Bab Extra Author : 1/2
Di tengah pelataran, Claudia berdiri dengan tubuh tegang, menggenggam lembaran dokumen yang ujung-ujungnya sudah kusut karena cengkeraman terlalu erat. Ambisi Kevin sungguh di luar dugaannya dengan menantang dewa.“Lalu bagaimana dengan urusan Paviliun Xarxis?” tanya Claudia, suaranya nyaris ditelan hembusan angin. “Mereka belum menerima kematian putra kembar pemimpin mereka … yang tewas di tanganmu. Sekarang mereka menyebutmu dengan nama yang tak bisa dicabut—Penghancur Kembar Suci.”Kevin berdiri membelakangi gerbang utama, tubuhnya bersandar ringan pada salah satu tiang batu yang terukir naga. Matahari pagi menyinari sisi wajahnya, membentuk garis-garis tajam pada rahangnya dan bahu lebarnya. Saat dia membuka mata, sorotnya setajam cahaya pedang yang menyayat kabut.Udara pagi yang mendingin, membawa aroma batu basah dan rempah dari kebun herbal Paviliun Dracarys. Angin kencang menggoyangkan tirai bambu, membuat suara gesekannya terdengar seperti bisikan masa lalu.Kevin berdiri di
Jari-jari Kevin gemetar saat ia menyambar gulungan tua itu dari tangan Claudia. Kertasnya kasar dan berdebu, mengeluarkan aroma khas naskah kuno—seperti kayu terbakar yang dilupakan waktu. Ia membukanya dengan cepat namun hati-hati, dan lembaran pertama langsung membuatnya terpaku.Sketsa kasar itu terlihat seperti digambar dengan darah dan bara. Seorang pria bertubuh raksasa berdiri tegak di atas tumpukan mayat, daging dan besi terjalin dalam gambaran yang begitu nyata hingga hampir terasa hidup. Di tangannya, sebuah pedang besar—hampir setara dengan tinggi tubuh manusia dewasa—menjuntai ke bawah, meneteskan sesuatu yang tampak seperti tinta hitam ... atau darah.Kevin menelan ludah. Suaranya nyaris tenggelam ketika ia bergumam, “Voltron ...”Meski hanya satu kata, bisikan itu seakan mengguncang udara. Hawa dingin merayap dari sela-sela halaman berbatu, naik menelusup hingga ke tulangnya. Nama itu membawa kilasan ingatan asing ke dalam benaknya—gambar-gambar samar tentang medan peran
Kilatan tajam muncul di mata Kevin. Ia menoleh pelan, seolah mencatat setiap kata dalam benaknya."Jika dia memang terlibat dalam semua ini ..." katanya, suaranya nyaris seperti bisikan petir, "... maka aku akan menyeretnya keluar dari sarangnya."Baron berbalik cepat. “Jangan gegabah, Kevin! Raisa bukan lawan yang bisa kau anggap remeh. Bahkan Elder Tian Long yang pemimpin utama Sekte Infinity Power tidak bisa mengendalikan iblis ini. Mereka bukan sekadar organisasi, mereka bagian dari konspirasi yang jauh lebih dalam … bahkan sampai ke insiden Paviliun Drakenis.”Kevin diam, namun matanya tak lagi menunjukkan keraguan."Jika mereka terlibat dalam kehancuran keluargaku ... maka cepat atau lambat, aku akan menghadap mereka. Aku tak peduli seberapa kuat atau beracun wanita itu. Aku tidak akan mundur."Angin berhembus kencang melalui jendela kecil. Jubah Kevin berkibar, seolah menegaskan bahwa badai sesungguhnya akan segera datang.Dan di kejauhan … dalam kegelapan malam yang pekat, mat
"Tidak … tidak mungkin! Helena sudah tiada!" bisiknya dengan suara lebih keras, matanya melebar. "Dia mati di tanganku sendiri ... di antara darah dan reruntuhan. Aku yang memastikan napas terakhirnya!"Tapi aura itu … aura lembut yang menyelusup ke dalam relung jiwa, yang tak bisa disalahartikan … terasa begitu nyata."Apa… roh penasaran? Hantu? Tapi kenapa setelah sekian lama, rasanya masih sama... seperti ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya pergi…”Seketika, suara berat dan berwibawa memotong lamunannya.“Kevin.”Suara Baron Vasper terdengar tegas, menyadarkan Kevin dari pusaran pikirannya. Kevin menoleh cepat, seakan tertangkap basah dalam nostalgia."Maaf, Paman," katanya buru-buru, menata kembali ekspresinya yang sempat goyah.Baron mengamati Kevin dengan tatapan lembut namun penuh pemahaman. Ia tahu Kevin menyimpan banyak luka, dan tak semuanya bisa sembuh hanya dengan waktu.Kevin menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Baron dengan sorot mata yang kembali tajam dan
