Bab Utama : 2/2 Selesai Bab Bonus Gems : 1/1 Selesai Bab Bonus Author : Menyusul Pertarungan semakin brutal, namun Celestial Myrad belum muncul satupun selain Varion yang sudah dihadapi Kevin sebelumnya ... Penasaran? Ikutin terus ya cerita ini ...
KRRAAAK!!Suara mengerikan terdengar saat formasi raksasa itu mulai retak. Garis-garis merah membelah rune-rune suci, seperti es yang pecah di musim semi. Dalam sekejap, formasi itu runtuh, meledak menjadi serpihan cahaya darah yang berhamburan dan lenyap ditelan kekosongan.Grand Rune Master Weng terhuyung mundur, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat seperti kertas, matanya membelalak ngeri menatap kehancuran yang baru saja terjadi.Namun Kevin tidak memberinya waktu untuk bernapas.Dengan gerakan halus, tubuh Kevin melesat ke depan—hanya sebuah bayangan hitam yang membelah jarak di antara mereka. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di hadapan Grand Rune Master Weng.Mata mereka bertemu. Milik Weng penuh ketakutan. Milik Kevin, kosong. Tak berperasaan.Kevin menatap dingin ke arah lawannya, lalu berbisik dengan suara datar, nyaris seperti gumaman, namun setiap katanya menusuk seperti bilah pedang."Aku tidak suka bertarung menggunakan jim
Gubernur Adam Smith masih berdiri kaku, seolah membatu di tempatnya. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi, seperti seorang pemburu yang menimbang apakah binatang buas di depannya bisa ia taklukkan atau justru akan mencabik-cabiknya. Helaan napasnya berat, nyaris tak terdengar, tapi cukup bagi mereka yang peka untuk merasakan ketegangan yang kian menebal di udara.Di atas sebuah peti mati hitam spiritual yang mengilap pekat seperti malam tanpa bintang, Kevin Drakenis berdiri tegap. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai marmer, membelah kerumunan yang kini bergidik ngeri. Dengan mata yang seolah memancarkan es, Kevin melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suaranya, saat akhirnya berbicara, tajam dan menusuk, serupa bilah pedang yang menggores kulit."Apa kalian masih ingin hidup?" tanyanya, tenang namun mengerikan.Suara itu merayap di antara para tamu undangan seperti kabut maut. Sebagian dari mereka, pria dan wanita dalam pakaian megah, tampak pucat pasi, tangan mereka gemetar saa
Gubernur Adam hanya mengangkat alis tipis, seulas senyum kecil menghias bibirnya. Isyarat itu cukup—dan pria itu merasa dirinya kebal.Dengan suara lantang, nyaring menusuk, pria itu berteriak, "Anak kurang ajar! Berani-beraninya kau membuat kekacauan di perayaan ulang tahun Gubernur!"Ia mendekat lebih lagi, mengangkat dagunya dengan sikap mengejek. Matanya menatap Kevin seolah ia hanyalah kutu yang bisa diinjak kapan saja."Kenapa aku harus mendengarkanmu?" lanjutnya, suaranya bergetar dengan kombinasi emosi dan kesombongan. "Aku adalah Ketua Asosiasi Dagang dan Industri Nagapolis! Kau pikir siapa dirimu berani bertingkah di depan Gubernur Adam Smith?!"Sebagian tamu tersentak kecil, sebagian lagi menahan napas. Di tengah aroma tembakau, darah, dan wine, satu pertanyaan membara di hati semua orang: Apakah pria ini baru saja menandatangani surat kematiannya sendiri?Di atas peti mati, Kevin hanya menghembuskan asap rokok lagi, matanya setenang lautan beku. Tapi di kedalaman tatapa
