Share

Pewaris Pedang Sulur Naga
Pewaris Pedang Sulur Naga
Penulis: Eka wa

Bab 1. Prajurit Utusan sang Senopati

Seekor kuda hitam berlari dengan cepat menyusuri jalan berbatu dengan membawa seorang gadis sebagai penunggangnya. Gadis itu berkemben dan berkain hijau. Terpaan angin yang kencang mengibarkan cadar hijau tipis yang menutupi wajahnya. Wajah gadis itu memang tersembunyi, namun sepasang bola matanya yang bening bagai embun pagi dan kulit dahinya yang bagus berkulit kuning buah langsat, ditambah rambut hitam bergelombang panjang sepinggul berkibar indah di belakang punggung. Menutupi gagang pedang yang berbentuk sulur tumbuhan.

Merupakan gambaran sosok gadis yang sudah dapat dipastikan kalau penunggang kuda itu memiliki kecantikan yang tidak biasa.

Menilik dari bentuk tubuhnya yang ramping dan belum begitu berisi, si gadis baru berusia belasan tahun. Layaknya sekuntum bunga yang baru memekarkan beberapa helai kelopaknya yang indah.

Nampaknya gadis itu tengah terburu-buru ingin sampai ke tujuan, hingga tanpa istirahat. Kuda hitam mengkilat yang gagah itu sudah mulai kelelahan berlari. Sedangkan si penunggang kuda tidak perduli. Atau, mungkin dia belum tahu bahwa kuda juga kelelahan jika melakukan perjalanan jauh dan butuh istirahat laiknya manusia.

Kuda itu terus menerjang waktu, hingga tidak terasa sang fajar telah meninggi.

Pagi setengah siang itu cukup hangat menyapa bumi Majapahit. Awan putih berarak seperti pasukan kerajaan yang sedang lewat. Jalanan berbatu yang membelah hutan di tepi aliran sungai Berantas yang mereka lewati nampak lengang. Tidak ada rombongan para saudagar dari luar Majapahit atau pedagang wilayah setempat yang lewat. Hanya nyanyian hutan yang mengisyaratkan bahwa hutan itu berpenghuni.

"Lapar sekali," batinnya, saat perutnya terasa seperti diremas-remas karena belum terisi secuil makanan pun sejak kemarin.

Dia melompat dari atas punggung kudanya. Berjalan terseok-seok menahan lapar sambil menuntun kuda hitam yang juga lelah. Telinganya yang tajam mendengar gemericik air sungai. Ke sana lah kuda hitam itu dituntunnya.

Tali kekang kuda hitam itu diikatnya kuat pada sebongkah batu besar berlubang di bibir sungai yang tidak dalam. Setelah merasa aman, dibiarkannya kuda itu minum dan merumput sepuasnya. Sedangkan dia sendiri setelah melepaskan dahaga, membasuh tangan dan wajahnya. Segarnya air sungai Berantas menambah kekuatan tubuhnya.

Si gadis remaja berusia lima belas tahun berjalan menjauhi kudanya yang masih asyik merumput. Sambil menenteng buntalan kain hitam dia mengeluh dalam hati. Sejak kemarin perutnya belum terganjal apa pun untuk sekedar menyangga kedua kakinya. Tubuhnya nampak gemetar. Dilepasnya cadar hijau tipis dari wajahnya. Wajah itu nampak pucat dan bibirnya yang seharusnya meranum itu mulai mengering. Meskipun sudah meminum air.

Dengan lemah, tubuhnya duduk bersimpuh di bawah pohon rindang yang ditumbuhi tanaman menjalar. Menyandarkan punggungnya yang letih pada akar pohon yang menonjol keluar. Dari tempatnya ini dia masih bisa mengawasi kuda tunggangannya. Jika sewaktu-waktu ada pencuri yang ingin mencuri kudanya.

Belaian hutan yang lembut pada wajahnya membuatnya mengantuk.

Suara keras dari perut, menyadarkannya dari buaian mimpi.

Diturunkannya buntalan kain hitam yang tercangklung di pundaknya. Sejak kemarin buntalan itu tetap utuh tak tersentuh. Ada rasa kesal dalam hatinya. Teganya "dia" meninggalkannya seorang diri tanpa menemuinya. Dia masih ingat siapa pemberi buntalan itu. Seorang prajurit Majapahit atas perintah junjungannya. Junjungan yang membuat hati si gadis kesal dan dongkol.

"Nini, saya mendapat tugas dari Gusti Senopati Prana Kusuma untuk menyampaikan buntalan ini. Maaf dia tidak bisa berpamitan langsung denganmu karena harus terburu-buru kembali ke Kotaraja. Nini diharuskan kembali ke Lereng gunung Tengger." Prajurit utusan itu mengulurkan sebuah buntalan kain pada si gadis yang hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Namun, mulutnya cemberut.

Prajurit utusan itu memandang iba pada si gadis. Sedikit banyak dia tahu siapa gadis kecil ini. Seorang gadis yang tidak bersanak saudara di tempat asing ini, juga tidak bisa bicara. Jawa Dwipa bukan lah tanah kelahirannya. Karena dia datang dari sebuah tempat yang sangat jauh, tapi masih wilayah kekuasaan Majapahit juga.

"Gusti Senopati juga berpesan, agar Nini jangan bersedih. Dia secepatnya akan menyusul Nini untuk diajak ke Majapahit." Prajurit utusan tetap menyodorkan buntalan itu dan matanya tetap menatap si gadis dengan iba. Dua tetes air mata jatuh di pipi halus kemerahan si gadis. Cukup lama gadis berkemben dan berkain hijau itu tersedu. Pundaknya terguncang halus, menahan diri agar tangisnya tidak meledak di depan Sang Prajurit.

"Nini, tolong terimalah. Saya harus secepatnya mengejar rombongan," desak Prajurit itu dengan wajah memohon seraya menyodorkan buntalan tersebut.

Si gadis menerima buntalan itu dengan ragu. Hatinya berkata bahwa dia ingin ikut prajurit ini ke Majapahit. Dia tidak ingin sendirian di rimba persilatan. Tanpa menghiraukan keinginan si gadis yang sudah membuncah, Prajurit itu melompat ke atas punggung kudanya.

"Nini Sekar Pandan, jaga dirimu. Tunggulah kehadiran Gusti Senopati Prana Kusuma di sana. Saya permisi." Dia memutar tali kekang kuda coklat miliknya, kemudian menggebahnya mengikuti arah rombongan temannya yang sudah lebih dulu berangkat ke Kotaraja Trowulan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suprayitno Suprayitno
lanjutkan ceritanya, Bu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status