Langkah Kevin pelan namun mantap saat ia kembali ke serambi utama Paviliun Vasper—sebuah paviliun sederhana yang berdiri di tengah hamparan perbukitan hijau. Tak ada kemewahan seperti di Paviliun Dracarys, tapi ketenangan dan kesederhanaannya justru menciptakan rasa damai yang langka setelah pertempuran brutal beberapa hari terakhir.Angin siang berembus lembut, membawa aroma rumput dan kayu pinus dari kejauhan. Cahaya mentari menyinari lengan bajunya yang masih kotor oleh bekas debu pertarungan, namun tatapannya tetap tenang. Di sisi lain serambi, Baron sudah menunggu, tampak gelisah walau berusaha menyembunyikannya dengan secangkir teh hangat di tangan.Kevin menatap pria paruh baya itu dengan tenang, sebelum mengambil tempat duduk di seberangnya.“Maaf, Paman. Ada yang harus kutangani lebih dulu,” ucap Kevin, suaranya datar tapi mengandung ketegasan.Baron mengangguk kaku, senyum canggung terukir di wajahnya. “Tentu, tentu. Aku tahu… kau punya banyak urusan.”Kevin menyandarkan pun
“Seperti titah Anda, Guru,” jawabnya dengan suara rendah, nyaris tenggelam dalam napasnya sendiri.Langkah kaki sang murid terdengar pelan, menyusuri lorong-lorong batu yang panjang dan remang. Gaung tapaknya beradu dengan dinding-dinding tua, lalu perlahan menghilang—ditelan oleh kedalaman dan kesunyian.Elder Tian Long masih berdiri diam. Matanya perlahan terpejam, seperti seorang bijak kuno yang mencoba membaca kembali bab-bab sejarah dari dalam pikirannya. Tapi kali ini, ada yang berubah.Udara yang sebelumnya sunyi kini terasa berbeda. Ia merasakannya terlebih dahulu di ujung jarinya—sebuah getaran halus, nyaris seperti sentuhan roh. Suhu di ruangan menurun, meski tak ada angin yang lewat. Aliran energi spiritual merayap lembut di udara—dingin dan rapat, namun berpendar samar seperti bara yang tersembunyi di bawah tumpukan salju abadi.Tian Long membuka matanya, sorotnya penuh kesadaran baru. Pandangannya menembus kegelapan seolah ia bisa melihat jauh melewati ruang dan waktu.Nag
Murid sekte ini ketakutan ... nada suaranya melemah di akhir kalimat, dan sebelum ia sempat menelan ludah untuk melanjutkan, suara Tian Long membelah udara—tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan detak jantungnya sejenak.“Bayangan masa lalu tak pernah muncul tanpa alasan.”Suara itu tak lebih dari bisikan, namun tajam seperti bilah pedang yang ditempa dalam kutukan. Setiap kata mengiris, menyisakan rasa getir yang menjalar dari telinga hingga ke dasar jiwa sang murid.Tian Long perlahan berbalik, matanya kini menatap langsung ke arah muridnya. Cahaya lentera memantul di sorot matanya yang kini seperti nyala bara, dingin namun membakar.“Jika benar dia masih menginjakkan kaki di dunia ini ...” lanjutnya, setiap kata dipilih dengan ketepatan surgawi, “... maka ada rahasia yang bahkan ayahnya sendiri tak mampu sembunyikan dirinya dariku.”Sang murid menunduk lebih dalam, tubuhnya nyaris gemetar di bawah tatapan yang tak bisa diukur kedalamannya itu. Sebuah energi menggantung di udara,
Di kedalaman Negeri Naga Seiryu—tanah yang diliputi kabut abadi, tempat waktu seolah berjalan lambat—terbentang pegunungan runcing bermahkota es yang menyilaukan. Di balik tirai kristal salju yang tak pernah mencair, berdirilah sebuah kuil kuno. Pilar-pilarnya menjulang seperti taring naga, dihiasi ukiran makhluk langit yang tampak hidup saat kabut menari di sekelilingnya. Naga-naga batu berjaga di setiap penjuru, menatap ke kejauhan seolah siap menerkam siapa pun yang tak layak menapakkan kaki di tempat ini.Di dalam kuil itu, aula utama Sekte Infinity Power menjelma sebagai jantung kekuasaan spiritual yang tak tertandingi. Cahaya biru kehijauan mengalir dari kristal-kristal qi yang menggantung di langit-langit, memantul di lantai obsidian dan menari di udara seperti roh-roh kuno yang belum tenang. Suasana begitu hening hingga suara nafas terdengar seperti desiran badai yang ditahan.Tepat di tengah aula, duduk bersila seorang pria berpakaian putih keperakan—pakaiannya mengalir sepert
“Darahmu murni. Kau adalah buah dari garis keturunan utama. Dan aku ...” Ia berdiri perlahan, berjalan mendekat. Suara langkah Elder Tian Long nyaris tak terdengar, namun setiap langkah membuat dada Helena semakin sesak. “Aku hanya membutuhkan ... setetes saja.”Helena menjerit.“Kau monster!” teriaknya, suara seraknya menggema di aula yang hening. Ia meronta, namun rantai spiritual itu hanya menertawakan perjuangannya. “Ayahku... Ayahku akan membunuhmu!”Seketika, Tian Long berhenti. Ia tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya—senyum yang bukan milik manusia. Lalu ia mendekatkan wajahnya, hanya sejengkal dari Helena, napasnya sedingin kematian.“Sayang sekali ...” bisiknya pelan, nyaris dengan nada simpati yang memuakkan. “Ayahmu ... ialah yang pertama kali memberitahuku di mana kau berada. Dan ya, dia yang menyerahkanmu padaku dengan sukarela.”Seketika dunia runtuh di dalam dada Helena. Jantungnya mencelos, bukan karena ketakutan ... tapi karena pengkhianatan. Suara Tian Long menggema