Namun Kevin hanya mengangkat sebelah alis, seolah gerakan si kembar itu tak layak mendapat perhatian. Ia tak mengangkat pedangnya, bahkan tak bergeming dari tempat duduknya.Sebaliknya— CLEP!Dalam satu gerakan hampir tak terlihat, Kevin menjentikkan puntung rokok yang masih membara dari sela jemarinya.Puntung itu melesat seperti peluru yang ditembakkan dari senapan dewa. Udara di sekitarnya bahkan berdesing saat benda kecil itu menembus kening sang kembar dalam satu tembakan bersih.TSSKK! Tubuh sang kembar terhenti di tengah lompatan, matanya melebar kosong. Darah mengucur dari lubang kecil di dahinya, lalu tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara berat.Namun itu belum berakhir. Puntung rokok itu, setelah menembus kepala, terus melesat tanpa memperlambat laju, menghantam dinding aula megah.BOOOM!Ledakan keras mengguncang seluruh aula. Dinding marmer bergetar hebat, retakan menjalar seperti jaring laba-laba, dan potongan-potongan batuan beterbangan ke segala arah. Beberapa t
Riuh rendah ejekan memenuhi aula megah itu, bergulung seperti badai suara yang menampar dinding-dinding marmer. Semboyan yang diteriakkan oleh para tamu undangan mengalir mengikuti aba-aba Kevin Drakenis, membentuk koor nyaring penuh hinaan. Lampu-lampu kristal berkilauan di atas kepala mereka, namun hawa di dalam ruangan mendadak terasa pengap, seolah setiap ejekan membawa bara yang memperbesar ketegangan di udara.Di tengah kerumunan yang hiruk-pikuk itu, tatapan Kevin — tajam bagaikan tombak — menembus lautan manusia dan mengunci pada satu sosok ... Gubernur Adam Smith. Pria itu berdiri di atas kursi kebesarannya, dengan dagu terangkat tinggi, tubuhnya memancarkan aura keangkuhan yang seolah menantang langit.Kevin melangkah ke depan, suaranya keluar pelan namun tajam, seperti bilah tipis yang bisa membelah batu."Berlutut."Kata itu meluncur, ringan, nyaris berbisik — tapi dampaknya seperti petir yang menggelegar di langit cerah. Suara-suara ejekan berhenti seketika, tercekik di te
Gubernur Adam Smith, yang sejak tadi menahan diri, mengertakkan giginya keras hingga suara berdecit samar terdengar dari rahangnya. Untuk pertama kalinya, kilasan keraguan melintas di matanya — ketakutan yang ia coba sembunyikan dengan memunculkan sorot benci yang membara.Seolah baru saja dicabut dari jurang kematian, para tamu undangan mendadak tersadar. Mereka saling pandang sesaat sebelum satu demi satu mulai berteriak, lantang melontarkan hujatan kepada Gubernur Adam Smith."Gubernur munafik!" "Pembantai Paviliun Drakenis tanpa sebab!" "Biadab!"Aula yang tadi senyap kini bergemuruh oleh suara kecaman, aliran semboyan yang dipaksakan oleh rasa takut akan kematian. Dentuman suara mereka bersatu, membanjiri ruangan seperti gelombang pasang yang tak bisa dihentikan.Namun di balik semangat semu itu, banyak pasang mata tetap mencuri-curi pandang ke arah Kevin, penuh ketakutan membara. Aura mencekam yang melilit tubuh pemuda itu tidak berkurang — justru semakin menebal, seperti kabut
Ledakan spiritual pertama terjadi bahkan sebelum pedang mereka sempat bersentuhan.BOOOOM!!!Tanpa peringatan, udara di dalam aula seperti terkoyak. Aura pembunuh meletup dari tubuh Kevin—bukan sekadar kekuatan, tapi kemarahan yang dimurnikan menjadi energi spiritual. Gelombang kekuatan itu menghantam seisi ruangan seperti badai surgawi. Kristal-kristal berkilauan yang menggantung megah di langit-langit pecah berkeping-keping, jatuh dalam hujan serpihan kaca yang menyilaukan.Dinding-dinding batu tua tak luput—mereka bergetar, merintih, dan merekah membentuk retakan radial. Seolah-olah bangunan kuno itu sendiri menolak kekuatan yang terlalu agung... atau terlalu kejam untuk dunia fana.Sebagian tamu undangan meledak tubuhnya oleh energi spiritual yang meledak dan menyear ke seluruh aula.Teriakan ketakuan mengiringi pertarungan lanjutanSosok Kevin tak bergerak sejenak, namun matanya—yang bersinar tajam seperti dua bintang yang dibakar murka—telah mengunci Adam Smith dalam lingkaran n
