Share

Bab 2. Bahaya dalam Hutan.

Dibukanya buntalan pakaian itu dengan wajah cemberut. Baru kali ini buntalan itu ingin dia buka. Karena hatinya masih dongkol terhadap si pemberi buntalan.

"Tega sekali dia meninggalkanku sendirian," ujarnya dalam hati.

Di dalam buntalan ada sebuah tempat air minum dari bambu, buntalan kain berwarna kuning, ikan kering yang terbungkus daun pisang yang diikat rapi dan kuat, sekantung keping uang, dan beberapa keping kue kering yang terbungkus daun kering. Melihat kue kering dari beras ketan yang lezat membuat air liurnya keluar. Dengan tidak sabar, kue kering itu dikunyahnya dengan cepat. Lalu meminum air dalam bumbung kecil. Segarnya air membuat tubuhnya segar kembali.

Wajahnya kembali memerah sehat. Bibirnya pun kembali segar meranum.

Kalau saja dia tidak marah pada Raden Prana Kusuma, si pengirim buntalan, mungkin saat ini dirinya tidak sampai kelaparan. Dalam buntalan itu ternyata ada makanan, minuman, dan uang. Ah, Raden. Kau masih saja baik padaku dengan tidak membiarkan aku kelaparan, batin gadis yang bernama Sekar Pandan.

Sejuknya hutan, ditambah perutnya yang kenyang membuat matanya berat dan menguap. Dia menggeser letak duduknya agar tidak terlihat dari jalan. Saat ini dia tidak ingin berurusan dengan siapa pun. Selanjutnya menyelonjorkan kedua kakinya dan mulai memejamkan matanya yang seperti diberi beban berat. Mengistirahatkan badannya sejenak.

Tiba-tiba dia membuka matanya dengan cepat. Seperti tersengat kalajengking di bawah kakinya. Tangannya menyambar buntalan miliknya lagi, merogohnya lalu mengeluarkan buntalan kain kuning dari dalam. Sejak tadi, dia belum menyentuh buntalan kecil itu. Selanjutnya buntalan kecil itu dia buka. Ternyata isinya sehelai selendang yang sangat halus dan mengkilap berwarna jingga.

Bibirnya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi gingsul yang manis saat melihat selendang indah itu. Selendang itu dia timang, disampirkan ke pundaknya, lalu dililitkan di dadanya. Nampaknya gadis itu sangat menyukai selendang itu. "Indah sekali," pujinya dalam hati. Dengan girang disampirkan selendang sutra jingga itu di pundaknya.

"Terima kasih, Raden. Aku sangat menyukainya," bisiknya dalam hati lalu kembali merebahkan tubuhnya di tempat tadi, sambil memeluk ujung selendang itu di dadanya. Membayangkan wajah tampan sang pemberi selendang, Raden Prana Kusuma.

Seorang bangsawan dari Kotaraja Trowulan yang berpangkat Senopati dan selalu baik padanya. Ia pun sangat suka dan menghormati orang itu, layaknya kawula dengan junjungan. Bahkan jika boleh lancang, di dalam hatinya saat ini, Raden Prana Kusuma sudah ia anggap sebagai saudara laki-lakinya. Yang selalu melindungi dan memperhatikan dirinya.

Namun karena keterbatasan gerak dan waktu, Senopati Prana Kusuma tidak selalu ada untuknya. Bahkan saat ini dia harus kembali ke Majapahit karena tugasnya di luar Kotaraja telah selesai.

Itulah yang membuat hati Sekar Pandan dongkol. Jujur dia tahu bagaimana tugas seorang Senopati , karena dia telah mendapat banyak cerita mengenai tugas seorang prajurit. Tetap saja hatinya ingin selalu bersama dengannya.

Bukan karena dia takut melakukan pengembaraan seorang diri di rimba persilatan yang kemungkinan besar bahaya selalu datang kapan saja dan dimana saja, tapi karena kekurangan yang ada pada dirinya. Dia kesulitan dalam berbicara dengan orang lain. Sedangkan jika dengan adanya Senopati Prana Kusuma, kesulitannya itu bisa teratasi.

Tanpa sepengetahuan gadis yang bernama Sekar Pandan, sepasang mata mengintainya dari atas pohon yang rimbun, tidak jauh dari tempatnya berada. Mata itu sayu tanpa gairah hidup. Pemilik mata itu adalah seorang pemuda tampan berusia dua puluh tahun, berkain lusuh dan penuh tambal. Meskipun pakaiannya lusuh, pembawaan pemuda itu tetap berkharisma.

Mata sang pemuda terus menelusuri tubuh mungil yang sedang terlelap di bawah sana.

Pelan sekali suaranya saat bergumam," Sepertinya gadis remaja itu bukan gadis dusun yang lemah. Di punggungnya tersampir sebilah pedang. Itu artinya dia seorang gadis yang memiliki ilmu kanuragan." Pemuda itu merebahkan punggungnya pada sebatang pohon dengan berbantal lengan. Dia pun memejamkan mata, tidak peduli pada gadis yang dia lihat.

Sejurus kemudian, mata pemuda itu terbuka. Sepertinya dia tidak bisa tidur. Pikirannya terus memikirkan gadis yang sedang tidur di bawah sana. Dia memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah Sekar Pandan.

Matanya berlabuh pada wajah gadis remaja itu. Wajahnya tertutup cadar. Bajunya juga bersih. Sepertinya dia baru turun gunung. Akan sangat berbahaya jika dia melakukan pengembaraan seorang diri. Para tokoh dunia hitam tidak akan membiarkan gadis itu lolos dari cengkraman mereka, kata pemuda itu dalam hati.

Pendengarannya yang tajam mendengar suara gemerisik halus, seperti sesuatu menggesek daun daun kering dari balik batu besar tidak jauh dari pohon besar tempat gadis itu tidur. Suara itu semakin dekat. Seekor ular besar merayap mendekati tempat si gadis yang sedang tertidur pulas.

"Celaka. Tubuh gadis itu bisa remuk dililit ular besar itu." gumam sang pemuda mengkhawatirkan keselamatan Sekar Pandan. Ular itu terus merayap mendekati tempat Sekar Pandan tidur. Lidahnya yang berwarna merah bercabang menjulur merasakan adanya mangsa. Ular itu berhenti tepat satu tombak di depan kaki gadis itu. Dia mengangkat kepalanya, seolah ingin menilai mangsanya selezat apa.

Mata ganas ular sebesar paha orang dewasa itu terus memperhatikan Sekar Pandan dengan juluran lidahnya yang bercabang dan berwarna merah sambil mendesis-desis.

Ssssshh! Ssssshh!

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ies Susanti
makasih pak
goodnovel comment avatar
Ies Susanti
siap. makasih udah baca...
goodnovel comment avatar
Nur Arifatul Jannah
keren bu.... lanjutkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status