Bab Bonus Gems : 2/3. Bab cukup panjang ... semoga suka.
Tapi belum sempat Kevin bernapas, Mordrek muncul dan menyerap seluruh petir Kevin ke tubuhnya. Rune di tubuh pria itu menyala gila."Terima kasih atas kekuatanmu, Drakenis. Sekarang rasakan balasannya."Kevin terhempas puluhan meter saat tembakan balik petir menghantamnya. Separuh jubahnya hangus, kulit dadanya mengelupas.Namun, ia tertawa."Heh... gila juga kamu... Tapi aku lebih gila."Darah menetes dari pelipis Kevin Drakenis, mengalir perlahan menuruni garis rahangnya, menyusup ke sudut bibir, lalu jatuh membasahi kerah jubahnya yang koyak. Hembusan angin membawa aroma besi yang pekat, bercampur dengan asap tipis yang berasal dari luka bakar di tubuhnya. Di antara gempuran badai petir yang mulai mereda dan puing-puing medan perang yang berserakan, ia berdiri tegak—gontai namun tak terkalahkan.Tangannya yang satu menggenggam erat Pedang Naga Petir yang kini bergetar pelan, seolah ikut menahan amarah tuannya. Tangan lainnya, meski bergetar karena nyeri dan kelelahan, menyelip ke b
Langit seakan pecah.Petir menyayat langit malam, menyinari medan pertempuran yang dipenuhi puing, retakan bumi, dan sisa tubuh yang hangus. Aroma logam, darah, dan listrik terbakar memenuhi udara. Dan di tengah kekacauan itu, Zellvor menjadi yang pertama meluncur—gerakannya nyaris tak kasatmata, hanya kilasan bayangan petir yang berputar membentuk pusaran.Cambuk petir miliknya—panjang, hidup, dan mengaum seperti binatang buas—meluncur ke depan dalam lintasan melingkar. Ujungnya memekik saat memecah udara, menciptakan medan listrik tekanan tinggi yang menggetarkan tulang bahkan sebelum menyentuh kulit. Tanah di sekitarnya bergelombang, batu-batu kecil melayang, terseret gravitasi listrik.SRAAAAKKK!!!Tapi sebelum ujung cambuk menyentuh daging Kevin, sebuah energi padat meledak dari tubuh pemuda itu. Phantom Gods Blast—jurus tingkat lanjut yang jarang ia gunakan karena tekanan baliknya bisa menghancurkan organ dalam.Ledakan itu bukan sekadar benturan. Ia seperti kehendak dari entita
Zellvor melangkah satu langkah ke depan. Petir merambat dari bahunya ke ujung cambuknya.“Kami tidak diutus untuk berbicara,” ucapnya pelan, namun bergema seperti gema di gua kematian. “Kami diutus untuk menghapus.”Saat itulah—Langit meledak.Petir menghujani bumi. Tiap kilatan seperti pedang surgawi, mencabik udara. Tanah bergetar, bangunan yang tersisa runtuh satu per satu.Dan Kevin Drakenis—tanpa perlindungan, tanpa penyamaran, hanya dengan Pedang Naga Petir di tangan—menatap badai yang jatuh di hadapannya.Ia mengangkat senjatanya tinggi. Qi-nya bangkit. Aura petir meledak dari tubuhnya, menjelma jadi benteng listrik yang menggetarkan tulang dan menyilaukan mata.Di dalam pusaran badai itu—suara geraman terdengar.Geraman seekor naga.Naga yang pernah mengaum dalam perang surgawi.“Saksikan...” serunya, suaranya menyatu dengan raungan petir dan kemarahan langit.“Ini... adalah kehendak Petir Naga!”***Angin malam menderu dari arah celah reruntuhan. Di tengah medan perang yang
Di antara puing-puing yang membara dan serpihan bangunan yang menghitam, Kevin Drakenis berdiri sendirian. Angin malam berhembus, membawa bau kematian yang menyatu dengan aroma logam dan darah kering. Langit di atasnya mencakar malam dengan semburan petir menyilang, seperti ingin memperingatkan dunia akan murka yang baru saja dilepaskan.Tubuh Kevin berbalut luka. Luka-luka itu bukan sekadar goresan—beberapa dalam dan menganga, membekas seperti coretan kebencian di atas daging manusia. Namun, ia tak meringis. Tak terhuyung. Mata tajamnya menyala seperti bara dalam kabut. Ada sesuatu dalam sorot itu—bukan sekadar keberanian, tapi keteguhan yang liar dan dingin, seperti binatang buas yang sudah kehilangan rasa takut.Pedang Naga Petir menggantung di tangan kanannya. Ujungnya masih meneteskan darah yang hangat ke tanah, menciptakan lingkaran simbol merah yang tak sengaja membentuk pola seperti mantra kuno. Tanah di sekitarnya merekah, serpih-serpih tanah beterbangan saat petir terus berd
BOOOM!Sebuah ledakan sunyi, namun menyisakan bekas kehancuran total. Asap pekat mengepul, meninggalkan hanya abu hitam yang melayang terbawa angin.Kevin berdiri tegak di tengah reruntuhan formasi. Matanya membara bukan dengan amarah... melainkan dengan kehampaan. Suaranya bergema, tidak keras, tapi cukup menusuk hati siapa pun yang mendengarnya.“Kalian takut pada Arkantra Drago?”“Lucu. Dia tidak akan pernah datang ke rumahku.”“Karena KALIAN yang akan datang... KE NERAKAKU!”Teriakannya membelah langit seperti kilat menyambar bumi. Tanpa memberi waktu bagi musuh untuk memahami, tubuh Kevin menyatu dengan pusaran petir dan melesat ke altar utama—tempat empat sekte menyatukan formasi penyegel besar.Para tetua dan pelindung sekte baru saja menyelesaikan aktivasi formasi ketika Kevin menghentakkan kedua tangannya ke tanah. Tatapan matanya menjadi gila, penuh delusi dan kekuatan absolut.“PHANTOM GODS BLAST!”Langit di atas mereka seolah terbelah. Ledakan energi qi bercahaya putih men
KRAAAKKKK!!!Langit yang semula kelabu mendadak terbelah oleh seberkas kilat menyilaukan, bagai cambuk dewa yang menghantam cakrawala. Awan-awan hitam seketika menggulung, membentuk pusaran kolosal yang menyedot udara di sekitarnya. Angin bertiup dengan lolongan mengerikan, mencabut genteng dan membuat pohon-pohon merintih, seolah alam sendiri menahan napas.Dan di tengah kehancuran itu—Kevin melesat seperti meteor petir.Tubuhnya dibalut aurora energi menyala biru-putih yang memekakkan indera. Setiap langkahnya menggetarkan tanah, dan ketika ia menerobos garis pertahanan Paviliun Kabut Abadi, suara ledakan qi terdengar seperti guntur meledak tepat di telinga.BOOOMMM!!!“KEVIN! MUNDUR—” teriak salah satu tetua sekte. Tapi semuanya sudah terlambat.Formasi spiritual mereka—yang selama ini diyakini tak terkalahkan, perlindungan kuno warisan leluhur—retak dalam satu serangan. Puluhan cultivator terhempas seperti daun gugur diterjang angin badai, tubuh mereka terpental, beberapa menabrak