Hening.Hanya suara nafas berat dan serpihan abu yang turun perlahan, seperti salju merah kehitaman.Kevin melangkah maju, tatapannya menusuk, dingin... dan mematikan.“Seranganmu sangat megah, Adam,” ucapnya tenang. “Tapi megah bukan berarti mematikan.”Adam Smith jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai yang retak. Darah kental menetes dari sudut bibirnya, mengalir perlahan di dagu, lalu menitik ke lantai, membentuk pola tak beraturan di antara debu dan pecahan batu.Pakaiannya sudah hancur tak karuan oleh tekanan energi spiritual yang kuat saat pertarungan.Nafasnya memburu. Dada naik-turun, terengah-engah dalam rasa sakit yang nyaris membuat dunia tampak berputar. Tapi tatapan matanya... masih menyala—bukan dengan harapan, melainkan dengan kegilaan dan tekad yang menolak padam."Belum selesai..." gumamnya, suara parau seperti geraman binatang yang terpojok.Dengan tangan kirinya yang gemetar, ia menekan tanah. Jemarinya mencakar permukaan lantai batu dan menggambar simbol-simbol
Suara itu datang menggema dari kejauhan, bergema bagaikan petir yang merambat melalui udara meski jarak memisahkan mereka.“Kenapa kau tidak mengikutiku? Katanya mau jadi pelayanku?”Nada Kevin terdengar dingin namun tegas, seakan mengiris udara. Meski hanya berupa suara yang disalurkan melalui energi spiritual, setiap kata menyusup tajam ke telinga Valkyrie, mengguncang hatinya yang sempat tenggelam dalam keraguan.Valkyrie yang semula berdiri terpaku, mata birunya menatap kosong ke cakrawala, tiba-tiba mengerjap. Seketika wajahnya yang pucat karena kelelahan memerah, berseri-seri seperti bunga sakura yang mekar di pagi hari . Sebuah senyum kecil, pertama kali sejak pertemuan mereka, merekah di bibirnya.“Dia memanggilku …” bisiknya pelan, seakan meyakinkan dirinya sendiri. Dia sempat menyangka Kevin hanya akan menolongnya tanpa menginginkannya lebih jauh. Tapi kini—ada harapan.“Siap, Tuan Muda!” seru Valkyrie, suaranya lantang penuh semangat. Dengan gerakan cepat namun anggun, tang
Kevin perlahan memutar tubuhnya, derap langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tergeletak di balik kepulan debu. Valkyrie—Celestial Myrad yang baru saja ia kalahkan—terbaring di atas tanah yang retak, tubuhnya penuh luka, armor peraknya remuk, sayap-sayap cahayanya kini hanya kelap-kelip samar. Namun matanya… masih menyala. Masih menyimpan api yang belum padam.“Aku …” suara Valkyrie terdengar serak, tapi tegas, “aku akan menjadi pelayanmu … jika kau memulihkan kondisi tubuhku yang rusak.” Nada suara itu aneh—campuran kesombongan yang dipaksa tunduk, dan pengakuan kekalahan yang pahit.Kevin menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Apa gunanya bagiku?” desisnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. “Baru beberapa saat lalu kau ingin membunuhku tanpa ampun. Dan sekarang? Kau ingin jadi pelayanku? Jangan bercanda.”Valkyrie menggigit bibirnya, darah emas menetes di dagu. “Aku hanya menjalankan perintah …” katanya, matanya menatap Kevin tanpa berkedip. “Tapi aku
