalam keadaan hidup agar Darah Iblis Es yang diambilnya b
"Kevin Drakenis! Beraninya kau menampakkan wajah busukmu di sini!" serunya penuh kejijikan. "Bukannya kau telah mati, sampah!" Kevin mengeraskan tatapannya. "Helena Caraxis! Kau telah membantai keluargaku, mengorbankan adikku demi Darah Iblis Es, dan sekarang kau berdiri di sini, bertingkah seolah tak bersalah?! Kau ini manusia atau iblis, hah?!" Helena tersenyum sinis sebelum melambaikan tangannya. Beberapa pengawal Paviliun bergegas masuk, pedang mereka terhunus. "Habisi dia! Potong tubuhnya dan beri makan binatang buas!" Lima pengawal mengepung Kevin. Salah satu dari mereka melangkah maju, mengayunkan pedangnya dengan cepat. Namun— SRET! Kepala pengawal itu tiba-tiba terlepas dari tubuhnya, jatuh dan menggelinding di atas tanah. Matanya masih terbuka lebar, seolah tak percaya telah mati begitu cepat. Empat pengawal lainnya membeku, tak sempat bereaksi sebelum nasib serupa menimpa mereka. Dalam sekejap, kepala mereka juga terpenggal, darah memancar liar ke segala arah. Kevi
KRAAAK! KRAAK!Suara tulang kakinya remuk terdengar nyaring. Teriakan Helena menggema di seluruh paviliun, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Air matanya bercampur darah yang mengalir dari luka-lukanya. Namun, Kevin tidak berhenti di situ. Dengan satu gerakan cepat, ia merogoh bagian dada Helena dan merampas botol kecil berisi Darah Iblis Es yang disembunyikan perempuan itu. Mata Helena berkilat dengan kebencian yang membara. “Aku akan membunuhmu, Kevin Drakenis!” raungnya dengan napas terengah-engah. Tetapi, tubuhnya tetap tak bisa bergerak. Totokan Kevin memastikan bahwa bahkan bunuh diri pun bukanlah pilihan baginya. Kevin menatap botol itu, kemudian kembali menatap Helena yang kini sudah tidak semenarik dirinya yang dulu. Hanya sisa seorang wanita yang telah kehilangan segalanya. Tanpa berkata-kata lagi, Kevin berbalik dan melangkah pergi, membiarkan suara tangisan dan jeritan Helena menggema di dalam kegelapan malam. Ia harus secepatnya mengembalikan kondisi Ravena yan
Kevin menggertakkan giginya. “Aku di sini!” bentaknya lantang, tak gentar. Sorot matanya membalas tatapan iblis itu dengan api semangat yang membara. “Kalau kau memang iblis yang menyiksanya selama ini … maka mari kita akhiri semua ini, di sini dan sekarang!”Tanpa ragu, ia mengangkat batu Vermillion Vein yang kini menyala bagai bara hidup di telapak tangannya. Aura api spiritual di sekelilingnya memekik, memutar arus energi panas yang menusuk kulit. Dengan teknik pamungkasnya—Heavenly Flame Binding Seal—Kevin menghantamkan batu itu langsung ke dada Ravena.Seketika, ledakan cahaya merah keemasan menerangi seluruh ruangan seperti fajar surgawi yang membakar malam tergelap. Api spiritual dari batu Vermillion mengalir deras ke dalam tubuh Ravena, membakar roh iblis dari dalam. Suara jeritan itu berubah—dari teriakan kemarahan menjadi raungan kesakitan, lalu menjadi pekikan sekarat. Sosok iblis itu menggeliat dan menjerit, tubuhnya bergulung dalam pusaran api spiritual yang membakar tak h
Langkah Claudia terdengar cepat namun tenang. Dari balik mantel hitamnya yang dilapisi jimat pelindung, ia mengeluarkan sebuah peti besi perak dengan ukiran rumit dan segel mantra berlapis-lapis yang berpendar merah menyala. Begitu peti itu dibuka, hawa panas menyeruak ke seisi ruangan.Di dalamnya, batu Vermillion Vein berwarna merah darah berdenyut pelan seperti jantung hidup—menyala dan bernafas. Aura panasnya luar biasa, hingga uap tipis langsung naik dari lantai batu di sekitarnya, seolah batu itu hendak membakar dunia sekitarnya hanya dengan kehadirannya.Claudia memandang Kevin dan mengangguk pelan. “Energinya murni. Tapi tidak stabil. Kita hanya punya satu kesempatan, Chief!” katanya dengan suara tegang.Kevin mengulurkan tangan. Saat jemarinya menyentuh permukaan batu itu, rasa panasnya menembus ke dalam tulangnya. Tapi ia tidak mundur. Dengan satu tarikan napas panjang, ia berkata, “Kita mulai sekarang.”Ia duduk bersila di atas lingkaran segel kuno yang digoreskan dengan dar
