Share

Bab 2. Evan yang Bertakhta

“Hentikan, jangan membuat hidup kakakku semakin hancur!” Aisha selalu dibuat cemas dengan wajah pucat setiap kali mendengarkan rencana licik suaminya-Evan. Namun, bagaimanapun keinginan memberontak membuncai di dalam hatinya, nyatanya Aisha tidak dapat melakukan apapun bahkan hanya sekedar menyingkirkan tangan kotor Evan.

“Hahahaha!” Tawa Evan menggema di dalam istana milik Adhitia, “kenapa, bukankah bagus saat hidup kakakmu semakin hancur karena semua aset milik ayah kalian hanya akan jatuh padamu, Honey.” Kedipan mata genit mengudara, tetapi Aisha tidak menyukainya sama sekali.

“Hentikan. Kakak sudah sangat menderita karena kamu jebak!” Aisha mulai berdesis geram.

“Sssttt ....” Jemari telunjuk Evan beralih pada bibir manis Aisha, “jangan membahas yang sudah-sudah, dan jangan menuduhku telah menjebak Ansel-kakak iparku sendiri.” Senyuman teduh dipasang, tetapi yang dilihat Aisha hanyalah senyuman iblis.

Saat ini Aisha memalingkan wajahnya tanpa berkata apapun. Jadi Evan kembali mengambil kesempatan untuk berbicara sesuka hatinya. Dagu sang istri kembali diraih, caranya sangat lembut, tetapi Aisha tidak pernah menyukai apapun yang dilakukan Evan walaupun itu dalam bentuk perhatian. “Sayang ... jangan bersikap seperti itu padaku, aku suamimu. Bahkan Ansel tidak dapat melakukan apapun di hadapanku yang berusia lebih tua darinya, dia tahu sopan santun padaku walaupun secara silsilah keluarga aku adalah adik iparnya.”

Aisha masih tidak berbicara walaupun Evan banyak mengucapkan kalimat dengan sesuka hatinya hingga beberapa saat kemudian, bibir ranumnya berkata, “Aku harus merawat papa, sudah saatnya papa meminum obat.” Ini adalah cara pamitnya untuk menghindari suaminya sendiri.

Namun, cara pamit yang dipakai Aisha adalah cara yang bodoh hingga seorang pria licik seperti Evan akan mudah menebak kebohongannya. “Waktu hampir menunjukan pukul sebelas malam. Apakah dokter memberikan jadwal meminum obat tengah malam, 4x sehari?” Sebelah alisnya terangkat saat tatapan datar dipasang, sedangkan Aisha mengerjap, menyadari kesalahan yang dilakukannya. Jadi, gadis ini harus segera meluruskannya.

“Eu ... maksudku ... papa harus sering dicek. Papa sering terbangun tengah malam karena haus atau ingin buang air kecil. Jadi sekarang aku harus memeriksa papa!” Grogi segera menyelimuti hati gadis berusia dua puluh tahun ini.

Evan mendesah datar saat memegangi pelipisnya, kemudian mendaratkan tatapan membidiknya ke arah Aisha. “Baiklah, periksa saja papamu. Tapi jangan lama-lama ya, Sayang ....” Senyuman teduh dipasang, tetapi bagaimanapun rupanya, Evan tidak pernah berbeda dengan iblis.

Aisha segera meninggalkan ruangan yang dihuni Evan, bulu kuduknya bergidik ngeri saat bergegas menuju kamar ayahnya yang berada di lantai paling atas, lantai empat rumahnya. Setibanya di hadapan pintu kamar sang ayah, daun pintu dibuka sangat lembut. Terlihat jelas Adithia sedang terbaring pulas hingga Aisha mengusap dadanya. “Syukurlah, semakin hari keadaan papa semakin membaik, sekarang Aisha perhatikan papa tidak sering insomia.” Senyuman mulai merekah cerah saat menyaksikan perkembangan baik ayahnya dari hari ke hari.

Sudah sebelas bulan Adhitia terbaring lemah setelah mencoba mengambil kembali pertambangan berlian serta embel-embel berlian lainnya yang salah satunya pabrik pembuatan. Namun, usahanya gagal yang membuatnya tumbang hingga saat ini sekaligus tidak mampu membawa putra sulungnya kembali ke kediamannya.

Ansel dan Alea terusir dari rumah semenjak Adhitia menandatangani surat pemindahan salah satu asetnya ke tangan Evan. Saat itu dia dijebak menggunakan obat-obatan yang tidak diketahui jenisnya karena pria sukses ini hidup tanpa mengenal obat-obatan di luar resep dokter, tetapi pada suatu hari sebuah kapsul meluncur ke dalam tenggorokannya yang membuatnya seolah dikendalikan hingga tandatangannya tergores jelas di atas kertas yang berisi pemindahan satu-satunya aset terbesar miliknya.