“Cukup dengan kebohonganmu.”Suara Kevin terdengar pelan, nyaris tanpa emosi, seperti sebongkah es yang jatuh menghantam tanah, dingin dan datar. Matanya menatap kosong ke arah Adam Smith, yang kini hanya tinggal bayangan lelaki sombong yang dulu berdiri gagah sebagai Gubernur Xandaria.“Kau hanyalah makhluk rendahan …” lanjut Kevin pelan, kata-katanya menggantung tajam di udara, “yang tak berguna bagiku.”Ia menunduk perlahan, membiarkan helaan napasnya yang dingin menyapu telinga Adam yang pucat.“Kau akan mati bukan sebagai gubernur …” bisiknya, suaranya nyaris seperti suara angin yang berkesiur di sela reruntuhan. “Tapi sebagai pengkhianat … yang menjual nyawa demi kekuasaan murahan.”Tubuh Adam makin menggigil, giginya bergemeletuk tanpa kendali. Mata lebarnya memantulkan bayangan Kevin yang perlahan berdiri kembali, tegap, seolah menyerap semua kekuatan di sekitarnya.“Tidak … tidak …” gumam Adam pelan, hampir seperti doa kosong, air mata bercampur ingus mengalir di pipinya.Kev
“Aku tak butuh bantuanmu,” gumamnya datar, seolah ucapan itu hanya fakta, bukan ancaman.Adam mengerang pelan, air mata bercucuran, tubuhnya berkelojotan seperti ikan yang dilempar ke daratan. Matanya—mata yang dulu menatap rakyat Xandaria dengan penuh arogansi—kini hanya memantulkan ketakutan murni, ketakutan seorang manusia yang tahu ajalnya sudah menjemput.“Lalu … apa yang kau mau …?” bisiknya, suara itu seperti hela nafas terakhir, hampir tak terdengar, hanya serpihan suara di tengah kehancuran.Kevin menarik napas panjang, dadanya naik turun perlahan. Aura petir yang sedari tadi menggema liar di sekeliling tubuhnya perlahan mereda, satu demi satu kilatan padam, menyisakan hanya keheningan berat. Ia memejamkan mata sesaat, mendengar debar jantungnya sendiri, mendengar suara kenangan lama berbisik di kepalanya.Saat matanya terbuka kembali, hanya ada satu hal di sana: dingin, tak berperasaan.“Aku ingin kau mati,” bisiknya pelan, “dalam ketakutan … dan keputusasaan …”Ia mengangka
Langkah kaki Kevin menghantam tanah yang retak dan hangus, setiap jejaknya menggemakan dentuman berat seperti palu menghajar bumi. Bau logam terbakar bercampur dengan aroma tanah basah menusuk hidungnya, sisa dari kawah pertempuran mautnya dengan Valkyrie yang masih mengepulkan asap tipis ke udara. Setiap embusan angin menggiring kepulan abu, menari-nari di antara reruntuhan dinding yang setengah runtuh. Namun mata Kevin tak goyah. Fokusnya terpaku pada satu sosok yang berlutut gemetar di ujung pandangannya.Adam Smith—dulu Gubernur Xandaria yang angkuh dan berkuasa—kini tampak seperti cangkang kosong, wajahnya pucat, rambut kusut, mata membelalak sembab. Tubuhnya menggigil, satu tangannya terangkat setengah, jari-jari gemetar seperti benang rapuh yang nyaris putus.“Tung-tunggu … Kevin…” suaranya pecah, parau, lebih mirip suara pria yang depresi daripada suara seorang pria yang pernah berdiri di puncak kekuasaan. “Kita … kita bisa bicara …!”Kevin berhenti, hanya satu langkah darinya
Jeritan Valkyrie memecah malam, suara itu seperti lengkingan baja yang dipanaskan, menembus kabut dan debu. Aura perak membuncah dari tubuhnya, berputar liar, menciptakan pusaran cahaya yang menyilaukan. Dari balik kilau itu, muncul wujud ilusi seekor burung langit bersayap tujuh—makhluk legendaris yang hanya bisa dipanggil lewat teknik pamungkas, Lunar Phoenix Ascension. Sayap-sayapnya terbentang, tiap helai bulunya memancarkan cahaya perak yang menusuk gelap, memantulkan bayangan di reruntuhan yang mengelilingi mereka. Pedang Valkyrie, meski retak dan nyaris patah, memancarkan cahaya terakhirnya. “Moonlight Final Art : Silver Phoenix Reversal!” teriaknya, suara itu menggema, bercampur gaung magis yang membuat udara di sekitar bergetar.Di sisi lain, Kevin mencengkeram Pedang Dewa Ilahi lebih erat. Aura hitam-putih yang menyelubunginya semakin mengerucut, seperti tombak kilat yang siap menusuk langit. Mata Kevin, yang kini sepenuhnya bersinar putih, memantulkan kilatan dewa pembala
