Bab Utama : 2/2 Selesai. Terima kasih untuk sobat readers yang telah mengirimkan hadiah dan gems ...
Kota Dewa, permata agung dari dunia cultivator timur, dulunya bersinar bagaikan jantung langit itu sendiri. Menara-menara spiritual menjulang bagai jari-jemari yang menunjuk surga. Kitab-kitab langit disimpan dalam istana kristal, dan para tetua duduk bersila di atas awan qi. Di sanalah kebenaran ditulis ulang, dan takdir dibentuk oleh kekuatan. Namun malam ini, langit yang biasanya berselimut emas... berubah kelam.Awan menggumpal di atas cakrawala. Petir menari di baliknya, terkekang namun meraung, seakan tahu—akan ada darah mengalir malam ini.Di atas sebuah paviliun tua, terkubur di tengah Distrik Tengah yang telah lama ditinggalkan, Kevin—atau nama yang lebih ditakuti dunia, Arkantra Drago—berdiri. Angin malam mencabik jubah hitamnya, dan asap rokok mengepul dari sudut bibirnya yang tenang. Matanya memandang ke arah utara, di mana tiga menara menjulang seperti tombak menusuk langit. Di dalamnya, tiga sekte besar tengah menunggu.Di sampingnya berdiri seorang perempuan berselubung
Darah menetes dari bilah hitam legam pedang Arkantra Drago, membentuk pola acak di atas batuan kuil yang mulai retak. Di sekelilingnya, tubuh-tubuh para cultivator dari berbagai sekte berserakan tak bernyawa. Sebagian terbakar, sebagian lainnya terbelah dengan wajah membeku dalam ketakutan terakhir, sebagian dengan tubuh yang tak lengkap. Udara kental oleh aroma logam dan abu, bercampur dengan jejak petir yang baru saja mengoyak langit.Dalam satu gerakan berputar, Arkantra menebas dua musuh terakhir yang mencoba menyerangnya bersamaan. Suara tulang remuk terdengar jelas, seperti ranting patah di tengah badai. Semburan darah mewarnai udara dan membentuk lengkungan samar di udara.Di atas langit, Astraea melayang anggun di antara awan debu dan energi spiritual yang kacau. Mantelnya berkibar seperti selubung cahaya, dan di tangannya, petir tak berwujud dibentuk menjadi anak-anak panah cahaya surgawi. Setiap kali ia mengangkat tangannya, satu panah melesat turun seperti bintang jatuh, me
Langkah demi langkah, darah dan debu spiritual membasahi jalanan kuil tua di tengah Kota Dewa. Semakin lama Arkantra Drago bertarung, semakin banyak musuh bermunculan—cultivator dari sekte-sekte besar, pemburu jiwa dari aliansi kegelapan, hingga para pembantai bayaran dari dunia bawah. Nama Arkantra telah menjadi gema kematian.“Arkantra Drago… pencuri Inti Naga Hitam, penghancur Lembah Ilahi, pengkhianat jalan langit…”Begitulah mereka memanggilnya.Dan kini, semua ingin kepalanya.SRAAAAKK!!!Langit seakan pecah saat Petir Surgawi menghantam tanah, hanya beberapa langkah dari tempat Arkantra berdiri. Ledakan qi membentuk kawah sedalam lima tombak, dan satu dari tiga musuh terakhir terhapus dari dunia—hancur menjadi abu dalam semburat cahaya ungu-biru.Tanah gemetar. Aura listrik menyebar seperti jaring kematian. Debu spiritual belum sepenuhnya mereda saat seorang gadis perlahan melangkah keluar dari balik pilar kuil kuno yang nyaris runtuh.Ia tampak seperti cahaya dalam badai.Juba
Langit di atas Kota Dewa bersinar keemasan seperti lembaran surga yang diturunkan langsung dari langit surgawi. Warna langit itu tak pernah berubah, seolah seluruh kota itu diberkati oleh tangan dewa yang tak kelihatan. Pilar-pilar raksasa berdiri megah di sepanjang horizon kota—menara kuil, altar qi, dan balairung spiritual menjulang laksana tulang belakang langit. Setiap pilar diselimuti simbol-simbol kuno... Sekte Petir Langit, Menara Es Keabadian, Silsilah Delapan Lotus, dan banyak lainnya. Kota ini adalah pusat peradaban kultivasi tertinggi.Namun hari ini, angin membawa sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya debu qi atau aroma dupa keabadian.Tapi bau tembakau… dan darah.***Di gerbang utama kota, yang dipenuhi para pengelana, pedagang qi, peziarah, dan cultivator pemula, seorang pria berdiri sendiri di tengah arus manusia. Tubuhnya tenang, nyaris beku, seperti patung dalam badai. Sebatang rokok menyala di ujung bibirnya, mengeluarkan asap tipis yang menari-nari di antara cahaya
Langit di atas Pegunungan Abadi mulai memudar ke ungu kelam saat Kevin berdiri sendiri di puncak dunia, tubuhnya dihujani angin dingin yang menusuk tulang. Kabut qi masih mengepul dari tanah yang retak, mencium aroma darah dan kehancuran yang masih segar. Zherana telah pergi, meninggalkan bayangannya seperti kutukan yang tak bisa dihapus.Di kejauhan, Desa Langit masih samar terlihat, dikelilingi dinding qi dan pegunungan terjal. Di sanalah Valkyrie terbaring, masih lemah setelah luka fatal dari pertempuran sebelumnya. Kevin menatap ke arah desa itu—matanya mengeras.“Maafkan aku, Valkyrie… Aku belum bisa kembali. Belum sekarang. Musuh belum habis.”Ia memalingkan wajah. Tujuannya berubah: Kota Dewa, pusat dari peradaban spiritual, tempat para penguasa langit memerintah dan rahasia tertinggi disembunyikan. Tapi sebelum sampai ke sana, ia harus melewati Lembah Ilahi—batas terakhir antara Pegunungan Abadi dan Kota Dewa.Dan di situlah, bahaya sesungguhnya telah menunggunya.***Ketika Ke
Zherana berdiri diam, tubuhnya tampak tenang di tengah pusaran angin yang masih menggila di Pegunungan Abadi. Kabut qi hitam berputar lembut di sekelilingnya seperti ular spiritual yang tak pernah tidur. Matanya, dua batu giok kelam, menatap tajam ke arah Kevin Drakenis, yang walau tubuhnya sudah penuh luka dan darah, masih berdiri.Bahu Kevin bergetar. Nafasnya terengah. Tapi di tengah bayangan dan darah yang mengalir di pelipis, matanya menyala, tak padam, seperti bara yang baru saja disiram minyak.Zherana mengerutkan alis. Ada sesuatu yang muncul di wajahnya—bukan belas kasihan. Tapi semacam... kekaguman pahit. Kekaguman yang tak ingin ia akui, tapi tak bisa ia sangkal.“Kau benar-benar pewaris darah naga…” katanya perlahan, suaranya sehalus angin namun setajam bilah. “Tapi sayangnya, kau terlalu percaya pada harga dirimu sendiri.”Kevin menyeka darah dari wajahnya dengan punggung tangan. Ia mengangkat pedang besar yang hampir jatuh dari genggamannya, dan menggenggamnya lebih erat.