Langit di atas Kota Nagapolis secara perlahan berubah warna. Kabut kelabu yang menyelimuti kota sepanjang malam mulai tersibak oleh sinar pertama fajar. Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang membasahi atap-atap paviliun, menciptakan bayangan panjang yang menyapu jalanan yang masih sepi.Namun, ketenangan itu tidak berlaku di dalam Paviliun Dracarys.Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi jauh di jantung kompleks. Udara di sana terasa berat, penuh aura spiritual yang bergolak tak terkendali. Asap tipis yang mengandung aroma besi dan belerang mengambang di udara, menyusup ke dalam paru-paru dan memberi rasa perih di hidung. Tanah pun bergetar halus, seolah menahan energi yang nyaris meledak dari dalam.Di dalam ruang pemurnian kuno yang dipenuhi ukiran naga berwajah muram dan simbol-simbol langit beku, Ravena terbaring di atas altar batu obsidian. Permukaannya dingin, namun dikelilingi a
Pria tua itu tertawa pelan, ujung jarinya mengetuk botol kaca itu. “Sangat … sebanding,” bisiknya, mata logamnya berkilat.Mata pria tua itu berkilat tajam, seperti sepasang batu permata logam yang memantulkan cahaya neraka. Bibirnya melengkung ke dalam seringai licik, rasa puas terpancar dari setiap kerutan wajahnya. Dengan gerakan halus, ia mengangkat tangan, memberi isyarat kecil pada asistennya — seorang pemuda kurus bermata cekung, aura spiritualnya lemah tapi tangannya cekatan.Pemuda itu mendekati sebuah peti kayu hitam, terikat benang-benang spiritual merah yang berdenyut samar, seolah hidup. Dengan mantra pelan, segel-segel itu terbuka satu per satu, memancarkan kilatan kecil cahaya merah. Saat tutup peti terbuka, udara di dalam tenda mendadak menghangat, bahkan membakar ujung-ujung rambut.Di dalam peti, terbaring sebuah batu merah menyala — Vermillion Vein, tampak seperti bara hidup yang bernafas. Setiap detik, pancaran panasnya menggetarkan udara, menciptakan riak-riak tip
Di puncak tertinggi Paviliun Dracarys, Kevin berdiri tegak, siluetnya terpotong cahaya remang lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Matanya, tajam dan penuh tekad, menatap cakrawala seolah mencoba menembus jarak yang memisahkannya dari takdir yang sebentar lagi datang menghantam. Angin memainkan ujung jubahnya, membuatnya berkibar pelan, seperti sayap naga yang sedang merentang di bawah cahaya samar bulan.Di bawah, di dalam ruangan pusat komando, Claudia nyaris tak berhenti bergerak. Rambutnya yang hitam berantakan menempel di pelipis, sementara jemarinya sibuk menari di atas layar komunikasi holografik. Suara Claudia terdengar cepat, teratur, tapi ada tepi kegelisahan yang merayap di ujung nadanya. “Chief, satu petunjuk mengarah ke Pasar Gelap Agarthium, Centralpolis,” ucapnya dengan suara yang agak serak, kelelahan mulai menggerogoti tenaganya. “Ada rumor… seorang kolektor eksentrik menyimpan batu Vermillion Vein, jenis merah pekat, yang telah melewati ritus pemurnian api na