Valkyrie berdiri limbung di tengah lantai marmer yang sudah retak-retak, kakinya gemetar, lututnya hampir menyerah. Setetes darah mengalir pelan dari pelipisnya, menyusuri garis wajah hingga menetes dari dagu, jatuh ke lantai seperti tetesan waktu yang menghitung mundur. Rambut peraknya, yang biasanya tertata rapi dan berkilau keemasan, kini kusut berantakan, sebagian menempel di kulit wajah yang basah oleh keringat dan darah, sebagian terurai liar seperti tirai api yang tersapu badai. Nafasnya pendek-pendek, dada naik turun cepat, namun tatapan matanya… tatapan itu tetap menyalakan perlawanan. Bara kecil yang menolak padam, meski dikepung hujan badai tanpa ampun.Di seberang ruangan, Kevin berdiri diam, tubuhnya dibalut aura listrik yang mengamuk liar. Lengan kirinya terluka, darah mengalir hingga menodai jari-jarinya, dan bahunya robek, memperlihatkan sepotong daging merah di balik jubah putih yang sudah tercabik. Namun luka-luka itu tidak melemahkannya. Sebaliknya, aura petir di se
Asap tebal membubung di tengah ruangan, dan dari balik kabut itu, Valkyrie terdorong mundur, lututnya menghantam lantai dengan dentuman berat. Napasnya memburu, darah segar menetes dari ujung bibirnya, melukis noda merah di pipi pucatnya. Meski begitu, matanya tetap tajam, menusuk, seperti elang yang tak sudi jatuh hanya karena satu luka.“Kau …” desisnya pelan, suaranya berat namun tetap mengandung kehormatan. “…bukan lawan sembarangan, Kevin Drakenis.”Langkah kaki berat bergema mendekat. Kevin berjalan pelan, setiap jejaknya membakar lantai, meninggalkan bekas arang hitam yang menguapkan asap tipis. Aura petirnya kini menggila, menyambar-nyambar di sekeliling tubuhnya, mencabik udara hingga terdengar suara siulan tajam. Matanya menyala bagai bara, memancarkan cahaya putih yang memaksa jantung siapapun berdetak lebih cepat.Ia menyeringai tipis, senyumnya dingin, tapi di sana ada sedikit kekaguman.“Dan kau …” bisiknya pelan, suaranya hampir seperti gumaman maut, “…terlalu cantik un
Kilatan cahaya menyambar liar, menggurat udara seperti kilat yang turun langsung dari langit. Ledakan demi ledakan mengguncang ruangan megah itu, memecahkan dinding, menghancurkan pilar, dan menyisakan puing-puing yang beterbangan seperti hujan batu. Percikan energi spiritual yang membara memantul di segala permukaan, mewarnai udara dengan semburat biru, ungu, dan perak yang berkilauan.Bagi mata manusia biasa, pertarungan ini mustahil untuk diikuti. Kecepatan mereka terlalu gila, kekuatan mereka terlalu buas. Yang terlihat hanyalah bayangan kabur, garis-garis cahaya yang saling beradu, dan dentuman keras yang menggema seperti perang para dewa. Di antara keanggunan tubuh Valkyrie yang menari lincah dan keganasan aura Kevin yang membara seperti badai petir, terpatri awal dari duel yang tak hanya memperebutkan hidup dan mati, tetapi juga mengguncang tatanan kekuasaan Arkandaria.BRAAAKK!Suara ledakan menggetarkan seluruh ruangan ketika pedang Valkyrie beradu dengan Pedang Dewa Ilahi mi