Bab panjang pertama siang ini ... Bab Utama : 1/3. Bab Bonus Gems : 0/3 Bab Extra Author : 0/1. Akhirnya Kevin berhadapan Sekte Naga Emas yang sangat menyulitkannya ... Masih ada lima Bab Extra Author Akumulasi yang belum author rilis ... sabar ya.
Tanah Terlarang di sekitar mereka sudah tak bisa lagi disebut tanah—ia hanyalah kawah darah dan debu bercampur kilat. Ribuan mayat terbakar menjadi abu, yang tersisa hanyalah jeritan-jeritan pendek dari pasukan sekte kecil yang terlalu bodoh untuk mendekat.Helena melangkah maju lagi, Stormfang Saber memancarkan cahaya menyilaukan, seolah menarik petir dari setiap sudut langit. Di tangannya, pedang itu tak lagi sekadar senjata, melainkan penyalur kehendak untuk melawan waktu itu sendiri.Axel tetap berdiri tenang, tubuh berkerudungnya memancarkan aura kehampaan. Retakan-retakan waktu berputar di sekelilingnya, seperti pecahan kaca yang berkilau. Dari dalam pecahan itu, muncul bayangan Helena dalam ribuan versi—ada yang masih remaja, ada yang tua renta, ada pula mayatnya yang sudah membusuk. Semua versi itu menatap Helena dengan dingin.“Semua garis waktu menunjukkan akhirmu sama,” suara berat tanpa nada menggema. “Kematian.”Helena mendesis, menahan guncangan mental yang menghantam di
Ledakan demi ledakan mengguncang garis depan medan perang. Tanah retak, api menyala liar, mayat-mayat terbakar berserakan seperti patung arang yang dipahat dari mimpi buruk. Tulang-tulang mencuat dari tanah yang terbelah, menancap seperti monumen kematian. Bau darah, belerang, dan daging hangus bercampur jadi kabut tebal yang mencekik paru-paru siapa pun yang masih hidup.Namun—di tengah simfoni kehancuran itu, ada satu ruang yang berbeda. Sunyi.Sebuah kehampaan aneh membelah bising pertempuran.Axel Gods berdiri tegak di sana. Sosok berkerudungnya bagaikan pilar kegelapan yang tak tersentuh. Ia tak punya wajah—di tempat kepala seharusnya, hanya ada pusaran kehampaan berputar, seperti lubang hitam kecil yang menelan cahaya.Sekitar tubuhnya, waktu itu sendiri berputar aneh. Panah yang melesat berhenti seakan menggantung di udara. Tombak yang dilempar membeku, lalu retak dan berbalik arah, menghujam dada sekutu Kevin yang malang. Ledakan qi yang semestinya mengguncang tanah justru me
Helena mengusap bibirnya, darah segar menetes. Wajahnya pucat, napasnya terengah, tapi matanya masih berkilat dengan api yang tak bisa dipadamkan. “Cih! Kau melebih-lebihkan dirimu, Axel! Kau hanyalah anjing penjaga Tian Long! Dan aku tahu, kalianlah dalang di balik kehancuran Paviliun Drakenis!”Ia berdiri goyah, dadanya naik turun, tapi tangannya tetap mengangkat pedang. Listrik biru menari di sekujur tubuhnya, menerangi sosoknya yang nyaris rubuh namun tidak mau jatuh.Senyum tipis terukir di wajahnya, senyum seorang pejuang yang tahu dirinya mungkin mati—tapi memilih melawan sampai akhir. “Sentuhan pertama itu hanya permulaan.” Helena mengangkat pedangnya lebih tinggi, kilau biru kembali merambat. “Sekarang… kau akan mengenal siapa Helena Caraxis yang sebenarnya.”***Sementara di sisi lain medan perang, hiruk-pikuk pertempuran berhenti sesaat seolah memberi ruang bagi sebuah duel yang lebih besar dari sekadar perang. Bayangan kabut hitam terbelah, memperlihatkan sosok wanita
Kematian Felix tidak menghentikan perang—justru membuatnya semakin menggila. Raungan pasukan sekte-sekte kecil semakin buas, darah mengalir seperti sungai, dan jeritan bercampur dengan denting logam yang tak ada henti. Desa Langit kini bukan lagi desa, melainkan lautan api dan darah.Di tengah kekacauan itu, tanah tiba-tiba bergetar seakan menolak keberadaan sesuatu yang terlalu asing. Rasa dingin yang menusuk sumsum tulang menyapu medan perang. Kabut hitam tipis merayap di permukaan tanah, menelan cahaya api dan spiritual sekitarnya.Dari balik kabut itu, berdirilah sosok berkerudung. Tubuhnya tegak, wajahnya tersembunyi di balik bayangan tudung gelap. Tak ada cahaya yang berani menyingkap siapa dirinya—hanya kehampaan. Dialah Axel Gods – Dewa Tanpa Wajah.Aura yang dipancarkannya begitu berat hingga dunia seolah melengkung di sekelilingnya. Waktu sendiri bergetar di sekitar tubuhnya—gerakan daun yang jatuh melambat, suara teriakan terdistorsi, bahkan detak jantung setiap makhluk tera
Langit seakan pecah bergaris-garis retakan hitam, tidak lagi mampu menahan benturan kekuatan dua monster itu. Kilatan cahaya dan kegelapan bertabrakan, menetes ke tanah terlarang bagai hujan bintang. Tanah bergetar, terbelah menjadi jurang-jurang menganga. Dari rekahan itu, lahar bercampur darah menyembur, meluap-luap hingga membentuk samudra merah yang menelan pasukan tanpa membedakan kawan atau lawan.Namun di tengah kekacauan itu, sorotan semua makhluk tetap terpaku pada dua sosok. Mereka bukan lagi manusia biasa. Mereka adalah dua raksasa, dua kutub yang benturannya jauh lebih dahsyat daripada perang ratusan ribu pasukan di sekitar mereka.Felix mengibaskan tangannya. Rantai kegelapan meledak dari udara, memanjang tanpa ujung. Rantai itu berputar seperti ular kosmik, melilit, menghancurkan, lalu menyedot energi spiritual di sekitarnya. Cahaya bintang, sinar api, bahkan jiwa-jiwa yang baru mati ikut terserap. Medan perang tiba-tiba gelap gulita, pekat seperti malam tanpa bulan.Kev
Ribuan pasukan masih saling bertempur di medan perang. Jeritan, denting logam, dan ledakan Qi mengisi udara, namun di tengah lautan kekacauan itu, semua mata—kawan maupun lawan—terarah pada satu titik.Di sana, dua sosok berdiri saling berhadapan. Kevin Drakenis dengan tubuh penuh luka, dan Felix, Kaisar Tanah Terlarang, yang auranya membuat langit pun bergetar.Ledakan besar barusan, akibat hantaman Pedang Dewa Ilahi, tidak cukup untuk menggoyahkan Felix. Kabut asap perlahan buyar, memperlihatkan keduanya hanya berjarak belasan langkah. Tanah di sekitar mereka sudah tak lagi berbentuk tanah... kawah retak menganga, magma bercampur darah mendidih, menebarkan bau besi panas yang menusuk hidung.Pedang Dewa Ilahi di tangan Kevin bergetar liar. Cahaya emas-hitam memancar, menyilaukan, namun juga menakutkan, seakan pedang itu tidak lagi sepenuhnya tunduk pada pemiliknya. Nafas Kevin tersengal, tubuhnya bergetar, namun matanya masih menyala dengan bara yang sama—bara seorang raja yang tida