Cahaya lampu di dalam kamar Paviliun Dracarys masih bergetar lembut, memantul di atas lantai marmer yang sempat diselimuti kabut dingin dari kekuatan Darah Iblis Es milik Ravena. Setelah kekacauan itu mereda, Kevin menoleh ke arah Clara yang tengah berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar meskipun hawa dingin sudah mulai menghilang.Kevin menghampirinya, perlahan berlutut hingga sejajar dengan mata gadis itu. Tatapannya lembut, jauh berbeda dari sosok dingin yang beberapa saat lalu mengeksekusi Gubernur Adam Smith tanpa ragu.“Kamu tidak apa-apa, Clara?” tanyanya pelan, suara itu terdengar seperti pelukan hangat di tengah sisa-sisa badai.Clara mengangguk kecil, tapi suaranya serak saat menjawab.“Aku ... aku baik-baik saja, Kev. Tapi ... Vena?” Matanya beralih, mencari sosok yang ia sayangi. “Bagaimana dengan Ravena? Dia … tidak terluka, kan?”Kevin mengangguk meyakinkan. “Dia sudah kembali... masih pingsan, tapi aku berhasil menstabilkan auranya. Dia akan baik-baik saja.”Sebelu
“Ravena … dengarkan aku,” suara Kevin terdengar pelan, tapi ada kekuatan yang menggema di balik bisikannya. Setiap kata meluncur seperti doa yang menembus badai, menggetarkan udara yang dingin membatu. Tatapannya menancap pada gadis yang berdiri kaku di depannya, matanya yang dulu penuh cahaya kini hanya cermin gelap yang memantulkan kekuatan terkutuk. “Aku tahu kau masih ada di sana. Aku tidak datang untuk melawanmu—aku datang untuk membebaskanmu dari belenggu darah terkutuk itu.”Untuk sekejap, hanya desiran angin es yang menjawab. Tapi kemudian … AUMMM! Ravena mengaum, suara nyaringnya menggema seperti serigala salju meraung di tengah badai kutub. Napas putih menyembur dari bibirnya, dan lantai di bawahnya mulai memutih, tertutup es yang menjalar cepat, melingkar seperti ular glasial menuju kaki Kevin.Kevin mengerutkan kening, lalu BRAK! — dengan satu hentakan kaki, dia mengaktifkan Divine Flame Shield di sekeliling tubuhnya. Api ilahi menyala lembut di permukaan kulitnya, merah
Langit di atas Nagapolis menyelubungi kota dengan kegelapan yang pekat, seakan menelan segala cahaya. Awan hitam berputar perlahan di atas, menyelimuti dunia di bawahnya dalam suasana suram yang aneh—seperti energi gelap yang meresap ke dalam langit, mengambil kekuatan dari sesuatu yang tak tampak oleh mata manusia. Suasana itu memberi kesan seolah dunia ini sedang berada di ujung kehancuran.Di dalam markas Paviliun Dracarys yang menjulang tinggi dan kokoh, sebuah aura mengerikan mulai membentuk. Ruang di salah satu kamar tamu terasa jauh lebih dingin dari biasanya, seperti es yang mengalir di udara. Gelombang energi beku menyebar, menghantam dinding-dinding dengan kekuatan luar biasa. Suhu di sekitarnya merosot dengan cepat—sungguh luar biasa—hingga es mulai menutupi permukaan dinding, membentuk lapisan tipis seperti kulit beku yang siap mencabik siapapun yang mendekat.Jendela-jendela mulai berembun, perlahan menghitam dan retak-retak, suara gemerisiknya bergetar dalam keheningan ma
Raungan mesin mewah memecah kesunyian malam yang mencekam. Lima mobil Bentley berwarna hitam legam berhenti dalam formasi rapi di halaman depan kediaman gubernur yang kini hanya menyisakan puing dan bau gosong. Kilatan lampu mobil menyinari tubuh Kevin dan Valkyrie yang masih berdiri di tengah reruntuhan, dikelilingi abu, debu, dan bayangan kematian.Dari pintu salah satu mobil, seorang wanita turun anggun namun penuh wibawa. Gaun merah menyala dengan belahan tinggi di kaki kanannya melambai diterpa angin malam, memperlihatkan betisnya yang jenjang dan langkahnya yang mantap. Rambut hitam panjangnya terurai rapi, dan sepatu hak tingginya mengetuk aspal dengan suara menggoda.Ia langsung menunduk dalam-dalam ke arah Kevin, dengan tangan di dada, menunjukkan sikap penuh hormat dan loyalitas.“Chief … apakah peti mati spiritual yang tadinya buat Gubernur juga akan kita bawa pulang?” tanyanya, suaranya lembut namun profesional. Wajahnya tenang, tapi matanya menyorot tajam seperti selalu si