"Satu jam sebelum fajar..."
Suara besi diseret menggema lembut di antara lorong-lorong penjara Langit Bening. Kabut spiritual yang dulu berkilau kini kusam, seperti kehilangan cahaya harapan. Dan di tengahnya, Gohan Lee duduk bersila, tubuhnya dilingkari rantai segel. Mata tertutup, wajah pucat, tapi masih tenang. Di luar jeruji, Han Bei berdiri mematung. Jemarinya gemetar menggenggam gulungan kecil yang baru saja ia sisipkan lewat celah jeruji. "Gohan... kalau kau mati hari ini, aku juga tak bisa hidup dengan tenang." Bisikannya terhenti oleh suara langkah berat di ujung lorong. Sipir bermantel hitam muncul, membawa kapak eksekusi yang meneteskan aura pembunuhan. "Sudah waktunya." Langkah mereka menyusuri tangga batu. Di atas, altar eksekusi telah disiapkan. Di tengah dataran tinggi, tepat di bawah cahaya fajar pertama, ribuan penonton menyaksikan, termasuk Qin Rouye dan Yue Xiulan, yang ditahan di balik pagKeringat dingin mengalir dari pelipis Gohan, padahal tubuhnya terbakar seakan dililit api surgawi. Setiap tarikan napasnya seperti mendobrak dunia yang rapuh, seperti menorehkan celah halus pada dinding langit yang tak kasat mata. Ia terbangun di tengah kehampaan, menggantung di udara abu-abu yang sepi, sunyi, dan nyaris tidak nyata. "Di mana... ini?" bisiknya. Tapi suaranya tak menggema. Tak ada dinding. Tak ada langit. Hanya kekosongan yang bergolak pelan, seperti danau hitam yang bernafas. Di kejauhan, sesosok bayangan perlahan membentuk. Wajahnya samar, suaranya lebih seperti gema kenangan daripada suara sungguhan. Namun Gohan mengenalnya seketika. "Ibu...?" Sosok itu tersenyum samar. Tidak muda, tidak tua. Seperti potongan mimpi yang pernah ia tinggalkan dalam tidur-tidur penuh luka. Tapi yang membuat jantung Gohan terhenti bukan karena rindu—melainkan karena kata-kata yang keluar dari bibir itu. "Gohan.
Suara gemuruh dari dalam Makam Tujuh Langit masih terngiang di telinga Gohan. Langkah-langkahnya gemetar di antara bebatuan purba, tempat para dewa lama dimakamkan. Sisa darah di sekeliling jubahnya mulai mengering, menyisakan jejak hitam kemerahan yang tampak membusuk di udara. Namun pikirannya tidak tenang. "Apa maksudnya... darah ini menuntut tebusan jiwa suci?" gumam Gohan pelan, suaranya terpantul oleh dinding batu yang menjulang tinggi. Ia menggenggam Mantel Darah Dewa erat-erat. Mantel itu tak terasa seperti jubah, lebih mirip lapisan hidup yang menempel di tubuhnya, berdenyut mengikuti detak jantungnya. Seketika matanya menangkap cahaya di ujung lorong. Langkahnya dipercepat. Nafas memburu. Ketika ia tiba di ruangan terakhir makam itu, jantungnya serasa berhenti. Di hadapannya, terdapat singgasana. Tinggi, menjulang dari batu hitam dengan ukiran naga bersayap. Di atasnya,
"Buka matamu, Pewaris... atau darahmu akan sia-sia." Suara itu—tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam dada Gohan—menyusup seperti racun lembut. Saat kelopak matanya terbuka, dunia di sekitarnya telah berubah. Ia tidak lagi berada di makam batu dingin, tapi di tengah padang langit ungu, tanpa batas, di mana ribuan lentera merah terapung seperti bintang-bintang yang tersesat. Langkah kakinya terasa ringan, tubuhnya mengambang, jiwanya seolah tercerabut dari raganya. Tapi rasa nyeri dari goresan pedang di dadanya masih nyata. Luka itu belum sembuh. Hatinya belum tenang. Di hadapannya berdiri tujuh bayangan kolosal. Setiap bayangan memiliki bentuk berbeda—ada yang bersayap naga, ada yang membawa pedang langit, satu duduk di singgasana tengkorak, dan satu lagi hanya siluet yang terus berubah bentuk. Tapi semuanya menatap Gohan dengan mata kosong, namun menyala dalam satu warna: merah darah. "Siapa kalian?" sua
Angin di Kota Terapung berubah arah. Aroma dupa suci, debu darah, dan arus spiritual membentuk pusaran tak kasatmata yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah menembus batas ranah Zhongtian. Dan malam itu, di tengah reruntuhan menara kristal bekas Turnamen Darah, Gohan Lee berdiri diam di bawah langit ungu yang baru saja memuntahkan bintang. Langkah kaki berat terdengar dari belakang. "Kau tak seharusnya bangun," suara itu berat, serak, dan penuh beban yang tak diucapkan. Qin Rouye muncul dari balik reruntuhan, mengenakan jubah setengah hangus, matanya tak lagi sombong—melainkan penuh tanya. "Aku tidak tidur," jawab Gohan pendek. "Aku bermimpi sambil berdiri. Dan mimpiku... penuh suara orang mati." Rouye mengernyit. "Itu pertanda buruk." "Atau panggilan." Langit kembali bergetar, dan seberkas cahaya ungu menukik dari langit, menghantam altar pusat arena. Suara retak spirit
Petir menyayat langit Zhongtian seperti cakar iblis lapar. Di tengah malam yang seharusnya hening, langit justru bergemuruh seolah bersuara, menyambut sesuatu yang akan datang. Di kaki Gunung Hēi Jìng, Gohan berdiri sendiri, tubuhnya dibalut jubah robek dan darah kering. Lehernya masih berdenyut, bekas belenggu Teratai Hitam dari kontrak jiwa dengan Xiulan. Namun yang lebih mencolok dari segalanya adalah mata Gohan. Tidak lagi menyala hanya dengan tekad, tapi dengan sesuatu yang jauh lebih gelap dan jauh lebih tajam. Ia menatap reruntuhan medan latihan lama Sekte Bintang Retak, tempat para kultivator berbakat dahulu mengasah pedang mereka. Kini tempat itu kosong. Terbengkalai. Dihindari. Bukan tanpa alasan. "Dengar itu?" suara Yue Xiulan terdengar lirih dari balik pohon, napasnya memburu. "Langit berubah... Seperti merasakan sesuatu." Gohan mengangguk pel
Kabut malam di wilayah langit Zhongtian bukan kabut biasa. Ia mengandung partikel spiritual yang menyerap suara dan niat membunuh. Yue Xiulan berdiri mematung di tepi jurang batu giok, gaunnya koyak, dan di dadanya terukir simbol teratai hitam yang berdenyut pelan. "Gohan... jangan dekat..." bisiknya, tapi Gohan sudah melangkah. Napas Gohan memburu. Mata hitamnya kini dilingkari kilau ungu samar. “Xiulan, hentikan ini. Kau bukan dia—kau bukan… iblis itu.” Yue Xiulan tersenyum getir. Di balik wajah tenangnya, matanya bersinar merah darah. Angin memutar rambutnya seperti cambuk, dan dari bayangannya, kelopak-kelopak teratai hitam mulai mekar satu demi satu. “Gohan, jika aku jatuh, kau harus membunuhku.” “Aku tak akan membiarkanmu jatuh.” Suara lembut itu menggema seperti janji dan kutukan. Gohan melangkah lebih dekat, merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya seperti pisau-pisau kecil.