Home / Pendekar / Pewaris Pedang Sulur Naga / Bab 1. Prajurit Utusan sang Senopati

Share

Pewaris Pedang Sulur Naga
Pewaris Pedang Sulur Naga
Author: Eka wa

Bab 1. Prajurit Utusan sang Senopati

Author: Eka wa
last update Last Updated: 2022-07-01 08:30:02

Seekor kuda hitam berlari dengan cepat menyusuri jalan berbatu dengan membawa seorang gadis sebagai penunggangnya. Gadis itu berkemben dan berkain hijau. Terpaan angin yang kencang mengibarkan cadar hijau tipis yang menutupi wajahnya. Wajah gadis itu memang tersembunyi, namun sepasang bola matanya yang bening bagai embun pagi dan kulit dahinya yang bagus berkulit kuning buah langsat, ditambah rambut hitam bergelombang panjang sepinggul berkibar indah di belakang punggung. Menutupi gagang pedang yang berbentuk sulur tumbuhan.

Merupakan gambaran sosok gadis yang sudah dapat dipastikan kalau penunggang kuda itu memiliki kecantikan yang tidak biasa.

Menilik dari bentuk tubuhnya yang ramping dan belum begitu berisi, si gadis baru berusia belasan tahun. Layaknya sekuntum bunga yang baru memekarkan beberapa helai kelopaknya yang indah.

Nampaknya gadis itu tengah terburu-buru ingin sampai ke tujuan, hingga tanpa istirahat. Kuda hitam mengkilat yang gagah itu sudah mulai kelelahan berlari. Sedangkan si penunggang kuda tidak perduli. Atau, mungkin dia belum tahu bahwa kuda juga kelelahan jika melakukan perjalanan jauh dan butuh istirahat laiknya manusia.

Kuda itu terus menerjang waktu, hingga tidak terasa sang fajar telah meninggi.

Pagi setengah siang itu cukup hangat menyapa bumi Majapahit. Awan putih berarak seperti pasukan kerajaan yang sedang lewat. Jalanan berbatu yang membelah hutan di tepi aliran sungai Berantas yang mereka lewati nampak lengang. Tidak ada rombongan para saudagar dari luar Majapahit atau pedagang wilayah setempat yang lewat. Hanya nyanyian hutan yang mengisyaratkan bahwa hutan itu berpenghuni.

"Lapar sekali," batinnya, saat perutnya terasa seperti diremas-remas karena belum terisi secuil makanan pun sejak kemarin.

Dia melompat dari atas punggung kudanya. Berjalan terseok-seok menahan lapar sambil menuntun kuda hitam yang juga lelah. Telinganya yang tajam mendengar gemericik air sungai. Ke sana lah kuda hitam itu dituntunnya.

Tali kekang kuda hitam itu diikatnya kuat pada sebongkah batu besar berlubang di bibir sungai yang tidak dalam. Setelah merasa aman, dibiarkannya kuda itu minum dan merumput sepuasnya. Sedangkan dia sendiri setelah melepaskan dahaga, membasuh tangan dan wajahnya. Segarnya air sungai Berantas menambah kekuatan tubuhnya.

Si gadis remaja berusia lima belas tahun berjalan menjauhi kudanya yang masih asyik merumput. Sambil menenteng buntalan kain hitam dia mengeluh dalam hati. Sejak kemarin perutnya belum terganjal apa pun untuk sekedar menyangga kedua kakinya. Tubuhnya nampak gemetar. Dilepasnya cadar hijau tipis dari wajahnya. Wajah itu nampak pucat dan bibirnya yang seharusnya meranum itu mulai mengering. Meskipun sudah meminum air.

Dengan lemah, tubuhnya duduk bersimpuh di bawah pohon rindang yang ditumbuhi tanaman menjalar. Menyandarkan punggungnya yang letih pada akar pohon yang menonjol keluar. Dari tempatnya ini dia masih bisa mengawasi kuda tunggangannya. Jika sewaktu-waktu ada pencuri yang ingin mencuri kudanya.

Belaian hutan yang lembut pada wajahnya membuatnya mengantuk.

Suara keras dari perut, menyadarkannya dari buaian mimpi.

Diturunkannya buntalan kain hitam yang tercangklung di pundaknya. Sejak kemarin buntalan itu tetap utuh tak tersentuh. Ada rasa kesal dalam hatinya. Teganya "dia" meninggalkannya seorang diri tanpa menemuinya. Dia masih ingat siapa pemberi buntalan itu. Seorang prajurit Majapahit atas perintah junjungannya. Junjungan yang membuat hati si gadis kesal dan dongkol.

"Nini, saya mendapat tugas dari Gusti Senopati Prana Kusuma untuk menyampaikan buntalan ini. Maaf dia tidak bisa berpamitan langsung denganmu karena harus terburu-buru kembali ke Kotaraja. Nini diharuskan kembali ke Lereng gunung Tengger." Prajurit utusan itu mengulurkan sebuah buntalan kain pada si gadis yang hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Namun, mulutnya cemberut.

Prajurit utusan itu memandang iba pada si gadis. Sedikit banyak dia tahu siapa gadis kecil ini. Seorang gadis yang tidak bersanak saudara di tempat asing ini, juga tidak bisa bicara. Jawa Dwipa bukan lah tanah kelahirannya. Karena dia datang dari sebuah tempat yang sangat jauh, tapi masih wilayah kekuasaan Majapahit juga.

"Gusti Senopati juga berpesan, agar Nini jangan bersedih. Dia secepatnya akan menyusul Nini untuk diajak ke Majapahit." Prajurit utusan tetap menyodorkan buntalan itu dan matanya tetap menatap si gadis dengan iba. Dua tetes air mata jatuh di pipi halus kemerahan si gadis. Cukup lama gadis berkemben dan berkain hijau itu tersedu. Pundaknya terguncang halus, menahan diri agar tangisnya tidak meledak di depan Sang Prajurit.

"Nini, tolong terimalah. Saya harus secepatnya mengejar rombongan," desak Prajurit itu dengan wajah memohon seraya menyodorkan buntalan tersebut.

Si gadis menerima buntalan itu dengan ragu. Hatinya berkata bahwa dia ingin ikut prajurit ini ke Majapahit. Dia tidak ingin sendirian di rimba persilatan. Tanpa menghiraukan keinginan si gadis yang sudah membuncah, Prajurit itu melompat ke atas punggung kudanya.

"Nini Sekar Pandan, jaga dirimu. Tunggulah kehadiran Gusti Senopati Prana Kusuma di sana. Saya permisi." Dia memutar tali kekang kuda coklat miliknya, kemudian menggebahnya mengikuti arah rombongan temannya yang sudah lebih dulu berangkat ke Kotaraja Trowulan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suprayitno Suprayitno
lanjutkan ceritanya, Bu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 239. Ketetapan Hati

    Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 238. Pendekar Tampan Berambut Putih.

    Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 237. Lelaki Tampan Berambut Putih

    Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 236. Terluka

    "Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 235. Tumbangnya Sang Penguasa Jurang.

    Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 234. Berebut Pedang.

    Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 233. Dua Kekuatan Berlawanan

    Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 232. Berhadapan dengan Hang Dineshcarayaksa.

    Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 231. Melawan Hang Dineshcarayaksa.

    Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status