Sejak saat itu semua yang berhubungan dengan berlian jatuh ke dalam genggaman Evan-seorang menantu yang dipilihkannya untuk Aisha. Jadi, saat ini yang tersisa hanya penyesalan. Namun, semua seolah tidak akan pernah kembali. Apalagi kini keadaannya sangat mengenaskan, dia terserang struk jadi aktivitas hariannya hanya berbaring dan duduk di atas kursi roda.

***

Hari berganti, Alea sedang bersiap-siap di dalam rumah sempitnya. “Sayang, aku akan pergi sekarang, hari ini tanggal gajian, aku akan menerima gaji pertama. Aku ingin pergi lebih pagi. Hihi ....” Senyuman manis nan indah Alea.

“Iya, Sayang.” Ansel memberikan kecupan hangat di dahi Alea.

“Titip Ocean ya. Kalau mau melanjutkan tidur, tidur saja. Tapi kalau Ocean menangis kamu harus segera bangun, buatkan susu atau ganti popoknya karena biasanya alasan anak kita menangis hanya karena kedua hal itu,” pesan penting Alea diucapkan setiap hari, tetapi dirinya tidak akan pernah bosan mengingatkan suaminya.

“Iya, Sayang ... aku akan segera bangun walaupun aku sedang terlelap.” Selama satu bulan ini Ansel mengurus bayi mereka dengan sangat baik saat Alea sedang bekerja. Dia tidak keberatan sama sekali walaupun waktu beristirahatnya sangat singkat.

“Terimakasih sudah menjadi suami sekaligus ayah yang sempurna.” Senyuman merekah di wajah Alea, rasa syukur tidak pernah habis karena Tuhan menjodohkannya dengan Ansel.

“Aku akan bertanggungjawab sebagaimana seorang suami sekaligus seorang ayah.” Ansel menggaruk kepala tidak gatal seiring tersipu malu. Jadi, setiap pagi hingga pukul empat sore dia yang menjaga Ocean. Lalu, pukul tujuh malam pria ini meninggalkan rumah untuk bekerja hingga pukul empat pagi karena jarak rumah sewa dan gedung tempatnya bekerja cukup jauh.

Saat ini Ansel hanya mampu membayar rumah sewa berukuran kecil di sebuah gang, di pemukiman warga kalangan menengah ke bawah jadi tidak heran jika dia memerlukan waktu lebih banyak menuju gedung pencakar langit tempat manusia elit berada.

Saat Alea barusaja berlalu, dering handphone memanggil empunya. “Aisha?” Kedua alis Ansel segera berkerut heran, maka dengan sigap menggeser ikon hijau. “Sya, ada apa?” tanya grasah-grusuhnya.

“Kak, bagaimana keadaan Kakak sekarang?” Khawatir selalu diperdengarkan Aisha.

“Hidup kami mengalami sedikit perubahan setelah Kakak mendapatkan pekerjaan tetap. Kenapa?” Saat adiknya mencemaskan dirinya, justru Ansel selalu mencemaskan Aisha karena adik satu-satunya hidup bersama seorang brengsek pshycopat.

“Syukurlah ....” Embusan udara lega dibuang Aisha, tetapi sejurus kemudian kalimatnya memburu, “Kak, berhati-hatilah pada Evan, dia tahu Kakak bekerja di butik berlian!” peringatan tegasnya dengan tergesa-gesa hingga kedua mata Ansel memicing tajam.

“Memangnya apa yang akan dia perbuat sekarang?”

“Aisha tidak tahu ..., tapi semalam Aisha melihat ekspresi jahat Evan!”

“Ck, Kakak rasa Evan tidak dapat melakukan apapun di sana karena semua orang tahu kami adalah keluarga!” Saat ini kepercayaan diri Ansel sangat tinggi.

“Tapi Kakak tidak boleh gegabah menyepelekan Evan, dia sangat licik. Aisha takut Kakak kenapa-kenapa ....” Kekhawatiran tidak pernah pudar.

“Tenang saja, Kakak sudah memikirkan serangan balik pada setiap serangan darinya selama itu tidak berurusan dengan tandatangan apapun seperti yang dilakukan papa,” desah lirih Ansel bercampur amarah. Maka, selama beberapa saat Aisha juga dibuat sangat lirih.

“Memangnya apa yang akan Kakak lakukan?” heran Aisha dengan harapan serangan balik yang dilakukan Ansel akan berakibat fatal pada Evan.

“Lihat saja nanti.” Seringai Ansel.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status